Jumat, 29 Oktober 2010

Kepada Para Pembakar Buku



Dort, wo man Bucher verbrennt, verbrennt man auch am Ende—Kapan mereka membakar buku, pada akhirnya mereka akan membakar manusia.
—Heinrich Heine, Almansor, 1821


Setiap kali terjadi aksi pembakaran buku, yang selalu menyedihkan bukan hanya api yang menyala menghanguskan buku-buku itu, melainkan juga api yang menyala di dalam dada para pembakarnya. Aksi pembakaran buku, sejak zaman sebelum Masehi sampai era modern, selalu, selalu, selalu… dilandasi kepentingan politik.

Bukalah album sejarah, dan kita akan melihat bahwa motif politik selalu menjadi latar belakang mengerikan dari hampir setiap aksi pembakaran buku yang terjadi di muka bumi ini.

Pada masa Tiongkok kuno, sejak tahun 231 Sebelum Masehi, Menteri Li Si menyarankan Kaisar Qin Shi Huang untuk memerintahkan pembakaran buku-buku filsafat dan sejarah yang berasal dari luar negara Qin. Aksi pembakaran buku itu bahkan disusul dengan penguburan hidup-hidup sejumlah besar intelektual yang tidak mematuhi perintah negara tersebut.

Pada tahun 25 Masehi, Senator Aulus Cremutius Cordus menulis buku berjudul History, yang isinya memuji Brutus dan Cassius, yang membunuh Julius Caesar. Karena buku itu, Aulus Cremutius Cordus dipaksa bunuh diri, sementara buku karyanya dibakar atas perintah senat, karena dinilai terlarang oleh lex majestatis.

Pada tahun 1233, buku-buku filsafat karya Maimonides, Guide for the Perplexed, juga dibakar di Kota Montpellier, Prancis Selatan—dan lagi-lagi karena motif politik. Sembilan tahun setelah itu, pada tahun 1242, raja Prancis memerintahkan pembakaran semua kitab Talmud Yahudi di Paris, setelah buku itu dinyatakan “bersalah” dalam sebuah sidang pengadilan.

Pada tahun 1490, sejumlah kitab suci Yahudi dan buku-buku Yahudi dibakar dalam masa Inkuisisi Spanyol. Lalu pada tahun 1499, sekitar 5000 naskah berbahasa Arab dibakar di lapangan terbuka di Granada, atas perintah Ximenes de Cisneros, uskup Toledo.

Satu abad kemudian, buku-buku karya pengarang keturunan Yahudi termasuk di antara ribuan buku yang dibakar oleh kaum Nazi Jerman di Opernplatz, Berlin. Sejarah mencatat, kaum Nazi kemudian membunuh banyak orang Yahudi Eropa selama masa Perang Dunia II.

Pada Mei 1981, Perpustakaan Umum Jaffna di wilayah utara Sri Lanka dibakar oleh polisi Sri Lanka berpakaian preman, dan sekitar 95.000 buku, termasuk buku-buku kuno berbahasa Tamil, musnah dilalap api. Pembakaran tersebut disinyalir terkait dengan pemberontakan suku Tamil terhadap pemerintah yang didominasi oleh suku Sinhala.

Pada Mei 2008, sejumlah besar kitab Injil Perjanjian Baru dibakar di Kota Or Yehuda, Israel. Tragisnya, pembakaran itu diorganisasi oleh wakil wali kota Uzi Aharon dari Partai Shas yang radikal. Meskipun aksi itu melanggar UU Israel terkait dengan pembakaran benda-benda religius, tidak ada protes yang berarti.

Dan baru kemarin, di Indonesia terjadi aksi yang sama, pembakaran buku, juga dengan motif yang sama. Api yang menyala di dada para pembakar buku, sama memilukannya dengan api yang membakar buku-buku itu.

….
….

Sebenarnya, kalau mau jujur, tidak ada manfaat apa pun yang bisa diambil dari aksi pembakaran buku. Orang boleh membakar buku-buku, tetapi orang tidak bisa membakar pemikiran yang pernah tertulis di sana. Orang boleh memenjarakan bahkan membunuh penulisnya, tetapi orang tidak bisa memenjarakan atau membunuh pikiran manusia. Kapan pun buku dibakar, ia hanyalah simbolisme dari amarah, kebencian, dan fanatisme yang membuta.

Aksi pembakaran buku menunjukkan betapa sempitnya hati dan pikiran para pembakarnya, karena mereka melakukan pekerjaan sia-sia, seperti wanita dungu yang memintal benang di siang hari, tapi kemudian merusakkannya di malam hari. Pembakaran buku hanya membuat orang-orang yang tidak tahu jadi tertarik pada buku itu, dan kemudian berupaya untuk dapat membacanya. Pembakaran buku tak pernah mampu membungkam isinya—ia malah hanya membukakan rahasia-rahasianya.

Hidup di zaman beradab, mengapa tidak melakukan aksi yang lebih beradab atas buku-buku itu? Mengapa harus mengangkat pedang untuk melawan pikiran? Mengapa harus menggunakan api untuk melawan kata-kata? Kalau tidak setuju dengan isi sebuah buku, tulislah buku sendiri yang melawan buku itu, dan biarkan pembaca yang menilainya—biarkan masyarakat memilih mana yang benar dan mana yang keliru. Tesis membutuhkan antitesis untuk melahirkan sintesis—bukan api dan pembakaran, bukan kemarahan, bukan kebencian, bukan pula fanatisme.

Ketika api membakar buku-buku yang dianggap salah, kita sebenarnya sedang mencederai nalar dan kemampuan manusia dalam menilai benar dan salah, seolah manusia hanya seonggok daging yang tak bisa berpikir. Lebih dari itu, api yang menjilat buku-buku yang dibakar selalu meniupkan prasangka bahwa pembakaran itu dilandasi oleh ketakutan, oleh sesuatu yang tak ingin diungkapkan.

….
….

Di dalam peribahasa Arab, buku disimbolkan sebagai tali pengikat, ia mengumpulkan dan menyatukan ilmu pengetahuan yang terserak di mana-mana. Buku menjadi kendali atas laju pengetahuan yang semakin hari semakin cepat. Kehadirannya mengisi ruang kosong yang selama berabad-abad hanya diisi penuturan verbal dari generasi ke generasi.

Tetapi buku bukanlah tongkat Musa yang digdaya dengan sendirinya. Buku tak lebih dari sekadar media. Nalar dan logika manusialah yang menjadi pemeran utamanya, nyawa sekaligus isinya. Karena logika manusia tidak tunggal, keragaman tafsir dan perbedaan paham dalam membaca sebuah buku menjadi sesuatu yang niscaya.

Dan... perbedaan tafsir terhadap sebuah buku tidak seharusnya disikapi dengan aksi pemusnahan, apalagi pembakaran. Kebenaran bukanlah materi yang akan sirna ketika sebuah buku dimusnahkan. Ilmu pengetahuan adalah darah yang mengalir dan akan terus mengalir dalam tubuh para pecinta dan pembaca buku. Bahkan keingintahuan dan simpati akan muncul atas sesuatu yang dimusuhi, ditepikan, dan dihindari, termasuk buku.

Tidak ada paradigma ilmu pengetahuan yang tak berubah. Semuanya berevolusi. Ilmu pengetahuan terus-menerus berkembang sejalan usia kehidupan manusia yang tak pernah berhenti. Sesuatu yang dihujat di satu masa mungkin akan dipuja di masa selanjutnya; yang dipuja di suatu waktu tidak menutup kemungkinan akan dihujat di waktu yang lain. Buku menjadi salah satu, jika bukan yang utama, media yang mengarsipkan mozaik perkembangan dan keragaman ilmu pengetahuan.

Buku adalah penanda sejarah, prasasti tertulis yang tak tergantikan dalam arus budaya dan alur ilmu pengetahuan manusia. Buku adalah tali sambung peradaban yang terlewat dengan peradaban mendatang. Karena buku adalah monumen suci yang melestarikan ilmu pengetahuan dan mencatat kronik peradaban manusia, maka pembakaran terhadapnya bisa dianggap sebagai kejahatan, sebuah tragedi.

….
….

Manusia disebut manusia karena ia hidup dengan cara yang beradab. Peradaban manusia dibentuk oleh pengetahuan, pengalaman, wawasan, kebudayaan, yang kesemuanya terkristal dalam lembar-lembar buku. Ketika manusia membakar buku, hakikatnya, ia sedang membakar kemanusiaannya sendiri.


 
;