Rabu, 18 Maret 2015

Dari Penulis kepada Editor (1)

editor & penulis itu setara. tentu, keduanya akan bersama-sama
menjadi lebih baik bila mau belajar & saling menerima masukan.
@windyariestanty


Pengantar:

Catatan ini berjudul Dari Penulis kepada Editor, karena saya menulisnya dari sudut pandang penulis. Untuk setiap istilah “penulis” yang digunakan dalam catatan ini, yang dimaksud adalah “penulis profesional”, kecuali jika dinyatakan lain.

Baca: Media Online Paling Memuakkan

Penjelasan-penjelasan teknis dalam catatan ini merujuk pada—khususnya—Buku Pintar Penyuntingan Naskah yang ditulis Pamusuk Eneste yang banyak digunakan di Indonesia, Book Editors Talk to Writers (kumpulan transkripsi wawancara tentang aspek editorial) terbitan John Wiley & Sons, dan The Cambridge Handbook for Editors, Copy-editors, and Proofreaders yang digunakan berbagai penerbit di dunia.



Istilah “editor” dan “editing” berasal dari bahasa Inggris. Istilah itu mengambil dari bahasa Latin, “editus”, yang berarti “menyajikan kembali”. Kamus Inggris-Indonesia (Echols & Shadily) menyebut bahwa “editor” bermakna redaktur; pemeriksa naskah untuk penerbitan. Sedangkan istilah “edit” bermakna membaca dan memperbaiki (naskah), mempersiapkan (naskah) untuk diterbitkan. Sementara KBBI menyebut “editor” sebagai orang yang mengedit naskah tulisan atau karangan yang akan diterbitkan di majalah, surat kabar, dan sebagainya.

Sebenarnya, dalam dunia penerbitan, ada banyak istilah editor, dari editor-in-chief (pemimpin redaksi), managing editor (redaktur pelaksana), editor (redaktur), dan lain-lain. Namun, yang akan kita bahas dalam catatan ini adalah editor yang berhubungan dengan penulis dalam rangka kerjasama penerbitan naskah buku. Bisa jadi, di masing-masing penerbit, istilah untuk editor semacam itu berbeda. Karenanya, untuk memudahkan pemahaman bersama, saya hanya akan menyebut “editor”.

Di dunia penerbitan, penulis dan editor memiliki peran sangat penting, bahkan bisa dibilang penggerak utama. Penulis memproduksi naskah, sementara editor menjadi jembatan agar naskah penulis bisa diterima publik. Kerjasama keduanya difasilitasi penerbit, dan lahirlah buku yang beredar secara luas dan sampai ke tangan pembaca.

Meski peran penerbit (dan elemen lain semisal proofreader, desainer sampul, dan lainnya) tidak bisa dikesampingkan dalam lahirnya sebuah buku, namun catatan ini hanya akan berfokus pada hubungan antara penulis dan editor. Kedua pihak itu ada di balik industri penerbitan dengan tujuan saling melengkapi. Sehebat apa pun seorang penulis, ia tetap manusia yang bisa keliru, khilaf, juga bisa subjektif. Karenanya, penulis butuh editor. Sebaliknya, sehebat apa pun seorang editor, ia juga tetap manusia yang tidak lepas dari kekeliruan dan kekhilafan. Karena editor memang bukan Tuhan.

Mari kita mulai dari editor. Di dunia penerbitan buku, editor adalah jembatan yang menghubungkan penulis, penerbit, dan pembaca. Editor harus menjadikan karya si penulis lebih bagus, agar pembaca puas menikmati hasilnya, dan penerbit mendapat keuntungan dari penjualan buku. Jika tugas itu dapat dijalankan dengan baik, semua pihak (penulis, pembaca, dan penerbit) akan puas. Sebaliknya, jika tugas itu tidak beres, maka hubungan dengan penulis bisa rusak, pembaca tidak puas, sementara penerbit tidak memperoleh untung.

Sekarang kita lihat tugas penulis. Dalam industri penerbitan, penulis bekerja menghasilkan naskah untuk penerbit. Ketika membuat naskah, para penulis profesional tidak hanya berusaha menghasilkan karya yang bagus, tapi juga memikirkan prospek dari karyanya. Bagaimana pun, mereka menggantungkan hidup pada menulis. Jika karyanya tidak laku, maka mereka akan kehilangan banyak waktu, tenaga, pikiran, bahkan biaya.

Dari ilustrasi singkat itu, kita melihat masing-masing tugas editor maupun penulis tidak ringan. Penulis bekerja menghasilkan naskah, sementara editor bertugas menjadikan naskah itu memberi kepuasan dan keuntungan bagi semua pihak. Nah, karena pihak penerbit yang berhubungan langsung dengan penulis adalah editor, maka penulis dan editor harus saling memahami. Bukan hanya memahami tugas masing-masing dalam kerjasama mereka, namun juga memahami bahwa mereka adalah dua orang dengan kedudukan setara.

Poin itu sengaja saya tekankan, karena kadang ada penulis yang merasa lebih tinggi dari editor, sebagaimana juga kadang ada editor yang merasa lebih tinggi dari penulis. Ketika kenyataan semacam itu yang terjadi, maka kerjasama pun tidak akan berjalan baik. Kesadaran bahwa penulis dan editor memiliki posisi setara dibutuhkan keduanya, agar masing-masing penulis dan editor terbuka pada saran, masukan, bahkan kritik, serta tidak merasa dirinya yang pasti benar. 

Ketika menulis dan menghasilkan naskah, bagaimana pun penulis tetap manusia. Artinya, selalu ada kemungkinan kesalahan dalam tulisannya—meski definisi “kesalahan” dalam naskah bisa sangat beragam dan tersamar. Kita tidak perlu membahas kesalahan tulis atau kesalahan ejaan, karena itu sudah jelas salah. Unsur subjektivitas, misalnya, adalah kesalahan umum yang biasa dilakukan penulis, meski para penulis kadang tidak menyadari.

Mari kita gunakan contoh, agar yang saya maksud bisa lebih dipahami.

Ketika menulis, kadang penulis memasukkan humor tertentu ke dalam tulisan. Dia mungkin sangat mengenal humor tersebut, dan menyukainya. Tapi apakah humor itu juga dipahami orang lain, khususnya pembaca bukunya? Ada humor universal, yaitu humor yang memang bisa dipahami semua orang. Ada humor internal, yaitu humor yang hanya dipahami sekelompok orang tertentu. Begitu pula ada humor basi, yaitu humor yang terlalu sering diungkapkan, sehingga orang tidak bisa lagi tertawa saat membaca atau mendengarnya.

Karena kurang pengetahuan, bisa jadi penulis baru mendengar atau mengetahui suatu humor, dan dia sangat menyukainya, padahal humor tersebut sudah sangat basi. Atau, dalam kasus lain, seorang penulis menyukai suatu humor, dan memasukkannya ke dalam naskah dengan harapan orang lain akan tertawa. Padahal itu humor internal, yang tidak dipahami semua orang. Alih-alih tertawa, pembaca justru mengerutkan kening karena tidak paham.

Ketika hal semacam itu terjadi, penulis membutuhkan editor. Editor akan memberitahu hal tersebut, dan menjelaskan bahwa bagian humor itu bermasalah. Solusinya, penulis bisa menghapus bagian itu dari naskah, atau menggantinya dengan yang lebih baik. Jika si penulis memang menyadari dirinya keliru, maka dia tentu perlu memenuhi saran editor.

Itu contoh sepele dalam hubungan antara penulis dan editor, khususnya dalam hal penulisan naskah. Para pemula mungkin tidak sampai memikirkan hal-hal itu, tapi para profesional sangat memperhatikan. Jangankan sebuah ilustrasi berbentuk humor (sebagaimana yang saya gunakan dalam contoh tadi), bahkan kalimat pun kadang sangat diperhatikan, baik oleh editor maupun oleh si penulis.

Dalam Majalah Tempo, edisi Oktober 2014, Ayu Utami menceritakan “perdebatan” yang ia lakukan dengan editornya, menyangkut suatu kalimat yang digunakan dalam naskah novel Bilangan Fu. Ceritanya, dalam naskah novel itu, Ayu Utami menulis ungkapan, “padaku ada sesuatu”. Karena pertimbangan tertentu, editor ingin menyederhanakan kalimat itu dan menggantinya jadi “aku punya sesuatu”. Tapi Ayu Utami menolak, dan tetap ingin menggunakan kalimat yang ditulisnya. Untuk hal itu, dia menjelaskannya seperti ini (saya kutip secara utuh dari Majalah Tempo):

Saya bertahan, sebab penyederhanaan itu mengubah makna. Sesungguhnya bukan cuma mengubah arti, melainkan mengganti paradigma berpikir-jika bukan berkesadaran. “Padaku ada sesuatu” dan “aku punya sesuatu” adalah dua kalimat yang berasal dari cara pikir yang berbeda. Dunia modern yang mencari kecepatan dan kesederhanaan mungkin menyukai yang kedua. Kalimat aktif, subjek-predikat-objek, jelas. Huh, Microsoft Office pun lebih suka kalimat aktif daripada pasif!

Tapi, perhatikanlah, kalimat kedua itu membuat perkara jadi sekadar relasi kepemilikan. Saya punya sesuatu. Katakanlah, saya punya roh. Atau saya punya nyawa. Saya punya suami. Saya punya anak. Sebaliknya, struktur kalimat yang pertama tidak melihat perkara dalam relasi kepunyaan. Pada saya ada roh. Pada saya ada nyawa. Pada saya ada istri. Pada saya ada suami. Pada saya ada anak. Struktur ini berasal dari kesadaran bahwa ada yang tidak berada dalam hubungan kepemilikan. Dan itu biasanya berhubungan dengan kemanusiaan atau kehidupan. Jika kita beranggapan bahwa sesuatu hidup karena memiliki roh atau spirit, cara pandang ini dekat dengan cara spiritual.


Lanjut ke sini.

 
;