Senin, 27 April 2015

Dari Dunia Maya ke Dunia Nyata (2)

Posting ini lanjutan posting sebelumnya. Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik, sebaiknya bacalah post sebelumnya terlebih dulu.

***

Kesalahan banyak orang yang “bermain” hal seperti ini adalah tidak fokus, sehingga kurang mampu mengenali kepribadian orang yang dituju. Riana, misalnya, dia berharap Aldi memahami bahwa dia naksir dirinya. Riana pun mencoba mendekati Aldi melalui mention. Tapi jika Riana juga aktif me-mention puluhan cowok lain, bisa diperkirakan apa hasilnya? Benar, Aldi yang dituju belum tentu paham, sementara puluhan cowok lain yang tidak dituju bisa salah paham. Bisa jadi, Aldi juga naksir Riana. Tetapi, melihat Riana juga asyik dengan banyak cowok lain, Aldi bisa ragu-ragu.

Kalau kau berhubungan dengan cowok mana pun, ingat-ingatlah mantra sakti ini, “Sentuhlah dia tepat di egonya.” Itulah cara paling mudah, paling logis, dan tidak akan pernah usang sampai kapan pun, dalam hal “menjerat” cowok.

Jika Riana memang ingin Aldi memahami dan tertarik kepadanya, dia harus bisa menunjukkan kepada cowok itu, bahwa Aldi memang istimewa baginya. Jika konteks itu terjadi di Twitter atau di Facebook, Riana harus bisa membatasi interaksinya dengan cowok-cowok lain, dan menujukan fokusnya kepada Aldi sampai cowok itu paham. Dari sana, Riana akan tahu apakah Aldi memberi respons sebagaimana yang diinginkannya atau tidak.

Aturan tak tertulis di dunia gebet menggebet adalah, “Jangan pernah mengejar lebih dari satu kelinci.” Kalau kita naksir seseorang, fokuslah hanya kepadanya, sampai orang yang kita tuju telah jelas menunjukkan sikap negatif atau penolakan. Itu berlaku tidak hanya bagi cowok, tapi juga bagi cewek. Kalau kita mengejar dua kelinci sekaligus, keduanya justru akan lepas karena makin sulit ditangkap.

Sekarang, andaikan saja Riana telah berhasil “menjerat” Aldi, hingga cowok itu juga menunjukkan sikap yang sama—naksir Riana. Apa tugas selanjutnya? Tentu saja “menyeret” Aldi agar mau menemuinya. Bagaimana caranya?

Sekali lagi, sebenarnya tidak terlalu sulit. Lakukan dengan cara sebagaimana yang diinginkan Aldi!

Kembali lagi, fokus! Riana mungkin bisa memancing Aldi untuk ketemuan dengan menulis tweet tentang itu di timeline-nya. Tetapi, agar Aldi sungguh-sungguh paham bahwa tweet itu memang ditujukan untuknya, Riana harus fokus. Dia harus terus menjaga interaksinya dengan Aldi, sehingga Aldi benar-benar yakin tweet itu memang ditujukan untuknya. Jika Riana asyik cekikikan dengan puluhan cowok di Twitter, kemudian menulis tweet tentang ajakan ketemuan, bagaimana Aldi bisa yakin kalau tweet itu memang ditujukan untuknya?

Untuk kesejuta kalinya, fokus!

Ehmm... saya mau nyulut rokok dulu.

Sekarang andaikan Riana telah berhasil membuat Aldi paham bahwa dia menginginkan pertemuan. Apa yang harus dipahami di sini?

Perhatikan, saat Riana dan Aldi bertemu, mereka bukan bertemu sebagai teman, tetapi akan bertemu sebagai dua orang yang sama-sama naksir. Latar belakang itu kadang menjadikan pertemuan sangat kaku, khususnya jika tidak ada kesadaran masing-masing. Untuk hal ini, ada kisah seorang teman yang bisa saya ceritakan.

Dika (bukan nama sebenarnya) kenal dan saling naksir dengan seorang cewek di dunia maya. Sebut saja namanya Cici. Singkat cerita, mereka telah berkomunikasi cukup baik, sampai kemudian janjian untuk ketemu. Dika pun datang ke kota Cici yang jaraknya cukup jauh, berharap itu bisa menjadi pertemuan menyenangkan. Tetapi harapan Dika pupus. Sikap Cici menurutnya sangat kaku. Meski mereka sama-sama mengharapkan pertemuan itu, Cici tampak sok jaim sehingga menjadikan Dika bingung dan serba salah.

Dika memahami mungkin Cici deg-degan bertemu dengannya, tetapi Dika juga mengakui bahwa dia sama deg-degan saat bertemu Cici. Kalau saja mereka bertemu sebagai teman, urusannya mungkin tidak akan seruwet itu. Tapi mereka bertemu sebagai dua orang yang saling naksir. Urusan akan semakin ruwet, jika si cowok kebetulan cowok baik-baik, dalam arti bukan bangsat yang biasa berhubungan dengan cewek. Di situlah dibutuhkan kesadaran masing-masing—tidak hanya dari si cowok, tetapi juga dari si cewek.

Kenyataan itulah yang dihadapi Dika. Dia cowok baik-baik yang tidak biasa berurusan dengan cewek. Dia rela datang jauh-jauh ke kota tempat tinggal Cici, karena percaya itu akan jadi pertemuan yang manis. Ketika menghadapi sikap Cici yang ternyata kaku dan sok jaim, Dika tidak tahu apa yang harus dilakukannya. Singkat cerita, kisah itu pun selesai di situ. Sejak itu, mereka memang masih berinteraksi di dunia maya, tapi perasaan Dika kepada Cici sudah lenyap. Bahkan, jika Cici kembali meminta mereka bertemu, Dika mengatakan belum tentu mau.

Apa pelajaran penting yang bisa diambil dari kisah itu? Cewek-cewek perlu memahami, bahwa ketika dua orang yang saling naksir bertemu, bukan hanya cewek yang (mungkin) merasa berdebar. Si cowok juga merasakan hal yang sama. Dalam konteks kisah Dika, keduanya saling naksir—artinya bukan hanya Dika yang naksir Cici. Tetapi, saat mereka bertemu, Cici bersikap sok jaim seolah hanya Dika yang naksir dirinya.

Sok jaim—ya Tuhan, tidak ada kalimat lain yang bisa saya gunakan untuk mendefinisikan istilah itu selain, “Sikap keparat yang sangat menjengkelkan dan membosankan, hingga seorang genius sekali pun berubah menjadi idiot saat dihadapkan pada cewek yang bersikap semacam itu!”

Jadi, hei cewek-cewek, kalau kalian memang naksir seorang cowok, dan kalian yakin dia cowok baik-baik, singkirkanlah sikap terkutuk itu! Dalam skala ekstrem, saya bahkan lebih memilih cewek biasa yang tidak sok jaim, daripada cewek hebat dan istimewa tapi sangat sok jaim.

Itu kunci penting yang harus diingat cewek mana pun yang akan bertemu dengan cowok yang ditaksirnya. Jadilah ramah dan jujur, hadapi si cowok dengan senyum. Jangan sok jaim, jangan sok jaim, dan jangan sok jaim!

Latar belakang itu pulalah yang menjadikan saya sangat berhati-hati jika akan bertemu dengan cewek yang saya kenal di dunia maya. Jika saya mengenal cewek di dunia maya, lalu saling merasa cocok, dan dia menginginkan pertemuan, maka syarat standar yang harus dipenuhi terlebih dulu adalah: Kami telah bisa bercakap-cakap dan saling tertawa! Jika syarat itu tidak terpenuhi, sampai kiamat pun kami tidak akan pernah bertemu!

Syarat itu terpaksa saya gunakan, demi menghindari sikap sok jaim yang bisa muncul saat kami bertemu. Demi Tuhan, saya membenci sikap sok jaim seorang wanita, sebesar kebencian saya pada iblis di neraka! Sok jaim adalah mempersulit hal-hal mudah, dan saya tidak punya waktu untuk disia-siakan. Sok jaim adalah mengubah kejujuran menjadi kemunafikan, mengatakan “tidak” ketika ingin menjawab “ya”. Itu sangat menjengkelkan, membingungkan, sekaligus membosankan!

Karena itulah, saya mengharuskan syarat itu: Sebelum bertemu, kami telah bisa bercakap-cakap dan saling tertawa. Setidaknya, dengan adanya keakraban semacam itu, pertemuan kami nantinya akan lebih mudah dijalani karena tidak terlalu kaku. Rasanya tentu sangat menjengkelkan kalau kita sudah jauh-jauh melakukan perjalanan—mengeluarkan tenaga, waktu, biaya—demi menemui seseorang, tapi sikap orang itu sangat menjengkelkan.

Karenanya, sekali lagi, cewek perlu mengingat hal itu, dan menyadari sepenuhnya. Buanglah sikap sok jaim, dan hadapilah si cowok dengan jujur. Fakta bahwa si cowok telah rela menempuh perjalanan jauh demi untuk menemuimu, sudah cukup sebagai bukti bahwa kau istimewa baginya. Karenanya, perlakukan dia secara layak, dan—demi Tuhan—buang jauh-jauh sikap sok jaim yang terkutuk dan terlaknat.

Sebentar. Rokok saya mati. Korek mana korek?

Well, uraian di atas kebanyakan ditujukan untuk cewek. Bagaimana dengan cowok? Sepertinya saya tidak perlu mengajari, karena rata-rata cowok sudah cukup paham hal-hal seperti ini. Namun, kalau boleh mengingatkan, temuilah cewek gebetanmu ketika pikiranmu benar-benar segar. Dengan kata lain, jangan bertemu ketika sedang stres atau ketika sedang punya beban pikiran. Untuk hal ini, ada pengalaman pribadi yang bisa saya ceritakan.

Saya pernah kenal seorang cewek di dunia maya. Dari awal, semuanya berlangsung lancar, tidak ada masalah. Dia tipe cewek yang asyik di mata saya; jujur, apa adanya, tidak sok jaim, dan—ini yang paling penting—punya inisiatif. Dia memahami karakter saya yang introver, dan dia benar-benar tahu cara menghadapi saya. Obrolan kami pun nyambung dengan mudah. Kami bercakap-cakap dengan akrab, saling bercanda, tertawa, dan semuanya berjalan dengan menyenangkan.

Selama berinteraksi dengannya di dunia maya, saya merasa nyaman. Dia orang biasa—bukan tipe “seleb” yang punya banyak groupis. Jadi kami pun ngobrol dengan asyik layaknya teman, tanpa ada orang lain yang mengganggu. Dia fokus kepada saya, sebagaimana saya fokus kepadanya. Saya menyukai—dan hanya menyukai—suasana percakapan pribadi semacam itu.

Lalu kami janjian untuk ketemu. Karena kami telah menjalani kebersamaan yang akrab di dunia maya, saya pun tidak keberatan pergi jauh ke tempat tinggalnya. Ketika saya bertanya, “Enaknya berapa hari?”

Dia menjawab, “Bagaimana kalau tiga hari? Dari Jum’at sampai Minggu?”

Perhatikan, dia menjawab dengan inisiatif—bukan mengajukan jawaban membingungkan semacam, “Terserah!” (Sebagai cowok, saya sangat menyukai dan menghargai inisiatif semacam itu.)

Dia bahkan melakukan yang lebih baik lagi. Karena kebetulan hari yang dijanjikan bertepatan dengan akhir pekan—dan biasanya hotel-hotel akan fully booked—dia pun berinisiatif memesankan hotel untuk menginap. Sampai di sini, semuanya baik-baik saja, dan saya sangat menghargai inisiatifnya.

Lalu saya datang ke tempat tinggalnya. Yang jadi masalah, waktu itu kebetulan saya sedang sangat stres. Ketika pergi, saya pikir acara pertemuan itu bisa menjadi semacam hiburan yang akan membantu meredakan stres. Tapi rupanya saya keliru. Gara-gara stres yang sedang saya alami, acara pertemuan kami tidak berjalan semanis yang kami harapkan. Meski fisik saya ada di sana, pikiran saya ada di tempat lain.

Selama di sana, kami sebenarnya menikmati kebersamaan yang menyenangkan—menonton film, jalan-jalan ke pusat perbelanjaan, menyaksikan kabaret, sampai ngobrol larut malam di kedai Starbucks. Namun, pikiran saya tidak fokus pada pertemuan kami, karena sedang dibebani hal lain yang membuat stres. Akibatnya, mungkin ada sikap tertentu yang saya lakukan tanpa sadar, namun tidak disukainya. Singkat cerita, itu menjadi pertemuan yang kurang mengesankan.

Jadi, kalau ingin menemui cewek yang kalian kenal di dunia maya, sebaiknya temuilah saat pikiran sedang segar, hingga bisa fokus pada pertemuan yang sedang dijalani, juga agar kalian bisa menghadapinya dengan lebih baik. Menemui seorang cewek dalam kondisi stres bisa membuat acara berantakan, karena fisik dan pikiran tidak sejalan. Saya telah mengalami. Kalian tidak perlu mengulangi.

Akhirnya, selamat menemui teman atau gebetan kalian. Semoga menjadi pertemuan yang berkesan dan menyenangkan.

 
;