Minggu, 24 Mei 2015

Hati Tanpa Pamrih

Titik nadir setiap manusia luar biasa adalah ketika
dia mulai “terlalu menyadari” keluarbiasaannya.
Saat itu terjadi, semuanya pun selesai.
@noffret


Kisah ini populer, khususnya bagi sebagian warga Surabaya. Saya tertarik menulisnya di sini karena merasa tersentuh oleh kisah tersebut. Ini kisah tentang lelaki yang bertekad melakukan sesuatu yang ingin dilakukannya, yang mengerjakan hal-hal baik karena semata menyadari itu kebaikan, tanpa ribut-ribut, tanpa upaya agar terkenal atau berharap masuk televisi—sebuah hati tanpa pamrih.

Namanya Abdul Syukur, warga Surabaya. Berusia 65 tahun, dan sehari-hari mencari nafkah sebagai tukang becak. Biasa mangkal di depan ITC Surabaya, dia berangkat kerja jam 9.00 pagi, dan selesai kerja jam 21.00 malam. Saat ramai, dia bisa mendapat penghasilan Rp. 40 ribu hingga Rp 50 ribu per hari. Namun, jika sepi, dia hanya mendapat Rp. 6 ribu sampai Rp. 7 ribu dalam sehari.

Sekilas, dia tidak beda dengan para tukang becak lain. Dia juga tidak beda dengan kebanyakan orang lain. Yang membedakan, Abdul Syukur melakukan sesuatu yang tidak dilakukan kebanyakan orang.

Sebagai tukang becak yang tiap hari hidup di jalanan, Abdul Syukur kerap mendapati jalan berlubang. Ada yang berlubang kecil, ada pula yang berlubang besar. Dia memahami, lubang-lubang itu berbahaya bagi para pengendara sepeda motor, khususnya yang kurang waspada. Ada banyak kecelakaan di jalan terjadi karena lubang-lubang menganga.

Melihat dan menyadari kenyataan itu, Abdul Syukur tahu dia harus berbuat sesuatu. Dia tidak menyuruh orang lain, atau meminta petugas Dinas PU (Pekerjaan Umum) untuk menambal lubang-lubang di jalan yang dilihatnya. Abdul Syukur juga tidak memprotes, mendemo, atau melakukan tindakan-tindakan heroik yang menarik perhatian media. Yang dia lakukan begitu sederhana. Dia pergi ke tempat buangan bekas galian aspal, meminta izin petugas di sana untuk meminta bekas aspal yang tak terpakai, kemudian menggunakannya untuk menambal lubang jalan.

Jadi begitulah. Di sela-sela pekerjaannya setiap hari sebagai tukang becak, Abdul Syukur rajin mencari bekas galian aspal yang tak terpakai, yang kemudian ia kumpulkan di depan rumah. Dalam sekali kayuh, Abdul Syukur bisa membawa bongkahan bekas galian aspal hingga seberat 2 kwintal. Bongkahan-bongkahan bekas galian aspal itu kemudian dihancurkannya menggunakan palu, hingga berukuran kecil-kecil, dan bisa digunakannya untuk menambal lubang-lubang di jalan.

Malam hari, setelah jam kerjanya selesai pukul 21.00, Abdul Syukur akan mengambil bekas galian aspal yang telah disiapkannya, kemudian melaju ke tempat lubang di jalan yang ia pikir perlu ditambalnya. Dia menambal lubang-lubang itu sendirian, dengan peralatan seadanya, dengan sisa-sisa tenaga tuanya. Sering kali, suatu lubang tidak selesai ditambal dalam satu kali pengerjaan, karena terlalu besar atau terlalu dalam, dan Abdul Syukur akan melanjutkan pekerjaannya hingga beberapa hari.

Setelah satu lubang selesai ia tutup dan dianggap telah beres, Abdul Syukur akan melanjutkan pekerjaannya di lubang lain yang ia temukan. Dia akan mencari batu-batu dan bekas galian aspal lagi, mengumpulkannya di depan rumah lagi, menghancurkannya lagi, lalu digunakannya untuk menambal lagi. Dia biasa melakukan pekerjaan mulia itu dari pukul 21.00 sampai pukul 02.00 dini hari. Setelah lelah dan mengantuk, dia pulang untuk beristirahat di rumahnya yang sangat sederhana.

Dia telah melakukannya—menambal lubang-lubang jalan di berbagai tempat yang ditemukannya—selama sepuluh tahun, dan selama itu pula dia tidak pernah ribut-ribut, tidak pernah unjuk diri, tidak pernah sibuk memamerkan perbuatannya. Dia hanya melakukan yang ingin dilakukannya, sesuatu yang baik, yang ia pikir bermanfaat bagi orang lain. Saat ditanya jalan mana saja yang telah dibereskannya, dia menyatakan, ”Jalan terakhir yang saya tambal adalah Jalan Tembaan, Gembong, Gembong Tebasan, dan Tambak Rejo.”

Selama sepuluh tahun menambal lubang-lubang jalan, Abdul Syukur telah biasa mendengar komentar orang. Tidak semua orang memuji tindakannya yang mulia. Sebagian dari mereka bahkan menganggap lelaki itu gila, karena mau-maunya melakukan sesuatu tanpa bayaran. Abdul Syukur menceritakan, kadang ada orang yang heran, dan berkata dengan nada mengejek, “Kon iku wong gendeng. Lapo ngono iku? Oleh duit, ta? (Kamu orang gila. Lagi apa itu? Dapat duit, ya?)”

Tetapi Abdul Syukur tidak mempedulikan komentar-komentar semacam itu. Dia tahu yang dilakukannya hal baik, dan dia akan melakukannya, terus melakukannya. Motifnya sangat sederhana. “Karena saya tidak bisa bersedekah dengan harta,” ujarnya, “saya ingin bersedekah dengan tenaga atau apa saja yang dapat dilakukan.” Dan menambal jalan, dia pikir, adalah sesuatu yang dapat dilakukan untuk orang lain. Terlepas orang-orang menganggapnya gila atau tak waras, itu bukan urusannya.

Melakukan sesuatu yang sama dan terus-menerus selama sepuluh tahun tanpa dibayar, tentu tidak hanya membutuhkan ketekunan, tetapi juga keikhlasan. Tidak setiap orang mampu melakukan hal semacam itu. Jangankan melakukan sesuatu tanpa dibayar terus-menerus, bahkan melakukan pekerjaan yang dibayar pun kadang masih mengeluh dan ogah-ogahan.

Ada yang lebih penting dari intelektualitas, ada yang lebih mulia dari sekadar kerja keras. Yakni kesadaran dan keikhlasan—sebentuk energi sunyi yang mampu menjadikan manusia bekerja tekun tanpa henti, tanpa dibayar, tanpa hari libur, tanpa harap tunjangan dan pensiun, juga tanpa ribut-ribut.

Memang, menambal lubang jalan dengan aspal bekas mungkin bukan pekerjaan yang terlampau berat. Kita bahkan bisa menyatakan itu pekerjaan sederhana, yang siapa pun bisa melakukannya. Tetapi siapa yang mampu melakukannya setiap hari, dengan tekun, dan tanpa ribut-ribut? Tidak setiap orang! Dan dari yang sedikit itu, Abdul Syukur telah melakukannya bertahun-tahun, di bawah cibiran sesama manusia, di bawah senyum alam semesta.

Hingga suatu hari, seorang lelaki bernama Himan Utomo melihat aktivitasnya. Himan orang biasa, yang menjalani hidup sebagaimana umumnya orang biasa. Pertama kali menyaksikan Abdul Syukur menambal jalan, dia juga menganggap itu hal biasa. Tetapi, di hari lain, dia kembali menyaksikan hal itu. Selama empat hari berturut-turut, Himan menceritakan, dia terus melihat Abdul Syukur si tukang becak menambal lubang-lubang di jalan.

Merasa penasaran, Himan pun mendekati Abdul Syukur, menanyakan aktivitasnya. Abdul Syukur menjelaskan dengan apa adanya. Bahwa dia merasa terpanggil untuk menolong sesama, dan yang bisa dilakukannya adalah menambal lubang-lubang di jalan. Himan tersentuh oleh cerita itu. Maka dia memotret aktivitas Abdul Syukur, dan mengunggahnya ke Facebook. Hasilnya kemudian adalah viral yang berlangsung sangat cepat.

Orang-orang yang menemukan posting Himan ikut tersentuh oleh ketulusan Abdul Syukur, dan berita mengenai lelaki tua tukang becak itu pun seketika mengalir ke mana-mana, termuat di berbagai media. Abdul Syukur, yang semula bukan siapa-siapa, mendadak tenar dan foto-fotonya menghiasi banyak liputan. Stasiun-stasiun televisi mengundangnya untuk wawancara, para wartawan memburunya. Puncaknya, Wali Kota Surabaya, Tri Rismaharini, mengundang Abdul Syukur secara khusus untuk berbincang-bincang.

Kepada lelaki tua itu, Tri Rismaharini menyatakan agar Abdul Syukur tidak usah meneruskan aktivitasnya. “Bapak istirahat saja,” ujar Risma dengan santun.

Tetapi Abdul Syukur mengatakan, dia akan tetap melakukan kebiasaannya. “Kalau ada lubang, sebisanya akan saya tambal. Itu sudah keinginan saya.”

Risma juga menawari Abdul Syukur untuk bekerja di Dinas PU, tetapi Abdul Syukur menolak.

Dari penelusuran para wartawan, diketahui bahwa ternyata aktivitas ketulusan Abdul Syukur tidak hanya sebatas menambal lubang di jalan. Di kampung tempat tinggalnya, Abdul Syukur telah lama membersihkan selokan seorang diri, juga membetulkan pos ronda yang rusak, meski tidak ada yang memintanya.

Kini, setelah aktivitasnya diketahui orang banyak, dan sosoknya diliput berbagai media, Abdul Syukur tidak berubah. Dia tetap melakukan yang biasa dilakukannya. Bahkan, tampaknya, popularitas membuatnya tertekan, karena berbagai media nyaris tanpa henti ingin menemui, meliput, dan mewawancarai. Aktivitas-aktivitas itu tampaknya lebih berat baginya daripada mengangkut 2 kwintal bongkahan bekas aspal di becaknya. Dia ingin kembali menjadi dirinya yang dulu, yang dapat melakukan aktivitasnya dalam sunyi.

Di tengah dunia yang terlalu sibuk dengan diri sendiri, Abdul Syukur mengingatkan kita untuk kembali menjadi manusia. Seperti yang dikatakannya sendiri saat ditemui wartawan, “Saya tidak mau disebut pahlawan. Demi Allah kulo ikhlas, wani sumpah. Opo onone kula omongaken. (Demi Tuhan saya ikhlas, berani sumpah. Apa adanya saya katakan.)”

Ada yang lebih penting dari intelektualitas, ada yang lebih mulia dari sekadar kerja keras. Yakni kesadaran dan keikhlasan—energi sunyi yang mampu membuat manusia benar-benar menjadi manusia.

 
;