Sabtu, 26 Januari 2013

Farhat Abbas, Masalah Konteks, dan Lainnya (3)

Posting ini lanjutan post sebelumnya. Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik, sebaiknya bacalah post sebelumnya terlebih dulu.

***

Teks harus ditempatkan pada konteks yang benar—begitulah rumusnya. Setidaknya, begitulah rumusnya jika tidak ingin dianggap tolol atau keras kepala.

Di dunia blog, sering kali saya blogwalking, dan menyaksikan perang di kolom komentar gara-gara adanya komentar yang salah konteks. Pernah saya mendapati sebuah blog yang satu postingnya membahas tentang mesin waktu. Itu blog yang murni teknologi, dan posting-postingnya pun hanya membahas teknologi. Ketika saya membaca posting yang mengulas tentang kemungkinan dibuatnya mesin waktu, ulasannya juga bagus, meski tetap debatable, karena keberadaan mesin semacam itu belum ada. Tetapi yang jelas, posting itu bagus karena membuka cakrawala pemikiran pembacanya.

Namun, seseorang kemudian meninggalkan komentar yang salah konteks. Meski jelas-jelas itu pembahasan teknologi—yang tentunya harus dibaca dan dipahami sesuai konteks teknologi—si pengomentar itu justru membawa-bawa agama, dan mengait-ngaitkan posting itu dengan ajaran agama, lalu dia berceramah macam-macam. Intinya, menurut si pengomentar, mesin waktu tidak terdapat dalam ajaran agama, jadi tidak usah mengkhayal tentang mesin waktu.

Ketika membaca komentar itu, saya cuma tertawa. Tetapi rupanya banyak orang lain—yang juga membaca posting tersebut—jadi marah akibat adanya komentar yang salah konteks. Lalu perdebatan pun terjadi. Dari satu komentar yang salah konteks itu, sekian puluh komentar lain muncul, dan semakin jauh dari konteksnya yang semula membahas mesin waktu. Finish-nya, diskusi yang semula bagus dan ilmiah jadi rusak, gara-gara satu komentar yang salah konteks.

Jika masih bingung salah konteksnya di mana, biar saya jelaskan, agar nanti tidak ada lagi yang mengira saya anti agama. (Omong-omong, saya pernah dituduh anti agama gara-gara membahas topik semacam ini).

Mesin waktu yang dibahas dalam blog yang saya ceritakan tadi, murni dibicarakan dalam konteks teknologi. Karenanya, jika ingin mendukung atau menyanggah, tentunya juga harus menggunakan teks teknologi. Jika kita menyanggah dengan teks agama, tentu salah konteks. Itu sama halnya memberikan dongkrak mobil kepada juru masak yang perlu membuat telur mata sapi. Untuk kesejuta kalinya, letakkan teks pada konteks yang benar.

Di blog Belajar Sampai Mati, saya menulis lebih dari 2.000 (dua ribu) catatan, yang sebagian besar berisi pengetahuan umum—sejarah, iptek, biologi, dan lain-lain. Sedikit pun saya tidak pernah membahas masalah agama atau ketuhanan. Bahkan, saya telah menulis dengan jelas dalam peraturan blog tersebut, bahwa semua pertanyaan akan saya jawab dan saya posting di blog jika tidak menyinggung SARA.

“Tidak menyinggung SARA” yang saya maksudkan dalam peraturan itu artinya bukan hanya tidak boleh menyerang suatu suku, agama, dan ras tertentu, namun juga saya tidak mau membahas masalah-masalah agama, karena saya berprinsip bahwa agama atau keyakinan pada Tuhan adalah masalah privat masing-masing orang. Intinya, blog Belajar Sampai Mati murni pengetahuan umum, dan sama sekali tidak berhubungan dengan ajaran agama apa pun.

Tetapi, meski dengan jelas dinyatakan seperti itu pun, kadang-kadang ada orang yang meninggalkan komentar “tidak nyambung” dengan membawa-bawa ajaran agama, yang ia kait-kaitkan dengan posting di blog tersebut. Saya tidak mau melayani komentar semacam itu, karena hanya akan menimbulkan debat yang tidak perlu.

Dalam satu posting, misalnya, saya pernah membahas pertanyaan, “Mengapa Alkohol Menimbulkan Mabuk?” Topik itu saya posting di blog, karena pertanyaannya netral (tidak menyinggung SARA), dan jawabannya juga dapat menambah pengetahuan serta wawasan pembaca lainnya. Ketika membahas pertanyaan itu, saya pun membahasnya dengan sudut pandang yang sesuai konteks, sehingga jawabannya sesuai dengan pertanyaan.

Tetapi, entah bagaimana caranya, seseorang kemudian meninggalkan komentar yang sangat tidak nyambung, alias salah konteks. Dalam komentarnya, orang itu berceramah macam-macam, yang bahkan panjangnya melebihi panjang posting saya. Orang itu juga secara nyata menyerang si penanya dengan tuduhan macam-macam, yang ia sandarkan pada ajaran agama, bahkan sampai membawa-bawa surga dan neraka. Padahal, si penanya hanya bertanya, “Mengapa Alkohol Menimbulkan Mabuk?”

Karena jelas-jelas salah konteks, dan mungkin bisa menimbulkan debat panjang lebar yang tidak perlu, saya pun menghapus komentar itu. Salah konteks itu seperti virus atau penyakit menular. Mula-mula hanya satu. Tetapi, jika yang satu itu tidak segera dibasmi, ia akan menulari lainnya. Dari satu komentar yang salah konteks, bisa melahirkan sekian banyak komentar lain yang semakin tidak nyambung dengan konteksnya.

Salah konteks dalam tulisan, mungkin solusinya mudah. Hapus saja, dan mungkin masalahnya sudah selesai. Yang agak sulit, kadang-kadang, adalah salah konteks dalam ucapan. Dalam pembicaraan sehari-hari, tidak jarang orang berselisih gara-gara masalah semacam itu. Sedang ngomongin sesuatu, kemudian ada orang mengomentari dengan ucapan yang keliru, lalu yang dikomentari jadi sakit hati.

Lebih parah lagi adalah salah konteks yang terjadi dalam wawancara yang disiarkan secara live. Dua hari sebelum saya menulis catatan ini, seorang reporter televisi mewawancarai Jokowi, Gubernur DKI, dan si reporter mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang salah konteks.

Dari pertanyaan-pertanyaannya, sangat jelas menunjukkan kalau si reporter tidak melakukan riset atas subjek yang akan dibicarakannya, sehingga pertanyaan-pertanyaan yang ia ajukan pun banyak yang salah konteks. Sudah begitu, si reporter mungkin lupa bahwa dia sedang melakukan wawancara, dan bukan interogasi. Akibatnya, sikapnya dalam wawancara itu terkesan ngotot dan tidak objektif.

Efeknya sangat mengerikan. Tidak lama setelah wawancara itu tayang di televisi, timeline di Twitter penuh makian dan hujatan terhadap si reporter dan televisi tempatnya bekerja. Dan caci-maki serta hujatan itu berdatangan akibat salah konteks yang dilakukan secara terang-terangan. Kita lihat, salah konteks itu berbahaya. Apalagi salah konteks yang dilakukan sambil ngotot!

Karenanya, pepatah “mulutmu harimaumu” memang benar. Bahwa keselamatan seseorang tergantung pada mulutnya. Mulut adalah produsen ucapan, produsen teks. Agar mulut kita tidak membawa kepada bencana, sebaiknya bicaralah sesuai konteks, atau tutup mulut saja. Jika telanjur mengeluarkan ucapan yang salah konteks, minta maaflah, dan tidak usah ngotot.

Ehmmm… kembali ke Farhat Abbas.

Dalam banyak tweet yang ditulisnya, Farhat juga kadang “kelewatan” atau salah konteks. Misalnya, dia menyalah-nyalahkan Jokowi dan Ahok gara-gara banjir yang melanda Jakarta. Tuduhan semacam itu tentu tidak bisa dinilai proporsional lagi, bahkan salah konteks, sehingga dia terkesan antipati. Dan, seperti yang disebutkan tadi, salah konteks itu seperti virus atau penyakit menular. Karena Farhat tidak juga menyadari bahwa dia sering salah konteks, banyak orang jadi antipati kepadanya. Akibatnya pun cukup mengerikan.

Saat ini, ada beberapa akun palsu di Twitter yang menggunakan nama istri Farhat, juga nama anak Farhat, dan akun-akun palsu itu digunakan untuk menyerang Farhat Abbas. Ini juga tentu sudah kelewatan, tidak etis, sekaligus salah konteks. Jika Farhat dianggap “bermasalah”, yang bermasalah kan cuma Farhat? Kenapa keluarganya—istri dan anaknya—harus dibawa-bawa? Kita tidak bisa menghukum seluruh keluarga hanya karena kepala keluarganya melakukan kesalahan.

Pelajaran penting dalam hidup kita. Letakkanlah teks pada konteksnya.

Untuk mengakhiri catatan ini, bayangkanlah anekdot berikut. Kepalamu terbentur pinggir pintu, dan memar, juga sakit. Karena khawatir dan ingin memastikan kepalamu baik-baik saja, kau pergi mengunjungi seorang dokter, dan menyatakan ingin memeriksakan memar di kepala. Dokter itu manggut-manggut, lalu memintamu membuka baju karena dia perlu memeriksa tubuhmu menggunakan stetoskop.

Meski agak bingung, kau menuruti dokter itu, dan membuka bajumu. Setelah beberapa saat memeriksa dengan stetoskop, dokter itu menyatakan, “Memar di kepala Anda cukup parah, dan bisa berbahaya. Saran saya, sebaiknya kaki Anda diamputasi, agar kepala Anda sehat lagi.”

Konyol…???

Begitulah salah konteks. Konyol, dan tidak jarang juga tolol. Jadi, kalau telanjur salah konteks, marilah kita belajar rendah hati untuk menyadari dan mengakui bahwa kita salah, dan marilah belajar untuk tidak ngotot.

 
;