Kamis, 20 September 2012

Tato di Punggung Jupe, dan Era Baru Animisme

Animisme sedang berulang. Berhala kembali
disembah. Dan, kali ini, berhala itu bernama pencitraan,
spektrum media, dan gaya tanpa dosa.
@noffret


Jujur, saya benci menulis catatan ini. Saya sudah pernah menulis tentang Jupe, dan saya telah berjanji pada diri sendiri untuk tidak akan pernah lagi menulis tentang perempuan itu. Tapi saya benar-benar gatal kali ini, hingga merasa tak mampu menghentikan pikiran yang menggerakkan jari-jari saya menari di atas keyboard dan menulis catatan ini. Menulis tentang Jupe, kau tahu, adalah hal terakhir yang ingin saya lakukan. Tapi sekarang saya lakukan. Karena gatal.

Perempuan itu—maksud saya, Jupe—baru-baru ini bikin heboh lagi. Kali ini melalui tato aneh di punggungnya. Saya katakan aneh, karena tato itu berbahasa Arab, berbentuk kaligrafi, dan berbunyi “khaya’alal falaakh”. Kita tahu, kalimat berbahasa Arab itu adalah salah satu bagian seruan adzan yang ditujukan untuk kaum muslim ketika datang waktu shalat. Jika tato semacam itu terdapat di punggung Mamah Dedeh, mungkin saya tidak akan terkejut. Tapi Jupe…?

Apa motivasi Jupe menerakan tato semacam itu di punggungnya? Demi Tuhan, apa yang menggerakkan Julia Perez yang semlohay itu hingga memilih kaligrafi Arab sebagai tato penghias punggungnya?

Sejak pertama kali mengetahui berita tentang tato aneh itu, saya sudah mencoba diam dan memikirkannya secara mendalam. Dengan segala kebijaksanaan yang (mungkin) saya miliki, saya berusaha semampunya untuk dapat memahami Jupe, dan tidak buru-buru menghakimi apalagi sampai menyalahkannya. Tapi demi Tuhan dan demi para malaikat yang suci, saya tetap tidak bisa memahami, bagaimana bisa tato berbahasa Arab itu mejeng di punggung Jupe.

Tidak lama setelah umrah (oh, well, Jupe juga umrah), Julia Perez pernah menyatakan bahwa dia akan berusaha memperbaiki diri, yang salah satunya akan mulai berbusana agak tertutup—tidak ngablak seperti selama ini.

Soal busana tertutup atau ngablak, itu hak asasi setiap orang, toh kita hidup di negara Pancasila. Bahkan umpama Jupe keluyuran ke pasar dengan pakaian renang, saya tidak akan ambil pusing. Dan kalau kemudian Jupe tetap berbusana ngablak, meski ia telah berjanji akan berbusana tertutup, saya juga tidak peduli. Kau yang berjanji, kau yang mengingkari—biar Rhoma Irama menjadi saksi. Tapi tatonya itu…?

Saya telah memikirkan urusan tato di punggung Jupe itu hingga berhari-hari, bermalam-malam, dan tetap tidak berhasil menemukan alasan masuk akal. Satu-satunya alasan yang bisa saya bayangkan hanyalah bahwa tato itu merupakan upaya Jupe untuk membuat sensasi—tidak kurang, tidak lebih. Dan, sayangnya, sensasinya kali ini benar-benar keterlaluan, untuk tidak menyebut murahan.

Alasan apa lagi selain sensasi yang bisa kita bayangkan untuk tato berupa kaligrafi Arab di punggung seorang wanita seperti Jupe? Mungkin Jupe telah kehabisan akal untuk membuat sensasi lain, sehingga ia pun sampai menerakan tato semacam itu. Dalam pikiran Jupe, mungkin, tato berupa gambar kompor atau lambang bajak laut tidak akan menarik perhatian. Maka ia pun memilih tato berbahasa Arab. Ia bisa memperkirakan, pasti akan muncul banyak suara—dari sekadar protes sampai kehebohan—dan tujuannya untuk menciptakan sensasi pun tercapai.

Kenyataannya, yang diharapkan Jupe memang tercapai. Tato itu melahirkan sensasi, aneka macam publikasi, banyak orang meributkannya, bahkan saya pun sampai menulis catatan sialan ini.

Dan tato itu, kita tahu, bukanlah tato permanen. Setelah ribut-ribut mengenai tato itu terdengar dari segala penjuru, Jupe pun dengan enjoy menghapus tatonya. Ia tak butuh lagi tato itu, karena memang yang dibutuhkannya cuma sensasi, publikasi, dan kehebohan—sebagai jaminan bahwa namanya tetap dikenal, dikenang, dan terus dibicarakan orang.

Upaya Jupe menarik perhatian melalui tato itu pun kemudian melemparkan saya pada pemikiran yang lebih serius, bahwa kita memang begitu gandrung dengan segala kehebohan, tergila-gila pada popularitas, dan sedang menuju era baru animisme.

Beribu-ribu tahun yang lalu, ketika peradaban manusia masih sangat primitif, orang-orang memuja pohon besar, angin topan, matahari dan bulan, bahkan gelegar halilintar. Apa pun yang dianggap besar—entah wujudnya atau suaranya—akan disembah sebagai tuhan (saya sengaja menggunakan huruf t dan bukan T). Pada era animisme, penyembahan terhadap sesuatu yang dianggap tuhan tidak berdasar kenyataan, melainkan berdasar kesan—dari kesan kebesaran sampai kesan kebisingan.

Manusia pada era itu menyembah pohon-pohon besar karena wujudnya, menyembah halilintar karena suaranya, bahkan sebagian yang lain menyembah sesamanya karena dianggap istimewa. Pada masa itu, orang hidup di gua-gua, dan mereka rela mengorbankan apa pun demi tuhan-tuhan sesembahan mereka.

Sekarang, dalam konteks tak jauh beda, kita sedang mengulang era animisme semacam itu. Dan sekarang “penyembahan” kita tertuju pada sesama yang dianggap “besar”—entah besar beritanya, ataupun besar sensasinya. Kita tidak lagi menyembah pohon atau halilintar, tetapi kita menyembah sesuatu yang mirip mereka, yakni “besar” atau “bising”. Dalam era baru animisme sekarang ini pun, ada orang-orang yang sengaja ingin menjadi tuhan—bagaimana pun caranya.

Maka kita pun menyaksikan orang-orang sibuk membangun pencitraan, bocah-bocah sibuk mengenakan kostum pahlawan, sementara artis yang kehabisan akal kemudian menerakan tato di punggung demi kehebohan. Media dan publikasi menjadi ayat suci, popularitas telah menjelma sesembahan. Sekarang, yang paling penting bukan bagaimana dirimu, melainkan bagaimana pencitraanmu. Persetan dengan kejujuran atau integritas, karena sekarang yang paling penting adalah publikasi dan popularitas.

Dan menciptakan publikasi, kau tahu, jauh lebih mudah dibanding memegang kejujuran dan idealisme. Membangun popularitas jauh lebih mudah dibanding menjaga integritas. Bahkan setan pun tahu, kejujuran dan integritas merayap seperti ular, sementara publisitas dan pencitraan melesat seperti elang. Karena lebih mudah dicapai, sebagian orang lebih memilih membangun pencitraan daripada memegang kejujuran, lebih memilih menyembah popularitas daripada memeluk integritas.

Pepatah Arab menyatakan, “Kalau kau ingin terkenal, kencingi saja sumur zam-zam.” Dan tepat seperti itulah yang dilakukan sebagian kita—sekarang ini. Tak peduli bagaimana caranya, yang kita butuhkan adalah cepat terkenal. Dan cara yang sering kali mudah untuk itu adalah menciptakan kehebohan, bahkan yang paling tak masuk akal. Menjadi terkenal, di zaman ini, telah menjadi kebutuhan banyak orang.

Kenyataannya, popularitas atau nama terkenal memang akan memberimu banyak keuntungan. Kalau kau terkenal, kau bisa menjual sampah dan orang-orang akan antri membelinya. Kalau kau terkenal, kau bisa muntah di mana pun, dan orang-orang akan berdesakan menontonnya. Kalau kau terkenal, kau bisa mengatakan hal-hal paling tolol sekali pun, dan orang-orang akan khusyuk mendengarkannya. Kalau kau terkenal, oh well… kemungkinannya tak terbatas.

Dan popularitas, memang, telah menjadi sihir paling sakti di zaman ini. Orang-orang akan menyampaikan hormat kepadamu jika namamu terkenal, tak peduli serusak apa pun pribadimu. Kalau kau terkenal, orang-orang akan memujamu, bahkan menyembahmu dengan segala puja-puji seolah kau baru turun dari langit. Kalau kau terkenal, kau bisa membungkus kebohongan di balik kata-kata manis, dan orang-orang akan menjilatinya dengan rakus seperti kawanan anjing kelaparan.

Di zaman ini, menjadi terkenal tak jauh beda dengan menjadi tuhan, mungkin itu pikiran sebagian orang. Karenanya, mereka pun mencari segala cara untuk menjadi terkenal, menciptakan kehebohan, melahirkan sensasi dan publikasi, dengan cara yang beragam. Dan jika cara-cara yang dianggap lazim telah ketinggalan zaman, beberapa orang pun nekat menggunakan cara yang lebih gila. Misalnya dengan menerakan tato aneh di punggungnya.

Oh, well, selamat datang di era baru animisme.

Belajar Kepada Laron

Yang sulit dilahirkan, sulit pula ditiadakan.
@noffret


Berdasarkan perhitungan dan riset seputar kemampuan terbang, para pakar aerodinamika bersepakat bahwa laron, sebenarnya, tidak bisa terbang. Dengan sayap-sayapnya yang kecil, kata mereka, laron sebenarnya tidak bisa mengangkat tubuhnya untuk dapat terbang. Penjelasan tentang hal itu sangat rumit, berkaitan dengan ukuran sayap, mekanisme terbang, perhitungan berat tubuh, keseimbangan, dan lain-lain. Intinya, para ilmuwan penerbangan menyimpulkan bahwa laron “seharusnya” tidak bisa terbang.

Tapi kenyataannya laron bisa terbang. Kenapa...?

Mungkin, menurut saya, karena laron tidak pernah mengetahui riset itu! Dia hanya menginginkan terbang, dan persetan apa kata ilmuwan!

....
....

Oh, well, sekarang kita akan melihat bagaimana proses lahirnya seekor laron. Sebelum menjadi seekor laron yang utuh, hewan kecil itu dilahirkan sebagai larva (ulat), dan menjadi kepompong yang tinggal dalam selaput berleher sangat sempit. Untuk bisa menjadi seekor laron besar yang utuh, kepompong laron itu harus bisa keluar dari leher yang kecil dan sempit itu.

Jadi, bakal laron itu harus meronta-ronta dengan susah-payah untuk dapat keluar dari kepompongnya yang sangat sempit. Jika kita menyaksikannya—misalnya di laboratorium—mungkin kita tidak akan tega menyaksikan makhluk kecil yang lemah itu harus melakukan usaha besar dan sulit semacam itu.

Perasaan tidak tega itu pula yang pernah menghinggapi beberapa ilmuwan yang meneliti proses kelahiran laron. Karena bertujuan untuk memudahkan proses keluarnya laron dari celah sempit itu, beberapa ilmuwan pernah mencoba menggunting ujung selaput, dengan harapan si bakal laron tidak perlu susah-payah lagi untuk lahir. Proses itu memang memudahkan lahirnya si laron, tanpa dia harus banyak meronta dan berusaha. Tetapi, akibatnya, laron itu tidak bisa terbang!

Tidak sebagaimana laron lain yang begitu lahir segera bisa menggunakan sepasang sayapnya, laron yang kelahirannya dibantu seperti itu justru akan menggelepar-gelepar tak berdaya di atas meja laboratorium, tanpa pernah bisa menggunakan sayapnya. Setelah lahir beberapa hari, laron itu bahkan kemudian mati tanpa sempat menggunakan sepasang sayap hebat yang telah ditakdirkan untuknya.

Jadi, untuk dapat terbang dengan kedua sayapnya, laron memang harus menjalani proses meronta dan meloloskan diri dari leher kepompong yang sempit itu. Karena melalui proses “meronta dan lolos” itulah benda cair dipompa masuk ke dalam urat-urat sayap laron, yang memungkinkannya terbang apabila ia telah keluar!

Kita paham maksudnya? Para ilmuwan boleh berkumpul dan memuntahkan fatwa bahwa laron tidak bisa terbang. Tetapi laron tidak peduli. Ia meronta dan lolos, berjuang dan sukses... lalu terbang menertawakan ramalan para ilmuwan.

Keliru

Aku membuat sesuatu yang sangat indah, dan mengagumkan, setidaknya bagi pandanganku. Aku membuatnya hingga berhari-hari, berminggu-minggu, bahkan berbulan-bulan, hingga ia mewujud sesuatu yang mempesonakanku.

Aku memandanginya setiap hari, dengan penuh kekaguman, dan perasaan senang pada diri sendiri, karena mampu membuat sesuatu seindah itu.

Sampai kemudian, didorong rasa senang sekaligus bangga, aku membawanya kepada seorang bocah TK anak tetanggaku. Kupikir, jika dia menyukai hal itu, akan kuberikan kepadanya.

Bocah TK itu memandangi sesuatu yang kubuat, dan aku tak sabar menunggu komentarnya. Kemudian, di luar dugaanku, bocah itu dengan suara cadel menyatakan, “Itu buruk! Itu jelek!”

Mungkin dia benar. Aku yang keliru.

Sabtu, 15 September 2012

Penulis, Penerbit, dan Kasus Tak Terbayangkan (2)

Posting ini lanjutan post sebelumnya. Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik, sebaiknya bacalah post sebelumnya terlebih dulu.

***

Masalah itu semakin rumit, karena melibatkan pihak lain (Penerbit B) yang telah menerbitkan naskah milik V. Ketika V memberitahukan kasus itu pada Penerbit B, pihak dari Penerbit B pun keberatan jika ada penerbit lain (dalam hal ini Penerbit A) yang juga menerbitkan naskah sama milik penulis yang sama. Penerbit B meminta agar Penerbit A menarik semua buku karya V dari toko-toko buku, karena Penerbit B merasa lebih berhak menerbitkan dan memasarkannya, karena mereka merilis buku itu lebih dulu dibanding Penerbit A.

V merasa terjepit dalam kasus itu. Dan dalam perasaan terjepit itulah kemudian ia menceritakan kasusnya di milis, dengan harapan teman-teman sesama penulis anggota milis ada yang bisa membantunya, atau setidaknya memberikan pencerahan atas kasusnya. Hingga saya menuliskan catatan ini, kasus itu belum selesai. Penerbit A maupun Penerbit B masih sama-sama merasa berhak menerbitkan naskah V.

….
….

Dalam dunia kepenulisan, ada aturan tak tertulis yang menyatakan bahwa seorang penulis tidak boleh mengirimkan naskah yang sama ke dua penerbit yang berbeda dalam waktu bersamaan. Karena, jika kemudian kedua penerbit yang menerima naskah itu sama-sama bersedia menerbitkan naskahnya, maka si penulis harus memilih dan memutuskan salah satu dari dua penerbit. Itu memang tidak melanggar hukum, namun dianggap kurang etis.

Para penulis pun—khususnya yang profesional—sangat memahami aturan tak tertulis itu, dan tak pernah melanggarnya. Artinya, setiap kali sebuah naskah dikirimkan ke sebuah penerbit, mereka tidak akan mengirimkan naskah yang sama ke penerbit lain, sebelum ada kepastian (penolakan) dari penerbit bersangkutan. Jika penerbit yang menerima naskah telah memberikan kepastian mereka menolak, maka si penulis baru akan mengalihkannya ke penerbit lain.

Pada kasus V di atas, kita bisa melihat bahwa V telah mematuhi aturan tak tertulis itu. Ia mengirimkan naskahnya ke Penerbit A, dan menunggu hingga enam bulan. Namun Penerbit A tidak kunjung memberikan kejelasan apalagi kepastian menyangkut naskahnya. Enam bulan—lagi-lagi aturan tak tertulis—adalah waktu yang dianggap layak bagi penulis untuk menuntut jawaban pasti dari penerbit. Artinya, jika dalam enam bulan penerbit yang menerima naskah tidak juga memberikan kepastian, maka penulis akan menyimpulkannya sebagai penolakan.

Agar kasus ini bisa lebih dipahami bersama, biar saya jelaskan lebih detil. Ketika kita mengirimkan naskah ke sebuah penerbit, maka penerbit akan mengirimkan pemberitahuan penerimaan naskah kita. Pemberitahuan penerimaan naskah itu ada yang dikirim melalui surat, melalui email, atau bahkan melalui SMS. Tetapi, yang jelas, penerbit yang baik selalu mengirimkan pemberitahuan setelah mereka menerima naskah kita.

Dalam pemberitahuan itu mereka juga menjelaskan bahwa mereka akan memberikan kepastian dalam waktu sekian minggu/bulan ke depan—jangka waktunya bisa berbeda antarpenerbit. Kelak, sesuai janji itu, penerbit benar-benar akan memberikan kepastian pada si penulis atas naskahnya—bisa setuju untuk menerbitkan, bisa pula menolak yang artinya tidak bisa menerbitkan. Dengan adanya mekanisme yang jelas seperti itu, masing-masing pihak tidak saling menggantung, dan pihak penulis pun mendapatkan kejelasan atas nasib naskahnya.

Dalam kasus V di atas, kita melihat bahwa Penerbit A tidak melakukan mekanisme seperti yang saya paparkan. Alih-alih memberikan kejelasan, mereka justru memberikan ketidakjelasan. Seperti yang diceritakannya, V telah berulang kali menghubungi pihak penerbit—dari email sampai menelepon langsung—tapi Penerbit A tidak memberikan jawaban yang jelas, antara menerima atau menolak, dan hal itu telah melewati waktu enam bulan.

Oke, saya harus mengakui, ada kalanya sebuah penerbit (yang juga baik) memang tidak memberikan pemberitahuan penerimaan naskah. Tetapi, setelah tiga atau empat bulan, mereka biasanya telah menyiapkan jawaban untuk penulis. Artinya, ketika si penulis menghubungi penerbitnya, pihak penerbit telah siap memberikan jawaban jelas pada penulis. Entah menerima atau menolak—atau bisa pula, “Tunggu, antrian naskah kami masih banyak. Sebulan mendatang kami akan memberikan kejelasan.” Dari situ, si penulis pun mendapatkan kejelasan atas nasib naskahnya.

Kembali pada kasus V. Sejujurnya, saya tidak berani memutuskan vonis mana yang benar dan mana yang salah, karena itu mungkin sudah di luar kompetensi saya. Tetapi, berkaca pada kasus tersebut, kita sama-sama melihat bahwa kepastian adalah hal penting—jika tak mau disebut mutlak—dalam hubungan antara penulis-penerbit, berkaitan dengan nasib sebuah naskah.

Pihak penerbit tentu tidak mau jika mereka “digantung” oleh penulis karena si penulis mengirimkan naskahnya ke dua penerbit sekaligus. Begitu pun, pihak penulis juga tidak mau “digantung” akibat ketidakjelasan yang sama. Para penulis profesional telah mematuhi “aturan main” untuk tidak mengirimkan naskah ke dua penerbit berbeda dalam waktu yang sama.

Seyogyanya, penerbit juga mematuhi “aturan main” yang sama, yakni memberikan kepastian atas nasib sebuah naskah. Jika penerbit menerima untuk menerbitkan, maka si penulis akan memiliki kepastian. Jika penerbit menolak, maka si penulis pun punya kebebasan untuk mengalihkannya ke penerbit lain. Intinya, yang paling penting, adalah kepastian dari pihak penerbit—menerima atau menolak.

Selama lebih dari sepuluh tahun menjalani profesi sebagai penulis profesional, saya cukup tahu karakter dari puluhan penerbit—khususnya yang pernah berhubungan dengan saya, langsung ataupun tak langsung. Saya tahu, ada kalanya sebuah penerbit merasa “tidak enak” jika harus memberikan penolakan pada naskah seorang penulis, khususnya jika si penulis dianggap (cukup) terkenal.

Di milis tempat saya berinteraksi dengan banyak penulis, juga banyak cerita mengenai hal itu. Ada penerbit-penerbit yang sengaja tidak mau memberikan kejelasan atas naskah seorang penulis, karena mereka merasa “tidak enak” menyatakan penolakan secara langsung. Daripada terang-terangan menyatakan penolakan, beberapa penerbit itu ada yang sengaja tidak memberikan jawaban pasti, dengan harapan si penulis “paham sendiri”.

Padahal, sejauh yang saya tahu, tidak ada penulis yang akan membenci sebuah penerbit hanya gara-gara naskahnya ditolak. Hampir semua penulis paham bahwa konsekuensi sebagai penulis adalah menghadapi penerimaan atau penolakan atas naskahnya. So, bagi para penulis, ditolak penerbit adalah hal biasa. Saya sendiri—demi Tuhan dan demi para malaikat yang suci—tidak akan marah pada sebuah penerbit hanya karena mereka menolak naskah saya.

Lebih dari itu, para penulis lebih suka mendapatkan jawaban pasti meski berupa penolakan, daripada jawaban tidak jelas dan terkesan ngambang.

Kemudian, mengenai beberapa penerbit yang lebih suka memberikan jawaban “ngambang” dengan harapan si penulis “paham sendiri” bahwa naskahnya ditolak, mungkin tidak menjadi masalah, selama pihak penerbit memang bermaksud menolak naskah tersebut. Tapi bagaimana jadinya jika yang terjadi seperti kasus V di atas?

Pada kasus V di atas, V si penulis telah memberikan jangka waktu enam bulan pada pihak penerbit, tapi penerbit tidak juga memberikan jawaban kepastian. Sebagai penulis profesional, V cukup “tahu diri”, dan berpikir mungkin penerbit itu bermaksud menolaknya, namun tidak enak. Karena itu pula, V pun memberanikan diri untuk mengirimkan naskahnya ke penerbit lain. Sebagai sesama penulis, terus terang saya tidak berani menyalahkan V, karena saya bisa memahami posisinya.

Saya tahu, blog ini dibaca oleh para penulis, orang-orang dari penerbit, juga para aktivis perbukuan. Saya telah berusaha menuliskan masalah dan topik ini secara objektif, namun penilaiannya saya kembalikan pada kalian. Sebagai kalimat terakhir, saya ingin mengingatkan kita semua… tidak ada buku yang terbit jika para penulis tidak pernah menulisnya.

Penulis, Penerbit, dan Kasus Tak Terbayangkan (1)

Dalam kasus ini, mungkin tidak jelas mana yang benar dan yang salah.
Tetapi, yang jelas, inilah contoh pentingnya kepastian. Ya dan Tidak.
—@noffret


Tweet di atas saya tulis di Twitter pada 7 September 2012, tak lama setelah terkaget-kaget menerima berita terbaru dari milis kepenulisan yang saya ikuti. Ceritanya, dalam milis tersebut, ada penulis kawan kami yang terlibat dalam kasus tak terbayangkan, yang berhubungan dengan penerbit serta penerbitan naskahnya. Untuk memudahkan cerita, kita sebut nama si penulis dengan inisial V.

Cerita itu bermula ketika V mengirimkan naskah ke sebuah penerbit—kita sebut Penerbit A—pada Januari 2012. Sejak menerima naskah dari V hingga tiga bulan kemudian, Penerbit A sama sekali tidak memberitahukan penerimaan naskah itu, baik lewat surat, telepon, ataupun email. Tapi V tidak terlalu merisaukan. Ia percaya Penerbit A adalah penerbit yang baik.

Memasuki empat bulan, V mencoba menghubungi Penerbit A melalui email, menanyakan kabar naskahnya. Email itu tidak dijawab. Satu bulan kemudian—yang berarti lima bulan sejak waktu pengiriman naskah—V kembali menghubungi Penerbit A, kali ini melalui telepon. Penerbit A menerima telepon itu, dan membenarkan kalau mereka telah menerima naskah V lima bulan yang lalu. Namun, hingga saat itu, mereka belum bisa memberikan kepastian.

V masih menunggu. Satu bulan setelah itu—artinya enam bulan sejak pengiriman naskahnya—V kembali menelepon Penerbit A untuk mendapatkan kepastian mengenai naskahnya. Tetapi, lagi-lagi, jawaban dari Penerbit A tetap ngambang seperti sebulan sebelumnya. Mereka tidak memberikan ketegasan atas nasib naskahnya.

Pada waktu itu, V menyatakan pada Penerbit A, “Saya menelepon ini, hanya untuk memastikan keputusan atas naskah saya. Artinya, kalau memang naskah saya tidak bisa diterbitkan—apa pun alasannya—tidak masalah. Namun saya butuh kepastian, agar tidak ngambang seperti ini, juga agar saya tidak ragu jika ingin mengirimkannya ke penerbit lain.”

Penerbit A masih belum juga memberikan jawaban jelas. Bahkan, sejak itu, V merasa seperti dipingpong kesana kemari. Setiap kali ia menelepon kembali untuk menanyakan kabar naskahnya, ia diminta untuk menghubungi si Anu (petugas lain di penerbit itu). Ketika V menghubungi si Anu, dia diminta untuk menghubungi si Itu (petugas yang lainnya lagi). Lalu V menghubungi si Itu, dan lagi-lagi ia dipingpong tanpa kejelasan.

Setelah lelah dan jengkel dipingpong kesana kemari, juga karena sudah enam bulan lebih namun tetap tidak ada kejelasan, V pun mengambil kesimpulan bahwa Penerbit A tidak akan menerbitkan naskahnya. Mungkin, pikir V waktu itu, Penerbit A ingin menyatakan penolakan, namun tidak enak—entah apa pun alasannya.

Karena kesimpulan itu pula, V pun lalu mengirimkan naskahnya ke penerbit lain—kita sebut saja Penerbit B. Satu minggu setelah pengiriman naskah itu, Penerbit B sudah memberikan kepastian pada V bahwa mereka akan menerbitkan naskahnya. Mereka menilai naskah V sangat bagus, dan mereka akan segera menerbitkannya. Penerbit B juga segera mengirimkan MoU (Memorandum of Understanding) untuk penerbitan naskah itu, yang segera ditandatangani oleh V. Satu setengah bulan kemudian (Agustus 2012), naskah milik V itu pun terbit di bawah bendera Penerbit B.

Lalu masalah tak terbayangkan muncul.

Hanya berselang dua minggu sejak naskah itu diterbitkan Penerbit B, tiba-tiba Penerbit A juga menerbitkan naskah milik V. Suatu hari, sebuah paket datang ke alamat V. Ketika dibuka, isinya adalah bukti terbit (10 eksemplar buku yang berasal dari naskah V), plus dua bundel MoU penerbitan yang harus ditandatangani oleh V.

Tentu saja V bingung bukan main. Sebagai penulis, V sangat tahu bahwa sebuah naskah sama yang ditulis oleh penulis yang sama tidak bisa diterbitkan oleh dua penerbit berbeda. Aturan tak tertulis itu telah dipahami bahkan dihafal oleh semua penulis profesional, termasuk V. Tapi sekarang justru hal itulah yang terjadi, di luar bayangannya. Satu naskahnya diterbitkan oleh dua penerbit berbeda, bahkan dalam waktu nyaris bersamaan.

Langkah pertama yang dilakukan V kemudian adalah menelepon Penerbit A, untuk menanyakan hal itu. Penerbit A menjawab bahwa mereka memang berencana menerbitkan naskah milik V, dan sekarang naskah itu telah terbit. Penerbit A juga memberitahu bahwa aturan yang digunakan oleh penerbitan mereka memang seperti itu—menerbitkan naskah si penulis yang telah disetujui untuk diterbitkan, lalu mengirimkan bukti terbitnya beserta MoU yang harus ditandatangani.

Penjelasan itu, tentu saja, membuat V makin kebingungan. Ia bertanya dan menuntut jawaban, mengapa dulu Penerbit A tidak pernah memberikan jawaban yang jelas? V telah mengirimkan email, juga menghubungi langsung via telepon, tapi Penerbit A tidak pernah memberikan kepastian apakah naskahnya diterima atau ditolak, padahal waktunya sudah enam bulan atau setengah tahun—waktu yang sekiranya cukup bagi suatu penerbit untuk memutuskan nasib sebuah naskah.

V juga memberitahu Penerbit A, bahwa karena dulu Penerbit A tidak pernah memberikan kejelasan atau kepastian menyangkut naskahnya, maka V pun berkesimpulan Penerbit A menolak naskahnya. Karena itu pula, V telah mengirimkan naskah itu ke penerbit lain, yang sekarang juga telah menerbitkan naskahnya. Penerbit A berkata, “Anda tidak bisa mengirimkan naskah itu ke penerbit lain, karena naskah itu telah kami terbitkan.”

V menjawab dengan jengkel, “Tapi penerbit Anda tidak pernah memberikan kejelasan atas hal itu hingga enam bulan, bahkan setelah saya mencoba menanyakannya berkali-kali. Juga jangan lupa, saya belum menandatangani MoU penerbitan naskah saya dengan penerbit Anda. Artinya, saya belum memberikan kepastian hukum bahwa saya bersedia menerbitkan naskah saya pada penerbit Anda.”

Lanjut ke sini.

Tanpa Teriakan

Anak-anak tidak akan memahami orang tua, sampai mereka menjadi orang tua. Dan ketika mereka menjadi orang tua, para orang tua telah tiada.

Kebenaran paling penting, sering kali berteriak dalam hening.

Minggu, 09 September 2012

Musuh Terbesar Kita

When there is no enemy within,
the enemies outside cannot hurt you.
@noffret


Dalam rapat-rapat tertutup para petinggi Microsoft, Bill Gates sering kali menyemburkan kemarahannya yang sudah sangat dihafal para bawahannya. Ketika brainstorming, Bill Gates sering tidak sabar mendengar peserta rapat menjelaskan usul atau pemikirannya, khususnya jika orang itu tak bisa menyatakannya dengan simpel dan gamblang.

Jika seseorang menjelaskan sesuatu bertele-tele, tidak langsung ke pokok persoalan, Bill Gates akan menunjukkan sikap tidak sabar. Dan jika ternyata usulan itu tidak orisinal—khususnya menurut standar Bill Gates—dia pun akan mengamuk dengan berteriak, “Belum pernah aku mendengar ketololan seperti itu!”

Kalimat itu sangat terkenal bagi para pekerja Microsoft, karena Bill Gates hampir dapat dipastikan akan menyemburkan kata-kata kemarahan itu dalam setiap rapat. Faktanya, Bill Gates memang genius. Dan orang-orang yang bekerja bersamanya pun memahami bahwa standar yang akan digunakan di Microsoft adalah standar Bill Gates, dan bukan standar mereka.

Karenanya, meski mereka mungkin jengkel dengan kemarahan Bill Gates, tapi pada akhirnya mereka pun memaklumi, bahwa apa yang hebat menurut mereka belum tentu hebat menurut Bill Gates. Yang hebat bagi anak TK belum tentu hebat pula bagi anak SMA. Tapi Bill Gates juga sosok yang adil. Meski dia mudah marah pada hal-hal yang dianggapnya tolol, dia pun tak pelit memberikan pujian jika bawahannya memang layak menerimanya. Dia orang yang objektif—terlepas dari sifat pemarahnya.

Tentu saja kita bukan Bill Gates. Tapi tidak menutup kemungkinan kita juga memiliki sifat pemarah seperti dia. Betapa pun juga, setiap manusia memang dibekali kemampuan untuk marah. Yang membedakan adalah bagaimana masing-masing orang mengelola dan menggunakan kemarahannya. Ada orang yang mampu menyimpan kemarahannya dengan baik, ada pula orang yang hobi mengumbar kemarahannya, bahkan untuk hal-hal remeh dan sepele.

Saya pun begitu. Sejujurnya, saya bukan orang yang sabaran, khususnya untuk hal-hal tidak penting. Kalau membaca novel, misalnya, saya sering tidak sabar kalau jalan ceritanya sangat lambat, bertele-tele, terlalu banyak hal tidak penting, dan saya pun biasanya jadi marah sendiri. Susahnya, saya tuh seperti punya kewajiban pribadi untuk mengkhatamkan buku apa pun yang saya baca—tak peduli semembosankan apa pun.

Jadi, yang sering muncul adalah pemandangan konyol. Kadang teman saya ada yang melihat saya gelisah dan marah-marah sendiri sambil memegangi buku. Lalu mereka biasanya bertanya, “Kamu ngapain, marah-marah sendiri gitu?”

Saya pun menjawab jujur, “Ini, lagi baca novel tapi jalan ceritanya lambat banget. Jadinya bosan dan nggak sabar.”

Si teman cekikikan, “Kenapa nggak kamu skip aja, biar langsung pada inti ceritanya? Atau, kalau emang udah bosan, ya udah, nggak usah dibaca.”

“Justru itu, aku nggak bisa main skip kayak gitu. Kalau baca buku, aku harus baca lembar per lembar, nggak boleh ada yang dilewatin, dan aku harus membacanya sampai selesai. Rasanya kok berdosa kalau membaca buku tapi nggak tuntas.”

Teman saya pun ngakak. Dan biasanya akan bilang, “Kamu tuh ada-ada aja.”

Faktanya, saya tidak mengada-ada. Entah kenapa, saya tidak pernah bisa meninggalkan buku yang belum selesai saya baca. Jika saya mengambil sebuah buku, maka bagaimana pun caranya saya harus membacanya sampai selesai, lembar per lembar, dan tidak boleh ada yang terlewat. Memang mudah jika buku yang saya baca kebetulan bagus, atau novel yang memiliki alur cerita sangat cepat. Tapi menjadi sangat sulit jika sebaliknya.

Sampai kemudian, ada seorang teman yang cukup bijak memberikan nasihat bagus. Dia bilang, “Kalau memang kebiasaanmu kayak gitu, anggap aja kamu lagi latihan sabar kalau kebetulan dapet buku yang jelek, atau novel yang jalan ceritanya lambat. Kalau kamu berhasil nggak marah atau gelisah sewaktu membaca buku atau novel semacam itu, artinya kamu udah bisa ngalahin diri sendiri.”

Nasihat itu bagus sekali, sampai-sampai saya terus mengingatnya. Setiap kali saya dapat “apes” karena membaca buku atau novel yang kebetulan lambat dan bertele-tele, saya pun akan mengingat nasihat itu, dan berkata pada diri sendiri, “Ayo kita latihan sabar.”

Tapi kenyataannya tidak semudah itu. Meski saya selalu mengingat untuk “latihan sabar” agar tidak marah, namun selalu saja ada hal-hal tertentu dalam hidup yang membuat saya marah.

Di jalan raya, seseorang bisa saja menyalip seenaknya sendiri, dan itu membuat saya marah. Di rumah, gas kebetulan habis padahal saya lagi butuh menyeduh kopi, dan hal itu bisa membuat marah. Di warung, nasi yang disajikan sangat lembek, dan hal itu bisa membuat saya marah. Dalam pergaulan, seseorang bisa saja menyinggung perasaan, dan itu bisa membuat saya marah.

Ada seribu satu alasan bahkan lebih yang selalu mampu membuat kita marah dalam hidup sehari-hari. Kita selalu punya alasan untuk marah, untuk menyalahkan, bahkan untuk mengutuk dan memaki. Umpama api, kita selalu siap menyalakannya kapan saja, untuk membakar apa saja, bahkan untuk menghanguskan siapa saja. Marah, sering kali, menjadi musuh manusia yang paling berbahaya.

Dan, kalau dipikir-pikir, kemarahan itulah sesungguhnya musuh kita yang paling besar sekaligus mudah dikenali. Mungkin memang setan yang menggoda nafsu amarah sehingga kita menjadi marah. Tapi kita tidak bisa melihat setan. Kita hanya bisa melihat kemarahan yang kita lakukan, atau efek kemarahan yang kemudian ditimbulkan. Dan kemarahan itu kenyataannya memang sering kali terwujud secara kasatmata. Kita bisa menyaksikan kemarahan di jalan-jalan, di rumah-rumah, dalam tulisan-tulisan, bahkan di baris-baris timeline Twitter, atau di mana pun.

Bahkan meski disembunyikan dengan cara apa pun, kemarahan selalu menunjukkan jati dirinya. Orang mungkin bisa saja bilang, “Aku tidak marah dia menghinaku.” Kenyataannya dia sedang memamerkan kemarahannya. Karena, jika memang dia tidak marah, maka tentu dia tidak akan menyatakan seperti itu. Bahkan umpama tidak diwujudkan melalui ucapan sekali pun, kita selalu mampu mengenali kemarahan dari raut wajah, atau suara, atau tekanan kata-kata.

Marcus Aurelius yang agung menyatakan, “Siapa yang dapat menahan marahnya, mampu mengalahkan musuhnya yang paling berbahaya.”

Para ilmuwan membutuhkan waktu dua ribu tahun untuk memahami kebenaran kata-kata itu. Sekarang, para ilmuwan tahu bahwa ketika seseorang marah, dia sedang menciptakan racun berbahaya dalam tubuhnya sendiri. Semakin sering seseorang marah, semakin banyak racun yang dihasilkannya, dan racun itu terus menumpuk dalam tubuh, mencemari peredaran darah, lalu menciptakan berbagai macam masalah bahkan penyakit.

Jika ingin membuktikan hal itu, cobalah eksperimen ringan berikut:

Belilah jarum suntik beserta tabungnya, lalu beli pula seekor kelinci yang sehat. Simpan jarum suntik di tempat yang steril, dan masukkan kelinci dalam kandang yang bersih. Tunggu sampai kau marah. Kapan pun kau sedang marah, ambil jarum suntik itu, tancapkan ke pembuluh darahmu, lalu ambil sedikit saja. Setelah itu suntikkan darah itu ke tubuh kelinci, dan lihat apa yang terjadi. Hanya dalam waktu dua menit, kelinci yang sebelumnya sehat itu akan mati.

Apa artinya itu? Darah yang diambil dari orang yang sedang marah mengandung toksin yang mematikan. Sebagaimana ia dapat membunuh kelinci yang sehat, ia pun dapat membunuh kita, meski mungkin perlahan-lahan tanpa kita sadari. “Siapa yang dapat menahan marahnya,” kata Marcus Aurelius, “mampu mengalahkan musuhnya yang paling berbahaya.”

Kemarahan itulah musuh kita yang paling berbahaya, karena ia menghancurkan dan menggerogoti diri kita dari dalam, perlahan-lahan, tanpa kita sadari. Racun kemarahan itu mengendap di dalam tubuh kita, mencemari peredaran darah kita, mempengaruhi kinerja jantung, bahkan mungkin menghitamkan hati. Sekarang kita paham mengapa orang yang suka marah-marah sering terkena masalah dengan jantungnya.

Kemarahan adalah racun, marah adalah musuh berbahaya, dan musuh itu ada di dalam diri kita sendiri. Jika kita memanjakannya, dia akan menguasai kita. Jika kita mengendalikannya, dia akan terpenjara. Sebagaimana kita punya hak untuk memilih apa pun dalam hidup, kita pun punya hak untuk menjadi penguasa kemarahan kita, atau menjadi budak amarah kita.

Sekarang, ketika mengetahui kenyataan itu, saya pun tahu bahwa salah satu pelajaran penting yang harus saya pelajari adalah belajar tidak marah. Itu pelajaran yang sulit, saya mengakui. Menahan amarah itu sama sulitnya menahan diri ketika sedang marah-marah.

Ketika marah-marah, kita sulit mengontrol perilaku, atau ucapan, atau kata-kata, sehingga kita sering kali menyatakan hal-hal konyol dan memalukan ketika sedang marah-marah. Kita tak bisa mengontrolnya, karena ketika marah kita berada di bawah kekuasaan amarah. Kata Buya Hamka, “Kemarahan memadamkan kecerdasan.” Jika saya boleh menambahkan, “Kemarahan menghilangkan kewarasan.”

Sebaliknya, ketika kita menahan diri untuk tidak marah, kita memegang kendali dan kekuasaan atas kemarahan itu, sehingga sikap dan ucapan kita tetap terjaga. Itu sama-sama sulitnya—tapi saya pikir lebih baik memilih yang kedua. Tampak konyol itu tak pernah menjadi pemandangan bagus. Tetapi orang yang dapat menahan amarah dengan baik menunjukkan sikap dewasa yang layak dihormati.

Saya Kudu Piye?

Untung lebaran cuma datang setahun sekali. Kalau saja lebaran datang sebulan sekali atau seminggu sekali, mungkin sekarang saya sudah mati.

Jadi, kalau silaturrahmi ke rumah famili, mereka—yang rata-rata wanita—selalu akan berkata, “Da’, temen Budhe punya anak perempuan cantik, masih lajang.”

Tante X akan berkata sama, Aunt Y menyatakan hal tak jauh beda, sementara Mbakyu Z bilang akan memperkenalkan seorang cewek yang dikenalnya.

Lalu saya kudu piye…?

Apa saya harus bilang “Wow…!” gitu?

Orang Paling Konyol Sedunia

Suatu malam saya dolan ke tempat seorang teman, dan saya mendapatinya sedang menonton televisi sambil tertawa terpingkal-pingkal.

“Huahahaha… hahahahaaaaaaaa… huahahaha… hahahahaaaaaa…!” dia terus tertawa terpingkal-pingkal sambil memegangi perutnya.

Saya jadi tertarik. Apa yang membuatnya tertawa, pikir saya.

“Huahahahaha… hahahaaaaaaaa… huahahahaha… hahahaaaaaa…!” teman saya masih terus terpingkal-pingkal tak karuan.

Saya menengok ke arah televisi yang ditertawakannya, tapi tidak paham. Di layar televisi tampak seorang wanita sedang ngemeng-entah-apa, dan teman saya terus tertawa terpingkal-pingkal. “Huahahahaha… hahahaaaaaaaa… huahahahaha… hahahaaaaaa…!”

“Jadi, apa yang lucu, pal?” tanya saya akhirnya.

“Huahahahaha… hahahaaaaaaaa… huahahahahaaaaaa…!”

“Heh, apa sih yang lucu?”

Kali ini dia menunjuk-nunjuk si wanita di layar televisi. Tapi tetap tidak mampu menghentikan tawanya. “Huahahahaha… hahahaaaaaaaa… huahahahaha… hahahaaaaaa…!”

Saya masih belum paham. Si wanita di layar teve masih ngemeng-tidak-jelas.

“Huahahahahahahahaaaaaaaa… huahahahaha… hahahaaaaaa…!” sekarang teman saya mulai guling-guling di lantai sambil memegangi perutnya yang mungkin kaku.

Saya pun mendekati si teman dengan makin penasaran, “Tolong katakan apa yang lucu?”

“Huahahahahahahahaaaaaaaa… huahahahahahahahaaaaaa…! Itu… itu…” sambil nunjuk-nunjuk ke layar televisi. “Huahahahahahahahaaaaaaaa… huahahaha… hahahahaaaaaa…!”

Mungkin saya idiot. Atau teman saya yang mulai gila. Dia terus tertawa-tawa tak karuan, sementara saya tetap belum paham.

“Huahahahaha… hahahaaaaaaaa… huahahahaha… hahahaaaaaa… kekekekekeee…” tawanya semakin tak karuan. “Huahahahahaha… hahahaaaaaaaa… kikikikikikiiii… huahahahaha… hahahaaaaaa…!”

Akhirnya, dengan bingung, saya pun duduk dan menunggu teman saya menyelesaikan tawanya. Seperempat jam kemudian, dia sudah mulai meredakan tawanya, dan duduk di dekat saya sambil terengah-engah. Tapi masih cekikikan. Dengan letih dia mengambil gelas di meja, dan meminumnya.

Setelah dia tampak tenang, saya pun kembali bertanya, “Jadi, apa yang lucu tadi?”

Dia kembali meledak, “Huahahahaha… hahahaaaaaaaa… huahahahahahahahaaaaaa…!”

“Heh, apa yang lucu…?”

“Huahahahahahahahaaaaaaaa… huahahahaha… hahahaaaaaa…!” Kembali dia guling-guling di lantai. “Huahahahahaha… hahaaaaaaaa… huaha… hahahaha… hahaaaaaa…!”

Sekali lagi saya menunggunya menyelesaikan tawa.

Sekali lagi dia kembali mampu meredakan tawanya. Lalu minum lagi. Dan tampak tenang lagi. Saya menunggunya beberapa saat, dan mulai bertanya lagi, “Jadi, pal, please, apa yang lucu hingga membuatmu tertawa sampai guling-guling begitu?”

Dia sudah tampak akan tertawa dan guling-guling lagi, tapi saya segera memegangi lengannya. “Tolong jawab dulu! Apa yang lucu?”

“Uh… kamu lihat orang di teve tadi?” akhirnya dia bisa ngomong juga.

“Ya,” saya menjawab. “Tapi, apa yang lucu dari dia sampai membuatmu tertawa-tawa kayak tadi?”

“Dia lucu sekali! Maksudku, konyol sekali!”

“Di mana lucunya? Bagaimana konyolnya?”

“Orang itu menganggap dirinya mendengar suara langit!”

“Orang itu… apa?”

Teman saya pun menjelaskan, “Orang itu menyalah-nyalahkan orang lain yang dianggapnya berbeda dengannya. Dia tadi mengatakan bahwa dialah yang benar, dan orang yang berbeda dengannya pasti salah.”

“Oke, terus?”

“Terus, tadi dia diwawancarai reporter teve, kenapa dia berani menyimpulkan kalau dirinya pasti benar dan orang lain pasti salah. Dan orang itu menjawab bahwa dia mendengar suara langit!”

“Dia mendengar suara langit?” saya memastikan.

“Iya. Dia menyatakan bahwa yang dikatakannya adalah suara langit yang harus disampaikannya. Jadi dia merasa berhak untuk menyalah-nyalahkan orang lain. Kupikir itu konyol sekali. Makanya aku tertawa sampai guling-guling begitu.”

Lalu teman saya kembali tak mampu menahan diri. Dia kembali tertawa sambil guling-guling, “Huahahahaha… hahahaaaaaaaa… suara langit…??? Huahahahaha… hahahaaaaaa…! Hari gini…??? Huahahahaha… hahahaaaaaaaa… huahahaha… hahahahaaaaaa…!”

Saya ikut guling-guling.

Menemukan Visi Baru

Dalam bukunya, Another Step, Jim Counihan menulis, “Mendapatkan visi baru adalah sesuatu yang harus kita lakukan dari waktu ke waktu.”

Visi baru dibutuhkan agar kita memperoleh pandangan baru untuk bisa mengembangkan kehidupan yang kita miliki. Menemukan visi baru juga diperlukan agar kita menyadari bahwa hidup tidak sesempit yang kita pahami. Kisah berikut ini akan menunjukkan pentingnya bagi kita menemukan visi yang baru, agar kita bisa melangkah dari paradigma yang lama.

Ketika dilahirkan, BP. Burkland mengidap penyakit polio yang melumpuhkan kedua kakinya. Dia tidak bisa merangkak atau berjalan sebagaimana bayi-bayi lain dalam masa pertumbuhannya. Orang tuanya kemudian meletakkannya di dalam sebuah kotak kayu.

Pada suatu hari, ketika masih kanak-kanak, BP. Burkland sempat berdiri dengan berpegangan kotak kayunya, dan tanpa sengaja menghadap ke arah cermin. Ketika dia melihat dirinya sendiri, melihat bahwa dia tidak berbeda dengan anak-anak lainnya, dia pun mulai menggerakkan tangan dan kakinya.

Dia mendapatkan visi baru tentang dirinya sendiri, dan sejak itu ia tidak pernah kembali ke kotak kayunya. Pada akhirnya, kehadiran visi baru akan dirinya bahkan mengubah kehidupannya, hingga ia berhasil menjadi salah satu orang terkaya di Amerika. Dalam salah satu pidatonya ia menyatakan, “Misi saya adalah mengatakan kepada semua orang, bahwa kita tidak perlu hidup di dalam kotak kayu!”

Kita tidak perlu hidup di dalam kotak kayu. Karenanya, kembangkanlah selalu visi baru!

Senin, 03 September 2012

Muntah-muntah di Blog

Sering kali aku berpikir,
salah satu kenikmatan di dunia ini adalah berpikir.
@noffret


Saya bersyukur punya blog, karena melalui blog saya bisa “muntah-muntah” kapan pun saya perlu. Blog, bagi saya, adalah tempat mengarsipkan pikiran, sekaligus memuntahkan pemikiran. Selain itu, blog ikut membantu menjaga “kewarasan” otak saya. Tanpa blog, mungkin sekarang saya sudah gila.

Untuk memahami paragraf di atas, bayangkanlah kita makan dalam jumlah sangat banyak. Sebegitu banyaknya, sampai-sampai kita kekenyangan, dan merasakan perut sangat penuh, hingga ikat pinggang terasa sangat kencang. Dalam kondisi seperti itu, biasanya yang kita lakukan adalah duduk menyandar, seolah tak bisa berdiri atau bergerak. Yang cowok mungkin akan mengendurkan ikat pinggang, sambil menikmati rokok. Yang cewek… entahlah.

Ketika menikmati makanan yang enak, kita sering kali “lupa diri” hingga makan dengan “rakus”. Itu hal lumrah, dan saya pun begitu. Biasanya, tidak lama setelah kekenyangan seperti itu, kita pun perlu buang air besar untuk kembali mengosongkan atau mengendurkan perut yang amat kencang. Jika kita terus makan sampai kekenyangan tapi tak pernah buang air besar, mungkin perut kita akan meledak.

Nah, dalam versi tak jauh beda, begitu pula pikiran kita. Kalau kita memberi makan pikiran dalam jumlah banyak hingga pikiran merasa “kekenyangan”, ia juga perlu penyaluran untuk “buang air besar” agar tidak terasa berat. Jika kita terus memberi makan pikiran tanpa henti tapi tak pernah memberi kesempatan kepadanya untuk “muntah”, lama-lama kita bisa stres.

Jika makanan untuk tubuh adalah asupan fisik semisal nasi, roti, batagor, atau lainnya, makanan untuk pikiran adalah bacaan, tontonan, realitas, refleksi, dan hal-hal semacamnya. Jika “ampas” makanan tubuh berbentuk kotoran atau feses, maka “muntahan” pikiran berbentuk pemikiran, hasil pembelajaran, ataupun kristal-kristal kontemplasi. Intinya sama, setelah “kekenyangan”, tubuh maupun pikiran perlu diberi kesempatan untuk “mengeluarkan”.

Dalam hal ini, saya memberi makanan untuk pikiran saya dalam jumlah sangat banyak, dalam waktu yang nyaris tanpa henti. Ada banyak hal yang masuk ke dalam pikiran saya, dari persoalan-persoalan berat sampai hal-hal remeh. Dari urusan pribadi sampai realitas sehari-hari. Dari kenangan-kenangan masa silam sampai tumpukan majalah dan buku-buku bacaan. Semuanya masuk ke dalam pikiran saya tanpa henti, setiap hari, dari pagi sampai pagi lagi.

Jika semua yang telah masuk itu tidak dikeluarkan kembali, lama-lama saya akan stres. Sebagaimana kita makan terlalu banyak hingga perut sangat kencang, pikiran yang terlalu banyak makan juga bisa membuatnya “kencang”. Ketika itu terjadi, kepala pun terasa panas. Harus ada penyaluran, agar sebagian bisa keluar. Setelah sisa makanan dikeluarkan, perut pun jadi terasa lega. Begitu pula dengan pikiran.

Jadi, saya pun bersyukur karena memiliki blog. Blog adalah salah satu tempat saya “muntah-muntah” untuk mengeluarkan semua yang telah saya cerna di dalam pikiran. Melalui blog, saya bisa mengeluarkan apa pun yang ingin saya keluarkan, agar pikiran bisa terasa lega. Karenanya pula, seperti yang telah disebutkan di atas, mungkin saya bisa gila kalau tak punya blog, akibat menumpuknya pemikiran tanpa penyaluran.

Seorang teman sesama penulis—yang jarang ngeblog—pernah bertanya, “Da’, apa sih manfaat ngeblog buat kamu?” Dengan jujur saya menjawab, “Manfaatnya untuk menjaga kesehatan otak.” Menulis adalah terapi bagi saya untuk mengelola stres, sekaligus untuk merawat dan menjaga kesehatan pikiran.

Dalam keseharian, kadang saya mendapati hal sepele. Tetapi, hal sepele itu kemudian menjadi tak sepele lagi ketika telah masuk ke otak saya. Contoh paling nyata untuk mengilustrasikan hal ini terdapat dalam catatan Pusing Mikir Perempuan. Seperti yang dapat kita baca dalam catatan itu, masalahnya sangat sepele; tentang perempuan yang suka mengambil bakwan bersama nampannya.

Itu sangat sepele, remeh, bahkan mungkin tak dihiraukan orang lain. Tetapi hal sepele itu menjadi tak sepele lagi ketika telah tertangkap otak saya. Hanya karena peristiwa sepele itu, impuls-impuls memori dalam otak saya berputar mengaduk-aduk sekian banyak arsip bacaan yang pernah saya telan—dari teori Sigmund Freud, sampai metode penelitian kualitatif dan kuantitatif. Hasilnya, saya pusing!

Sejujurnya, saya tidak menginginkan hal semacam itu. Saya ingin seperti orang lain pada umumnya, yang dapat melihat hal biasa sebagai hal biasa, tanpa jadi pusing karenanya. Tapi sepertinya memang ada yang salah dengan kepala saya. Dan akibatnya seperti yang sekarang terjadi. Melihat gorengan bakwan saja, pikiran saya sudah mengembara ke tumpukan teori dan rumitnya analisis. Itu baru melihat bakwan, apalagi kalau melihat… tak usah dilanjutkan!

Nah, ketika hal semacam itu terjadi, saya butuh tempat untuk memuntahkannya, sebagai semacam pelampiasan rasa pusing. Dalam hal ini, blog benar-benar tempat sempurna untuk melakukannya. Lewat blog, saya bisa “muntah-muntah” kapan pun, sebanyak atau sesedikit apa pun, agar pikiran saya bisa fresh kembali. Kenyataannya, pikiran saya memang jadi lebih segar setelah saya “muntah” dalam bentuk tulisan.

Di blog, saya mendapatkan kemerdekaan dan kebebasan berekspresi yang tidak saya dapatkan di mana pun. Seperti yang dapat kalian lihat, di blog ini saya menulis “seenaknya sendiri”. Kadang ada posting yang panjangnya melebihi makalah. Kadang pula ada yang lebih singkat dibanding SMS. Semua itu memang tergantung pada berapa banyak yang perlu “dimuntahkan” dari kepala.

Meski tujuannya untuk “muntah”, namun saya memiliki standar pribadi dalam hal ini. Bagaimana pun, saya ingin “muntah dengan elegan”. Karenanya, sebisa mungkin saya menjaga kualitas “muntahan” saya, agar orang-orang yang kebetulan menemukan bisa ikut menikmatinya. Kenyataan bahwa ternyata ada cukup banyak orang yang menyukai “muntahan” saya, itu benar-benar fakta mengejutkan sekaligus menyenangkan.

Lebih menyenangkan lagi ketika akhirnya “muntahan-muntahan” itu bahkan diterbitkan menjadi buku. Bulan kemarin, ada buku baru saya yang terbit, berjudul Berciuman dengan Mata Terpejam. Dalam buku ini, ada 65 (enam puluh lima) catatan saya di blog yang dikumpulkan, dari catatan pendek sampai posting-posting panjang. Bagi siapa pun yang ingin kembali membaca tulisan-tulisan saya secara lebih utuh dan lebih mudah, buku ini perlu dijadikan koleksi.







Pelajaran yang bisa kita ambil dari catatan ini adalah “muntah dengan elegan”. Seperti diary atau catatan harian, salah satu fungsi blog adalah untuk mengeluarkan uneg-uneg yang ada dalam pikiran pemiliknya. Kita semua bisa memuntahkan apa pun di blog, dengan tujuan dan motivasi apa pun. Tetapi, meminjam istilah Internet Sehat, “Think before posting”, berpikirlah sebelum menulis. Khususnya lagi kalau kita ingin “muntahan” itu bermanfaat bagi orang lain.

Untuk mengakhiri catatan ini, saya ingin mengucapkan terima kasih kepada siapa pun yang telah rutin mengunjungi blog ini. Terima kasih spesial untuk Penerbit Diva Press yang telah membukukan dan menerbitkan pemikiran-pemikiran saya hingga dapat dibaca lebih luas lagi. Juga terima kasih untuk kehidupan beserta seluruh isinya, yang telah mengajarkan saya muntah dengan elegan.

Pesan Cinta Menjelang Ajal

Cinta kasih, tampaknya, tuli terhadap kematian.
@noffret


Pesawat Boeing 123 itu meninggalkan landas pacu di bandar udara Tokyo-Haneda pada 12 Agustus 1985, pukul 18.12 sore, menuju selatan ke Osaka. Saat meninggalkan landas pacu, pesawat itu terbang dengan mulus membawa 524 orang. Semua awak pesawat maupun penumpang menikmati penerbangan yang tenang, sampai kemudian bencana tak terbayangkan terjadi.

Ketika pesawat mencapai ketinggian 23.900 kaki di udara dan melaju dengan kecepatan 345 mil per jam, seorang pramugari merasakan getaran yang janggal, dan tiba-tiba terdengar suara keras mengejutkan. Sebelum ia sempat menyadari apa yang terjadi, dinding penyekat bagian buritan tiba-tiba pecah, terlontar dari pesawat, dan membawa seluruh tekanan hidrolis navigasi bersamanya.

Seketika tanda bahaya berbunyi, dan pesawat yang kehilangan kendali itu pun bergetar dengan hebat seiring gerakan menukik berbahaya yang siap mengantarkan semua penumpangnya ke arah maut. Deretan masker oksigen bergelantungan, terdengar teriakan-teriakan panik, sementara pilot dengan sekuat tenaga berusaha mengendalikan pesawatnya. Semua yang ada di pesawat itu tahu, sesaat lagi mereka akan menjemput malapetaka.

Tujuh tahun sebelumnya, pesawat itu telah menunjukkan masalah pada dinding penyekat bagian belakang. Pada 1978, setelah sirip ekor dinding pesawat mengalami kerusakan dalam sebuah pendaratan yang buruk di Osaka, perusahaan Boeing telah memperbaikinya, dan mengumumkan pesawat itu masih layak terbang.

Jadi, selama tujuh tahun sejak itu, tekanan dinding penyekat pada bagian belakang pesawat pun telah menempuh lepas landas dan pendaratan sebanyak 12.319 kali, terbang melintasi hujan dan angin, serta mengalami udara dingin jauh dari permukaan bumi. Selama tujuh tahun itu, bagian yang telah direparasi tersebut menanggung tekanan selama penerbangan hingga kemudian retak, dan tak seorang pun mengamati retakan tersebut.

Yang terjadi kemudian adalah bencana. Petang itu, 524 orang terjebak dalam sebuah pesawat yang menukik turun dengan kecepatan mengerikan, seiring jerit panik para penumpang menyongsong kematian. Pesawat itu meluncur jatuh dengan kecepatan 124 mil per jam dari ketinggian 6.600 kaki. Di bagian depan, pilot terdengar berteriak panik memberikan perintah pada kopilot, “Naikkan hidung pesawat! Naikkan sayap, naikkan sayapnya…!”

Sesaat, bagaikan mukjizat, pesawat yang nyaris jatuh itu dapat menambah ketinggian hingga 13.400 kaki, dan para penumpang berdoa semoga pesawat mereka dapat mendarat dengan selamat—di mana pun tempatnya. Tapi mukjizat itu tak berlangsung lama. Baru saja para penumpang bisa bernapas lega, pesawat kembali jatuh, kali ini nyaris vertikal. Mereka tahu, kali ini tak ada mukjizat lagi.

Ketika akhirnya jatuh ke tanah, pesawat itu mula-mula menghantam punggung gunung, kemudian terguling. Tiga detik berikutnya, terdengar ledakan mengguncang bumi. Peristiwa itu terjadi di hutan gunung Otusaka, enam puluh dua mil dari Tokyo. Kegelapan malam di hutan itu terang sesaat akibat api kebakaran pesawat, tetapi tim penolong tak bisa langsung masuk ke sana karena wilayah itu sangat terpencil, dan jarak pandang nyaris nol.

Keesokan harinya, ketika matahari mulai bersinar, tim penolong mulai memasuki kawasan hutan, dan pemandangan yang ada di sana benar-benar mengerikan. Mayat-mayat dan bagian-bagian tubuh manusia bertebaran di mana-mana—di tanah, di pohon-pohon—hingga beberapa meter jauhnya dari lokasi bencana, akibat terlempar keluar ketika pesawat jatuh menghantam bumi.

Dari 524 orang yang ada di pesawat naas itu, hanya 4 orang yang masih hidup, meski mereka mengalami luka-luka dan patah tulang. Mereka semua ada di bagian belakang pesawat, dan entah bagaimana caranya bisa terhindar dari benturan yang amat mematikan. Tapi yang menakjubkan bukan cuma itu.

Ketika para petugas mulai melakukan proses identifikasi mayat dan mengumpulkan bagian-bagian tubuh serta barang-barang yang berceceran di mana-mana, mereka menemukan kertas-kertas berisi pesan terakhir yang tampaknya ditulis para penumpang pesawat yang tahu sesaat lagi akan tewas. Sebagian kertas itu ada yang utuh, sebagian lain tercabik-cabik, sementara lainnya tampak basah dan rapuh meski tulisannya masih terbaca.

Dilihat dari bentuk tulisannya, jelas sekali kertas-kertas itu ditulis dengan buru-buru. Sungguh menakjubkan mendapati kertas-kertas berisi pesan terakhir itu tidak ikut hancur bersama ledakan pesawat, tapi lebih menakjubkan lagi saat mendapati kata-kata yang tertulis di sana. Beberapa tulisan yang masih dapat dibaca berisi salam perpisahan untuk keluarga, orang-orang terdekat, ataupun ucapan cinta terakhir untuk seseorang.

Bersama kepanikan menjemput ajal dalam sebuah pesawat yang berguncang, rupanya beberapa orang masih menyempatkan diri untuk meninggalkan ucapan kasih untuk orang-orang yang dicintainya. Mereka tahu ajal akan segera datang, dan dalam waktu yang hanya beberapa detik sebelum kematian, yang mereka ingat adalah orang-orang yang paling dikasihi.

Jadi kertas-kertas itu pun tergeletak di sana, di hamparan tanah hutan Otusaka, bersama bangkai pesawat, bersama mayat-mayat dan ceceran darah. Kertas-kertas berisi pesan cinta itu menunggu para petugas berbaju putih memungutnya dengan hati-hati, untuk kemudian menyampaikannya kepada orang-orang yang dituju. Pesan-pesan cinta yang ditulis dengan kesadaran menjelang ajal.

….
….

Dalam detik-detik terakhir hidup, orang tak lagi mengingat siapa yang dibencinya, tapi siapa yang dikasihinya.

Jika Satu Jam Lagi Saya Mati

Saya tetap akan belajar.

 
;