Selasa, 26 Februari 2013

Teman Saya Ikut MLM, lalu Berhenti Menjadi Teman Saya (8)

Posting ini lanjutan post sebelumnya. Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik, sebaiknya bacalah post sebelumnya terlebih dulu.

***

Sejujurnya, saya sering merasa terganggu ketika bertemu dengan anggota MLM, yang kemudian berupaya keras memprospek saya. Tak peduli saya kenal orang itu atau tidak, upayanya membuat saya merasa tidak nyaman. Saya tahu tujuan mereka baik. Tetapi, kita tahu, tujuan baik saja tidak cukup. Agar tujuan baik itu terlaksana dan terwujud dengan baik, kita juga perlu cara yang baik dalam melakukannya. Salah satunya tidak terlalu agresif memprospek, sehingga yang diprospek tetap merasa nyaman dan tidak terganggu.

Selain memprospek, hal lain yang juga dianggap “menghalalkan segala cara” adalah ketika mereka menjual produk. Seperti pengalaman pribadi yang saya ceritakan di atas. Orang yang saya anggap kawan memanipulasi saya yang sedang sakit, demi bisa menjual produknya. Saya katakan “memanipulasi”, karena upayanya dalam menjual tidak dilakukan secara terang-terangan, alias terselubung, sehingga saya tidak sadar kalau sedang membeli suatu produk.

Seandainya Hilman yang saya ceritakan di atas terang-terangan menyatakan ingin menjual produknya, saya tentu akan menyadari bahwa dia sedang berusaha menjual. Terlepas hasilnya apakah saya membeli produknya atau tidak, pilihan saya dilandasi kesadaran. Yang dilakukan Hilman—dalam kisah saya di atas—bukan menjual. Dia memanipulasi. Itulah yang kemudian menjadikannya terkesan “menghalalkan segala cara”.

Sejak peristiwa itu, saya tetap berteman dengan Hilman. Tapi saya mulai “hati-hati”. Setelah melihat perbuatannya, saya seperti diberitahu bahwa Hilman tidak akan segan memanipulasi temannya sendiri demi keuntungan yang ditujunya. Apakah para mentor MLM tidak pernah menyadari kenyataan semacam itu? Saya percaya, mereka tentunya mengajarkan etika dalam berbisnis kepada para anggota MLM. Tetapi, sayangnya, praktiknya di lapangan kadang berbeda. Demi tujuan mengumpulkan point dan keuntungan, mereka akan melakukan apa saja.

Kembali kepada Rifki. Seperti yang saya ceritakan tadi, makin hari hubungan saya dengan Rifki semakin renggang, hingga akhirnya kami tak pernah bertemu sama sekali. Saya sibuk dengan semua pekerjaan saya, sementara Rifki juga mungkin semakin sibuk dengan aktivitas MLM yang ditekuninya. Saya merasa kehilangan seorang teman. MLM telah memisahkan dua orang yang tadinya bersahabat dengan erat seperti saudara.

Sampai kemudian, baru-baru ini, saya mendengar berita yang sangat mencengangkan. Seorang kawan bercerita, bahwa Rifki telah berhenti dari MLM ABC, gara-gara “keributan” yang terjadi antara dirinya dengan Fandi.

Seperti yang saya ceritakan di atas, Fandi adalah upline Rifki. Fandi yang memprospek Rifki hingga mengenal MLM ABC, dan Fandi pula yang kemudian meminta Rifki agar meninggalkan pekerjaan tetapnya demi bisa serius menekuni bisnis MLM secara penuh waktu. Nah, rupanya, belum lama Fandi terlibat suatu masalah entah apa menyangkut MLM ABC, hingga kemudian memutuskan untuk berhenti dari keanggotaan MLM tersebut.

Berhentinya Fandi dari MLM ABC membuat Rifki marah, karena merasa dikhianati. Selama ini dia telah mempercayai Fandi sepenuhnya, menganggapnya sebagai mentor, guru, bahkan teladan dalam MLM ABC. Bahkan Rifki pun sampai meninggalkan pekerjaan tetapnya demi memenuhi permintaan Fandi. Tapi sekarang, karena suatu masalah pribadi antara Fandi dengan MLM tersebut, Fandi keluar dari MLM ABC, dan meninggalkan semua downline-nya, termasuk Rifki.

Keluarnya Fandi dari MLM ABC menjadikan Rifki kehilangan, dan merasa dikhianati. Saya tidak tahu bagaimana cerita persisnya, namun yang jelas hubungan keduanya menjadi rusak. Bahkan, ketika mereka bertemu di suatu acara resepsi perkawinan seorang teman kami, Rifki tidak mau bersalaman dengan Fandi, sebagai bentuk kebenciannya yang nyata pada mantan mentornya itu.

Setelah Fandi keluar dari MLM ABC, Rifki pun kehilangan semangat, dan memutuskan untuk juga keluar dari MLM tersebut. Semua impian indah yang dulu mungkin dikejarnya mati-matian sekarang punah, semua janji muluk yang dulu diimpikannya setengah mati sekarang musnah. Rifki harus kembali pada kenyataan. Setelah meninggalkan MLM ABC, dia kemudian bekerja di suatu tempat di kota lain. Saya tidak tahu lagi bagaimana kabarnya.

Saat menulis catatan ini, saya membayangkan semua peristiwa yang terjadi dengan perasaan getir. Saya tidak ingin menyalahkan MLM, tetapi saya pun harus mengakui bahwa rusaknya beberapa hubungan pertemanan kami mulai muncul akibat MLM. Mungkin kenyataan pahit semacam ini terjadi semata-mata karena kesalahan orang per orang atau para pelakunya. Tapi mungkin pula kesalahan itu timbul karena para mentor MLM “terlalu bersemangat” dalam memotivasi para anggota MLM.

Siapa pun tahu, para mentor MLM selalu berkobar-kobar ketika memotivasi para anggotanya. Dalam acara pertemuan-pertemuan yang biasa diselenggarakan MLM, kita pasti biasa melihat hal semacam itu. Motivasi itu tentu saja baik untuk membakar semangat. Namun, para mentor MLM mungkin tidak pernah membayangkan bahwa motivasi yang mereka berikan dengan berkobar-kobar itu kadang tidak hanya “membakar” semangat anggotanya, namun juga menimbulkan “kebakaran” di antara anggotanya.

Motivasi, dalam perspektif saya, tak jauh beda dengan alkohol. Impian yang indah, harapan yang tinggi, adalah bagian dari upaya memotivasi orang. Namun, sebagaimana alkohol, masing-masing orang membutuhkan suntikan motivasi dalam kadar yang berbeda. Orang yang belum pernah meminum alkohol, bisa langsung mabuk meski baru meminum sedikit. Sementara yang biasa menikmati alkohol bisa tetap santai meski telah menenggak bergelas-gelas alkohol. Kebijaksanaan dalam memberikan motivasi seharusnya menjadi pelajaran pertama bagi para mentor MLM, sebelum mereka mengobarkan motivasi para anggotanya.

Jika menyaksikan orang-orang yang saya kenal, yang terlibat dalam bisnis MLM, mereka adalah orang-orang yang sebelumnya tidak pernah mengenal motivasi. Mereka tidak pernah membaca buku motivasi atau inspirasional, apalagi mendengarkan kaset dan video motivasi.

Karenanya, begitu mendapatkan dorongan motivasi yang sangat besar dari para mentor mereka di MLM, orang-orang itu pun langsung “mabuk berat”. Dan, seperti orang mabuk, mereka tak lagi mampu membedakan mana kenyataan dan mana khayalan. Salah satu akibat negatifnya kemudian adalah seperti yang telah saya ceritakan panjang lebar di atas.

Motivasi itu penting, dalam banyak hal, dalam hidup kita secara keseluruhan. Karena motivasi itulah yang menyalakan harapan, dan harapan yang memungkinkan kita terus menjalani kehidupan dengan baik. Tak peduli dalam MLM atau dalam kehidupan luas, setiap orang membutuhkan motivasi agar terus aktif bergerak dan membangun hidup yang lebih baik. Tetapi, sekali lagi, motivasi itu tak jauh beda dengan alkohol. Jika diberikan berlebihan, ia bisa menjadikan mabuk. Ketika mabuk, orang justru tidak bisa menjalankan hidupnya dengan baik.

Sebagai penutup catatan yang cukup panjang ini, saya ingin menyampaikan selamat kepada siapa pun yang telah sukses dan berhasil mencapai impiannya dalam bisnis MLM. Kalian, seperti yang biasa diteriakkan oleh mentor MLM, “benar-benar luar biasa!”

Semoga kesuksesan yang telah kalian capai bisa menginspirasi dan memotivasi orang lain yang belum berhasil dan belum sesukses kalian. Dan bagi yang belum sukses, marilah kita belajar bahwa kesuksesan hanya dapat dicapai dalam keadaan sadar, dan bukan dalam keadaan mabuk. Karenanya, nikmatilah motivasi, tapi jangan mabuk olehnya.

Kejarlah semua impian, tapi tetaplah kejar dengan sepenuh kesadaran. Gunakan cara yang baik dalam mencari keuntungan dan memprospek orang lain, karena MLM adalah bisnis yang mengajarkan kebaikan. Jangan memanipulasi kawan sendiri, jangan memaksakan keinginan pada orang lain, dan berikan kesempatan bagi orang lain untuk memilih dengan kesadaran. Intinya, jangan membuat orang lain tidak nyaman. Jika mereka memang tertarik untuk bergabung dengan MLM yang kalian tawarkan, biarkan mereka tertarik tanpa paksaan atau perasaan terpaksa.

Untuk Rifki, yang sekarang entah ada di mana, saya ingin dia tahu bahwa saya tetap ingin berteman dan bersahabat dengannya. Dia salah satu teman terbaik yang pernah saya miliki, dan demi Tuhan, saya tidak ingin kehilangan dirinya. Apa pun yang telah terjadi, saya tetap menganggap dia sahabat saya.

Dan, omong-omong, sampai saat ini saya masih tercatat sebagai anggota MLM yang dulu pernah ditawarkannya, dan saya pun masih aktif membeli produk setiap bulan. Point-mu pasti sudah banyak, sobat!

 
;