Kamis, 23 April 2015

Autis, Ayan, Gila

Ibuku berkata pada teman-temannya, “Ya, anak saya memang gila.”
Entah dia bangga atau menyesal waktu mengatakannya.
@noffret


Kita pasti sering mendengar atau mendapat nasihat agar tidak menggunakan kata “autis” yang ditujukan untuk olok-olok. Larangan itu muncul, karena sebagian orang kadang menggunakan istilah atau kata “autis” untuk menyebut atau mengolok-olok orang lain. Misalnya, saat melihat seseorang asyik sendiri dengan ponselnya, mereka kadang berkomentar, “Kalau sudah pegang ponsel, dia benar-benar jadi autis!”

Ada teman saya yang bingung dengan larangan tersebut. Sebut saja namanya Deni. Menurut Deni, apa salahnya menggunakan kata “autis” untuk menyebut seseorang yang terlalu asyik sendiri dengan aktivitasnya?

Saya mencoba menjelaskan, larangan itu mungkin timbul karena penggunaan kata “autis” untuk tujuan mengolok-olok bukan hal baik, khususnya jika didengar orang yang kebetulan punya anak atau adik yang mengidap autisme.

Deni tidak puas dengan penjelasan umum itu. Dia menyatakan, “Aku sering melihatmu asyik sendiri kalau sedang membaca buku. Kalau aku bilang kamu autis jika sudah pegang buku, apakah kamu marah?”

“Tidak,” saya menjawab jujur.

“Kalau aku menyebutmu autis karena asyik sendiri dengan bukumu, apakah kamu akan menganggap itu sebagai ejekan?”

“Tidak,” jawab saya lagi.

Deni menatap saya. “Aku menyebutmu autis, dan kamu tidak marah, karena tidak menganggap itu sebagai ejekan. Jadi, apa masalahnya?”

Saya mencoba menjawab dengan sabar, “Masalah sebenarnya mungkin bukan pada orang yang dituju atau disebut autis, sebagaimana yang kamu contohkan. Yang jadi masalah adalah jika ucapanmu didengar orang yang kebetulan punya anak, adik, atau keluarga, yang benar-benar menyandang autisme. Bisa jadi ucapanmu tadi menyinggung atau menyakiti perasaan mereka.”

“Kenapa mereka harus tersinggung?” sahut Deni dengan bingung. “Aku tidak mengolok-olok anak atau adik atau keluarga mereka. Aku sedang mengolok-olokmu. Kalau kamu tidak marah dengan olok-olok yang kulontarkan, kenapa orang lain harus tersinggung?”

Sesaat, saya kebingungan.

Sekilas, ucapan Deni terdengar benar. Dia tidak mengolok-olok siapa pun. Dia mengolok-olok saya. Kalau saya yang diolok-olok tidak tersinggung, kenapa orang lain harus tersinggung?

Deni masih diam, seperti menunggu saya menjawab.

Saya mengambil rokok, menyulutnya, mengisapnya sesaat, kemudian berkata perlahan-lahan, “Mungkin begini. Bayangkan seorang ibu yang kebetulan memiliki anak yang mengidap autisme. Dia sangat kerepotan mengurusi anaknya yang berkebutuhan khusus itu, setiap hari harus menghadapi segala macam kelakuannya yang mungkin merepotkan bahkan menyulitkan. Nah, kemudian dia mendengarmu mengolok-olokku autis. Bisa saja dia tersinggung atau bahkan sakit hati, karena masalah anaknya digunakan sebagai bahan ejekan atau olok-olok. Meski kamu sedang mengolok-olokku, dan aku tidak tersinggung, tapi dia bisa saja tersinggung.”

Deni mengangguk. Kemudian melontarkan pertanyaan tak terduga, “Lalu bagaimana dengan ayan?”

“Bagaimana dengan... apa?”

“Ayan, epilepsi.” Deni menjelaskan. “Banyak orang menggunakan kata ‘ayan’ untuk mengejek atau mengolok-olok orang lain. Kenapa itu tidak dipersoalkan?”

Saya paham maksud Deni. Dalam pergaulan sehari-hari, kita juga pasti sering mendengar teman kita mengolok-olok atau mencandai temannya dengan sebutan “ayan”. Misalnya, “Kamu kalau menari kayak orang ayan.” Atau, istilah itu juga kadang digunakan untuk mengolok-olok diri sendiri. Misalnya, “Karena patah hati, aku pun kejang-kejang kayak orang ayan.”

Pertanyaan Deni tadi mengingatkan salah satu bagian masa kecil saya. Sewaktu SMP, saat sedang jalan kaki pulang sekolah, saya mendapati kerumunan tidak jauh dari sekolah. Orang-orang tampak menonton sesuatu. Karena penasaran, saya pun mendekat, untuk melihat apa yang sedang mereka tonton.

Di tengah kerumunan, saya menyaksikan seorang lelaki—mungkin usianya sekitar 20-an—sedang telentang di tanah, dengan tubuh kejang-kejang dan ekspresi yang aneh. Saya tidak tahu apa yang terjadi. Jadi saya ikut menonton, dan bertanya-tanya apa yang menimpa lelaki itu. Tidak lama kemudian, seorang wanita datang, dan membubarkan kerumunan dengan wajah antara sedih dan marah. Wanita itu mungkin ibu si lelaki yang kejang-kejang tadi.

Sejak itulah kemudian saya tahu bahwa yang menimpa lelaki tadi disebut epilepsi atau ayan. Ketika kumat, dia akan terjatuh, kemudian kejang-kejang dengan ekspresi aneh seperti yang tadi saya saksikan. Yang mengkhawatirkan, kadang dia kumat tanpa pandang tempat. Berdasarkan cerita yang sekilas saya dengar dari orang-orang yang berkerumun, lelaki pengidap ayan itu kadang kumat tiba-tiba ketika sedang ada di jalan raya. Itu jelas berbahaya, karena dapat mengancam keselamatannya.

Sejak itu pula, saya mulai menyadari bahwa di dunia ini ada penyakit atau masalah medis yang disebut epilepsi, dan bahwa di sekitar saya ada orang yang mengidap masalah tersebut. Bahkan sampai hari ini, saya masih bisa mengingat ekspresi wanita yang mendatangi anaknya yang sedang kumat itu, bertahun-tahun lalu. Sebentuk ekspresi kasih seorang ibu, bercampur sedih dan amarah. Mungkin sedih menghadapi nasib anaknya, dan marah karena masalah anaknya dijadikan tontonan orang-orang.

Dan sekarang, Deni bertanya, “Kenapa orang-orang menggunakan kata ‘ayan’ untuk mengejek atau mengolok-olok temannya? Kenapa itu tidak dipersoalkan, padahal kita dilarang menggunakan kata ‘autis’ untuk tujuan yang sama?”

Sekali lagi saya kebingungan menghadapi pertanyaan Deni.

Sekilas, yang dinyatakan Deni memang ada benarnya. Autis maupun ayan sama-sama masalah medis. Jika kita dilarang menggunakan kata “autis” untuk mengolok-olok orang lain, kenapa kita bisa leluasa menggunakan kata “ayan” untuk tujuan yang sama?

Jika memang penggunaan “autis” dilarang untuk olok-olok, seharusnya masalah medis lain—semisal “ayan”—juga dilarang. Jika ibu yang memiliki anak penderita autisme bisa tersinggung masalah anaknya digunakan olok-olok, tentunya ibu yang memiliki anak penderita epilepsi juga sama tersinggung kalau masalah anaknya digunakan untuk tujuan yang sama.

“Juga jangan lupa,” ujar Deni, “kita pun terbiasa menggunakan istilah ‘gila’ untuk menyebut atau mengolok-olok orang lain. Padahal, ‘gila’ tak jauh beda dengan ‘autis’ atau ‘ayan’. Tapi kita biasa menggunakan istilah ‘gila’ untuk berbagai tujuan, termasuk untuk bercanda dan mengolok-olok.”

Kembali saya terdiam. Kali ini lebih lama. Sambil mengisap rokok, saya menyadari betapa seringnya kita menggunakan istilah “gila” untuk berbagai maksud dan tujuan, sebagaimana yang disebut Deni. Saat mengolok-olok teman, kita bisa enteng menyatakan, “Kamu memang gila!” Atau saat melihat sahabat melakukan hal-hal tertentu, kita tersenyum sambil berujar, “Dasar gila, lo!”

Padahal, “gila” adalah istilah yang merujuk kondisi kejiwaan bermasalah. Orang yang mengalami masalah kejiwaan, umum disebut gila. Bahkan ada rumah sakit khusus untuk orang-orang semacam itu, yang disebut Rumah Sakit Jiwa atau lazim disingkat RSJ. Artinya, ada orang-orang yang mengidap masalah tersebut, kemudian keluarganya membawa dia ke Rumah Sakit Jiwa untuk berobat. Tak jauh beda dengan ayan atau epilepsi, gila adalah masalah yang bisa menimpa orang per orang.

“Aku punya famili yang kebetulan mengalami masalah kejiwaan,” ujar Deni. “Dia kakak sepupuku. Aku tidak tahu apa masalah atau penyebabnya, yang jelas dia dinyatakan gila, dan dibawa ke RSJ. Sepulang dari RSJ, dia kelihatan waras, seperti umumnya orang lain. Tapi kadang dia kumat, lalu berteriak-teriak tidak jelas, atau tertawa-tawa sendiri. Ya seperti orang gila. Masalah itu sudah berlangsung beberapa tahun, dan sampai sekarang tampaknya belum sembuh total. Kadang waras, kadang kumat.”

Setelah terdiam sesaat, Deni melanjutkan, “Aku tahu bagaimana repotnya keluarga dalam menangani kakak sepupuku yang bermasalah itu. Orangtuanya sudah menghabiskan banyak biaya untuk berobat. Mereka juga telah biasa dengan ulah kakak sepupuku yang sangat merepotkan ketika kumat. Pernah, saat aku di rumahnya, aku mendapatinya sedang kumat. Dia berteriak-teriak tidak jelas, dan kami semua menarik-nariknya agar masuk rumah, sementara orang-orang menyaksikan kami.”

Saya masih mendengarkan.

“Meski begitu,” lanjut Deni, “sejujurnya kami tidak tersinggung ketika mendengar orang lain menggunakan istilah ‘gila’ untuk mengolok-olok temannya. Kami menyadari bahwa olok-olok itu tidak dimaksudkan untuk mengejek kakak sepupuku—itu murni olok-olok umum yang digunakan banyak orang. Bahkan aku atau para sepupuku yang lain juga tidak masalah menggunakan istilah itu untuk saling olok-olok, karena kami sadar bahwa olok-olok itu tidak ditujukan untuk sepupu kami yang kebetulan gila.”

Saya mengangguk-angguk, memahami maksud cerita Deni.

Kemudian, Deni kembali mengajukan pertanyaan awal, “Jadi, kalau kita menganggap tidak masalah menggunakan istilah ‘ayan’ atau ‘gila’ untuk mengolok-olok orang lain, kenapa kita harus marah ketika orang lain menggunakan istilah ‘autis’ untuk tujuan yang sama?”

Setelah memikirkan sesaat, akhirnya saya menjawab, “Sejujurnya, aku tidak tahu, Den.”

 
;