Rabu, 06 Agustus 2014

Luka Mengubah Dunia (7)

Posting ini lanjutan posting sebelumnya. Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik, sebaiknya bacalah post sebelumnya terlebih dulu.

***

Menggunakan popularitas dan pengaruhnya, Mukhtaran Mai mendesak para polisi, wartawan, pengacara, dan pihak-pihak berwenang untuk membantu kasus wanita-wanita yang menjadi korban kekerasan. Dia memang bukan orang terpelajar, sehingga tidak pintar berbicara di depan umum dengan cara memukau. Tetapi dia tahu apa yang ingin dikatakan. Dan jika seseorang tahu apa yang ingin dikatakan, maka dunia akan mendengarkan.

Sejak itu, suatu hal besar terjadi di Pakistan. Kelompok-kelompok pemberi bantuan berdiri di mana-mana, dan membantu korban-korban kekerasan, sementara para pelaku dituntut mempertanggungjawabkan perbuatannya. Angka perkosaan dan kekerasan terhadap wanita mengalami penurunan drastis, dan pemerkosaan terhadap anak perempuan miskin semakin jarang. Angka perkosaan di Pakistan memang bisa dibilang tidak ada datanya. Tapi siapa pun yang hidup di sana tahu bahwa kasus perkosaan kini semakin jarang, mengingat sebelumnya perkosaan dianggap sebagai semacam olahraga ringan.

Pada 2 Mei 2006, Mukhtaran Mai berbicara di markas besar PBB di New York. Dalam pertemuan itu ia mengatakan, “Aku ingin menyampaikan pesan ke seluruh dunia, bahwa orang harus berjuang demi hak-haknya, dan demi hak-hak untuk generasi yang akan datang.”

Ia disambut oleh Wakil Sekjen PBB, Shashi Tharoor, yang berkata dengan nada memuji, “Siapa pun yang memiliki keberanian moral dan kekuatan batin untuk mengubah serangan brutal seperti itu menjadi sebuah senjata untuk membela orang lain dalam posisi yang serupa, memang benar-benar seorang pahlawan, dan layak memperoleh penghormatan serta penghargaan kita yang terdalam.”

Dengan makin terkenalnya Mukhtaran Mai, bukan berarti jalannya kini tanpa penghalang. Selalu ada orang-orang dengki yang membenci keberhasilan orang lain. Selalu ada keparat-keparat berhati kotor yang ingin menjatuhkan orang lain. Selalu ada bangsat-bangsat kerdil yang memandang kesuksesan orang lain tidak dengan kekaguman, tapi dengan iri hati dan kebencian. Di antara orang-orang semacam itu, Presiden Musharraf bahkan termasuk.

Musharraf masih menganggap Mukhtaran Mai telah mempermalukan negaranya, pemerintahnya, nama baik bangsanya. Sebagai pemimpin, dia bukannya bangga menyaksikan seorang rakyatnya bisa mencapai prestasi besar, tetapi justru sakit hati. Duta-duta besar dari banyak negara kini lebih sering bertemu dengan Mukhtaran Mai daripada dengannya. Para wartawan dan orang-orang penting dari luar negeri lebih sering berkunjung ke sekolah Mukhtaran Mai daripada ke istananya.

Musharraf kena penyakit saraf—khas orang-orang pendengki. Dan karena dibakar iri hatinya sendiri, Musharraf pun sampai melakukan perbuatan yang sangat tercela. Dia melakukan rekayasa kotor dengan memfitnah keluarga Mukhtaran Mai. Menggunakan aparat intelijen yang masih menjadi antek-anteknya, Musharraf merekayasa kasus dengan tuduhan bahwa saudara lelaki Mukhtaran Mai melakukan suatu kejahatan, dan ditangkap.

Seiring dengan itu, ia menekan koran-koran di Pakistan untuk tidak lagi memberitakan aktivitas Mukhtaran Mai. Sebagai gantinya, ia menerbitkan koran-koran sendiri yang isinya memfitnah Mukhtaran Mai dan keluarganya. Di koran itu Mukhtaran Mai dituduh hidup bergelimang kemewahan dan menjadi orang sok kaya (padahal dia tidur di lantai kamarnya). Sementara koran sampah lain menulis dengan sinis, “Mukhtaran Mai memang punya niat baik, tapi dia hanya orang kampung.”

Kemudian, agar tidak ada lagi wartawan-wartawan asing yang beraktivitas di sana, pemerintah Pakistan menolak permintaan visa para wartawan yang biasa datang ke Pakistan. Puncaknya, Musharraf memerintahkan seseorang untuk membunuh Mukhtaran Mai. Kelak, Mukhtaran Mai menceritakan, “Di waktu-waktu itulah, aku menyadari pemerintah benar-benar serius ingin menghancurkanku.”

Orang yang mendapat tugas untuk membunuh Mukhtaran Mai adalah Farooq Leghari. Dia seorang polisi tangguh, lelaki beringas berbadan besar, yang biasa memukuli tersangka untuk mendapat pengakuan. Namanya sudah cukup membuat para bajingan di Pakistan bergidik ngeri, dan berurusan dengannya artinya berurusan dengan darah dan luka.

Dia pernah ditugaskan di daerah paling keras di Pakistan, dan sejak kedatangannya semua bajingan di sana berhenti melakukan kejahatan. Segala yang diketahuinya hanyalah kekerasan, dan hidupnya dijalani dengan prinsip hukum rimba. Orang mengerikan itulah yang dikirim ke Meerwala untuk membunuh Mukhtaran Mai.

Farooq Leghari pun datang ke Meerwala, dan mulai melakukan pengintaian terhadap Mukhtaran Mai untuk mengetahui kapan dan di tempat mana yang paling tepat untuk menghabisi wanita itu. Karena Mukhtaran Mai jarang sendirian, Leghari pun agak kesulitan mencari tempat yang ideal untuk melakukan rencananya. Tetapi, sebagai profesional, dia terus bersabar dan terus memantau calon korbannya.

Selama memantau Mukhtaran Mai, ada sesuatu yang dirasakan Farooq Leghari. Semula, rencananya datang ke Meerwala hanya untuk membunuh wanita itu, lalu segera pergi dari sana. Tetapi, selama waktu-waktu itu, ia menyaksikan sesuatu yang sebelumnya tak pernah ia lihat. Ketulusan. Cinta kasih. Kerja keras yang dilakukan untuk hal-hal baik terhadap sesama. Dan... seorang wanita lemah yang mampu mengubah wajah negaranya, yang mampu mempengaruhi dunia.

Farooq Leghari merasa ragu. Ia menyadari dirinya bukan orang baik, dan ia pun tahu tugasnya datang ke tempat itu hanya untuk membunuh calon korban yang telah ditetapkan. Tetapi, menyaksikan keseharian Mukhtaran Mai yang diabdikan untuk sekolahnya, untuk kebaikan sesamanya, nurani Leghari merasa terketuk. Bagaimana mungkin dia harus membunuh wanita sebaik itu...?

Kelak, Farooq Leghari menceritakan, “Yang kualami waktu itu semacam perasaan spiritual. Aku senang melihatnya (Mukhtaran Mai) bekerja di sekolah, atau di rumah penampungan.”

Akhirnya, ia memutuskan untuk melanggar perintah yang diterimanya. Ia tidak akan membunuh Mukhtaran Mai—ia tidak sanggup melakukannya. Kepada penghubungnya yang memberikan perintah itu, ia dengan tegas menolak melakukan pekerjaan tersebut.

Penolakan Farooq Leghari terhadap perintah itu bukannya tanpa konsekuensi. Akibat penolakannya melakukan tugas, Leghari dibuang ke tempat terpencil, bahkan dia sempat berpikir akan dibunuh. Tetapi, akibat perasaannya yang tersentuh menyaksikan kehidupan Mukhtaran Mai, dia tidak takut menghadapi ancaman yang mungkin akan datang. Bahkan, ia mengakui, kini merasa punya tujuan hidup. Dari tempatnya yang terpencil, dia membuka mulut dan menceritakan semua hal yang telah diperintahkan kepadanya.

Orang yang semula akan membunuh Mukhtaran Mai itu kini menjadi pembelanya yang paling keras bersuara. Koran-koran meliputnya, televisi menyiarkan seruannya. Ia membela perjuangan Mukhtaran Mai, dan mengutuk pemerintahnya yang telah berbuat sewenang-wenang.

“Selama ini aku memang orang jahat,” ujar Leghari saat diwawancarai. “Jahat kepada orang jahat. Tetapi, saat melihat Mukhtaran Mai, aku berpikir, pernahkah aku berbuat sesuatu yang baik? Well, kini aku punya kesempatan untuk melakukan kebaikan. Wanita itu, Mukhtaran Mai, seorang diri telah menolong banyak orang, dan aku tergerak untuk menolongnya—aku harus menolongnya! Kupikir, sekarang aku telah melakukan hal baik, meski aku tahu nyawaku terancam.”

Di kejauhan, Mukhtaran Mai mengetahui keberadaan lelaki yang tak dikenalnya itu, menyadari pembelaan yang diberikannya, dari koran-koran dan siaran televisi. Dari waktu ke waktu, ia pun tahu lelaki itu tak pernah berhenti membelanya.

Pada 2008, pemerintahan Musharraf jatuh. Jatuhnya Presiden Musharraf menjadikan seluruh perintahnya tidak relevan lagi. Pergantian pemimpin dan pemerintah di Pakistan membuka lembaran baru. Koran-koran yang semula ditekan kini kembali bebas bersuara, media-media tukang fitnah hilang satu per satu, wartawan-wartawan asing kembali bisa masuk Pakistan, kakak lelaki Mukhtaran Mai dibebaskan, dan dinas intelijen yang semula sibuk mengawasi Mukhtaran Mai kini punya kesibukan baru memburu teroris.

Sementara itu, Farooq Leghari meninggalkan tempat pembuangannya yang terkucil, dan pergi ke Desa Meerwala untuk membantu perjuangan dan pekerjaan Mukhtaran Mai.

Sejak itu, Leghari membantu kegiatan dan aktivitas-aktivitas Mukhtaran Mai di sekolahnya, di rumah penampungan, mengerjakan kasus yang menimpa wanita-wanita korban kekerasan, datang ke kantor polisi, ke pengadilan, menemui pengacara, hakim, jaksa—sebut lainnya. Dengan keberadaan Farooq Leghari di sana, tidak ada lagi idiot-idiot yang berani mengusik kerja kemanusiaan yang dilakukan Mukhtaran Mai.

Karena segala aktivitas yang dilakukan Leghari bersamanya, Mukhtaran Mai pun merasa dekat dengan lelaki itu. Meski berasal dari dunia yang berbeda, tetapi mereka kini memiliki visi yang sama—kerja kemanusiaan, semangat cinta kasih, dan ketulusan untuk membantu sesama. Suatu hari, Leghari berkata pada Mukhtaran Mai, “Melihatmu, aku tahu tujuan hidupku.”

Pada 2009, mereka menikah. Pernikahan itu menjadi salah satu pernikahan paling spektakuler di Pakistan. Bukan karena kemewahannya, melainkan karena banyaknya orang yang ingin ikut merayakannya. Para pejabat Pakistan, duta-duta besar, wartawan-wartawan lokal dan asing, semuanya berkumpul di hari besar itu, sementara anak-anak sekolah bernyanyi riang untuk pahlawan mereka.

Di antara keramaian itu, Nicholas Kristof menatap sepasang mempelai dengan terharu. Seorang wanita, pikirnya.

Seorang wanita buta huruf dari keluarga petani miskin di desa terbelakang, berjuang seorang diri melawan kebodohan dan keterbelakangan masyarakatnya, melawan aparat yang sewenang-wenang, melawan pemerintahnya, melawan presidennya, melawan takdirnya, melawan ketertindasan kaumnya... dan membuka mata dunia. Berkat upaya Mukhtaran Mai, wajah dunia tak pernah sama lagi.

 
;