Minggu, 01 Mei 2016

Rangga, Cinta, dan Persoalan Manusia

Benci dan cinta itu kacamata. Cara kita melihat segalanya.
Bahkan cara menilai, menafsir, serta menggunakan prasangka.
@noffret


Empat belas tahun yang lalu, pada 2002, film Ada Apa Dengan Cinta (AADC) dirilis, dan menjadi salah satu tonggak penting kebangkitan film Indonesia yang sedang lesu. Film itu mengisahkan Cinta (Dian Sastro) yang awalnya bermusuhan dengan Rangga (Nicholas Saputra), dan diakhiri saling jatuh cinta.

Secara keseluruhan, film itu bisa dibilang biasa-biasa saja, setidaknya menurut saya yang lebih suka nonton film action. Tetapi, ada sesuatu di film AADC yang sampai saat ini terus mengusik-usik pikiran. Saya telah menonton AADC bertahun-tahun lalu, tapi sesuatu dalam film itu terus mengusik pikiran hingga sekarang. Karenanya pula, sekarang saya ingin menuliskannya di sini.

Rangga dalam AADC adalah sosok introver yang kurang bisa berinteraksi dengan orang lain. Dia lebih akrab dengan buku (dan penjual buku) daripada dengan teman-temannya di sekolah. Itu tak bisa dilepaskan dari latar belakangnya yang hanya hidup bersama sang ayah, tanpa ibu. (Latar belakang keseluruhan Rangga dan ayahnya bisa kalian tonton sendiri di AADC).

Sementara itu, Cinta dalam AADC adalah cewek cantik dan gaul yang dipuja banyak cowok. Dia juga aktif di majalah dinding sekolah bersama teman-teman ceweknya. Dia berasal dari keluarga kaya, dan—kalau tak keliru—juga anak tunggal. Kita bisa membayangkan, Cinta adalah tipe cewek populer di sekolah, yang dikagumi (juga dicemburui) sesama cewek, sekaligus membuat banyak cowok tergila-gila.

Dua orang itu—Rangga dan Cinta—dipertemukan di sekolah, dengan segala latar belakang yang berbeda, gaya berbeda, dan cara berpikir yang berbeda. Apa hasilnya? Tepat seperti yang digambarkan dalam AADC!

Tanpa harus menonton ulang, saya masih ingat ucapan-ucapan Cinta yang dimaksudkan untuk Rangga, saat ia bersama teman-temannya di markas majalah sekolah. Ada banyak tuduhan Cinta terhadap Rangga, dari sok tua, sok pintar, sombong, merasa tinggi, dan lain-lain. Gara-garanya sepele, Rangga menolak diwawancarai majalah yang dikelola Cinta, berkaitan dengan kemenangannya dalam lomba puisi di sekolah.

Sikap Rangga yang dingin, dan penolakannya terhadap wawancara yang ditawarkan Cinta kepadanya, membuat Cinta membenci Rangga. Itu crucial point dari AADC yang terus mengusik-usik pikiran saya.

Jadi, Cinta membenci Rangga. Mari kita bertanya, kenapa Cinta membenci Rangga? Kita tahu jawabannya, karena Cinta tidak memahami Rangga.

Puisi milik Rangga, yang memenangkan perlombaan di sekolah, tidak pernah dikirim oleh Rangga. Puisi itu dikirim oleh tukang sapu di sekolah yang kebetulan akrab dengan Rangga, dan pengiriman puisi itu tanpa sepengetahuan Rangga. Dengan kata lain, Rangga tidak pernah berpikir untuk mengirimkan puisinya untuk lomba, apalagi sampai berharap menjadi pemenang dalam lomba tersebut. 

Ketika akhirnya puisi Rangga menjadi juara, Rangga pun sama sekali tidak bangga. Ingat, dia seorang introver, bukan tipe anak muda yang suka menjadi pusat perhatian dan ingin populer. Jadi, ketika Cinta bermaksud mewawancarainya, Rangga menolak. Karena Rangga lebih suka jujur pada diri sendiri, daripada menjadi munafik. Dia tahu kemenangan itu bukan keinginannya, bahwa dia tidak pernah mengirimkan puisinya untuk lomba, dan dia sama sekali tidak bangga dengan kemenangan itu.

Sikap Rangga dengan jelas menunjukkan kepribadiannya, dan cara serta alur pikirannya. Tetapi, sayang, Cinta tidak memahami hal itu. Sebagai cewek gaul yang populer di sekolah, Cinta berpikir menggunakan perspektif dirinya sendiri, dan hasilnya pun sangat keliru. Bukannya berusaha memahami, yang dilakukan Cinta justru menghakimi. Karena itulah, kemudian, Cinta sempat memaki-maki Rangga di depan teman-temannya di markas majalah sekolah.

Yang dilakukan Cinta, sebenarnya, juga dilakukan banyak orang, termasuk kita. Sebagai manusia, kita lebih tahu cara menghakimi daripada memahami. Tentu saja yang dilakukan Cinta sangat dangkal, karena hanya menilai Rangga dari permukaan. Tetapi, begitu pula yang dilakukan kebanyakan kita yang suka menghakimi. Sama-sama dangkal, karena kita lebih suka menilai hanya dari melihat permukaan.

Orang lain melakukan sesuatu yang kita nilai berbeda dengan kita, dan kita pun langsung bereaksi. Orang lain menyatakan sesuatu yang kita anggap berbeda dengan kita, dan kita pun langsung menghakimi. Bahkan, orang lain tidak melakukan apa-apa, dan kita anggap “tidak melakukan apa-apa” sebagai hal berbeda dengan kita, lalu kita pun melancarkan berbagai tuduhan karena dia tidak melakukan apa-apa.

Betapa mudah menghakimi orang lain, dan betapa sulit memahami orang lain. Kita lebih tahu cara menumbuhkan sikap curiga, prasangka, dan melahirkan asumsi, daripada mencoba memahami sebelum menghakimi. Padahal, setiap orang memiliki latar belakang berbeda, cara berpikir berbeda, pengalaman berbeda, perjalanan hidup berbeda. Tetapi, saat menghadapi perbedaan, kita tak pernah siap, bahkan ketika perbedaan yang dihadapi hanya sekadar perbedaan sikap dan pikiran.

Ada seorang blogger, kita sebut saja Si A. Selama bertahun-tahun, Si A hanya menulis pengalaman hidupnya sendiri. Dia tidak pernah mengurusi masalah politik, sosial, budaya, agama, atau apa pun. Dia murni menggunakan blognya untuk menuangkan perjalanan hidupnya sendiri. Hanya karena itu, ada orang yang menuduh Si A “individualis” yang tidak pernah memikirkan apa pun selain diri sendiri.

Ada blogger lain, kita sebut saja Si B. Jika Si A lebih suka menulis pengalaman hidupnya, Si B aktif menulis banyak hal di luar diri sendiri. Jadi, Si B menulis tentang politik, budaya, pendidikan, isu-isu sosial, dan lain-lain. Si B menulis di blognya sendiri, mencoba memahami berbagai isu yang ada dengan perspektifnya sendiri. Dan, karena itu, ada orang menuduh Si B “suka ngurusin hal-hal yang bukan urusannya”.

Betapa sulit menjadi manusia, kalau dipikir-pikir. Dan betapa mudah menghakimi orang lain. Yang menulis tentang diri sendiri dituduh individualis, sementara yang aktif menulis banyak hal dituduh mencampuri urusan orang lain. Oh, well, betapa sulit menjalani kehidupan sebagai manusia. Dan betapa sulit menghindarkan diri dari prasangka serta tuduhan dangkal, karena banyaknya orang yang menghakimi tanpa memahami.

Seperti Cinta dalam AADC, banyak orang di sekitar kita yang sangat tahu menilai orang lain hanya sekadar dari permukaan. Seperti Cinta dalam AADC, kita hidup di tengah banyak orang yang lebih tahu cara menciptakan prasangka, tuduhan, dan kecurigaan. Seperti Cinta dalam AADC, kebanyakan kita adalah makhluk-makhluk yang lebih tahu cara menghakimi daripada memahami.

Padahal, penghakiman tanpa pemahaman selalu melahirkan vonis kepagian. Bahkan ketika seorang terdakwa diajukan ke muka pengadilan karena tuduhan pembunuhan, dan perbuatan itu telah disaksikan banyak orang, serta terbukti kuat, si terdakwa tetap memiliki hak untuk menjelaskan, dan hakim di pengadilan juga memiliki kewajiban untuk mendengarkan. Hakim di pengadilan tidak bisa—dan tidak akan pernah bisa—memutuskan keadilan, jika tidak tahu keseluruhan masalah yang dihadapinya.

Ketika Cinta mulai mengenal Rangga dalam AADC, memahami latar belakang hidupnya, mencoba mengerti alur pikirannya, dan berhenti menghakimi, Cinta pun mulai bisa memahami Rangga seutuhnya. Bahwa sosok yang ia tuduh sombong itu hanyalah bocah terluka yang kesepian dalam kesendirian, bahwa orang yang ia benci karena bersikap dingin itu adalah sosok baik yang kurang bisa berinteraksi dengan orang lain. Ketika pemahaman terbentuk, penghakiman hilang, kebencian pun berubah menjadi cinta.

Oh, well, kita tahu, Cinta kemudian jatuh cinta pada Rangga. Dia jatuh cinta pada Rangga, setelah berhenti menghakimi, dan mulai belajar memahami. Bahwa Rangga berbeda dengan dirinya, dan itu—ternyata—bukan masalah yang layak dihakimi. Bahwa Rangga memiliki latar belakang berbeda dengan dirinya, dan itu—ternyata—bisa dipahami.

Ada banyak dari kita yang seperti Rangga, pria maupun wanita. Juga banyak dari kita yang seperti Cinta, pria maupun wanita. Yang masih jadi persoalan, berapa banyakkah dari kita yang mau belajar memahami sebelum menghakimi?

 
;