Rabu, 08 September 2010

Laila Majnun: A Love Story (3)

Upaya menyembuhkan anaknya ternyata sia-sia, dan Qais tidak juga menjadi waras. Dia semakin ‘gila’, dan Qais pun kemudian kembali hidup mengasingkan diri di padang gurun tandus seperti dulu.

“Setiap hembusan angin membawa harummu untukku. Setiap kicauan burung mendendangkan namamu untukku. Setiap mimpi yang hadir membawa wajahmu untukku. Setiap pandangan menampakkan bayanganmu padaku. Aku milikmu, aku milikmu, jauh maupun dekat. Dukamu adalah dukaku, seluruhnya milikku, di mana pun kau tertambat...”

Tahun demi tahun berlalu, dan takdir tidak juga mempertemukan Qais dengan pujaan hatinya. Sementara itu, seorang lelaki bangsawan, Ibnu Salam, melamar Laila. Kedua orangtua Laila tak mampu menolak, dan daripada anaknya harus jatuh pada Majnun, mereka pun memilih menikahkan putrinya dengan sang bangsawan. Maka hari pernikahan pun kemudian ditentukan, dan acara itu diselenggarakan secara besar-besaran dengan dihadiri seluruh kabilah di jazirah Arab.

Laila merasa dirinya telah menjadi pengkhianat. Sebagai perempuan, dia merasa tidak bisa menentang kehendak orangtuanya. Tetapi sebagai manusia, dia merasa memiliki hak untuk menentukan jalan hidupnya, menentukan arah hati dan cintanya. Dan menikah dengan Ibnu Salam, laki-laki bangsawan yang terhormat itu, benar-benar membuat jiwa Laila merasa terluka. Kemerdekaan cintanya terenggut, napas kasihnya ditenggelamkan, dan setiap kali mengingat Qais, Laila pun tak kuasa menahan air matanya.

Sebagai bukti tulus cintanya kepada sang Kekasih, kepada Qais, Laila pun menolak disentuh oleh suaminya sendiri. Melakukan persentuhan dengan Ibnu Salam benar-benar membuat Laila merasa sangat berdosa dalam pengkhianatannya. Karena itu, meski telah sah menjadi istrinya, Laila mengancam akan bunuh diri jika Ibnu Salam mencoba menyentuhnya.

Dalam hatinya, Laila menjerit, “Cinta berteriak kepadaku di dalam hatiku; 'Larilah selagi kau bisa, terbanglah keluar dari jurang ayahmu ini, dari penjara suamimu ini!' Tapi kemudian akal sehatku memperingatkanku; 'Jangan, terbang jauh hanya akan mengundang aib. Kau harus tinggal dan tunduk kepada takdirmu!'”

Di hamparan padang gurun yang tandus, Qais mendengar kabar pernikahan kekasihnya. Hatinya hancur, dan kehidupan seolah kehilangan cahaya.

“Aku adalah pasir yang kauinjak di bawah kakimu, sementara kau adalah air kehidupan... tapi air kehidupan siapa? Aku bersujud di hatimu sementara tanganmu memeluk... memeluk siapa? Aku bahkan mendapatkan kecelakaan darimu, sementara kau membelai... membelai siapa? Bebanmu ada di pundakku, tapi bagaimana denganmu? Anting siapa yang tergantung di telingamu? Kau adalah tujuanku, kepadamu aku menghadapkan hidupku, tapi apakah aku ini bagimu?

“Kau adalah penyembuh bagi semua yang salah pada diriku, namun pada saat yang sama kau adalah penyakitku! Kau adalah anggur dalam cawanku, namun tidak menjadi milikku...

“Kau adalah surga, kuyakini itu. Namun aku tidak dapat menemukan kunci untuk membuka gerbangnya! Kau adalah milikku, namun bukan milikku. Kau adalah langit, namun begitu jauh, hingga bisa jadi kau adalah neraka beserta seluruh siksanya!

“Demi Tuhan, tahukah kau, apa yang dilakukan nafsu pada jiwa seperti milikku? Kecemburuan membiakkan pikiran jahat dan kecurigaan. Kau tahu betapa aku merindukan untuk dekat denganmu, betapa aku mencemburui bahkan nyamuk terkecil yang hinggap di kulitmu. Namun bagi pikiran seorang pecinta yang kesurupan, nyamuk itu berubah menjadi seekor burung nasar; hingga demam menyelimutiku dan aku tidak dapat beristirahat hingga bayangan nasar itu menghilang dari pikiranku...

“Dalam menantimu usiaku berkurang, bibirku memucat dan mataku terbutakan air mata. Kau tidak dapat membayangkan segila apa, semajnun apa, aku sekarang. Demi dirimu, tidak hanya aku telah kehilangan dunia, aku pun telah kehilangan diriku...”

Lanjut ke sini.

 
;