Minggu, 03 Oktober 2010

Menyoal Buku Motivasional (2)



Penyebab ketiga mengapa orang sampai membenci buku motivasional adalah karena “kesalahpahaman” dalam memahami isinya. Kebanyakan buku motivasional mengajarkan pentingnya berpikir positif. Nah, kadang-kadang orang salah paham dengan ajaran ini. Kebanyakan pembenci buku motivasional menganggap bahwa hidup ini bisa diselesaikan dengan hanya berpikir positif. Padahal tidak sesederhana itu maksudnya.

Bayangkanlah kau berada di sebuah pesawat yang sedang terbang di udara. Sebagai penumpang, tentunya kau berharap perjalananmu selamat sampai di tempat tujuan. Nah, ketika pesawat sedang melaju, tiba-tiba kau dan seluruh penumpang lain merasakan guncangan yang amat keras. Badan pesawat oleng, terhempas kesana-kemari, dan kau pun merasa berdebar-debar, bahkan ketakutan setengah mati.

Apa ucapan pilot yang waktu itu ingin kaudengar…?

Apakah kau ingin mendengar pilot mengatakan, “Kita semua akan mati, Saudara-saudara! Pesawat kita dihantam badai yang amat kuat, dan saya tidak mampu mengendalikan pesawat ini lagi! Bersiap-siaplah untuk mati!”

Ketika berada dalam situasi semacam di atas, apakah ucapan semacam itu yang ingin kaudengar? Tentunya tidak! Dalam kondisi yang semenakutkan apa pun, kau tetap ingin mendengar suara yang positif, harapan bahwa semua orang akan dapat melewati guncangan itu dengan baik. Tentunya kau ingin mendengar pilot itu menyatakan, “Tenang, Saudara-saudara! Kencangkan sabuk pengaman. Pesawat kita dihantam badai, tetapi kita akan bisa melewatinya!”

Nah, fungsi buku-buku motivasional adalah semacam itu. Yakni menuntun dan mengajak pembacanya untuk berpikir serta melihat hal-hal positif dalam hidup, tak peduli sepahit apa pun kenyataan yang dihadapi.

Di situlah letak fungsi “berpikir positif”. Mungkin memang tidak menyelesaikan masalah—tetapi menempatkan kita pada posisi terbaik dalam menghadapi masalah. Saya ulangi, berpikir positif mungkin memang tidak menyelesaikan masalah—tetapi menempatkan kita pada posisi terbaik dalam menghadapi masalah.

Buku-buku motivasional tidak bisa menyelesaikan permasalahan hidup kita—ia hanya membantu kita menempatkan diri dengan lebih baik dalam menghadapi masalah-masalah dalam hidup. Karenanya, kalau kau berharap bisa menyelesaikan semua persoalan hidup dengan hanya membaca buku-buku motivasional, kau keliru. Buku-buku semacam itu bukanlah resep instan untuk mengatasi masalah, melainkan hanya tuntunan dalam menghadapi masalah. Lebih dari itu, membaca buku-buku motivasional tidak berarti bahwa masalah hidup akan berhenti.

Jadi, sekali lagi, tempatkan buku pada proporsinya yang tepat, yakni sebagai sarana belajar. Dalam proses belajar, seorang murid tidak selalu harus sepakat dengan gurunya—seorang pembaca tidak selalu harus setuju dengan apa yang dibacanya. Kadang-kadang diperlukan waktu lebih lama untuk memahami apa yang benar.

Kemudian, penyebab keempat yang membuat orang kadang ilfil dengan buku-buku motivasional, adalah karena pada masa sekarang buku-buku tersebut banyak digunakan para aktivis bisnis MLM (multi level marketing).

Saya tidak bermaksud menyinggung atau pun mempersoalkan bisnis MLM. Namun, karena banyaknya buku motivasional yang menjadi “pegangan” para aktivis bisnis MLM, maka orang-orang pun jadi mengidentikkan buku motivasional dengan aktivis MLM. Sementara itu, “agresivitas” para anggota MLM dalam merayu dan merekrut anggota baru sudah menjadi rahasia umum yang dianggap meresahkan.

Siapa pun tahu, jika kau punya teman yang bergabung dengan sebuah perusahaan MLM, maka si teman itu akan terus “mengejar-ngejarmu” sampai kau ikut bergabung dengannya dalam usaha MLM itu. Sebelum kau “menyerah” dan ikut bergabung dengannya, dia akan terus mengejarmu, tak peduli apakah kau suka atau tidak. Kenyataan semacam ini sudah menjadi rahasia umum, dan banyak pihak yang meresahkannya, karena dianggap mengganggu.

Nah, yang menjadi masalah—konteksnya dengan topik ini—para aktivis MLM itu seringkali mendasarkan “dalil-dalil rayuannya” dengan menggunakan buku-buku motivasional. Akibatnya, buku-buku motivasional pun kemudian diidentikkan dengan para aktivis MLM. Karena banyak orang yang merasa terganggu dengan agresivitas anggota MLM, maka tanpa sadar mereka pun jadi ikut membenci buku-buku motivasional yang dianggap sebagai “kitab sucinya” anggota MLM.


 
;