Senin, 06 Oktober 2014

Debu Dalam Angin (1)

Kita tertidur ketika bintang jatuh, kita terbangun
ketika langit runtuh, dan kita terkejut melihat bulan tak lagi utuh.
@noffret


Kisah ini mungkin lucu atau malah klasik jika didengarkan hari ini, tapi benar-benar saya alami. Kisah ini terjadi lima belas tahun yang lalu, pada 1999, ketika saya perlu membeli ponsel. Waktu itu, ponsel masih barang baru, dan kebanyakan yang beredar adalah ponsel AMPS (semacam CDMA, tapi hanya bisa digunakan untuk menelepon lokal/dalam kota). Ponsel GSM masih langka, bahkan masih menjadi barang mewah saat itu.

Karena saya membutuhkan ponsel yang bisa digunakan untuk menelepon interlokal, saya pun membutuhkan ponsel GSM. Jadi, suatu sore, saya pergi ke dealer ponsel—yang waktu itu juga masih langka—untuk mendapatkan yang saya inginkan. Di dealer, pelayan menawarkan beberapa ponsel AMPS yang koleksinya cukup banyak—rata-rata berukuran besar hingga sulit digenggam. Saya bilang kepadanya, “Saya mencari yang GSM.”

Sejenak, pelayan itu menatap saya, dan bertanya, “Second?”

“Yang baru.”

Perhatikan, kisah ini terjadi pada 1999, ketika ponsel—apalagi yang GSM—masih dianggap barang mewah, mahal, dan hanya dimiliki orang-orang tertentu. Ketika saya datang ke dealer ponsel waktu itu, saya masih bocah kinyis-kinyis. Jadi, ketika mendengar saya mencari ponsel GSM, pelayan di dealer mungkin agak bingung campur heran. Karenanya, meski saya sudah menjelaskan mencari ponsel GSM, dia masih bertanya lagi, dan lagi.

Setelah mendengar saya mencari ponsel GSM yang baru, pelayan itu masih bertanya, “Nyarinya yang seperti apa?”

Meski masih bocah, waktu itu saya sudah cukup sibuk. Jadi, untuk mempersingkat waktu, saya pun menegaskan, “Saya mencari ponsel GSM, yang terbaru, dan yang paling canggih.”

Pelayan itu kembali menatap sesaat, kemudian membawa saya masuk ke ruang dalam. Itu pengalaman pertama membeli ponsel, jadi saya menurut saja. Pelayan itu ternyata mempertemukan saya dengan pemilik dealer tersebut, yang kemudian saya panggil Om Wijaya—seorang lelaki Cina berwajah ramah, berusia 40-an tahun. Setelah saya duduk di ruang pribadi Om Wijaya, pelayan tadi memberitahu, “Mas ini mau nyari ponsel GSM yang baru.”

Om Wijaya mengangguk, dan pelayan tadi pergi. Setelah itu, dengan nada ramah, Om Wijaya memberitahu, “Yang di depan (maksudnya konter di depan) hanya melayani penjualan ponsel AMPS. Pembeli yang ingin membeli GSM bisa langsung saya layani di sini.”

Saya mengangguk. Jadi begini rupanya cara membeli ponsel, pikir saya waktu itu.

Kemudian, masih dengan nada ramah, Om Wijaya menanyakan ponsel seperti apa yang saya cari. Di ruangan itu—di belakang kursi Om Wijaya—terdapat etalase berisi aneka macam ponsel. Saya pun memperhatikan ponsel-ponsel yang terpajang di sana, kemudian berkata pelan-pelan, “Saya menginginkan ponsel yang terbaru, yang paling canggih, dengan fitur paling lengkap.”

Om Wijaya mengambil beberapa ponsel, meletakkannya di meja, tapi semuanya tidak menarik minat saya. Rata-rata ponsel itu berukuran besar. Jadi, saya pun kembali menegaskan, “Saya ingin ponsel yang ukurannya paling kecil.”

Seperti pelayan tadi, Om Wijaya menatap saya sesaat, kemudian berujar pelan-pelan, “Ada ponsel produksi Jerman yang persis seperti itu—terbaru, sangat canggih, dengan fitur paling lengkap, dan berukuran kecil—jauh lebih kecil dibanding ponsel lainnya. Saya bahkan baru mendapatkannya tadi siang. Tapi, harganya mahal.”

“Berapa?”

Mungkin, karena berharap saya bisa mendengarkannya dengan baik, Om Wijaya menyebutkan harganya dengan jelas, “Satu juta delapan ratus lima puluh ribu rupiah.”

Di saku saya waktu itu ada uang tunai sekitar tiga juta. Jadi, saya pun berkata, “Bisa lihat ponselnya?”

Om Wijaya mengambil ponsel itu, meletakkannya di meja, dan membukakan kardusnya yang masih tersegel rapi. Saat ponsel dikeluarkan dari kardus, mata saya berbinar. Ponsel itu tepat seperti yang saya inginkan—warnanya hitam, berukuran kecil, dengan penampilan elegan. Inilah ponsel yang kata Om Wijaya, “keluaran terbaru, paling canggih, dengan fitur paling lengkap—dan mahal.”

Coba tebak ponsel apa yang saya lihat di sana.

Kalian mungkin akan terkejut.

Siemens C35.

Kalian yang mulai mengenal ponsel pada era 2000-an mungkin tidak tahu dan belum pernah mendengar ponsel Siemens C35, apalagi sekarang ponsel Siemens tidak lagi beredar. Tapi siapa pun yang tahu ponsel itu pasti akan senyum-senyum. Jika dilihat hari ini, Siemens C35 tampak kuno, sama sekali tidak canggih, dan ketinggalan zaman. Wujudnya juga termasuk besar untuk ukuran ponsel yang “bodoh” (bukan smartphone).

Lanjut ke sini.

 
;