Selasa, 10 Februari 2015

Kasus JIS: Sebuah Catatan (3)

Posting ini lanjutan posting sebelumnya. Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik, sebaiknya bacalah post sebelumnya terlebih dulu.

***

Berkaitan dengan kejanggalan tersebut, Hotman Paris, pengacara guru JIS dalam kasus itu, menyatakan, “Sejak awal dilakukan penyidikan terhadap kasus 6 orang petugas kebersihan, tidak pernah sang anak maupun ibu pelapor menyebutkan keterlibatan guru JIS dalam cerita dan tuduhan-tuduhannya.”

“Bahkan,” lanjut Hotman Paris, “dalam surat gugatan perdata dari ibu MAK terhadap JIS di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan di bulan April 2014, jelas-jelas disebut tuduhan pelaku dugaan perbuatan asusila adalah petugas kebersihan dari ISS, dan sama sekali tidak menyebutkan guru JIS. Pada saat gugatan ganti rugi US$ 13,5 juta dimasukkan ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, tidak ada penyebutan sama sekali keterlibatan guru-guru atau pihak JIS dalam dugaan perbuatan asusila yang dituduhkan ibu MAK. Tetapi, setelah kurang lebih sebulan kemudian, ibu MAK melalui kuasa hukumnya, menaikkan nilai gugatan ganti rugi sepuluh kali lipat lebih besar, menjadi US$ 125 juta.”

Karena kenyataan itulah, Hotman Paris melihat kasus ini seperti dipaksakan, terlebih soal adanya tuntutan uang ganti rugi dari korban. “Kami melihat adanya dugaan rekayasa dalam kasus ini,” ujar Hotman pada pers. “Hanya karena JIS menolak membayar tuntutan ganti rugi yang awalnya sebesar US$ 13,5 juta, kemudian ditingkatkan menjadi US$ 125 juta.”

Yang menarik, Hotman Paris juga menyatakan, “Pelapor (ibu MAK) bahkan mengirim pesan kepada JIS, bahwa mereka siap mencabut gugatan itu, asal uang damai sebesar US$ 13,5 juta itu dikabulkan.”

Berdasarkan kenyataan dan semua kejanggalan yang terjadi pada kasus yang melilit JIS itu pula, Hotman Paris merasa perlu mengirim surat khusus kepada Presiden Joko Widodo, dengan harapan presiden memberikan perhatian khusus pada kasus ini. Tidak hanya karena jumlah tuntutan ganti rugi yang luar biasa besar, namun juga karena orang-orang yang dituduh bersalah belum tentu memang bersalah, mengingat kasus ini sangat aneh dan penuh kejanggalan.

Menanggapi perkembangan tersebut, RA. Berar Fathia, dari Presidium Aliansi Perempuan Indonesia, menyatakan bahwa kasus ini telah bergeser dari isu sosial menjadi komersial. Semakin hari kasus ini bergeser, dan lebih sarat dengan tuntutan uang ganti rugi. “Akibatnya,” ia berujar, “bukan saja anak didik yang kemudian dirugikan, melainkan membuat celah untuk memanfaatkan peluang ini.”

Ayu Rahmat, dari perwakilan orangtua murid JIS, menyatakan kasus JIS sejak awal sangat janggal dan tidak masuk akal. Selain sistem dan kontrol di sekolah sangat ketat, cerita yang dimunculkan itu mustahil terjadi. “Bagaimana mungkin seorang anak berusia 6 tahun mengalami sodomi lebih dari 13 kali oleh 4 orang, namun kondisi lubang pelepas (anus)-nya masih normal?” ujarnya.

Ia menambahkan, di TK JIS banyak orangtua siswa yang terlibat dan memonitor kegiatan anak-anaknya. “Karena itu, menjadi sangat aneh ketika Ibu Pipit (ibu MAK) yang tidak pernah datang ke sekolah tiba-tiba melaporkan kasus ini. Kami bingung dengan semua cerita ini. Apalagi ada gugatan yang nilainya bisa digunakan untuk membeli seluruh tanah yang ditempati JIS. Ada apa ini semua?”

....
....

Berdasarkan kronologi kejadian, matriks peristiwa, pemeriksaan dan kesaksian para ahli, serta bukti-bukti yang ada, berikut ini adalah pemikiran saya mengenai kasus dugaan kejahatan seksual di TK JIS. Perhatikan, ini pemikiran saya, yang tidak menutup kemungkinan untuk keliru. Saya mendasarkan paparan berikut ini berdasarkan studi terhadap artikel-artikel yang saya baca, yang dirilis berbagai media massa.

Kasus ini bermula dari MAK, salah satu murid di TK JIS, yang—pada waktu kasus itu pertama kali muncul—berusia 5 tahun. Entah apa yang ia katakan kepada ibunya, yang jelas kemudian si ibu menyimpulkan anaknya telah disodomi oleh para petugas kebersihan di JIS (belakangan dua guru JIS juga dituduh melakukan hal yang sama, dan diajukan ke pengadilan dengan dasar tuntutan yang sama.)

Kesimpulan ibu MAK mungkin didasari oleh keberadaan nanah yang ada di dubur anaknya. Padahal, mengutip keterangan Dokter Muhammad Lutfi dari RSPI yang melakukan visum pada tubuh MAK, nanah pada dubur MAK tidak bisa dijadikan bukti konklusif bahwa anak tersebut telah disodomi. Dalam jumpa pers, Dokter Lutfi menyatakan, “Mengenai nanah tersebut, ada empat kemungkinan yang menjadi penyebabnya, salah satunya adalah radang pada usus besar.”

Namun, karena ibu MAK sangat meyakini anaknya telah disodomi, dia melaporkan dugaannya kepada polisi, dan berita itu pun seketika menjadi sensasi besar di Indonesia. Semua media di Indonesia memberitakan kasus itu dengan gegap gempita, dan seluruh perhatian publik terarah pada kasus tersebut.

Setidaknya ada dua hal yang menyebabkan berita itu sangat sensasional. Pertama, yang diduga menjadi korban adalah anak-anak. Siapa pun punya perhatian khusus terhadap anak-anak, dan kita selalu mengutuk kejahatan yang terjadi pada anak-anak. Kedua, kasus itu terjadi di JIS, sebuah sekolah kelas atas berbiaya mahal, yang memiliki atribut asing. Mencuatnya berita kejahatan di sekolah tersebut—langsung maupun tidak—telah memantik sentimen publik terhadap JIS yang dianggap sekolah asing.

Karena berita itu menjadi sorotan publik, terjadi pressure besar-besaran. Yang paling bertanggung jawab untuk mengungkap kasus itu tentu polisi. Maka polisi pun berupaya sekuat dan secepat yang mereka bisa, untuk mengungkap kasus tersebut dan menangkap para pelakunya. Hasilnya adalah penangkapan enam orang yang merupakan petugas kebersihan di JIS.

Sampai di sini, kita tiba pada sesuatu yang sangat... sangat krusial.

Ketika penangkapan terjadi, dasar yang dimiliki polisi mungkin masih minim—hanya laporan ibu MAK, dan pemeriksaan dokter yang belum tuntas. Kenyataannya, para petugas kebersihan yang ditangkap itu pun mengaku dijebak, karena tidak adanya surat penangkapan resmi. Dengan kata lain, polisi belum memiliki dasar yang kuat yang membuktikan bahwa mereka memang pelaku kejahatan tersebut.

Pertanyaannya, mengapa polisi terkesan buru-buru menetapkan pelaku atas dugaan kasus tersebut? Salah satu latar belakangnya karena pressure publik yang sangat kuat, akibat media-media yang menyorot berita itu dengan gegap gempita. Selama kasus itu bergulir, berbagai media nyaris tanpa henti merilis beritanya, sampai menggali hal-hal yang kadang tidak berkaitan langsung dengan kasus tersebut. Akibatnya, perhatian publik terus terfokus, dan pressure sosial semakin kuat. Beban moral polisi pun semakin berat.

Ada satu hal penting yang perlu saya katakan di sini. Ketika berita-berita mengenai kasus dugaan kekerasan seksual di JIS bergulir dengan masif, kita telah meninggalkan asas praduga tak bersalah kepada orang-orang yang diduga sebagai pelaku. Kita mengutuk mereka, menghakimi mereka, dan menyemburkan segala macam sumpah serapah, seolah mereka telah benar-benar terbukti bersalah.

Saya tidak menunjuk hidung siapa pun, karena saya pun ikut menghakimi mereka, dan lupa bahwa orang-orang itu punya hak untuk membuktikan bahwa mereka tidak bersalah.

Ketika kasus itu bergulir ke pengadilan, mulai terungkap perlahan-lahan bahwa kasus itu sebenarnya meragukan. Para tersangka yang sebelumnya telah menandatangani BAP (Berita Acara Pemeriksaan) mencabut BAP-nya di persidangan, sementara bukti-bukti dan saksi-saksi ahli yang dihadirkan ke pengadilan semakin mengukuhkan fakta bahwa dugaan sodomi itu sebenarnya tidak ada.

Jika memang dugaan kejahatan itu terbukti mentah di pengadilan, mengapa para petugas kebersihan yang dituduh melakukan kejahatan itu tetap divonis dan dijebloskan ke penjara? Bahkan, mengapa dua guru JIS kemudian ikut dituduh terlibat dalam kejahatan itu, meski sebelumnya tidak ada kecurigaan apa pun terhadap mereka?

Di situlah munculnya dugaan banyak orang, bahwa kasus ini telah bergeser menjadi sebuah rekayasa untuk mendapatkan uang. Ibu MAK menuntut JIS untuk membayar ganti rugi sebesar US$ 125 juta, atau sekitar Rp. 1,4 triliun. Ada uang berjumlah sangat besar yang dipertaruhkan di sini. Karenanya, meski segala bukti dan banyak saksi ahli telah mementahkan kasus ini, ada pihak-pihak tertentu yang ingin tetap meneruskannya.

Yang menjadi korban utama tentu para petugas kebersihan yang sekarang telah dijebloskan ke penjara. Mereka divonis 7-8 tahun, dengan denda masing-masing sebesar Rp. 100 juta, sementara kasus ini masih meragukan, dan kebersalahan mereka masih perlu dipertanyakan. Pikirkan saja, dari mana mereka—atau keluarga mereka—harus mendapatkan uang untuk membayar denda yang demikian besar itu, sementara pekerjaan mereka hanya menjadi petugas kebersihan?

Kebebasan mereka terenggut, nama baik mereka tercoreng, sementara keluarga mereka harus menanggung beban yang begitu berat. Azwar, salah satu petugas kebersihan yang dituduh melakukan kejahatan itu—yang kemudian tewas di kantor polisi—sebenarnya akan melangsungkan lamaran terhadap perempuan yang dicintainya. Kemudian, adik Afriska diusir dari rumah kontrakannya, hanya karena kakaknya dituduh terlibat kasus kejahatan di JIS.

Sementara Narti, suami Agun—yang juga dituduh terlibat kasus di JIS—menceritakan di hadapan KontraS, bahwa setelah Agun ditangkap, dia menemui suaminya di kantor polisi. Narti bertanya, apakah suaminya benar melakukan kejahatan itu. “Dia bilang nggak benar,” ujar Narti. “Dia berani bersumpah demi anak yang sedang saya kandung. Tapi dia bilang dipaksa untuk mengakui. Suami saya pernah disekap, dipakein lakban, juga pernah disetrum.”

Narti sedang hamil ketika suaminya ditangkap atas kasus kejahatan yang dituduhkan kepadanya. Sambil menangis ia berkata, “Tolong bebaskan suami saya, dia masih punya tanggung jawab untuk anak kami. Kalau bukan suami saya, siapa yang menafkahi? Saya akhirnya kerja, anak saya tinggal di rumah. Sudah kehilangan kasih sayang ayahnya, harus kehilangan kasih sayang ibunya juga.”

Hanya karena pengaduan seorang anak berusia 5 tahun, ada banyak orang menanggung akibat yang mengerikan. MAK mengadu kepada ibunya, dan kemudian ibunya menyimpulkan MAK telah disodomi, lalu melaporkannya kepada polisi. Di dunia hukum, keterangan anak kecil tidak bisa dinilai sebagai saksi. Kesaksian tersebut baru bisa diterima sebagai dasar hukum, jika dikuatkan oleh saksi lain dan bukti-bukti yang mendukung.

Dalam konteks kasus MAK, saksinya hanya si anak. Sementara bukti-bukti (visum dan lainnya) justru membuktikan sebaliknya, bahwa tuduhan sodomi itu sama sekali tidak ada.

Karenanya, seperti yang saya tulis di catatan sebelumnya (Sepele, tapi Sangat Berbahaya), kita perlu menanggapi cerita atau aduan anak dengan bijak, dan meresponsnya dengan akal sehat. Tidak setiap cerita yang dituturkan anak kita berdasar fakta, tidak semua aduan yang dikatakannya harus selalu dipercaya.

Masih ingat kasus yang menimpa TK McMartin yang saya tulis di sini? Kasus yang terjadi pada JIS memiliki kemiripan dengan kasus yang terjadi pada TK McMartin. Hanya berdasar pada cerita seorang anak, yang kemudian ditindaklanjuti ibunya dengan gegabah, sampai kemudian dua guru di TK McMartin ditangkap dan diajukan ke pengadilan. Beruntung pengadilan kemudian membuktikan bahwa guru-guru itu tidak bersalah, karena kasus itu sebenarnya tidak ada. Sayangnya, hal yang sama tidak terjadi pada kasus JIS.

Saya menulis catatan ini tidak dengan maksud apa pun, selain hanya sebagai kewajiban moral akibat pernah menghakimi orang-orang yang dituduh sebagai pelaku. Ketika berita seputar kasus dugaan kejahatan seksual di JIS muncul, saya—seperti kebanyakan orang lain pada waktu itu—juga sangat mengutuknya, dan membenci orang-orang yang dituduh sebagai pelaku. Karenanya, ketika kasus ini kemudian terbuka dan semakin menunjukkan kenyataan sebaliknya, maka saya merasa punya kewajiban moral sebagai sesama manusia untuk membela mereka yang belum tentu bersalah.

Bagaimana pun, ditangkapnya orang-orang yang dituduh sebagai pelaku kejahatan itu tak bisa dilepaskan dari pressure publik akibat derasnya pemberitaan media. Dengan kata lain, kita semua ikut terlibat dengan nasib para petugas kebersihan yang sekarang meringkuk di penjara. Jika mereka benar-benar tidak bersalah, namun harus menanggung hukuman atas kesalahan yang tidak mereka lakukan, maka kita semua ikut menanggung dosa.

Akhirnya, kita berharap, semoga kasus ini semakin terang, dan semakin jelas mana yang benar dan mana yang salah. Semoga semua pihak—polisi, jaksa, hakim, pengacara, dan lainnya—diberi kejernihan pikir dan kebeningan hati dalam menghadapi kasus ini. Kita tentu mengutuk setiap kejahatan, apalagi kejahatan yang menimpa anak-anak. Tetapi, kita juga tidak bisa membiarkan orang-orang tak bersalah harus menanggung hukuman akibat kesalahan yang tidak mereka lakukan.

Ayu Rahmat, dari Perwakilan Orangtua Murid JIS, berharap Presiden Jokowi dan Ibu Iriana untuk ikut memonitor kasus ini. “Karena,” ujar Ayu, “kasus ini menjadi pertaruhan hidup mati bagi keluarga para terdakwa. Para pekerja kebersihan itu adalah tulang punggung keluarga dan sumber nafkah bagi keluarganya. Bayangkan jika kita dihukum untuk suatu perbuatan yang tidak pernah kita lakukan, dan harus menanggungnya seumur hidup. Mereka punya anak, istri, orang tua dan anak asuh. Saya yakin dengan mengungkap kebenaran dalam kasus ini, kita dapat menyelamatkan masa depan banyak keluarga dan orang-orang kecil yang tidak mampu dan tidak bersalah ini.”

Di dunia hukum, ungkapan yang tak pernah lekang adalah, “Lebih baik membebaskan seribu orang bersalah, daripada menghukum satu orang yang benar.”

 
;