Rabu, 26 Oktober 2016

Korban Broken Home

Hal terbesar yang kusesali dalam hidup adalah kelahiranku di dunia.
Dan orang yang paling kubenci di dunia ini adalah orangtuaku.
Alwa


Istilah “broken home” biasanya lekat—atau dilekatkan—pada perceraian dua orangtua yang telah memiliki anak (atau anak-anak). Karenanya, istilah broken home sering (bahkan selalu) ditujukan untuk menyebut anak-anak yang orangtuanya bercerai. Mereka pun disebut “anak-anak korban broken home”.

Jika sepasang suami istri bercerai, dan mereka tidak/belum punya anak, maka perceraian mereka bisa dibilang selesai. Dalam arti, perceraian itu tidak melahirkan sesuatu yang disebut “broken home”. Tetapi, jika sepasang suami istri bercerai, dan mereka telah memiliki anak, maka lahirlah istilah “broken home”, yang ditujukan untuk si anak.

Saya sering memikirkan, apakah istilah “broken home” hanya sebatas itu? Apakah “anak korban broken home” hanyalah anak-anak yang kedua orangtuanya bercerai? Karena, di dunia ini, ada banyak keluarga yang tampak baik-baik saja—dua orangtua tidak bercerai—tetapi anak-anak dalam keluarga itu menghadapi petaka yang lebih mengerikan, dibanding anak-anak korban broken home (yang orangtuanya bercerai).

Mari kita lihat dulu anak-anak korban broken home yang kedua orangtuanya bercerai. Bagaimana pun, mereka anak-anak malang, karena tidak lagi memiliki kasih sayang dan cinta orangtua sebagaimana seharusnya. Jika anak-anak di keluarga lain biasa berkumpul dengan ayah dan ibu, anak korban broken home tentu tidak bisa, karena ayah dan ibu mereka bercerai dan berpisah.

Mungkin anak korban broken home bisa berkumpul dengan sang ayah atau dengan sang ibu, atau memilih berpisah dengan keduanya, dan hidup sendiri. Yang jelas, anak korban broken home tidak bisa berkumpul dengan kedua orangtua sebagaimana keluarga yang utuh. Sesekali mungkin orangtua bertemu, dan mereka bisa menjadi keluarga yang utuh. Tetapi, bagaimana pun dua orangtua mereka telah bercerai, sehingga tidak mungkin bertemu dan bersama seterusnya.

Kondisi itu berbeda dengan anak-anak yang orangtuanya masih utuh, dalam arti masih bersama, dan tidak bercerai. Karena memiliki kedua orangtua dengan jelas, mereka pun dapat hidup bersama ayah dan ibu, memperoleh cinta, kasih sayang, dan perhatian mereka sepenuhnya. Itu faktor penting yang tidak dimiliki anak-anak korban broken home. Cinta, kasih sayang, dan perhatian, dua orangtua sekaligus.

Memang tidak semua anak korban broken home pasti menjadi pribadi yang negatif atau orang gagal. Banyak pula anak korban broken home yang menjadi pribadi baik, bahkan menjadi orang sukses. Tetapi, bagaimana pun, mereka telah kehilangan sesuatu yang seharusnya mereka terima sebagai anak. Yaitu kasih sayang dan cinta orangtua. Itu, di dalam lubuk hati mereka, meninggalkan lubang—atau bahkan luka—yang selalu menganga.

Saya bukan anak korban broken home, dalam arti kedua orangtua saya tidak bercerai. Karenanya, saya tidak tahu bagaimana rasanya menjadi anak yang orangtuanya bercerai. Tetapi, setidaknya, saya bisa membayangkan sesuatu yang mungkin dirasakan anak-anak korban broken home. Kehilangan kasih sayang orangtua, merasa ditinggalkan, atau bahkan merasa terbuang.

Sekarang, saya ingin mengajak kita semua berpikir, dan memikirkan, apakah anak-anak yang disebut “korban broken home” hanya sebatas mereka yang kedua orangtuanya bercerai?

Hal pertama yang hilang dari anak-anak korban broken home adalah kasih sayang orangtua. Apakah yang kehilangan kasih sayang orangtua hanya mereka yang orangtuanya bercerai?

Di sinetron-sinetron, atau di film-film, kadang ada ilustrasi “broken home” dalam bentuk lain. Biasanya diwujudkan dengan sebuah keluarga kaya. Si ayah sibuk kerja atau mengurus bisnis, si ibu sibuk arisan atau semacamnya, dan si anak kehilangan kasih orangtua.

Dalam bingkai semacam itu, si anak pun disebut “korban broken home”. Karena itu, “anak korban broken home” tidak harus selalu yang kedua orangtuanya bercerai. Bahkan dua orangtua masih bersama pun, si anak bisa saja menjadi korban broken home, jika tidak mendapat kasih sayang cukup dari orangtua.

Yang membuat saya sering bingung, penggambaran “broken home” di sinetron atau di film-film sering kali diilustrasikan dengan keluarga kaya. Akibatnya, kebanyakan orang berpikir bahwa “anak-anak korban broken home” hanyalah anak-anak orang kaya.

Sangat jarang sekali—bahkan nyaris tidak pernah—saya melihat penggambaran “anak korban broken home” dari keluarga miskin. Seolah-olah yang berhak menyandang sebutan “anak korban broken home” hanya anak-anak orang kaya. Padahal, sebagaimana pada keluarga kaya, keluarga miskin pun sama melahirkan “anak-anak broken home”, bahkan bisa jadi lebih banyak.

Mari kita kembali mengingat, bahwa faktor utama yang dihadapi anak-anak korban broken home adalah hilangnya kasih sayang dan perhatian orangtua. Anak-anak yang kedua orangtuanya bercerai, kehilangan kasih sayang mereka. Anak-anak yang orangtuanya sibuk dengan urusan sendiri-sendiri, juga menghadapi hal sama, kehilangan kasih sayang mereka. Pertanyaannya, apakah kondisi semacam itu hanya terjadi pada anak-anak dari keluarga kaya?

Jawabannya, tentu saja, tidak! Tak peduli keluarga kaya, atau keluarga menengah, atau keluarga miskin, semuanya berpotensi melahirkan anak-anak korban broken home!

Kadang-kadang—bahkan sering kali—sinetron atau film menipu kita habis-habisan. Keluarga kaya digambarkan kacau tak karuan, lalu anak-anak tumbuh liar tanpa kasih sayang. Di waktu yang sama, keluarga miskin digambarkan hidup rukun, damai sentosa, dengan anak-anak yang hormat pada orangtua, dengan ayah dan ibu yang begitu menyayangi keluarga.

Mungkin memang ada yang begitu. Mungkin memang ada keluarga kaya yang kacau berantakan, dan anak-anak tumbuh liar. Begitu pun, mungkin ada keluarga miskin yang hidup rukun, damai sentosa, penuh kasih sayang dan cinta. Tetapi, tentu saja, tidak semua keluarga kaya pasti begitu, sebagaimana tidak semua keluarga miskin pasti begitu!

Keluarga kaya maupun keluarga miskin sama-sama punya potensi untuk menjadi keluarga yang baik dan rukun, sebagaimana mereka juga berpotensi untuk melahirkan anak-anak broken home!

Selepas SMA, dulu saya sempat bekerja di pabrik batik, yang dimiliki sebuah keluarga kaya-raya. Keluarga majikan saya memiliki tiga anak—dua laki-laki, dan satu perempuan. Waktu saya masih bekerja di sana, dua anak laki-laki masih SMA, sedang si anak perempuan belum sekolah.

Tempat kerja saya waktu itu di garasi mobil keluarga, yang luasnya melebihi rumah orangtua saya. Karena setiap hari berada di sana, saya pun bisa melihat langsung kehidupan anak-anak kaya itu, serta menyaksikan interaksi mereka dengan orangtua.

Seperti anak-anak orang kaya umumnya, dua bocah SMA itu menjalani gaya hidup sebagaimana anak-anak konglomerat. Sementara teman-teman sekolahnya naik sepeda motor, mereka naik mobil. Sementara saya bekerja seharian hanya untuk mendapat uang beberapa ribu perak, mereka menghabiskan ratusan ribu setiap kali jajan. Masing-masing anak memiliki mobil sendiri, dan dua bocah itu sering tampak asyik memoles mobilnya setiap hari.

Meski begitu, mereka tidak menunjukkan perilaku buruk sebagaimana yang biasa saya lihat di sinetron. Anak-anak itu sangat menghormati orangtua mereka, dan sikapnya kepada orang lain—termasuk kepada kami, para buruh keluarganya—juga sangat baik. Karena mereka sering berada di garasi—yang artinya di tempat kerja saya waktu itu—saya pun mengenal mereka, dan tahu mereka anak-anak baik.

Saat saya menulis catatan ini, dua anak laki-laki majikan saya dulu sudah menikah, dan mungkin sekarang sudah punya anak. Sementara usaha batik keluarga mereka masih langgeng sampai sekarang. Apakah anak-anak itu bahagia? Saya yakin mereka bahagia. Tidak ada alasan bagi orang-orang seperti mereka untuk tidak bahagia.

Orangtua saya juga memiliki tetangga yang tak jauh beda dengan itu. Tetangga orangtua saya juga berbisnis batik, dan luar biasa kaya. Mereka punya anak-anak yang rata-rata lebih muda dari saya, dan bisa dibilang semuanya anak baik, yang menghormati orangtua, serta santun pada orang lain. Anak-anak itu sebagian sudah menikah, sebagian lagi belum, dan biasa membantu orangtua mereka dalam bisnis keluarga. Mereka tampak menikmati kesibukannya, dan bisa dibilang menjalani hidup lurus, serta tidak pernah membuat masalah.

Dua contoh itu hanya secuil contoh yang saya miliki. Di luar dua contoh itu, saya mengenal anak-anak konglomerat yang menjadi orang-orang baik, sangat menghormati orangtua, menyayangi keluarga, dan bisa dibilang menjalani hidup secara lurus. Lebih penting lagi, mereka memiliki kesehatan yang baik, secara fisik maupun psikis.

Bahkan, kalau diingat-ingat, sampai saat ini saya belum pernah menemukan satu pun teman yang berasal dari keluarga kaya yang hidupnya kacau. Nyaris semua teman yang berasal dari keluarga kaya—atau kalangan menengah—menjalani kehidupan yang bisa dibilang baik, lurus, dan sedikit masalah. Mereka jenis orang-orang normal sebagaimana mestinya—tumbuh dengan baik, dapat berinteraksi dengan orang lain secara baik, dapat menjalani hubungan dengan baik, dan semacamnya.

Karenanya, kalau ada yang bilang anak orang kaya pasti rusak, saya akan bingung. Karena teman-teman saya yang anak-anak orang kaya sama sekali tidak seperti itu. Begitu pun, jika dikatakan bahwa anak-anak orang kaya sering menjadi korban broken home, saya juga tidak setuju, karena realitas yang saya lihat tidak begitu.

Sebaliknya, justru teman-teman saya yang berasal dari keluarga miskin yang menghadapi aneka masalah, dari masalah pribadi sampai masalah keluarga. Saya tidak segan mengatakan ini terang-terangan, karena saya merupakan bagian dari mereka. Lebih dari itu—kepada saya—mereka juga secara terbuka mengatakan bahwa kehidupan mereka adalah “kutukan”, sesuatu yang juga saya katakan kepada mereka.

Ada teman saya yang pernah berkata blak-blakan, “Hal terbesar yang kusesali dalam hidup adalah kelahiranku di dunia. Dan orang yang paling kubenci di dunia ini adalah orangtuaku.”

Orang yang mengatakan kalimat mengerikan itu adalah lelaki 30 tahun, saat ia menceritakan bagaimana penderitaannya selama ini. Kedua orangtuanya tidak bercerai. Tetapi teman saya adalah korban broken home dalam arti sesungguhnya. Untuk memudahkan cerita, mari kita sebut teman saya dengan nama Alwa.

Seperti yang mungkin kalian duga, Alwa lahir dan tumbuh di keluarga miskin. Ayahnya buruh pabrik, ibunya bekerja serabutan untuk menambah penghasilan keluarga. Sejak kecil, Alwa harus mulai bekerja untuk mendapat uang—kisah-klise-usang-bangsat yang biasa dialami anak-anak malang.

Karena orangtuanya sangat miskin, Alwa harus sering makan hati di sekolah. Memakai baju seragam usang, tidak bisa jajan saat jam istirahat, sering nunggak bayar SPP, tidak bisa ceria seperti teman-temannya. Sekali lagi, kisah-klise-usang-bangsat yang biasa dialami anak-anak malang.

Tetapi penderitaan Alwa tidak sebatas itu. Karena ayahnya sering kecapekan bekerja keras seharian, sang ayah pun mudah marah. Dan Alwa sering menjadi korban pelampiasan kemarahan. Hal sama terjadi pada ibunya. Karena kebutuhan belanja sering tidak cukup, sang ibu juga sering stres, dan Alwa yang menjadi korban lampiasan kekesalan.

Meski hidup sangat pas-pasan, bahkan kekurangan, orangtua Alwa punya banyak anak. Alwa anak sulung, dengan empat orang adik. Sedari kecil, Alwa bekerja apa saja, yang penting bisa dapat uang. Ia kehilangan masa kecilnya, kehilangan keceriaannya. Saat tumbuh remaja, dia kehilangan masa remajanya. Saat akhirnya dewasa, Alwa pun menjelma menjadi sosok yang penuh luka.

“Bahkan saat aku dewasa sekarang,” ujar Alwa, “masalah yang ditimbulkan orangtua dan keluargaku tidak juga selesai.”

Karena sedari kecil menjadi korban kekerasan orangtua, dan sedari kecil menjalani kesusahan, penderitaan, dan luka, Alwa menjadi sosok yang sangat rendah diri. Dia sering kesulitan bersosialisasi dengan orang lain, dan orang-orang menganggapnya sosok yang tidak menyenangkan. Alwa adalah contoh “anak korban broken home” yang sangat nyata—yaitu korban dari sebuah keluarga yang rusak—meski kedua orangtuanya tidak bercerai.

Saat ia menceritakan hidupnya, Alwa berkata, “Aku pernah terkejut, saat memikirkan bahwa selama tiga puluh tahun hidup, rasanya aku belum pernah merasakan bahagia. Yang kujalani dan kualami dalam hidup hanya masalah demi masalah, kepahitan demi kepahitan, penderitaan demi penderitaan, luka demi luka. Kalau saja bisa, aku ingin menuntut kedua orangtuaku, kenapa mereka harus melahirkanku ke dunia yang keparat ini.”

Cerita Alwa sebenarnya sangat panjang, dan mungkin akan saya ceritakan di catatan lain. Yang jelas, Alwa tak jauh beda dengan anak-anak malang lain, yang rata-rata tumbuh di keluarga miskin, lalu menjalani kehidupan penuh masalah dan kepahitan, bahkan sampai dewasa. Kisah-klise-usang-bangsat yang biasa dialami anak-anak malang.

Well, yang ingin saya tunjukkan dalam catatan ini, bahwa “korban broken home” sebenarnya tidak sesempit yang mungkin kita bayangkan, atau bahkan belum tentu sama dengan yang selama ini kita pikirkan.

Anak-anak yang orangtuanya bercerai tentu saja anak-anak malang, dan kita patut bersimpati kepada mereka. Tetapi, anak-anak malang semacam itu tidak harus yang orangtuanya bercerai. Banyak pula anak-anak yang orangtuanya tidak bercerai, tapi menjalani kehidupan yang rusak. Dan anak-anak semacam itu tidak selalu berasal dari keluarga kaya, sebagaimana yang biasa ditunjukkan di sinetron. Dalam realitas, anak-anak semacam itu kebanyakan justru berasal dari keluarga miskin.

Sepedih-pedihnya luka yang dialami anak bermasalah dari keluarga kaya, masih jauh lebih pedih luka yang dialami anak bermasalah dari keluarga miskin. Saya tahu betul hal itu, karena saya mengalaminya. Dan saya tidak malu mengakui bahwa saya “anak bermasalah”. Oh, saya bahkan bisa mengatakan bahwa, sebenarnya, saya juga “anak korban broken home”, meski orangtua saya tidak bercerai.

Di balik tubuh dewasa saya, ada anak kecil terluka yang tak pernah berhenti menangis. Di balik kehidupan saya yang tampak normal dan biasa, ada jiwa yang berdarah, hati yang bernanah... sebuah luka yang terus menganga.

 
;