Senin, 05 April 2010

Hati, Nurani, dan Jalan Takdir

Dalam masalah hati nurani, pemikiran pertamalah yang paling baik.
Dalam masalah kebijaksanaan, pemikiran terakhirlah yang paling baik.
Robert Hall


Saya terkadang takjub melihat bagaimana cara kerja kepolisian mengungkap sebuah kasus kejahatan. Serapi apa pun sebuah kejahatan dilakukan, polisi selalu tahu bagaimana cara mengungkapnya, sekaligus menangkap pelakunya.

Dalam sebuah majalah, saya pernah membaca bahwa terkadang pihak kepolisian pun merasa bingung ketika dihadapkan pada sebuah kasus kejahatan yang amat rapi dan tersembunyi. Dalam kasus pembunuhan yang dilakukan pembunuh bayaran, misalnya, ada kalanya polisi bingung mengungkap kasus pembunuhan itu, karena mata rantai kejahatannya seolah terputus. Pihak yang dicurigai tampak tak terlibat, namun kejahatan itu jelas dilakukan oleh pihak yang dicurigai.

Ketika menghadapi kasus semacam ini, menurut majalah yang saya baca itu, biasanya polisi akan menghadapi kesulitan dalam mengungkap dan menangkap pelakunya. Namun ajaibnya, justru si pembunuhnya sendiri yang kelak biasanya akan mengungkapkan kejahatannya sendiri.

Biasanya, si pembunuh yang telah melakukan kejahatan itu akan mabuk-mabukan untuk menenangkan pikiran, dan dalam mabuknya itu ia akan ‘mengoceh’ tentang pembunuhan yang telah dilakukannya. Atau, kemungkinan lain, dia akan datang sendiri kepada polisi untuk menyerahkan diri, karena merasa dihantui oleh kejahatan yang telah dilakukannya.

Hampir bisa dipastikan tidak ada orang yang mampu berbuat jahat namun kemudian hidup tenang dan damai tanpa dihantui ketakutan dan kekhawatiran!

Apakah kita setuju dengan tesis itu? Saya setuju, meski saya tak ingin mencobanya. Banyak pencuri atau pencopet yang tertangkap bukan karena aksinya tertangkap tangan, namun karena gerak-geriknya yang mencurigakan. Sekali lagi, apakah kita setuju dengan tesis ini? Kalau tidak setuju, silakan dibuktikan.

Beberapa waktu yang lalu, saya datang ke kantor pos di kota saya, dan mendapati sebuah pamflet berwarna yang berisi ‘Daftar Koruptor yang Sedang Dicari’. Saya kira itu pamflet iseng atau main-main, tapi ternyata itu pamflet sungguhan yang dikeluarkan oleh Kepolisian Negara. Di dalam pamflet itu terdaftar nama-nama dilengkapi foto-foto orang yang disebut sebagai koruptor, lengkap dengan jabatan mereka di perusahaan atau instansi tempat mereka bekerja.

Nah, saya membayangkan, mungkinkah orang-orang yang nama dan fotonya tertera dalam pamflet itu bisa hidup dengan tenang? Saya berani yakin mereka tidak akan pernah merasa tenang. Siapa yang bisa tenang kalau tahu dirinya dicari polisi di seluruh negeri, nama dan fotonya dikenal orang di mana-mana untuk ditangkap, sementara hati mereka terus mengusik dan mengingatkan bahwa mereka salah?

Barangkali hari ini mereka belum tertangkap pihak berwenang, dan kebebasan mereka belum terpenjara di balik terali besi. Namun sesungguhnya diri mereka telah tertangkap oleh rasa bersalahnya sendiri.

Jika hati telah mengatakan, “Itu salah!”, siapa yang sanggup menolaknya? Barangkali kita bisa mengingkari kenyataan itu, namun mungkinkah orang membohongi hati nuraninya sendiri? Mungkin orang bisa tak menghiraukan teriakan hatinya, namun jika dia menyalahi suara hati itu, dia pun akan dikejar-kejar perasaan bersalahnya sendiri—dan itu sungguh siksaan yang mengerikan.

Memang, ada kalanya kejahatan—sebuah perbuatan yang tidak benar—tidak tertangkap oleh hukum negara atau hukum dunia. Apalagi untuk kejahatan-kejahatan yang dilakukan dengan rapi, yang biasa disebut white collar crime; kejahatan-kejahatan yang dilakukan dengan halus, dengan perangkat canggih, yang melibatkan orang-orang penting dan punya kekuasaan.

Namun jangan lupa bahwa mereka, para pelakunya, tetap saja seorang manusia yang memiliki hati, memiliki nurani. Jerat hukum memang mungkin bisa dihindari, tetapi siapa yang mampu melepaskan diri dari hati nuraninya sendiri? Lebih dari itu, kehidupan ini tidak buta, dan hidup ini pun selalu tahu bagaimana cara membalasnya.

Berkaitan dengan hal tersebut, ada ilustrasi yang bagus berikut ini.

Pada tahun 1923, delapan orang paling kaya di dunia berkumpul di sebuah hotel di Chicago untuk sebuah pertemuan penting. Konon, jika uang yang dimiliki oleh delapan orang itu dikumpulkan menjadi satu, maka jumlahnya lebih besar atau lebih banyak daripada jumlah seluruh uang yang ada di muka bumi ini.

Delapan orang itu adalah; Charles Schwab, Presiden Direktur Bethlehem Steel, perusahaan besi baja independen terbesar di dunia; Richard Whitny, Presiden Bursa Saham New York; Jesse Livermore, pialang saham terhebat di Wall Street; Ivan Krueger, penguasa monopoli dagang terbesar di dunia; Howard Hopson, Presiden Direktur perusahaan gas terbesar di Amerika Utara; Arthur Cotton, spekulan komoditi gandum terbesar di dunia; Leon Fraser, Presiden Bank International Seattlement; dan Albert Fall, anggota Kabinet Presiden Amerika.

Delapan orang itu dikenal dunia sebagai orang-orang sukses yang telah banyak mengumpulkan kekayaan. Kisah-kisah mereka ditulis dalam berbagai buku oleh penulis-penulis top, dan foto-foto mereka nyaris setiap hari nongol di surat kabar dan majalah.

Tetapi, dua puluh lima tahun kemudian, pada tahun 1948, sesuatu yang ironis terjadi dalam hidup mereka semua.

Charles Schwab, Presiden Direktur besi baja independen terbesar, mati dalam keadaan bangkrut. Richard Whitny, Presiden Bursa Saham New York, dimasukkan ke penjara Sing-sing, penjara khusus kriminal berat. Jesse Livermore, pialang saham terhebat di Wall Street, mati bunuh diri. Ivan Krueger, penguasa monopoli dagang terbesar di dunia, juga mati bunuh diri. Howard Hopson, Presiden Direktur perusahaan gas terbesar di dunia, menjadi gila. Arthur Cotton, spekulan komoditi gandum terbesar, mati di luar negeri dalam keadaan tidak mampu membayar hutang. Kemudian Leon Fraser, Presiden Bank International Seattlement, mati bunuh diri. Dan Albert Fall, anggota Kabinet Presiden Amerika, mati dalam keadaan menjadi narapidana.

Mereka barangkali termasuk orang-orang yang pintar mencari uang, tapi barangkali bukan orang yang pintar mencari uang dengan cara yang benar.

 
;