Kamis, 07 Januari 2010

Kearifan Hidup

Dalam hidup ini kadang-kadang kita harus memilih,
antara menyenangkan hati Tuhan dan menyenangkan hati manusia.
Untuk kepentingan jangka panjang, lebih baik menyenangkan hati Tuhan.
Ia lebih mampu untuk mengingat.
Harry Kemelman


Suatu malam, saya bersama Heri, seorang teman, pergi berbelanja ke sebuah swalayan. Kami sama-sama suka membaca, karenanya kami pun menghabiskan banyak waktu di counter buku untuk memilih buku-buku yang kami inginkan.

Saat akan membayar di kasir, kebetulan uang Heri tidak cukup. Dia membawa kartu ATM, sehingga tidak membawa uang cash dalam jumlah banyak. Maka ketika nominal belanja dihitung, Heri pun langsung tahu uangnya kurang, namun hanya kurang seribu rupiah. Heri tentu tidak mungkin berlari ke boks ATM hanya untuk mengambil uang seribu rupiah, karenanya dia kemudian meminjam kepada saya.

“Pinjami aku seribu,” katanya waktu itu.

Saya pun langsung memberikannya, dan sama sekali tak merisaukannya. Saling pinjam semacam itu sudah menjadi hal biasa dalam hubungan persahabatan, dan kami saling percaya. Maka Heri pun kemudian membayar belanjanya, dan saya pun membayar belanja saya.

Tiga bulan kemudian, peristiwa itu sudah terlupa, dan saya benar-benar lupa pernah meminjami Heri uang seribu rupiah itu.

Sampai suatu malam, Heri mengetuk pintu rumah saya di larut malam. Ketika saya membukakan pintu untuknya, dia segera nyerocos, “Sori, aku baru ingat kalau aku masih punya utang sama kamu!”

Nah, saya benar-benar sudah lupa pada hutang itu. Ketika kemudian kami duduk di ruang tamu, Heri pun menjelaskannya. “Tiga bulan lalu, kalau tidak salah, aku pernah pinjam uang seribu sama kamu, waktu kita belanja buku di swalayan, ingat?”

Sekarang saya baru mulai mengingatnya. Tetapi, saya pikir, mengapa saya harus mengingat-ingatnya, toh saya sudah mengikhlaskannya?

Heri kembali berkata, “Sori. Aku benar-benar baru ingat malam ini, jadi baru sekarang aku akan membayar utang itu!”

Saya terkejut, “Lupakan saja, Her. Aku bahkan sudah mengikhlaskannya!”

“Tapi kamu harus menerima pembayaran uang ini.” Heri bersikeras sambil mengangsurkan uangnya. “Aku tidak minta waktu itu, aku hanya pinjam, jadi sekarang aku harus mengembalikannya. Jumlah uang ini memang tidak seberapa, tapi aku takut uang seribu perak ini akan menjadi ganjalan bagiku di alam kubur!”

Kejadian itu telah lama berlalu, namun hingga hari ini saya tak pernah bisa melupakannya.

Heri sahabat saya itu bukan ustadz, juga bukan pendeta. Dia orang biasa, dengan pekerjaan biasa dan dengan hidup yang biasa. Namun ia memegang kejujuran di atas segala-galanya, dan dia bahkan sampai tidak bisa tidur karena baru ingat kalau dia masih punya utang sejumlah seribu rupiah! Memang, seperti kata Heri tadi, uang seribu rupiah bukan jumlah yang besar, tetapi siapa yang akan sanggup menerima ganjalannya di alam kubur ketika ia dipermasalahkan?

Hidup ini terkadang memberikan kesempatan, waktu, atau saat-saat tertentu bagi kita untuk mengambil sesuatu yang bukan hak kita. Kesempatan semacam itu tentu saja tidak hanya terdapat dalam kehidupan para pejabat yang biasa mengurusi banyak proyek penuh uang, namun juga dalam kehidupan kita sehari-hari. Ada banyak kesempatan yang terkadang hadir dalam hidup kita, yang memberi saat-saat untuk mengambil sesuatu yang bukan hak kita.

Dalam salah satu bukunya, Slilit Sang Kiai, Emha Ainun Nadjib menceritakan tentang seorang kiai yang baru pulang dari suatu acara kenduri, dan merasakan ada daging yang terselip di sela-sela giginya. Karena merasa tidak nyaman dengan slilit itu, sang kiai itu pun mengambil potongan kayu kecil dari pagar rumah orang yang dilewatinya, untuk mengambil slilit yang terdapat di sela giginya.

Ketika kemudian sang kiai ini meninggal dunia, dia merasa sedih karena tidak sempat meminta maaf dari pemilik pagar yang potongan kayu kecilnya ia ambil itu.

Kalau sepotong kayu kecil untuk tusuk gigi saja kemudian mengganggu dan menjadi ‘slilit’ di alam kubur, apalagi yang lebih besar dari itu...?

Kehidupan ini memberikan kebebasan sebebas-bebasnya untuk kita mengambil apa pun dan mendapatkan apa pun yang kita butuhkan, yang kita perlukan, yang kita inginkan, bahkan yang kita angankan dan impikan. Tetapi kita juga memiliki ‘aturan main’ soal bagaimana cara mengambilnya. Aturan main itu bisa iman, hati nurani, akal sehat, ataupun agama yang kita yakini. Namun, yang jelas, apabila kita mengambil apa saja dan mengambil semuanya, maka kedua tangan kita sendiri yang akan kerepotan membawanya.

Kehidupan ini diberikan kepada kita untuk dinikmati dan dihayati, namun juga ada aturan yang jelas soal bagaimana cara menikmati dan menghayatinya. Kehidupan perlu dihadapi tidak hanya sekadar dengan keinginan dan harapan atau impian, namun juga dengan kearifan dan kebijaksanaan.

Lalu bagaimana bersikap bijak dalam menghadapi hidup?

Epictetus, seorang filsuf besar, punya nasihat yang bagus sekali untuk direnungkan. Katanya, “Ingatlah, di dalam kehidupan ini kau perlu bersikap seperti dalam sebuah pesta. Jika sesuatu ditawarkan kepadamu, ulurkanlah tanganmu dan ambillah sepotong dengan sopan. Kemudian teruskanlah hal itu kepada orang di sebelahmu, jangan ditahan. Atau, jika ia belum sampai kepadamu, maka jangan perlihatkan betapa kau sudah tidak sabar untuk mengambilnya. Tunggulah sampai hal itu tiba di hadapanmu. Begitu pulalah hendaknya sikapmu terhadap anak-anak, istri, pekerjaan, dan kekayaan.”

Kalau memang kehidupan adalah pesta di mana banyak makanan disediakan untuk diambil, maka kita memang berhak untuk mengambil yang mana pun. Tetapi, kalau kita mengambil semuanya, kita justru akan sakit perut!

 
;