Rabu, 21 Juli 2010

“Penyakit Aneh” para Kutu Buku (4)

Posting ini lanjutan post sebelumnya. Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik, sebaiknya bacalah posting sebelumnya terlebih dulu.

***

Selain orang-orang yang sudah saya ceritakan di post sebelumnya, masih banyak orang lain yang juga mengidap “penyakit aneh” serupa—baik orang-orang terkenal ataupun orang-orang biasa, sesama kutu buku, dan… ya, termasuk saya. Saya juga harus mengakui mengidap “kegilaan mental” sebagaimana mereka, karena kecintaan pada buku.

Tujuan saya menulis post seputar objek ini hingga panjang lebar, sebenarnya untuk memberikan semacam penjelasan atas “ketidakjelasan mental” para kutu buku. Orang-orang yang bukan kutu buku mungkin heran dengan tingkah-laku para kutu buku yang sepertinya “tidak normal”. Seperti yang telah saya ceritakan di post sebelumnya, Muhamad Irvan memiliki buku dalam jumlah yang luar biasa banyak. Tetapi dia marah bukan kepalang hanya karena satu bukunya yang hilang.

Bagi orang biasa (bukan kutu buku), mungkin hal semacam itu akan dianggap tidak wajar. Bisa saja orang berpikir, “Dia memiliki buku banyak sekali. Kenapa harus marah-marah hanya karena satu buku yang hilang?”

Secara “logika” mungkin memang seperti itu. Tetapi cara berpikir para kutu buku tidak “serasional” itu. Jumlah buku yang dimiliki para kutu buku mungkin memang luar biasa banyak. Tetapi jangan lupa, di antara sekian banyak buku yang mereka miliki, semua judul dan edisinya BERBEDA.

Artinya, jika satu buku miliknya hilang, bagi mereka yang hilang itu bukan satu buku, tetapi satu judul, satu koleksi, satu cinta. Mungkin tidak akan terlalu masalah jika buku yang hilang itu masih tersedia di toko dan masih bisa diperoleh kembali, karena artinya mereka masih dapat mengganti buku yang hilang. Tetapi jika buku yang hilang kebetulan sudah tidak terbit lagi, rasa kehilangan yang mereka rasakan tak jauh beda dengan kehilangan seorang kekasih.

Jika yang saya paparkan ini terdengar berlebihan, cobalah tanyakan pada temanmu yang juga kutu buku. Tidak ada yang lebih menyedihkan bagi seorang kutu buku selain mendengar kabar bukunya hilang karena dipinjam. Jangankan hilang, bahkan buku yang rusak pun sudah cukup membuat para kutu buku merasa “patah hati”. Kalau kita meminjam buku dari orang yang bukan kutu buku, hilangnya buku mungkin bukan masalah besar. Tetapi jika kita meminjam buku dari seorang kutu buku, hilangnya buku akan jadi masalah segawat perang.

Sebenarnya, kecintaan orang pada buku sebagaimana yang saya paparkan di atas tak jauh beda dengan bentuk kecintaan orang pada benda-benda lainnya. Ada orang yang sangat tergila-gila pada bonsai, umpamanya, atau merpati balap. Orang-orang itu menghabiskan uang tak terhitung banyaknya—bahkan terkadang sampai milyaran—hanya untuk benda-benda itu.

Sekilas mungkin memang tak masuk akal. Kita mungkin saja berpikir orang-orang itu “tidak waras” karena mau-maunya menghabiskan banyak uang hanya untuk “hal-hal sepele” seperti itu. Tetapi, well, itulah CINTA. Cinta menembus batas rasionalitas.

Begitu pula kecintaan orang terhadap buku. Mereka pun telah keluar dari batas rasionalitas, karena cinta yang mereka miliki terhadap buku. Ini adalah cinta yang tak dapat dijelaskan, kecuali jika kita juga memiliki rasa cinta yang sama. Jika ada dua kutu buku bertemu, mereka akan dapat saling memahami rasa cinta yang sama-sama mereka miliki terhadap buku—tetapi orang yang bukan kutu buku akan sulit memahaminya.

Nah, yang kadang jadi masalah di sini, buku dianggap sebagai barang yang bisa dipinjam seenaknya. Bagi orang yang bukan kutu buku mungkin memang begitu. Orang meminjam atau meminjamkan buku adalah hal biasa. Tetapi tidak seperti itu bagi para kutu buku. Ingat selalu, bagi para kutu buku, buku bukan sekadar benda koleksi—buku adalah sebentuk cinta. Saya ulangi, bagi para pecinta buku, BUKU ADALAH SEBENTUK CINTA.

Karena buku adalah sebentuk cinta, maka mereka pun menjaganya sepenuh hati, dengan sekuat tenaga. Jika kita meminjam buku dari seorang kutu buku, maka kita pun harus memperlakukan buku miliknya sebagaimana dia memperlakukan buku miliknya. Yang sering menjadikan para kutu buku terkesan “pelit” meminjamkan buku-bukunya adalah karena kenyataan orang yang meminjam tidak bisa menjaga dan merawat buku sebaik dia menjaganya.

Umberto Eco, seorang ilmuwan dan pakar semiotika yang diakui secara internasional, memiliki 36.000 (tiga puluh enam ribu) buku dalam koleksi perpustakaan pribadinya. Tetapi dia tidak mengizinkan orang lain meminjam bukunya. Jika ada orang yang membutuhkannya, orang itu harus membaca bukunya di ruang perpustakaan dan tidak boleh membawanya keluar.

Apakah Umberto Eco pelit? Bagi orang yang bukan kutu buku, mungkin hal semacam itu akan terkesan pelit. Tetapi bagi para kutu buku, perilaku Umberto Eco adalah hal wajar—sebentuk kecintaan dalam menjaga buku-buku miliknya. Nah, kalau Umberto Eco yang memiliki 36.000 buku saja masih merasa berat meminjamkan bukunya, apalagi para kutu buku lain yang “hanya” memiliki seribu atau dua ribu buku?

Ini bukan soal pelit atau murah hati—ini soal cinta. Sekali lagi, hal semacam ini memang sulit dipahami orang yang bukan kutu buku. Tetapi cobalah bayangkan ilustrasi ini.

Kau punya teman yang tergila-gila pada bonsai. Temanmu menghabiskan uang sampai puluhan juta untuk bonsai-bonsai koleksinya, dan ia merawat serta menjaga bonsai-bonsai itu dengan sepenuh hati, sepenuh cinta. Nah, suatu hari, dengan alasan untuk dapat menikmati bonsainya, kau bermaksud meminjam salah satu bonsai milik temanmu. Apakah mungkin temanmu akan mengizinkannya?

Meminjam bonsai…? Mungkin terdengar konyol. Tetapi kenyataan semacam itu pula yang terjadi kalau kita meminjam buku dari seorang pecinta buku. Sama-sama terdengar konyol.

Bagi orang yang bukan pecinta bonsai, mungkin bonsai hanya bagian dari koleksi tanaman. Kalau bonsai itu rusak atau hilang, mungkin dia tak akan terlalu berduka, karena masih memiliki tanaman lainnya, atau dia bisa membeli koleksi bonsai lainnya. Tetapi bagi pecinta bonsai sejati, ia tak hanya sekadar benda koleksi, tetapi lebih merupakan kecintaan. Bagi seorang pecinta, apa pun yang dicintainya bukan sekadar “benda”, melainkan “wujud cinta”.

Di acara-acara pameran buku besar, semisal Jakarta Book Fair, kita mungkin sudah biasa menyaksikan orang-orang yang datang ke acara itu dengan membawa tas gunung atau ransel besar. Sewaktu mereka datang, tas-tas itu masih kosong. Tetapi sewaktu pulang, tas-tas mereka sudah penuh terisi buku.

Di Frankfurt bahkan lebih “parah” lagi. Setiap kali pameran buku internasional diadakan di Frankfurt, orang yang datang ke sana tidak lagi membawa ransel atau tas gunung, tetapi pick up. Sewaktu datang, pick up mereka masih kosong. Sewaktu pulang, pick up mereka nyaris tak kelihatan karena tertimbun buku.

Bagi orang yang bukan kutu buku, perilaku membeli buku sebanyak itu mungkin akan dianggap aneh. Buat apa membeli buku sebanyak itu? Tetapi bagi para kutu buku, buku-buku yang mereka dapatkan itu tidak hanya bernilai sebagai benda, melainkan lebih menyerupai harta karun.

Masih ingat cerita tentang Bung Hatta yang saya tuliskan di post sebelumnya? Bagi Bung Hatta, buku bukan hanya sekadar benda koleksi—buku adalah cinta. Jika kau melukai bukunya, kau telah melukai hatinya. Bahkan bagi para pecinta buku, perlakuan yang tidak baik terhadap buku pun dapat melukai perasaan mereka—tak peduli milik siapa pun buku itu.

Ada seorang teman (saya tak perlu menyebutkan namanya), yang putus dengan pacarnya gara-gara si pacar membanting buku di hadapannya. “Itu perilaku yang tak bisa dimaafkan,” katanya. “Jika dia membanting ponsel atau benda lain karena marah, mungkin aku masih bisa memaafkan. Tetapi melempar buku… ya Tuhan, itu perilaku manusia tak beradab. Aku tidak bisa menjalin hubungan dengan orang semacam itu.”

Sekali lagi, buku mungkin bagian dari bentuk benda—tak jauh beda dengan benda lainnya yang ada di dunia. Tetapi bagi para pecintanya, buku adalah wujud cinta.

Kalau boleh menggunakan analogi yang sedikit kurang ajar, ini sebenarnya tak jauh beda dengan diri kita—kau, ataupun saya. Bagi manusia yang lain, mungkin saya hanyalah manusia biasa, tak jauh beda dengan manusia lainnya. Tetapi bagi pacar saya, diri saya bukan hanya sekadar manusia sebagai manusia, melainkan wujud cintanya. Pacar saya bisa ngambek tujuh hari tujuh malam jika dia memergoki saya dipeluk cewek lain—apalagi kalau saya sampai “dirusak” oleh cewek itu. :D

Karenanya, sekali lagi, bagi para pecinta buku, sebuah buku bukan hanya sebentuk benda bernama buku—ia adalah wujud cinta. Jika kita bisa memahaminya, itu sungguh baik. Tetapi jika kita tidak bisa memahaminya, well, cinta memang terkadang tak bisa dipahami. Jadi maklumi saja.

Dan para kutubuku akan mewarisi bumi.
Bill Gates

 
;