Jumat, 15 Januari 2010

Syahadah Hidup



Puncak dari segala pengetahuan adalah ketidaktahuan. Karenanya, dibutuhkan kearifan seluas samudera dan kebijaksanaan setinggi langit untuk dapat dengan rendah hati mengatakan, “Aku tidak tahu...”

Hidup ini adil, dan orang-orang yang hidup di dalamnya pun cenderung bersikap adil, disadari ataupun tidak. Tangan yang biasa terulur memberi akan memperoleh lebih banyak tangan yang memberi, tangan yang biasa bersembunyi juga akan sulit menemukan tangan lain—karena tangan yang lain pun juga bersembunyi.

Semua pendapat adalah benar—bagi yang meyakininya. Dan semua kebenaran adalah relatif—tak ada kebenaran mutlak. Tak perlu membuang waktu hanya untuk meyakinkan sebuah pendapat.

Yang paling mengerikan dari sebuah kebenaran adalah; dia belum tentu benar.

Fakta paling menakutkan dari sebuah kenyataan bukanlah kenyataan itu sendiri, tetapi ketika orang takut menghadapi kenyataan.

Alangkah bodohnya manusia—ketika ia telah merasa cukup pintar dan berhenti belajar.

Esensi hidup dan segala yang ada di dalam kehidupan adalah proses pembelajaran. Bila kehidupan dilepaskan dari proses pembelajaran, maka hidup hanyalah lari panjang menuju akhir yang tak jelas dimana garis finish-nya. Bila agama dilepaskan dari proses pembelajaran, maka agama hanyalah bentuk baru berhala dengan berbagai versi dan bermacam nama. Bila cinta dilepaskan dari proses pembelajaran, maka cinta hanyalah perbudakan dan pembodohan menuju fanatik buta yang menyesatkan.

Hakikat dari inti pembelajaran bukanlah memasukkan sesuatu dari luar ke dalam, melainkan mengeluarkan sesuatu yang tersimpan di dalam untuk dapat keluar. Pendidikan, Education, Educo, bukanlah ‘memasukkan’, tetapi ‘mengeluarkan’.

Alangkah lucunya hidup, dan alangkah lucunya mereka yang tak sanggup menertawakannya.

Makanan yang paling nikmat adalah makanan yang dihasilkan dari keringatku sendiri.

Di saat aku miskin, aku jujur dan terbuka. Begitu pula di saat aku kaya. Menurutku, itu bagian dari kejujuran dan jiwa besar. Tetapi ternyata, kejujuran dan jiwa besar tidak populer dalam kehidupan—khususnya lingkungan kehidupanku. Jadi, aku pun mulai belajar untuk menjadi munafik berhati kerdil.

Aku bersilaturrahmi kepadamu, namun kau berburuk sangka karena kemiskinanku. Aku meminta kepadamu, dan kau tak memberi. Aku berhutang kepadamu, dan kau pergi menjauh. Maka aku pun mencuri darimu. Dan begitulah cara kita menciptakan penjahat, sekaligus kejahatannya.

Seringkali aku merasa pintar, namun lebih sering aku merasa bodoh. Dan anehnya, aku jadi pintar ketika merasa bodoh, dan menjadi bodoh ketika aku merasa pintar.

Kau mengatakan bahwa milikmu adalah hebat, besar, agung dan mulia—sempurna tanpa cacat cela. Mengapa kau menjadi marah ketika orang lain juga mengatakan hal yang sama tentang milik mereka...?

Mengapa ada surga dan neraka? Jawabannya begitu sederhana—karena Tuhan menciptakan manusia.

Orang-orang merasa dirinya benar—itu tidak masalah. Masalahnya adalah ketika mereka menganggap orang yang lainnya salah.

Batas segala batas adalah dalam pikiran manusia. Begitu pun batas hitam dan putih, benar dan salah.

Di hadapan manusia, kebenaran lebih sering menumpahkan darah.

Anak-anak kecil bertanya—dan mereka menganggap itu sebagai ciri orang pintar. Orang-orang dewasa memilih bungkam—dan sok tahu—karena bagi mereka, bertanya adalah simbol kebodohan. Aku lebih menyukai menjadi anak kecil.

Jenius adalah kemampuan membuat sesuatu yang sulit dipahami menjadi mudah dimengerti—dan bukan sebaliknya.

Ada dua jenis manusia di dunia; yang pertama adalah pemain, dan yang kedua adalah penonton. Yang pertama lebih banyak jatuh dan tergelincir, tapi mereka mencetak nilai. Sedang yang kedua lebih banyak bersuara, tapi mereka tak menghasilkan apa-apa.

Hidup adalah soal pilihan—dan manusia diberikan hak untuk memilihnya. Bahkan, manusia pun boleh tidak memilih—dan begitulah kebanyakan dari kita.

Jika hidup hanyalah lahir, tumbuh, besar, dewasa, menikah, berketurunan dan kemudian mati—apa bedanya kita dengan binatang...?

Aku mencintai pekerjaanku, dan karena itulah aku mengerjakannya. Aku tak peduli apakah pekerjaanku membuatku kaya atau miskin. Aku hanya tahu bahwa aku mencintai pekerjaanku, dan karena itulah aku tetap mengerjakannya.

Ada dua jalan dalam hidup ini. Yang pertama adalah jalan yang mudah—yang tak memberikan apa-apa, dan yang kedua adalah jalan yang sukar—yang menjanjikan sesuatu untuk diraih. Kita diberi kebebasan untuk memilih, namun anehnya, lebih banyak dari kita yang memilih jalan pertama.

Manusia dibentuk oleh keyakinannya. Keyakinannya dibentuk oleh pengalamannya. Pengalamannya dibentuk oleh kehidupannya. Jika begitu rumusannya, mengapa kita tidak saling bercermin?

Orang bodoh meributkan dan mengomentari segala hal—orang pintar hanya diam.


 
;