Sabtu, 14 Januari 2012

The History of Love (3)

Bagi cinta, keindahan dan kebenaran, tak ada kematian ataupun perubahan.
Di manakah cinta, keindahan dan kebenaran yang kita cari?
Percy Byshe Shelley


Chapter 3

Dalam hal mempertemukan dua hati anak manusia, alam semesta benar-benar memiliki selera humor yang aneh. Setelah perjumpaan di konter buku itu, mereka berdua jadi lebih akrab, dan mulai intens berkomunikasi. Mereka bertukar nomor ponsel, dan ada banyak malam yang mereka habiskan untuk mengobrolkan banyak hal. Pertemuan demi pertemuan menyenangkan pun mereka nikmati, dan bintang-bintang di langit masih menari.

“Kau tahu,” ujar si laki-laki suatu hari, “dulu aku percaya manusia diciptakan dari tanah liat. Tetapi, setelah bertemu denganmu, aku jadi meragukannya.”

“Kenapa?” tanya si perempuan dengan tertarik.

“Yeah, aku tidak percaya kau diciptakan dari tanah liat. Sepertinya, kau diciptakan dari lilin, atau dari keramik.”

Si perempuan tertawa. Dan, entah mengapa, si laki-laki selalu merasakan debar kebahagiaan setiap kali melihat perempuan itu tertawa bersamanya.

Si laki-laki merasa menemukan perempuan yang tepat, dan si perempuan merasa menemukan laki-laki yang tepat. Orang-orang menyatakan itulah soulmate. Tetapi orang-orang bijaksana tahu, bahwa Adam dan Hawa belum waktunya menikmati surga. Akan ada apel terlarang—dan di situlah letak selera humor aneh alam semesta.


Chapter 4

Hari itu si perempuan berulang tahun, dan mereka berjanji untuk merayakannya berdua. Malam harinya, si laki-laki datang memenuhi janji mereka, dan membawa sesuatu yang ia harapkan dapat membahagiakan si perempuan.

“Apa ini?” tanya si perempuan saat menerima bungkusan yang dibawakan si laki-laki.

Si laki-laki tersenyum. “Bukalah.”

Si perempuan membuka bungkusan itu, dan seketika matanya berbinar. Dua buah buku tergeletak di hadapannya. “Ya Tuhan,” pekiknya lirih. “Sudah lama aku mencari-cari dua buku ini. Bagaimana kau bisa tahu?”

“Ingat waktu kita bertemu di konter buku dulu?” sahut si laki-laki. “Aku melihatmu membeli buku-buku yang ditulis orang itu. Jadi kupikir, kau akan suka dengan dua buku ini.”

“Aku suka sekali!” ucap si perempuan dengan sorot kebahagiaan yang sulit disembunyikan. “Aku sudah mencari-cari dua buku ini kemana-mana, tapi tak pernah ketemu. Di mana kau bisa mendapatkannya?”

Seharusnya aku berbohong, pikir si laki-laki. Tetapi bibirnya sudah menjawab, “Aku… aku mendapatkan dari penerbitnya.”

Perempuan itu mengangguk, kemudian dengan antusias mulai membuka buku itu. Sekali lagi ia terpekik, “Oh, Tuhan! Kau juga mendapatkan tanda tangan penulisnya!”

Aku telah berbuat kesalahan, pikir si laki-laki. “Uh, yeah…”

“Bagaimana… Bagaimana kau bisa melakukannya…?!” si perempuan makin antusias—ia tak pernah membayangkan akan mendapatkan anugerah semacam itu. “Bagaimana kau bisa mendapatkan tanda tangannya?”

Si laki-laki kebingungan. Seharusnya ini tak terjadi, pikirnya. “Aku… yeah, aku menandatanganinya…”

“Kau…?” Detik itulah si perempuan baru menyadari kesalahannya. Potongan demi potongan adegan yang telah mereka lalui selama ini tiba-tiba berhamburan dari memorinya, seperti serombongan kupu-kupu yang beterbangan dari sebuah rumpun bunga. Dan potongan demi potongan adegan itu kini menyatu, mengkristal dalam benaknya, dan menghadirkan kesadaran baru yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya. Seperti puzzle, kini semua potongan jatuh di tempatnya masing-masing.

“Ya Tuhan!” pekik perempuan itu dengan lirih sambil menatap si laki-laki. “Jadi kaulah orangnya…!”

Si laki-laki tersenyum kikuk menyaksikan ekspresi si perempuan. “Hei, apa yang kaupikirkan sekarang?”

Si perempuan menjawab dengan spontan, “Oh, aku… rasanya aku ingin memelukmu!” Dan ia memang ingin melakukan itu—sejujurnya. Tetapi ketika bangkit dari duduknya, tiba-tiba ia pun teringat seseorang yang lain—seorang laki-laki yang kini jauh darinya, yang telah mengikat mereka berdua dengan sebuah cincin yang kini melekat di jari manisnya.


Chapter 5

Di sudut restoran yang hening, mereka duduk berhadapan, dipisahkan sebuah meja bundar dengan dua lilin redup di atasnya. Pelayan telah mengambil sisa-sisa makan, dan kini dua orang itu tengah saling menatap, mesra, dan si perempuan sedikit salah tingkah.

“Aku tahu,” kata si laki-laki dengan perlahan, “aku tahu tak layak menyatakan hal itu kepadamu. Aku hanya ingin kau tahu.”

Si perempuan mengangguk. Tampak binar mata yang sulit disembunyikan di lingkar wajahnya.

“Dia pria yang beruntung,” sambung si laki-laki.

“Begitu pun wanita yang kelak akan kautemukan,” sahut si perempuan.

Si laki-laki menggeleng perlahan, dan tersenyum. Ia menyesap sisa minuman di gelasnya, meletakkannya kembali di atas meja, kemudian menatap perempuan di hadapannya.

Betapa perempuan ini telah membuatku jatuh cinta, pikir si laki-laki. Ia tak pernah tahu masih memiliki perasaan itu di hatinya, ia tak pernah yakin akan dapat jatuh cinta lagi. Dan perempuan ini telah membuktikan kepadanya, bahwa ia masih memiliki cinta—dan ia telah memberanikan diri untuk menyatakannya.

Tetapi mereka bertemu pada waktu yang salah, kata si perempuan. Ya, mereka bertemu pada waktu yang keliru, waktu yang seharusnya tidak digunakan alam semesta untuk bermain-main dengan dua hati anak manusia. Si perempuan telah terikat dengan seseorang—dan si laki-laki tahu bahwa dia maupun si perempuan tidak ingin merusakkannya.

“Hei, apa yang kaupikirkan?” ucap si perempuan sambil menyentuh tangan si laki-laki.

Si laki-laki mencoba tersenyum. “Tidak apa-apa.”

“Sepertinya, aku telah banyak bercerita tentang hidupku. Sekarang aku ingin mendengar ceritamu.”

“Kau tidak ingin mendengarnya.”

“Oh, ayolah, aku ingin sekali mendengarnya. Ceritakan tentang dirimu.”

Si laki-laki mendesah tertahan, dan bibirnya bergetar. Ia tahu, cepat atau lambat hal ini akan terjadi. Jadi ia pun mulai bercerita, dan si perempuan mendengarkannya.

Malam itu, di sudut restoran yang hening itu, si laki-laki merasa terbang ke masa lalu, membongkar kenangan demi kenangan yang telah terkubur debu, dan menuturkannya dengan lancar seolah semuanya tertulis dalam buku. Cerita tentang luka, tentang cinta, tentang kisah kelam dan sejarah panjang… Kisah yang ingin ia kuburkan selamanya, kisah yang sekarang ia bangkitkan dari kuburnya.

Malam itu, bintang-bintang di langit berhenti menari, dan alam semesta berputar ke masa sebelumnya. Si perempuan duduk terpekur di kursinya, bersama nyala lilin yang makin redup di dekatnya, bersama suara si laki-laki yang terdengar makin sayup—mengisahkan sejarah panjang penuh luka...

...sejarah panjang tentang cinta.

 
;