Jumat, 20 Mei 2016

Utang dan Kehidupan yang Rusak

Sebagian orang anggap utang itu keren,
simbol kemakmuran & kepercayaan. Gue kok ngeri.
@MerryMp


Saya trauma dengan utang. Sebegitu trauma, hingga saya telah bersumpah pada diri sendiri untuk tidak akan pernah berutang lagi, kepada siapa pun, dengan alasan apa pun. Utang adalah hal yang tampak ringan, biasa, bahkan dilakukan banyak orang, tetapi—setidaknya bagi saya—itu merusak ketenteraman, merongrong kebahagiaan, dan merampas ketenangan hidup.

Ada beberapa utang kecil-kecilan yang pernah saya lakukan, pada teman atau keluarga. Namun, utang terbesar yang pernah saya lakukan sejumlah Rp. 14 juta, pada sebuah bank. Itu terjadi bertahun-tahun lalu, ketika saya tidak bisa bekerja hingga dua tahun, akibat kecelakaan parah yang pernah saya ceritakan di sini. Waktu itu, saya membutuhkan biaya untuk pengobatan, dan dari waktu ke waktu tabungan saya terus terkuras, sementara tidak ada uang masuk karena saya tidak bisa bekerja. Singkat cerita, saya kehabisan uang.

Itu masa-masa yang sangat buruk dalam kehidupan saya. Tubuh penuh luka, butuh biaya banyak, tabungan terus terkuras, sementara saya tidak bisa bekerja. Waktu itu saya sudah hidup sendiri—tidak tinggal bersama orangtua—jadi bisa dibilang saya menanggung kondisi itu sendirian.

Suatu malam, seorang teman datang ke rumah, dan kami pun bercakap-cakap. Percakapan itu kemudian sampai pada kondisi yang waktu itu saya alami. Teman saya bekerja di bank, dan—dengan maksud baik—dia menawari saya untuk berutang pada bank tempatnya bekerja.

“Berapa yang kamu butuhkan?” tanyanya waktu itu.

Saya menjawab, “Kalau kamu bertanya berapa yang kubutuhkan, jawabannya tentu cukup besar.”

“Sebutkan saja,” sahutnya. “Siapa tahu aku bisa membantu.”

Saya terdiam sesaat, memikirkan dan menghitung berapa yang saya butuhkan untuk bisa kembali menggerakkan kehidupan saya yang waktu itu berhenti. Saya menghitung berapa pengeluaran yang saya butuhkan, dan berapa jumlah uang yang kira-kira saya butuhkan untuk dapat menghasilkan uang. Akhirnya, saya mengatakan, “Aku butuh sekitar 14 juta.”

Dia mengangguk, dan bertanya, “Kalau aku bisa mengusahakan bank mengeluarkan pinjaman sejumlah itu, kira-kira berapa lama kamu bisa mengembalikan?”

“Satu tahun,” saya menjawab pasti. Dalam estimasi saya waktu itu, saya bisa menggunakan uang 14 juta untuk sesuatu yang produktif, dan saya bisa mengembalikannya dalam waktu singkat.

Sekali lagi, teman saya mengangguk.

Tetapi, buru-buru saya memberitahu, bahwa saya tidak punya jaminan apa pun yang bisa dijadikan agunan.

Dia menjawab, “Aku percaya kepadamu. Kita telah berteman sangat lama, dan aku tahu siapa kamu. Mungkin aku bisa mengusahakan bank memberi pinjaman untukmu, tanpa harus pakai jaminan apa pun.”

Semula saya skeptis, mengingat bank sangat hati-hati dalam memberi piutang. Bank, kita tahu, adalah sosok yang meminjamkan payung saat cuaca cerah, lalu meminta payung yang mereka pinjamkan saat hujan turun. Bank sangat murah hati memberimu pinjaman kalau uangmu berlimpah. Sebaliknya, bank akan menjadi monster pelit, saat kau benar-benar butuh pinjaman.

Tetapi, seminggu kemudian, datang kabar menggembirakan. Mungkin, karena teman saya memiliki posisi yang strategis, dia bisa mempengaruhi bank untuk memberi pinjaman kepada saya, sejumlah Rp. 14 juta sebagaimana yang saya minta. Singkat cerita, uang sejumlah itu masuk ke rekening saya.

Dan selanjutnya adalah bencana.

Estimasi saya meleset, prediksi saya berantakan. Uang sejumlah Rp. 14 juta yang semula saya pikir bisa digunakan untuk menghasilkan sejumlah uang lain, ternyata gagal total. Utang pada bank itu harus saya angsur per bulan, dengan sejumlah bunga. Pada waktu memasuki angsuran ke-5, saya tidak bisa lagi membayar. Utang itu menjadi kredit macet. Dan saya tidak tahu bagaimana cara mencari uang lain untuk mengatasi masalah tersebut.

Sejak itulah, kehidupan saya benar-benar terjun ke lembah kebingungan dan keputusasaan. Luka-luka bekas kecelakaan belum pulih. Kondisi tubuh dan hidup saya masih memprihatinkan. Uang terus keluar tapi tidak ada penghasilan yang masuk. Sementara itu, saya punya sejumlah utang ke bank.

Teman saya, yang membantu mencairkan utang tersebut, semula tidak terlalu mempermasalahkan. Dia percaya saya sepenuhnya. Tetapi, lama-lama, bagaimana pun dia tidak enak pada bank tempatnya bekerja. Pihak bank mungkin terus menanyakan kepadanya, dan dia mulai menanyakan utang tersebut pada saya. Selama waktu-waktu itu, saya benar-benar dilanda kebingungan. Bukan hanya bingung karena memiliki sejumlah utang, tapi juga bingung menghadapi teman baik saya.

Singkat cerita, hubungan kami jadi tidak sebaik sebelumnya.

Bulan demi bulan terus berjalan, dan saya seperti merangkak dalam kegelapan. Dengan segala keterbatasan yang saya alami waktu itu, saya memaksa diri untuk berpikir dan bekerja, berpikir dan bekerja, berpikir dan bekerja, serta mencari cara untuk segera melunasi utang keparat yang waktu itu masih saya miliki. Selama waktu-waktu itu, saya sering dihinggapi ketakutan saat ada orang datang ke rumah.

Sebelumnya, teman saya memberitahu bahwa dia masih berupaya “menenangkan” pihak bank, dan meyakinkan bank bahwa saya benar-benar belum bisa melunasi utang, dan lain-lain. Intinya, teman saya masih percaya kepada saya, dan berharap saya bisa melunasi utang secepatnya. Tetapi, saat saya ternyata tidak juga bisa mengembalikan utang, teman saya pun tidak bisa apa-apa lagi. Sejak itu, dia tidak bisa menghalang-halangi pihak bank yang datang untuk menagih.

Sejak itulah, saya kehilangan ketenangan dan ketenteraman. Utang di bank terus bertambah karena adanya bunga. Itu saja sudah bikin makan tidak enak, tidur tidak nyenyak. Sementara itu, saya juga tidak enak setengah mati pada teman saya. Bagaimana pun, dia telah berbaik hati membantu, mempercayai saya sepenuhnya, dan kini saya mengecewakannya. Oh, well, waktu itu saya merasa benar-benar hina.

Setelah hampir dua tahun berpikir dan bekerja keras dengan susah-payah, sambil menjalani kehidupan yang tidak tenang gara-gara utang, akhirnya saya bisa melunasi utang pada bank, berikut bunganya. Utang yang sebenarnya seupil itu akhirnya lunas!

Sejak itulah, saya bersumpah tidak akan pernah utang lagi pada siapa pun, dengan alasan apa pun. Saya telah merasakan bagaimana tidak enaknya hidup dan rusaknya ketenteraman gara-gara utang!

“Walau makan sederhana, walau baju sederhana, asal sehat jiwa raga, dan hutang juga tak punya, itulah orang yang kaya.”

Itu yang ngomong bukan saya, tapi Rhoma Irama, dalam lagu “Gali Lobang Tutup Lobang”. Omong-omong, itu salah satu lagu favorit saya, meski ada banyak kata dalam lagu itu yang salah. Bahkan judul lagu itu pun sebenarnya salah, karena yang benar “Gali Lubang Tutup Lubang”. Tapi persetan, lagu itu enak didengarkan.

Well, masa-masa gelap dan suram itu telah jauh berlalu, tapi pelajaran yang saya dapat waktu itu masih membekas dalam ingatan. Kini, saya tidak pernah lagi tertarik pada tawaran utang apa pun, dalam bentuk apa pun, karena menyadari bagaimana rusaknya kehidupan gara-gara utang. Prinsip saya saat ini: Jika ingin sesuatu, saya akan membelinya secara cash. Jika tidak bisa, maka saya akan menunda keinginan, sambil mengumpulkan uang. Sederhana, dan tidak bikin pusing.

Di masa sekarang, kadang ada orang bank yang menawari kartu kredit. Saya tidak perlu waktu untuk berpikir—saya langsung menolak! Kartu kredit itu kartu utang. Seseorang dipinjami kartu oleh bank, yang bisa digunakan untuk berutang. Dengan kartu kredit, orang bisa membeli baju dengan utang, membeli aneka barang dengan utang, bahkan makan dan minum dengan utang. Saya tidak tertarik menjalani gaya hidup semacam itu.

Jangankan membayar sesuatu yang harganya paling ribuan, bahkan membayar sesuatu yang nilainya jutaan pun, saya membayarnya secara cash! Saya sudah sampai pada tahap membenci utang, kredit, cicilan, atau apa pun sebutannya. Praktik itu benar-benar najis dalam hidup saya.

Kenyataannya, membeli sesuatu jauh lebih mudah dan tidak ribet jika dibayar secara kontan. Membeli kendaraan secara utang atau kredit, misalnya, ribetnya minta ampun—dari survei rumah, survei tempat kerja, survei slip gaji atau buku rekening, tanda tangan ini itu, sampai tetek bengek lain yang sangat memuakkan. Dengan membayar secara kontan, kita cukup membawa uang, dan kendaraan bisa langsung dibawa pulang. Sederhana, mudah, tidak ribet—dan saya suka hal-hal mudah yang sederhana.

Jadi, bagi saya, persetan dengan utang! Karena alih-alih memudahkan, utang sebenarnya justru mempersulit diri, dan menjauhkan kita dari ketenangan serta ketenteraman hidup. Lebih dari itu, utang juga bisa seperti candu, dan itu salah satu candu yang merusak sekaligus berbahaya.

Meski mungkin terdengar berlebihan, ada orang-orang yang kecanduan utang. Orang semacam itu bisa ditandai dengan banyaknya utang yang dimiliki pada banyak pihak—biasanya perorangan—dan orang semacam itu umumnya menjalani hidup dengan praktik gali lubang tutup lubang, meski sebenarnya tidak miskin.

Susahnya, sekali orang kecanduan utang, biasanya dia akan kesulitan untuk dapat melepaskan “kecanduan” tersebut. Meski sebenarnya sudah punya uang untuk membayar, dia menunda-nunda pembayaran utang, bahkan menggunakan uangnya untuk hal-hal konsumtif. Setelah itu, dia berutang lagi, mencari “korban” lain untuk diutangi, dan begitu seterusnya. Ada orang-orang yang biasa makan di restoran mewah, memamerkan parabola di depan rumah, menjalani gaya hidup seperti orang kaya-raya, tapi utangnya tersebar di mana-mana.

Hidup adalah soal pilihan. Dan dalam urusan utang, saya memilih untuk tidak akan pernah lagi bersentuhan. Utang adalah sesuatu yang tampak sepele, remeh, bahkan manusiawi, tapi sangat... sangat merusak. Karenanya, saya berdoa kepada Tuhan yang Maha Kaya, semoga hari ini dan selamanya, saya dijauhkan dari urusan utang piutang kepada sesama manusia.

Saat menulis catatan ini, saya tidak memiliki utang serupiah pun kepada siapa pun. Semoga saja ingatan saya benar. Namun, jika ternyata ingatan saya keliru, dan ternyata saya masih memiliki utang kepada siapa pun, tolong temui saya, dan saya akan membayar sekarang juga.

Karena itu—kepada teman-teman di dunia nyata—jika kalian pernah merasa memberi piutang kepada saya, entah di waktu kapan pun, dan entah sekecil apa pun, tapi saya lupa mengembalikan, tolong... tolong temui saya, dan beritahu hal itu. Saya akan membayar segera, tak peduli meski jumlahnya paling beberapa rupiah.

Saya tidak pernah takut atau risau jika harus meninggal dunia kapan pun. Bahkan umpama besok saya mati pun tidak masalah. Tetapi, yang jelas, saya tidak ingin meninggal dalam keadaan masih memiliki utang.

 
;