Kamis, 16 Mei 2013

Sayap-sayap Takdir

Selalu ada sepasang sayap yang terkepak,
setelah keluar dari lubang yang gelap.
@noffret 


Di Sulawesi, tepatnya di kabupaten Donggala—desa Pakuli dan sekitarnya, serta kabupaten Luwuk Banggai—ada spesies burung yang oleh masyarakat setempat disebut burung Maleo. Dalam bahasa ilmiah, burung itu mendapat nama Macrocephalon, yang berarti “kepala besar”, karena burung itu memiliki tonjolan besar di atas kepalanya. Tonjolan itu berfungsi bagi Maleo dalam mendeteksi panas Bumi untuk menetaskan telurnya.

Burung ini merupakan endemik (hanya hidup secara alami di suatu kawasan) pulau Sulawesi, tepatnya Sulawesi Tengah. Yang unik, induk betina burung ini akan pingsan setelah mengeluarkan telurnya. Mungkin terdengar aneh, karena sepertinya kita jarang mendengar ada burung yang pingsan gara-gara bertelur. Tapi telur burung Maleo memang istimewa. Ukurannya lima kali besar telur ayam. Karena itu, sang induk harus bersusah payah ketika mengeluarkannya, bahkan sampai pingsan.

Setelah telur dikeluarkan, dan sang induk telah siuman dari pingsannya, Maleo jantan dan betina akan mulai bekerjasama membuat lubang untuk mengubur telurnya. Seperti yang disebutkan di atas, burung ini memiliki kemampuan dalam mendeteksi panas Bumi melalui tonjolan di kepalanya. Karena itu, telur Maleo tidak menetas dengan cara dierami induknya, melainkan dengan mengandalkan panas Bumi.

Jadi, sepasang Maleo jantan dan betina pun bersama-sama menggali lubang untuk telurnya yang besar, kemudian memasukkan telur ke dalamnya. Setelah itu, mereka akan menimbun telur itu dengan tanah, hingga benar-benar tak terlihat. Bukan hanya itu. Setelah telur mereka benar-benar terkubur di dalam tanah, sepasang Maleo akan kembali membuat lubang lain, dan menimbunnya seperti semula, sebagai “tipuan”.

Itu pekerjaan yang sangat berat bagi burung. Karenanya, tidak jarang sepasang burung itu pun bergantian mengerjakan tugas tersebut. Kadang-kadang, si betina kelelahan, dan ia beristirahat sementara si jantan meneruskan pekerjaan. Setelah si betina pulih tenaganya, dia meneruskan pekerjaan si jantan, sementara si jantan akan beristirahat sejenak.

Mengapa sepasang burung itu harus bersusah payah melakukan hal seperti di atas? Mengapa mereka harus mengubur telurnya di dalam lubang, lalu menimbunnya dengan tanah, dan harus bersusah payah lagi membuat timbunan lain yang ditujukan sebagai tipuan?

Ada banyak pihak yang mengincar telur Maleo. Biawak, elang, hewan-hewan pemangsa lain, bahkan manusia. Tidak sedikit pemburu liar di sana yang suka mencuri telur burung Maleo dengan berbagai alasan dan tujuan. Telur itu memiliki ukuran istimewa, sehingga menarik perhatian. Karena itu pula, induk Maleo sengaja tidak mengerami telurnya dan lebih memilih menguburkannya, karena proses pengeraman akan rentan bahaya.

Kemudian, mereka juga merasa perlu membuat timbunan lubang tiruan yang ditujukan untuk “mengecoh” pemangsa. Ketika mereka sedang menggali tanah untuk mengubur telur, selalu ada kemungkinan elang di langit memperhatikan pekerjaan mereka. Begitu sepasang burung Maleo pergi, elang bisa tiba-tiba menukik turun dan merusak timbunan itu untuk memangsa telur di dalamnya. Karena itulah, meski sulit, sepasang Maleo merasa perlu membuat upaya tipuan, demi menyelamatkan calon anaknya.

Maleo adalah sedikit di antara unggas yang tidak mengerami telurnya. Berbeda dengan kebanyakan unggas lain, penetasan telur Maleo dibantu panas Bumi atau sinar Matahari. Keberhasilan penetasan juga akan sangat bergantung pada temperatur/suhu tanah. Umumnya, suhu atau temperatur tanah yang diperlukan untuk menetaskan telur Maleo berkisar 32-35 derajat Celcius. Sedang lama pengeraman membutuhkan waktu sekitar 62-85 hari, meski kadang ada telur yang menetas kurang dari kisaran waktu tersebut.

Setelah menguburkan telurnya, dan setelah meyakinkan diri telur itu aman di tempatnya, sepasang Maleo pun kemudian pergi. Mereka harus pergi—karena keberadaan mereka di dekat lubang telur itu justru akan menarik perhatian para pemangsa. Jadi, sepasang induk itu harus merelakan calon anaknya nanti akan lahir sendirian, dan mereka tidak bisa menjaga atau menyaksikan kelahirannya.

Dan jam takdir terus berdetak.

Malam berganti siang, pagi berganti senja, dan kehidupan terus berjalan seperti biasa. Sementara itu, di kedalaman tanah yang gelap, sebuah kehidupan baru sedang dimulai.

Ketika akhirnya waktu menetas tiba, telur Maleo yang istimewa itu pun mulai retak. Tidak ada yang tahu, tidak ada yang mendengar. Dan retakan di cangkang telur itu semakin memanjang... hingga kemudian pecah. Dari dalam cangkang yang basah muncul sesosok anak Maleo—kecil, sendirian, tak berdaya, di lubang segelap malam. Dan makhluk kecil itu lalu mengangkat tubuhnya, menyibakkan cangkang yang melingkupinya, mengangkat timbunan tanah di atasnya.

Sejak keluar dari cangkang, kemudian berdiri dengan kaki-kakinya yang lemah, lalu menyibak timbunan tanah di atasnya, anak Maleo harus melakukannya sendirian. Itu pekerjaan yang luar biasa berat, khususnya bagi bayi burung yang baru lahir di kegelapan tanah. Karenanya, anak Maleo pun membutuhkan waktu hingga 48 jam untuk bisa berjuang keluar dari lubang gelap tempatnya dilahirkan. Tanpa orang tua, tanpa kawan, tanpa siapa pun yang membantu.

Dan alam semesta menyaksikan. Dengan harap. Cemas.

Tidak jarang, anak Maleo mati kelelahan ketika sedang berusaha menyibak tanah yang menutupi lubangnya. Ketika tanah di atasnya terlalu keras, dan terlalu sulit untuk disibakkan, atau akar-akar pohon yang kuat menghalangi jalannya, anak Maleo pun kehabisan tenaga untuk bisa keluar, lalu mati kelelahan. Sendirian. Ia mati di tempatnya dilahirkan, tanpa sempat mengetahui seperti apa dunia yang seharusnya ia saksikan.

Ketika akhirnya perjuangan anak Maleo untuk keluar dari lubang gelap tercapai, berbagai macam bahaya telah menghadangnya. Karena tubuh dan bulu-bulunya masih basah dan berbau amis telur, sosoknya pun mengundang kedatangan semut. Ketika semut mencium keberadaannya, kemudian memanggil pasukan besar, maka anak Maleo pun sering kali harus mati dengan tubuh dikerumuni semut.

Pemandangan semacam itu sering terlihat di Sulawesi, tempat burung ini hidup. Di permukaan tanah, kadang terlihat seonggok kepala anak Maleo yang terkulai digerogoti semut, sementara sebagian tubuhnya masih terendam tanah. Makhluk itu bahkan telah diserang—dan mati—begitu kepalanya keluar dari lubang. Ia tak memiliki tenaga untuk melawan, karena sebagian tubuhnya masih dalam lubang, dan ia pun masih kelelahan karena berjuang untuk keluar dari kegelapan.

Jika di bawah langit ada takdir yang gelap, takdir itu milik anak Maleo.

Ketika akhirnya anak Maleo berhasil mengeluarkan tubuh seutuhnya dari dasar lubang, mungkin dia telah mampu melawan semut yang mendatanginya. Tetapi pemangsa yang mengincar anak Maleo bukan hanya semut. Tikus-tikus besar yang berkeliaran kadang berpapasan dengannya, dan anak Maleo yang masih lemah sering kali harus terbunuh dimangsa tikus. Selain itu, di Sulawesi ada biawak, yang biasa disebut Soa-soa oleh masyarakat setempat.

Soa-soa adalah musuh paling berbahaya bagi anak Maleo. Selain menjadi pemangsa hewan peliharaan seperti ayam dan unggas lain, Soa-soa juga memiliki indera penciuman yang sangat tajam, sehingga bisa mengenali keberadaan mangsa, bahkan ketika si mangsa masih berupa telur dalam timbunan tanah. Kemudian, elang juga menjadi predator berbahaya bagi anak Maleo. Melawan elang bagi anak Maleo seperti melawan raksasa—sebuah usaha yang jelas sia-sia. Selain elang, ular juga sering mengincar anak Maleo untuk dijadikan santapan.

Jadi, kita lihat, perjuangan yang harus dilakukan anak Maleo luar biasa berat, bahkan  sejak ia dilahirkan. Berbeda dengan anak-anak burung lainnya, anak Maleo lahir tanpa dierami induknya. Ia lahir di kegelapan tanah, menetas sendirian, kemudian berjuang untuk bisa keluar dari tempat kelahirannya yang sempit, gelap, sendirian. Begitu keluar dari tempat kelahirannya, yang ia temui bukan orang tuanya yang segera memeluk dengan hangat, tetapi justru berbagai macam bahaya yang siap menerkamnya.

Jika ada takdir gelap di bawah langit, takdir itu milik anak Maleo.

Tetapi, sang pemilik takdir gelap itu tahu bagaimana mengubah takdirnya. Upayanya yang sangat berat selama keluar dari cangkang dan timbunan tanah menjadikan sayap-sayap anak Maleo sangat kuat. Kerja kerasnya untuk bisa keluar sendirian dari dalam kegelapan menjadikan tubuhnya memompa darah dengan kencang, dan itu menjadikannya sosok yang siap menghadapi apa pun.

Karenanya, begitu tanah di atasnya tersibak, dan tubuhnya telah keluar secara utuh dari dalam lubang gelap, anak Maleo bisa langsung terbang ke langit. Sementara anak-anak burung lainnya butuh waktu berminggu-minggu untuk bisa terbang, dan mereka harus diajari induknya untuk bisa menggunakan sayap-sayap mereka, anak Maleo telah mampu terbang dan mengepakkan sayap begitu ia dilahirkan. 

Dia yang memikul tanggung jawab dan perjuangan besar sejak dilahirkan, dia yang mampu mengepakkan sayap paling cepat sejak pertama kali mengenal kehidupan.

Anak-anak Maleo, di antara jutaan unggas lainnya, adalah spesies istimewa dalam ruang alam semesta. Telurnya yang besar, proses kelahirannya yang sulit, perjuangan hidupnya yang rumit, serta tanggung jawab dan bahaya yang dihadapinya, menjadikan anak-anak Maleo sebagai makhluk-makhluk langka di muka Bumi. Pada saat ini, diperkirakan hanya ada sepuluh ribu individu Maleo di dunia, dan jumlah yang sedikit itu pun masih harus berperang dengan para pemburu liar.

Karena itu, pemerintah pun kemudian membuat pantai khusus untuk konservasi atau penyelamatan Maleo seluas 14 hektar, yang terletak di Tanjung Binerean, Sulawesi Utara. Maleo layak dilindungi, bukan hanya karena jumlahnya yang langka, tetapi juga karena keberadaan mereka mengingatkan kita pada rahasia takdir yang dimainkan alam semesta. Selalu ada sepasang sayap yang terkepak, setelah keluar dari lubang yang gelap.

 
;