Minggu, 24 April 2016

Terasing Dalam Sunyi

Hanya sunyi yang tak pernah melukai.
@noffret


Di Kepulauan Andaman, tepatnya di Teluk Benggala, India, ada dua pulau yang sangat indah bernama Sentinel. Yang satu disebut Pulau Sentinel Utara, satunya lagi bernama Pulau Sentinel Selatan. Hanya Sentinel Utara yang dihuni manusia, sementara Sentinel Selatan kosong tak berpenghuni.

Sentinel Utara memiliki luas 72 kilometer persegi, kira-kira seukuran Manhattan, New York. Di pulau tersebut, ada sekelompok penghuni yang dianggap masih primitif dan misterius, tapi mereka diyakini telah menghuni Sentinel Utara sejak 60.000 tahun yang lalu. Orang-orang yang menghuni Pulau Sentinel Utara kerap disebut “Suku Senitenelese”.

Yang menarik dari Suku Senitenelese adalah sikap mereka yang benar-benar keras terhadap orang luar, menolak modernisasi, dan menjalani kehidupan yang sangat tertutup. Sejauh ini, berbagai pihak telah mencoba mendekati orang-orang di Sentinel Utara, bermaksud mengenalkan orang-orang di sana dengan peradaban manusia modern, tetapi semuanya gagal.

Ada banyak yang telah mencoba ke sana—termasuk sutradara film dokumenter, orang-orang National Geographic, para wartawan, organisasi-organisasi pencinta alam, bahkan pemerintah Inggris dan India. Tapi tidak ada yang berhasil. Siapa pun yang mencoba mendekati pulau tersebut, disambut lemparan batu dan hujan anak panah. Jangankan manusia, bahkan helikopter yang mencoba mendekati pulau itu pun diserang anak-anak panah dan batu.

Intinya, orang-orang di Sentinel Utara tidak ingin diganggu siapa pun.

Mereka menjalani kehidupan dengan cara mereka sendiri, meski mungkin dianggap primitif oleh peradaban modern. Kenyataannya, mereka tidak mengganggu siapa pun. Setiap hari, mereka mencari ikan di pantai, berburu hewan di sekitar pulau, dan membuat perhiasan dari kepingan-kepingan logam yang terdampar di pantai. Pakaian mereka juga masih primitif—hanya mengenakan dedaunan dan tempurung kelapa untuk menutupi bagian tubuh yang dianggap vital. Dalam keseharian, orang-orang di sana bahkan bicara dengan bahasa yang tidak dipahami siapa pun di dunia luar.

Di masa lalu, ketika Inggris masih menjajah India, kawasan Pulau Sentinel Utara berada di bawah kekuasaan Inggris. Pada masa lalu, pemerintah Inggris mencoba “merayu” Suku Senitenelese, dengan maksud agar orang-orang di pulau itu mau membuka diri terhadap dunia luar. 

Waktu itu, cara yang digunakan pemerintah Inggris adalah “menculik” salah satu anggota suku yang kebetulan sendirian, membawanya pergi dari sana, memperlakukannya dengan baik dan ramah, kemudian mengembalikan orang tersebut ke Sentinel Utara bersama aneka hadiah yang biasanya berupa makanan dan buah-buahan.

Pemerintah Inggris berharap, dengan cara persuasif semacam itu, Suku Senitenelese bersedia membuka diri pada dunia luar. Tapi upaya itu terus menerus gagal. Suku Sentinelese tetap tidak pernah mau menerima pendatang atau orang luar ke dalam komunitas mereka.

Ketika India menjadi negara merdeka setelah lepas dari kekuasaan Inggris, pemerintah India juga berusaha melakukan hal sama. Kali ini, pemerintah India mencoba merayu Suku Senitenelese dengan cara meletakkan aneka makanan dan buah-buahan di pesisir pantai, yang jaraknya cukup jauh dari wilayah mereka. Makanan dan aneka buah itu ditinggalkan di sana, lalu diambil orang-orang dari Suku Senitenelese.

Berkali-kali pemerintah India melakukan hal itu—meletakkan banyak makanan dan buah-buahan di pesisir pantai, meninggalkannya tergeletak di sana, lalu orang-orang Senitenelese mengambil makanan serta buah-buahan yang ditinggalkan untuk mereka. Tetapi, meski hal itu terjadi berulang kali, Suku Senitenelese tetap tidak mau menerima pemerintah India. Orang-orang yang mencoba mendekati wilayah mereka tetap dihujani batu dan anak-anak panah.

Ancaman Suku Senitenelese juga tidak sekadar gertakan. Pada pertengahan 2006, ada dua orang nelayan yang mencari ikan dengan kapal. Semula, jarak kapal nelayan masih jauh dari kawasan Sentinel Utara. Sampai kemudian, mereka nekat memasuki kawasan Sentinel Utara. Apa yang terjadi? Dua nelayan itu tewas dihujani anak panah. 

Setelah menewaskan dua nelayan dan merebut kapal mereka, Suku Senitenelese mengubur keduanya di dalam pasir. Kabar itu sampai ke telinga pemerintah India. Pemerintah mengirimkan tim untuk mengambil dua mayat nelayan tersebut dari Sentinel Utara. Tetapi, ketika helikopter berisi tim kiriman pemerintah datang, seketika anak-anak panah dan batu beterbangan ke arah mereka. Helikopter itu tidak bisa mendarat, meski hanya bertujuan untuk mengambil mayat!

Kita mungkin bertanya-tanya, kenapa Suku Senitenelese terkesan sangat menutup diri, dan antipati terjadap orang luar? Mengapa mereka bersikukuh menolak peradaban modern, dan tetap melestarikan kehidupan mereka yang primitif? 

Jawaban untuk pertanyaan itu, sebenarnya, tidak bisa dilepaskan dari sejarah dan trauma masa lalu.

Para antropolog percaya, orang-orang yang tinggal di Pulau Sentinel Utara adalah anggota suku pemburu-pengumpul (hunter-gatherer) yang telah tinggal di pulau tersebut selama 65 ribu tahun. Itu artinya 35 ribu tahun sebelum Zaman Es terakhir, 55 ribu tahun sebelum kepunahan mammoth berbulu di Amerika Utara, dan 62 ribu tahun sebelum bangsa Mesir Kuno membangun piramida. Suku itu dipercaya merupakan keturunan langsung manusia pertama yang keluar dari Afrika.

Selama ribuan tahun, mereka hidup damai di sana, tinggal di pulau tersebut dan menjalani kehidupan yang tenteram, hingga berketurunan. Seiring berlalunya waktu, jumlah mereka pun makin banyak, dan membentuk komunitas atau suku-suku lain, yang kemudian menempati daerah-daerah lain di wilayah Andaman. Selama waktu-waktu itu, mereka menjalani hidup dengan cara mereka sendiri, dan—bisa dibilang—mereka tidak mengalami masalah.

Sampai kemudian, peradaban semakin maju, datang era modern, masa-masa perang, ketika satu negara menyerang negara lain. Inggris menjajah India dan Burma, dan menjadikan dua wilayah itu sebagai pemukiman Eropa permanen pertama. Seiring dengan itu, pemerintah kolonial Inggris juga mendirikan koloni hukuman di Pulau Andaman. Peristiwa itu terjadi pada akhir 1700-an. Pulau Andaman dipilih sebagai tempat pembuangan para tawanan, karena pulau itu dianggap tak berpenghuni.

Yang terjadi kemudian adalah bencana.

Ketika orang-orang hukuman dibuang ke Pulau Andaman, mereka bertemu dengan suku-suku yang telah menetap dan tersebar di sana. Orang-orang pedalaman yang semula primitif, mulai berhubungan dengan orang-orang modern, dan mulai melepaskan isolasi mereka. Sekilas, itu tampak tidak bermasalah. Tapi sebenarnya menyimpan bahaya tersembunyi.

Orang-orang yang dibuang ke sana adalah orang-orang yang berasal dari dunia modern. Karena semula menjalani hidup di dunia modern, tubuh mereka pun telah kebal dengan berbagai virus ringan yang biasa ada di wilayah perkotaan, semisal flu atau semacamnya. Berbeda dengan orang-orang pedalaman yang sama sekali steril dari dunia modern. Tubuh mereka tidak memiliki kekebalan yang sama terhadap virus yang mungkin menyerang.

Ketika orang-orang modern mulai berhubungan dengan suku-suku di pedalaman, tanpa sengaja terjadi penularan virus dari tubuh orang modern ke tubuh orang pedalaman. Karena tubuh orang-orang pedalaman belum memiliki kekebalan dalam menangkal virus itu, terjadi serangan penyakit mematikan bahkan kematian massal. Dalam waktu singkat, suku-suku yang semula hidup di sana punah.

Sejak peristiwa mengerikan itu, hanya tersisa sekitar 400 orang—semuanya tinggal di Pulau Sentinel Utara. Orang-orang itu tahu apa yang terjadi pada saudara-saudara mereka yang ada di tempat lain—yang punah gara-gara berhubungan dengan orang luar—dan mereka pun menutup diri serta mengisolasi kehidupan mereka dari pengaruh dunia luar. Karena itu pula, mereka agresif menyerang siapa pun yang mencoba mendekati wilayah mereka.

Pada 2004, ketika tsunami melanda Samudera Hindia, bencana itu dianggap sebagai bencana paling mematikan sepanjang sejarah. Ada lebih dari 230.000 orang tewas di wilayah sekitar Pulau Andaman, dan waktu itu banyak orang memperkirakan Suku Senitenelese juga telah punah akibat badai tsunami yang datang. Tapi rupanya perkiraan itu keliru.

Tiga hari setelah badai tsunami mereda, helikopter Angkatan Laut India mendekati wilayah Sentinel Utara, untuk memastikan keadaan di sana. Seketika, beberapa orang Suku Senitenelese keluar dan mengancam helikopter dengan panah, sebagai tanda bahwa mereka tidak membutuhkan bantuan dari luar.

Berdasarkan pantauan, Suku Senitenelese tidak mengalami masalah apa pun akibat datangnya tsunami. Tampaknya, orang-orang itu bisa merasakan atau memprediksi datangnya gelombang, dan menghindar ke tempat yang lebih tinggi sebelum gelombang maut itu datang. Kenyataannya, saat tsunami reda, mereka tampak utuh dan baik-baik saja.

Stephen Corry, Direktur Survival International (organisasi yang melakukan advokasi hak suku-suku terasing) menyatakan bahwa Suku Senitenelese punya hak untuk menjalani dan melanjutkan hidup mereka dengan cara mereka sendiri—terasing, dalam sunyi, dan tidak mengganggu siapa pun. Kontak dengan dunia luar hanya akan menjadikan mereka rentan terhadap berbagai virus yang dibawa orang luar, yang dikhawatirkan akan membuat mereka punah seperti suku-suku lain di tempat itu.

“Satu-satunya cara mencegah terjadinya lagi kepunahan suku,” kata Stephen Corry, “adalah memastikan Pulau Sentinel Utara terlindung dari dunia luar.”

Menanggapi hal itu, pemerintah India pun akhirnya mengeluarkan peraturan baru yang isinya larangan mendekati Pulau Sentinel Utara, sebagai upaya untuk menghindari terjadinya masalah apa pun. Pemerintah India menegaskan, orang luar yang mencoba mendekati Sentinel Utara dalam jarak kurang dari tiga mil, akan ditangkap sebagai kriminal. Sejak itu pula, patroli di wilayah perairan di sana diperketat.

Pemerintah India mungkin akhirnya menyadari, bahwa jika Suku Senitenelese dapat hidup baik dengan cara mereka sendiri, dan orang-orang itu juga tidak mengganggu siapa pun, “Kenapa kita harus memaksa mereka mengikuti cara hidup kita? Kenapa tidak kita hormati saja cara mereka hidup, sebagaimana kita ingin menjalani hidup dengan cara kita sendiri?”

 
;