Kamis, 01 April 2010

Kematian adalah Kebebasan



Posting ini adalah lanjutan posting sebelumnya (Memahami Arti Kematian). Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik, sebaiknya bacalah posting sebelumnya terlebih dulu.

***

Setelah memahami hakikat kematian, sebagaimana yang telah kita pelajari di posting sebelumnya, sekarang kita tahu bahwa sesungguhnya kematian bukanlah sesuatu yang perlu ditakuti—karena kita tak pernah mati selain hanya meninggalkan jasad yang mati. Kematian justru—seharusnya—patut dirayakan karena ia adalah lepasnya belenggu-belenggu yang selama ini mengikat kebebasan jiwa kita.

Tubuh yang kita miliki ini hakikatnya adalah jasad yang mengurung dan memenjarakan diri kita. Fisik kita adalah penjara kita—tempat dimana tidak ada kebebasan dan setumpuk peraturan yang harus dipatuhi. Apakah kau tidak juga melihat kenyataan ini? Dari sejak lahir ke dunia ini, sampai kelak kita mati, tubuh yang kita miliki ini terus-menerus memberikan serangkaian peraturan yang memberatkan, yang mau tak mau harus kita lakukan—mirip dengan penjara atau pasungan.

Karena adanya fisik, kita harus mencari makan agar tubuh tidak kelaparan, sekaligus menjaga agar perut tidak kekenyangan. Karena adanya fisik, kita harus mencari air minum agar tubuh tak kehausan dan agar aliran darah selalu lancar. Karena adanya fisik, kita bahkan harus buang air, kecil dan besar, mandi, merawat diri, terkadang mengalami sakit, dan harus menjalani serangkaian kerepotan yang seharusnya tidak kita alami kalau saja kita tidak memiliki fisik.

Karena adanya fisik, kita harus menjaga, merawat, memelihara dan bahkan memperindahnya sekuat yang kita bisa, dari hari ke hari, dari waktu ke waktu, persis seperti budak yang tak bisa menentang kehendak tuannya. Bahkan karena adanya fisik, kita pun harus bekerja siang dan malam demi memenuhi kebutuhan-kebutuhan fisik yang tak pernah ada habisnya—mulai dari standar sosial, tingkat pendidikan formal, tren kehidupan, sampai tetek-bengek hal-hal tidak penting seputar kehidupan. Dan di dalam aktivitas serta rutinitas itu, jiwa kita terkurung di dalamnya, terbelenggu tanpa bisa keluar—dan menanti-nantikan saat datangnya kematian, persis seperti narapidana yang menunggu-nunggu saat pembebasannya.

Ketika kematian akhirnya datang, selesailah perbudakan yang kita jalani. Ketika kematian datang, pintu kebebasan bagi jiwa terbuka, dan jiwa kita pun berlarian menuju alamnya yang luas, tanpa belenggu, tanpa perbudakan. Jadi, bukankah kematian adalah kebebasan...? Setelah kematian datang, kita tak perlu lagi mengurusi jasad yang kita miliki, fisik yang kita punyai, karena jasad atau fisik itu toh akan segera terkuburkan karena tak lagi terpakai. Jasad kita terkubur di alam mati, fisik kita hancur seiring berjalannya waktu, dan...jiwa kita bebas menari-nari.

Ketika sampai pada pemikiran, pemahaman dan kesadaran semacam ini, saya pun mulai dapat melihat kematian dari perspektif dan sudut pandang yang lebih baik dibanding sebelumnya. Ketika sampai pada pengetahuan akan jiwa seperti ini, saya dapat mengurangi ketakutan manusiawi saya terhadap kematian. Karena kematian adalah niscaya, karena kematian adalah sesuatu yang mau tak mau harus terjadi dalam kehidupan kita, maka tugas kita adalah belajar memahaminya agar kebingungan serta ketakutan yang kita rasakan dapat berubah menjadi pengetahuan dan kesadaran.

Selagi hidup, kita bisa memilih untuk meyakini atau bahkan memanipulasi diri kita sendiri dengan keyakinan-keyakinan absurd apapun tentang konsep kematian, tetapi saya lebih memilih untuk memahami kematian sebagai terbebasnya jiwa dari belenggu jasad sementara, terlepasnya jiwa dari penjaranya. Saya memilih untuk meyakini bahwa kematian hanyalah pintu yang terbuka, tempat kebebasan murni menerpa jiwa kita, tempat dimana jiwa dapat hidup sesuai habitat dan hakikatnya.

Karena keyakinan itulah, hari ini saya tak terlalu takut lagi terhadap kematian—dan karena keyakinan itu pula yang membuat saya dapat melepaskan kepergian orang-orang terdekat saya dengan ketulusan saat mereka pergi meninggalkan saya. Air mata yang saya teteskan bersama kematian mereka bukan lagi air mata kedukaan semata-mata, tetapi juga tangis kebahagiaan karena menyadari bahwa saat-saat pertemuan keabadian kami akan segera terjadi. Mereka hanya pergi terlebih dulu, tetapi suatu saat kami pasti akan kembali bertemu.

Malam akan mencapai puncak kegelapannya saat akan menjemput pagi—begitu pula dengan kehidupan manusia. Kematian hanyalah saat tergelap ketika jiwa terlepas dari belenggunya, untuk menjemput indahnya mentari keabadian...


 
;