Kamis, 17 Februari 2011

Konsep Kebahagiaan



Dua puluh abad yang lampau, Epictetus di Romawi telah merumuskan salah satu konsep untuk hidup bahagia. “Hanya ada satu jalan menuju kebahagiaan,” kata Epictetus, “dan jalan itu tidak lain adalah membuang rasa sedih akan hal-hal yang di luar jangkauan kemampuan kita.”

Kehidupan ini sering kali menjadi begitu berat dan terasa sangat menekan, karena kita terbiasa menghabiskan energi hanya untuk bersedih atas hal-hal yang berada di luar jangkauan kita.

Banyak orang yang tidak bisa merasakan kebahagiaan karena hidupnya hari ini dibebani oleh masa lalu atau hari kemarin. Ada banyak orang yang masih saja mengingat-ingat kesalahannya di masa lalu yang tak bisa dibenahi lagi. Ada pula yang terus saja menangisi kegagalannya di hari kemarin meski kegagalan itu tak bisa lagi diperbaiki.

Orang-orang semacam ini mungkin perlu mendengar apa yang dikatakan Charles F. Kettering, seorang jenius penemu yang hebat, “Saya tidak berminat pada masa lalu. Saya hanya tertarik pada masa depan, karena di sanalah saya berharap untuk menghabiskan sisa hidup saya.”

Selalulah untuk berprinsip ‘Selesaikan hari ini dan putuskan’. Kita sudah mengerjakan apa yang dapat kita kerjakan hari ini. Beberapa kesalahan dan kekhilafan mungkin saja masuk ke dalamnya, tetapi lupakanlah semuanya itu sesegera mungkin. Esok adalah hari baru, mulailah dengan baik dan dengan cerah dan dengan semangat yang tinggi, hingga kita tak punya waktu untuk mengingat-ingat kegagalan yang kemarin. Hari ini bagus dan adil. Terlalu sayang jika kita memboroskannya hanya untuk menyesali waktu untuk hari-hari kemarin.

Raja George V memasang papan bertuliskan kata-kata peringatan pada dinding perpustakaannya di Istana Buckingham. Kata-kata yang tertulis di papan peringatan itu berbunyi, “Ajarilah aku untuk tidak merindukan bulan, atau menangisi susu yang telah tumpah”.

Betapa bijaksananya kata-kata itu. Itu adalah kata-kata yang mengungkapkan esensi dari tujuan hidup bahagia. Merindukan bulan adalah mengharapkan sesuatu yang tidak jelas, yakni hari esok, masa depan, yang wujudnya pun belum pernah kita lihat. Menangisi susu yang telah tumpah adalah menyesali hari-hari kemarin, masa lalu, yang sudah tidak dapat kita benahi lagi, karena untuk kembali ke satu detik yang lalu pun tak ada manusia yang bisa melakukannya.

Menghabiskan hari ini untuk merindukan bulan atau menangisi susu yang telah tumpah tentu membuat hari ini jadi tak bermakna apa-apa. Satu-satunya cara agar bisa menjadikan setiap hari yang kita lewati menjadi berharga sekaligus bermakna adalah menyadari, benar-benar menyadari, bahwa kita hidup di hari ini, dan berusaha sebisa-bisanya untuk mengisi serta menikmatinya.

Biarkanlah bulan tetap bersinar tanpa harus dirindukan, dan biarkanlah susu yang telah tumpah tanpa harus terus ditangisi.


 
;