Minggu, 01 Maret 2015

Dua Lelaki dan Hikayat Hati (3)

Posting ini lanjutan posting sebelumnya. Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik, sebaiknya bacalah post sebelumnya terlebih dulu.

***

Lelaki Pertama mengambil sebatang rokok dari bungkus, kemudian menyulutnya. Setelah itu ia kembali berkata, “Yang jadi masalah, cinta sering kali tidak memberi kesempatan bagi kita untuk mengambil jarak. Sehingga kita tidak bisa menilai secara objektif. Karena kehilangan objektivitas, kita pun melakukan yang ingin kita lakukan, tanpa sempat berpikir apakah itu benar-benar ingin kita lakukan... atau hanya sekadar sesuatu yang kita pikir ingin kita lakukan.”

Lelaki Kedua mematikan puntung rokoknya di asbak, kemudian berkata perlahan-lahan, “Itu latar belakang kenapa kau tidak tertarik punya pacar dan tak berminat menikah?”

“Sebenarnya, aku tertarik punya pacar dan berminat menikah.”

“Tapi...?”

“Tapi aku mengambil jarak. Sebelum itu telanjur kulakukan, aku menjauh dari keinginanku, menanyakan pada diriku sendiri, sepenting apa keinginan itu. Dan objektivitas memberiku jawaban, bahwa ada hal lain yang lebih penting yang harus kulakukan—sesuatu yang jauh lebih penting dari punya pacar atau menikah. Tentu saja ini bersifat kasuistis—sesuatu yang terjadi padaku belum tentu sama dengan orang lain. Karenanya, kau tentu tidak perlu terpengaruh olehku. Kalau kau memang berniat segera menikah, dan meyakini itu memang pilihanmu, kau tidak perlu berubah pikiran.”

“Teruskan.”

“Kenapa kita biarkan minuman ini mendingin?”

Mereka menyeruput teh di gelas masing-masing sampai habis. Setelah itu, Lelaki Kedua kembali menyulut rokok.

Setelah Lelaki Kedua meletakkan korek api dengan asap mengepul dari mulut dan hidung, Lelaki Pertama berkata perlahan-lahan, “Bagaimana pun, hidup tiap orang tak bisa dilepaskan dari pengaruh latar belakang dan masa lalu. Kau mungkin tidak sempat berpikir sejauh yang kulakukan, karena kita memang memiliki latar belakang dan masa lalu berbeda. Kau tumbuh besar dalam hidup berkecukupan, sehingga tanpa sadar kau pun berpikir, dan meyakini, kehidupan akan selalu seperti yang kaurasakan—berkecukupan, tidak ada masalah, hidup yang baik-baik saja. Sementara aku tumbuh besar dalam hidup penuh kekurangan dan kemiskinan...”

“Yang membedakan,” lanjut Lelaki Pertama, “hidup yang berkecukupan atau dalam kekayaan tidak meninggalkan trauma. Tapi hidup dalam kemiskinan dan kemelaratan meninggalkan trauma. Tanyakan pada siapa pun yang telah keluar dari kemiskinan, dan kau akan mendapat jawaban sama. Meski mereka telah berhasil keluar dari belenggu kemiskinan, mereka kesulitan melepaskan trauma yang pernah ditimbulkannya. Itu pula yang kurasakan. Aku kerap dibayangi ketakutan yang tak bisa kukatakan kepada siapa pun, karena mereka belum tentu memahami. Beberapa keparat sok tahu kadang dengan enteng menyatakan agar aku melupakan, seolah hal itu mudah kulakukan.”

Sesaat kesunyian menggantung di ruang tamu. Kedua lelaki mengisap rokoknya masing-masing, dan asap mengepul ke langit-langit.

Setelah mengetukkan abu rokoknya ke asbak, Lelaki Pertama berkata, “Well, masih ingat peristiwa mengerikan yang pernah kualami, waktu kita semester tiga di kampus?”

“Waktu kau mengalami kecelakaan parah itu?”

Lelaki Pertama mengangguk. “Ya, peristiwa itu. Waktu itu, sebagaimana kau tahu, aku telah menjalani kehidupan yang mewah untuk ukuran seorang bocah. Waktu itu, aku sempat berpikir telah terlepas dari kutukan kemiskinan, dan bisa mulai menjalani hidup baru yang berkecukupan. Tanpa ada lagi kekurangan, dan segala macam kesusahan menyedihkan. Tetapi kemudian kecelakaan parah yang kualami waktu itu menjungkirbalikkan semua yang ada di kepalaku. Lebih dari setahun aku tak bisa melakukan apa-apa, sementara pengobatan dan biaya hidup menghabiskan semua yang telah kukumpulkan dengan susah-payah. Saat aku mulai sembuh, aku telah kehilangan banyak hal. Sebenarnya, waktu itu, aku bahkan sudah tak punya apa pun.”

Hening sesaat.

“Kita lihat,” lanjut Lelaki Pertama, “hidup bisa berubah seratus delapan puluh derajat tanpa kita sangka. Sesuatu yang kita pikir telah selesai bisa jadi justru menjadi awal mula. Itulah yang kualami waktu itu. Aku telah kehilangan segalanya. Ketika kemudian aku mulai sembuh dan dapat bekerja kembali, aku benar-benar mulai dari nol lagi. Yang kujalani bahkan kemudian lebih sulit... jauh lebih sulit. Selama bertahun-tahun sejak itu, aku hanya makan satu kali sehari demi menghemat pengeluaran—kadang bahkan hanya makan mie instan, karena tidak ada uang. Bukan masalah bagiku, karena sebelumnya aku telah terbiasa hidup melarat. Tapi ada satu hal penting yang waktu itu kutemukan. Waktu itu, aku bersyukur... sangat bersyukur... karena tidak punya pacar.”

Lelaki Kedua bertanya heran, “Kenapa kau justru bersyukur?”

“Karena aku punya alasan,” jawab Lelaki Pertama. “Kalau aku punya pacar waktu itu, pikiran dan konsentrasiku akan terpecah. Bagaimana pun, seorang pacar butuh banyak hal—di antaranya waktu dan perhatian. Jika aku punya pacar waktu itu, maka mau tak mau pikiranku akan terpecah. Oh, bukan hanya itu. Aku juga bersyukur tidak punya pacar, karena... well, aku tidak bisa membayangkan tekanan macam apa yang akan kurasakan jika punya pacar, sementara kehidupan pribadiku sedang berantakan, pikiranku kacau tak karuan, tanpa uang, tanpa apa pun.”

Lelaki Kedua mengangguk, memahami.

“Peristiwa itulah yang memberiku pelajaran, bahwa hidup membutuhkan fondasi yang sangat kuat,” lanjut Lelaki Pertama. “Kita tidak bisa yakin bahwa segalanya akan baik-baik saja, karena hidup bisa sangat mengerikan, kita bisa kehilangan apa pun yang kita miliki sewaktu-waktu, dan yang kita pikir telah selesai ternyata hanya awal untuk memulai. Sekarang, meski peristiwa itu telah jauh berlalu, aku masih sering membayangkan... umpama sekarang aku punya pacar atau bahkan menikah, kemudian peristiwa serupa kembali terjadi, aku tak bisa membayangkan apakah aku bisa kembali melewatinya. Akan seberat apa beban yang harus kutanggung umpama aku telah punya pasangan, sementara hidup kembali melemparkanku untuk memulai lagi dari nol. Oh, tentu saja kau tidak akan berpikir sejauh itu, karena kau tidak pernah mengalami. Kau tidak merasakan trauma yang pernah terjadi.”

“Tetapi, kulihat, kau sekarang telah menjalani hidup yang lebih baik dibanding dulu.”

“Semoga saja begitu,” sahut Lelaki Pertama, “tetapi badai bisa datang sewaktu-waktu. Karena itulah, seperti yang kukatakan berulang-ulang tadi, aku masih punya setumpuk hal penting yang harus kulakukan, hingga tidak sempat mikir pacar apalagi perkawinan. Bagaimana pun, keberadaan pasangan akan memecah pikiranku, dan menghambat langkahku. Itu tidak baik bagiku, juga tidak baik untuk pasanganku.”

Suara kendaraan melintas di depan rumah sesaat menghentikan percakapan mereka.

“Tetapi, dalam pikiran atau keyakinanmu, akankah kelak kau menikah?” tanya Lelaki Kedua serius.

“Entahlah,” ujar Lelaki Pertama perlahan-lahan. “Aku tidak yakin apakah kelak akan menikah. Kalau kau menjalani kehidupan seperti yang kujalani, satu-satunya hal yang kauinginkan dalam hidup hanyalah tidak mewariskan hal yang sama pada anak-anakmu. Kalau aku tidak menikah, dan itu artinya juga tak punya anak, sama sekali bukan masalah bagiku. Artinya aku tidak akan mewariskan kutukan yang sama pada anakku. Karenanya, sekarang, prinsipku sederhana. Jika kelak aku menikah ya syukur, tidak menikah juga tidak apa-apa.”

“Mari kita andaikan. Saat ini kau berprinsip tidak ingin punya pacar. Tetapi cinta kadang tidak terprediksi. Suatu hari, misalnya, kau bertemu dan kenal seorang perempuan, dan—entah bagaimana—kau jatuh cinta kepadanya, ingin menjadikannya pacar. Meski telah kaupikirkan dengan matang, kau tetap ingin menjadikannya pacar. Jika hal semacam itu benar-benar terjadi, apa yang akan kaulakukan?”

“Kembali pada prinsip sederhana tadi,” jawab Lelaki Pertama. “Selama aku belum menyelesaikan urusan hidupku yang lebih penting, keberadaan pacar tetap bukan prioritas penting. Jadi aku tidak akan terlalu menyita waktu dan pikiranku untuk hal itu. Kalau dia mau jadi pacarku ya syukur, kalau pun tidak juga tidak apa-apa. Yang jelas, aku tidak akan mengejar-ngejar atau semacamnya, karena tidak ada waktu. Lebih dari itu, aku juga khawatir hanya akan mengecewakannya, karena belum tentu bisa memberikan waktuku untuknya.”

Lelaki Kedua mengangguk. Setelah terdiam beberapa saat, dia bertanya, “Sejujurnya, aku ingin tahu. Kau tidak pernah merasa kesepian? Hidup sendirian, bertahun-tahun?”

“Kesepian adalah kondisi sendirian yang tidak diinginkan. Tidak, aku tidak pernah kesepian, karena aku memang mengondisikan diri untuk hidup sendirian. Fakta bahwa aku sampai mengeluarkan televisi dari rumahku adalah bukti betapa aku justru menghendaki kondisi sunyi. Sejujurnya, aku belum rela menukar kesunyian yang kujalani dengan apa pun. Aku telah telanjur jatuh cinta kepada sunyi. Dan, kupikir, itu cinta terbaik yang pernah kumiliki.”

Kesunyian menggantung. Malam semakin larut. 

 
;