Minggu, 24 Januari 2016

Bisakah Orang Hidup dari Menulis?

Aku menulis untuk alasan yang sama dengan mengapa
aku bernapas; jika aku tidak melakukannya, aku akan mati.
Isaac Asimov


Pertanyaan klasik di dunia kepenulisan, “Bisakah menulis dijadikan profesi? Bisakah orang hidup dari menulis?”

Pertanyaan itu, bagi saya, tidak bisa dijawab dengan mudah, karena harus memahami terlebih dulu dunia penerbitan secara luas dan pasar buku—khususnya di Indonesia—dengan segala sisik meliknya. Memang ada beberapa penulis (Indonesia) yang mendapatkan royalti sampai miliaran dari penjualan buku-bukunya. Tetapi, blak-blakan saja, penulis semacam itu sangat kasuistis, dalam arti kita tidak bisa serta merta meniru mereka.

Baca: Media Online Paling Memuakkan

Mari gunakan contoh. Penulis A, misalnya, menulis buku dengan topik X, dan bestseller, hingga menghasilkan royalti ratusan juta. Berkaca pada hal itu, kita pun menulis buku seperti yang ditulis Penulis A, dengan topik yang sama-sama X, dan kita mengusahakan isi serta tampilan buku itu mirip Buku X karya Penulis A, dengan kualitas yang sama, dengan harga jual yang sama. Kita bahkan mengadakan promosi seperti yang dilakukan Penulis A. Apakah buku kita juga akan bestseller seperti buku milik Penulis A? Belum tentu!

Ada banyak faktor yang terjadi hingga Buku X karya Penulis A bestseller dan menghasilkan royalti besar, termasuk faktor keberuntungan. Yang agak merisaukan, dalam konteks pasar buku di Indonesia, faktor keberuntungan tampaknya menjadi salah satu faktor penentu. Karena itu pula, sebagian penulis dan praktisi penerbitan di Indonesia pernah menyatakan bahwa pasar buku di Indonesia adalah sebuah anomali.

Kesimpulan itu mungkin terdengar agak tergesa-gesa, tetapi—dengan berat hati—saya menyetujui. Saya menyetujui hal itu, karena mendasarkan pengalaman saya pribadi dalam dunia tulis menulis dan hubungan dengan banyak penerbit, serta menyaksikan langsung seperti apa pasar buku di Indonesia.

Saya menulis buku pertama secara profesional pada tahun 2000, dan itu artinya saya telah menjalani profesi menulis selama 15 tahun. Selama bertahun-tahun, saya tidak hanya menghasilkan buku-buku yang telah diterbitkan, tapi juga telah berhubungan dengan puluhan penerbit di Indonesia, dari penerbit kecil sampai penerbit besar. Pengalaman bekerja sama dengan puluhan penerbit itulah yang kemudian membuka mata saya mengenai bagaimana “misteriusnya” pasar buku di Indonesia.

Ada beberapa buku yang saya anggap sangat bagus, dan penerbit juga telah memprediksi buku itu akan laris, tapi nyatanya penjualannya biasa-biasa saja. Sebaliknya, ada buku-buku saya yang bisa dibilang kurang berpotensi, tapi ternyata menghasilkan penjualan besar, yang sama sekali tak terduga. Berkaitan dengan hal itu, ada kisah menarik yang bisa saya ceritakan.

Pada pertengahan 2008, saya dihubungi sebuah penerbit yang meminta saya menulis naskah untuk mereka. Kita sebut saja Penerbit Z. Mereka menentukan topik naskah yang diinginkan, dan saya pun mampu menulisnya. Tetapi, terus terang, waktu itu saya tidak berminat.

Tidak adanya minat saya dilatari dua hal. Pertama, topik naskah yang mereka minta sangat umum, dan ada banyak buku di pasar yang juga membahas hal tersebut. Waktu itu, saya pikir, menulis buku dengan topik tersebut sama saja menggarami laut, dan hanya akan buang-buang waktu.

Kedua, saya tidak terlalu mengenal Penerbit Z, karena sebelumnya kami memang belum pernah bekerja sama. Lebih dari itu, Penerbit Z juga tipe penerbit yang kalem—dalam arti bukan penerbit tenar yang namanya dikenal banyak orang. Penerbit Z tidak aktif di sosial media, bahkan situsnya pun tampaknya jarang di-update.

Dua pertimbangan itu membuat saya ragu-ragu untuk memenuhi permintaan Penerbit Z. Namun, karena tidak ingin mengecewakan Penerbit Z, saya menawarkan teman saya untuk menggarap naskah tersebut. Singkat cerita, Penerbit Z setuju, dan teman saya menggarap naskah yang mereka inginkan. Waktu itu, jujur saja, saya maupun teman saya tidak terlalu optimis dengan naskah buku tersebut, mengingat dua pertimbangan yang telah saya sebut di atas. Tapi rupanya kami salah sangka.

Enam bulan setelah buku itu terbit, penerbit Z mengirimkan laporan penjualan serta royalti untuk teman saya. Jumlahnya di luar perkiraan. Royalti yang ia terima waktu itu relatif besar—jauh lebih besar dari yang kami bayangkan. Tetapi kejutan yang terjadi tidak hanya itu. Selain jumlah royalti yang besar karena penjualan yang baik, Penerbit Z juga memberitahukan rencana cetak ulang untuk semester berikutnya. Dan, ini yang paling mengejutkan, cetak ulang itu kemudian terjadi hampir setiap semester!

Waktu itu, saya dan teman saya benar-benar “shock”. Bagaimana buku yang bisa dibilang sangat umum itu mampu bersaing di pasar, dan menghasilkan penjualan besar? Penerbit Z maupun teman saya tidak melakukan promosi apa pun. Selama waktu-waktu kemudian juga tidak ada upaya promosi apa pun, tapi buku itu terus terjual dan terus terjual. Total royalti yang diterima teman saya dari buku itu mencapai Rp. 110 juta—angka yang jauh lebih besar dari perkiraan kami.

Pengalaman itu—juga beberapa pengalaman lain serupa—seperti memberitahu saya, bahwa pasar buku di Indonesia mungkin dapat diprediksi, tapi kadang tak terduga. Kenyataan itu pula yang kemudian melahirkan dua macam penerbit yang masing-masing memiliki perspektif sendiri, dengan cara penerbitan buku yang jauh berbeda.

Berdasarkan pengalaman bertahun-tahun, saya mengenal dua macam penerbit, khususnya dalam produksi dan penerbitan buku. Penerbit pertama saya sebut penerbit selektif. Sementara penerbit kedua saya sebut penerbit produktif.

Sebagaimana namanya, penerbit selektif sangat hati-hati dalam menerbitkan buku. Untuk setiap satu buku yang diterbitkan, mereka memiliki pemikiran panjang, perencanaan detail, dan berbagai upaya agar buku tersebut laris terjual, yang itu artinya akan melibatkan urusan promosi dan segala macam, yang umumnya juga melibatkan si penulis.

Selain pertimbangan yang matang dalam urusan menerbitkan buku, penerbit jenis ini juga sangat “irit”. Maksudnya, jika kita menerbitkan buku di penerbit selektif, biasanya kita tidak bisa menerbitkan beberapa buku sekaligus. Kita hanya bisa menerbitkan satu buku, lalu berusaha mempromosikannya dengan gencar sampai terjual habis, baru kemudian bisa menerbitkan buku lain.

Penerbit selektif memberlakukan “aturan” semacam itu, karena menyadari bahwa bagaimana pun juga pasar buku kadang tak terduga, karenanya mereka sangat hati-hati. Mereka tidak ingin membuang uang percuma untuk menerbitkan banyak buku yang ternyata tidak laku. Karenanya pula, penulis yang bekerja sama dengan penerbit selektif biasanya punya semacam kewajiban untuk aktif mempromosikan bukunya, jika memang ingin kembali menerbitkan buku di penerbit tersebut.

Kemudian, penerbit jenis kedua, saya sebut penerbit produktif. Jika penerbit selektif sangat “irit” dalam menerbitkan buku—khususnya untuk karya setiap penulis—penerbit produktif melakukan hal sebaliknya. Mereka menerbitkan buku dalam jumlah sangat banyak, hingga seorang penulis bisa menerbitkan beberapa buku sekaligus dalam satu waktu. Penerbit produktif hanya memastikan naskah memenuhi standar yang mereka tetapkan, dan mereka pun akan menerbitkan, tak peduli berapa pun jumlahnya.

Penerbit produktif sengaja menerbitkan buku dalam jumlah banyak, juga dilatari pertimbangan bahwa pasar buku kadang tak terduga. Karena itu, mereka sengaja menerbitkan buku beragam, agar calon pembeli memiliki lebih banyak pilihan. Karena itu pula, jumlah buku yang diterbitkan penerbit produktif jauh lebih banyak dibandingkan buku yang diterbitkan penerbit selektif.

Jadi, secara garis besar, seperti inilah cara kerja dalam berhubungan dengan dua jenis penerbit di atas:

Jika kita bekerja sama dengan penerbit selektif, yang perlu kita lakukan hanya menulis satu buku, lalu berusaha mempromosikannya sebaik mungkin, dengan harapan bisa terjual banyak. Untuk hal itu, biasanya, kita harus sangat aktif bahkan interaktif. Tidak menutup kemungkinan, waktu yang kita gunakan untuk urusan promosi jauh lebih banyak dibandingkan waktu menulis naskah. Setelah buku benar-benar laris terjual, kita baru bisa mulai fokus untuk menulis buku lain.

Sebaliknya, jika kita bekerja sama dengan penerbit produktif, yang paling perlu kita lakukan adalah menulis naskah. Yang dibutuhkan penerbit produktif adalah pasokan naskah—mereka perlu menerbitkan buku sebanyak-banyaknya, untuk mendominasi pasar. Karena itu pula, penerbit produktif tidak menuntut penulis untuk berpromosi—mereka membiarkan penulis khusyuk menulis, agar bisa terus memasok naskah.

Dari dua jenis penerbit tersebut, manakah yang lebih baik? Jawabannya tergantung pada masing-masing penulis. Jika kita tergolong penulis yang tidak terlalu produktif, atau menjadikan menulis sebagai profesi paruh-waktu, penerbit selektif bisa jadi pilihan. Apalagi jika kita memang suka bersosialisasi, hingga sangat menikmati acara promosi buku—dari wawancara, bedah buku, temu penulis, gathering, dan lain-lain. Karenanya, bekerja sama dengan penerbit selektif juga memungkinkan penulis untuk cepat terkenal.

Sebaliknya, jika kita menjadikan menulis sebagai profesi purna-waktu (full time), maka penerbit produktif bisa menjadi pilihan yang baik, karena kita bisa terus menulis tanpa henti, dan mereka akan terus menerbitkannya. Apalagi jika kita tergolong “penulis kuno” yang lebih senang menyendiri daripada bersosialisasi. Dalam hal ini, saya pribadi lebih nyaman bekerja sama dengan penerbit produktif, karena hanya diwajibkan menulis naskah tanpa dibebani kewajiban berpromosi.

Selama beberapa tahun ini, saya terikat kontrak tidak resmi dengan dua penerbit produktif. Saya sebut “tidak resmi”, karena kami memang tidak pernah mengadakan kontrak untuk saling mengikat secara resmi. Namun, penerbit-penerbit itu terus meminta saya memasok naskah untuk mereka, dan saya pun terus menulis naskah untuk mereka.

Permintaan mereka bahkan melebihi kemampuan saya, hingga akhirnya saya membentuk tim berisi para penulis profesional, agar bisa memenuhi permintaan mereka. Karena digarap tim, nama yang tertulis di buku pun bukan nama saya, tapi nama tim. Sementara buku-buku yang menggunakan nama saya memang karya saya pribadi—tidak melibatkan tim.

Saat ini, tim penulis paling produktif di Indonesia adalah Jubilee Enterprise. Jumlah buku karya mereka yang telah beredar di pasar mungkin telah mencapai 1.000 (seribu) judul. Jika kita bertanya pada mereka, apakah orang bisa hidup dari menulis, tentu mereka akan menjawab “Ya.” Siapa pun yang punya 1.000 judul buku yang beredar di pasar, bisa dipastikan meraih royalti miliaran.

Nah, berdasarkan uraian mengenai dua macam penerbit di atas, kita bisa mulai menakar pertanyaan yang mengawali catatan ini, “Bisakah menulis dijadikan profesi? Bisakah orang hidup dari menulis?”

Jawabannya, sekali lagi, tergantung pada diri kita sendiri. Selain kreativitas dan produktivitas, kesuksesan dalam dunia kepenulisan juga tergantung pada kepribadian kita. Orang introver yang sulit bersosialisasi—seperti saya—mungkin akan kesulitan jika hanya berhubungan dengan penerbit selektif. Sebaliknya, orang ekstrover yang senang bertemu banyak orang, bisa stres berat jika harus bekerja sama dengan penerbit produktif yang memberlakukan tuntutan produktivitas tinggi.

Karenanya pula, pertanyaan “bisakah menulis dijadikan profesi?” sebenarnya tidak semudah kedengarannya. Itu sangat berkaitan dengan pepatah manajemen klasik, “the right man on the right place”. Artinya, kemungkinan aktivitas menulis dijadikan profesi tidak hanya berhubungan dengan kemampuan menulis dan semacamnya, tapi juga berkaitan dengan tempat yang tepat sesuai kepribadian si penulis.

Setelah penulis mendapatkan tempat (penerbit) yang tepat, baru kita masuk pada pertanyaan selanjutnya, “Bisakah orang hidup dari menulis?” Untuk menjawab pertanyaan itu, sekali lagi, tergantung diri kita sendiri, dan bagaimana improvisasi kita terhadap kerjasama dengan penerbit yang kita pilih. Jika kita bekerja sama dengan penerbit selektif, kita harus kreatif berpromosi. Jika kita bekerja sama dengan penerbit produktif, kita harus mampu produktif menulis dan memasok naskah.

Jadi, sebelum meributkan pertanyaan apakah menulis bisa dijadikan profesi dan apakah orang bisa hidup dari menulis, yang perlu kita lakukan terlebih dulu adalah memahami diri sendiri, lalu memahami penerbit yang kita pilih.

Untuk memahami diri sendiri, dibutuhkan kejujuran. Sedangkan untuk memahami penerbit yang kita pilih, dibutuhkan pengalaman. Yang saat ini masih pemula, kelak akan tahu perlahan-lahan dan mulai mengenali dua macam penerbit yang telah saya uraikan. Tak perlu buru-buru, karena semuanya membutuhkan perjalanan dan proses belajar.

Kangen tapi Bingung

Seorang bocah curhat, “Aku lagi bingung, nih.”

“Bingung kenapa?” sahut saya.

“Aku lagi kangen banget sama mbakyuku.”

“Lhah, kenapa harus bingung? Kan tinggal temui saja.”

“Itulah masalahnya,” ujarnya dengan bingung. “Aku tidak punya mbakyu.”

Saya ikut bingung.
 

Satu

Satu-satu
Yang damai
Satu-satu
Yang merdeka
Satu-satu
Yang bebas
Satu-satu
Yang bersahaja

Selasa, 19 Januari 2016

Kisah Kasih dari SMA

Tempat kita memijakkan kaki sekarang bukan hanya
batas depan dan belakang, kenangan dan harapan,
tapi juga yang terhapus dan akan menjelang.
@noffret


Semua berawal dari keset kamar mandi. Usai mandi sore, saya lihat keset di depan kamar mandi sudah perlu diganti. Jadi, malam harinya, dengan celana jins dan hoodie, saya melenggang sendirian ke swalayan untuk mencari keset. Terdengar sangat tidak keren, eh? Seorang bocah pergi ke swalayan untuk membeli keset!

Tetapi keset kamar mandi adalah sesuatu yang perlu dipikirkan secara mendalam dan akademis, setidaknya menurut saya. Berbeda dengan keset lain, keset kamar mandi harus memenuhi beberapa hal agar ideal sebagai keset kamar mandi. Pertama, bentuknya harus kaku, sehingga tidak mudah kusut atau tertekuk. Kedua, permukaannya harus lembut, tapi mampu menyerap air dengan baik. Ketiga, ini opsional, sesuai selera pemilih.

Di swalayan, di rak keset yang agak sepi, saya pun sibuk memilih-milih keset. Ada banyak tumpukan keset di sana, dan saya mengambil satu per satu, lalu meletakkannya di lantai, dan menyentuhnya dengan mesra. Ketika sedang melakukan kegiatan aneh itulah, seseorang—atau dua orang—melangkah ke arah saya, dan... tiba-tiba berhenti.

Mungkin sebenarnya dia tidak bermaksud menuju ke arah saya—hanya sekadar mau lewat. Tapi entah kenapa dia lalu berhenti dan menatap saya. Seorang wanita dengan seorang anak, plus troli yang agak penuh. Saya sempat mengangkat muka, dan merasa tidak mengenalnya. Tapi dia menyapa nama saya.

“Hoeda...?”

Waktu itu posisi saya sedang berjongkok di depan keset-keset, sementara wanita itu berdiri bersama anak lelakinya dan troli belanja. Saya terkejut, dan menengadah, memastikan saya mengenal wajahnya. Tapi terus terang saya tidak tahu siapa wanita itu. Jadi, dengan muka bingung, saya menjawab, “Ya...”

Dia tampak menahan senyum. “Kamu pasti udah nggak kenal aku, ya kan?”

Seperti orang idiot, saya menyahut, “Uhm, maaf, apa sebenarnya kita saling kenal?”

Sekarang dia tertawa. “Ya ampun! Aku Alya! Ingat? Alya, teman SMA!”

Kemampuan saya dalam mengingat wajah orang mungkin agak parah. Tapi kemampuan dalam mengingat kenangan, saya bisa diandalkan. Jadi, hanya dalam beberapa detik, saya segera ingat siapa Alya. Ya, dia teman SMA saya, tapi... well, tapi dulu dia masih remaja.

Masih sambil tertawa, Alya berujar, “Sekarang kamu ingat, ya kan? Dulu kamu sering  dolan ke rumahku!”

Saya tersenyum. “Ya, tentu aku masih ingat. Gimana aku bisa lupa?”

Lalu kenangan dari masa lalu itu pun terbayang seketika.

....
....

Bu Endang, guru biologi, sedang mengajar di depan kelas, dan murid-murid khusyuk menyimak. Saya salah satu murid di sana, dan waktu itu masih kelas 3 SMA. Pelajaran biologi Bu Endang disela kedatangan Kak Fatin yang muncul di depan kelas dan mengetuk pintu. Kak Fatin adalah pegawai di sekolah, biasa melayani urusan perpustakaan, dan sering dimintai tolong guru-guru untuk berbagai keperluan.

Bu Endang pun menghentikan pelajaran, dan menemui Kak Fatin di depan pintu kelas. Mereka bercakap sejenak, dan setelah itu Bu Endang menuju ke tempat duduk saya. Dengan lirih, Bu Endang berkata, “Mas Hoeda, dipanggil ke kantor BP.”

“Ada urusan apa, Bu?” saya bertanya heran, karena sebulan terakhir—kalau tak salah ingat—saya tidak membuat masalah atau keributan apa pun di sekolah.

“Saya tidak tahu,” jawab Bu Endang.

Saya pun bangkit dari tempat duduk, dan mengikuti Kak Fatin ke kantor BP. Sebenarnya, itu bukan pertama kali saya “dijemput paksa” dari kelas untuk pergi ke kantor BP. Tapi hari itu saya agak bingung, karena tidak merasa melakukan kenakalan atau kesalahan apa pun.

Di kantor BP, ada tiga orang yang telah menunggu—Guru BP, dan dua murid perempuan yang duduk di kursi masing-masing. Saya tahu keduanya, yaitu Alya dan Dira. (Dua nama itu tentu saja bukan nama sebenarnya).

Setelah saya masuk kantor BP, Kak Fatin pergi, dan Guru BP mempersilakan saya duduk. Lalu Guru BP bertanya pada saya, “Kenal mereka?” sambil menunjuk Alya dan Dira. Saya baru menyadari kedua muka perempuan itu tampak sembab.

“Ya,” saya menjawab. “Saya kenal mereka.”

Guru BP mengangguk. “Jadi, benar kalau kamu sering dolan ke rumah Alya?”

Saya mulai bingung. “Ya. Tapi, saya pikir, itu...”

Kalimat saya dipotong Guru BP yang lalu menjelaskan duduk persoalan. Ternyata, saya diundang ke kantor BP siang itu untuk menjadi “saksi” atas masalah yang terjadi pada Alya dan Dira. Dua jam sebelumnya, saat istirahat sekolah, dua murid perempuan itu berantem di kelas. Saya tidak tahu kejadian itu, karena sedang khusyuk membaca buku di perpustakaan. Tapi anak-anak kelas mereka pada geger, hingga kasus itu diketahui para guru, dan sekarang ditangani BP.

Alya dan Dira adalah teman sekelas—tapi mereka tidak satu kelas dengan saya, meski sama-sama kelas 3. Mereka di kelas C, sementara saya di kelas B. Sudah sejak lama, teman-teman membisiki kalau Dira naksir saya. Tapi saya tidak terpengaruh, karena memang tidak punya perasaan apa pun kepadanya.

Sering, saya mendapati Dira memandangi saya, dan saya pura-pura tak tahu. Saat akan ke kantin, misalnya, saya harus melewati depan kelas Dira. Biasanya, saat itu, Dira dan beberapa temannya duduk-duduk di depan kelas. Lalu, ketika saya melangkah di depan mereka, Dira menatap saya seperti melihat alien. Biasanya pula, saya jadi salah tingkah, meski berusaha cuek dan bersikap pura-pura tak tahu. Setelah saya berlalu, cewek-cewek centil itu terdengar cekikikan.

Selama waktu-waktu itu, saya membiarkan saja—toh Dira atau teman-temannya juga tidak melakukan apa pun yang mengganggu. Jatuh cinta adalah hak setiap orang. Kalau Dira naksir saya, itu juga hak dia. Selama dia tidak mengusik atau mengganggu, semuanya sah-sah saja. Jadi, saya tahu Dira sudah lama naksir saya. Tetapi, seperti yang dinyatakan tadi, saya tidak punya perasaan apa pun kepadanya.

Sementara itu, saya baru mengenal Alya dalam satu insiden tak terduga. Suatu sore, saya diajak seorang tetangga untuk mencari tempat pembuatan undangan pernikahan. Kami pergi ke suatu tempat yang terkenal sebagai penyedia jasa tersebut. Di sana, kami sempat mutar-mutar, dan tanpa sengaja bertemu Alya.

Alya sedang duduk-duduk dengan tetangganya di depan sebuah rumah. Saat melihatnya, saya pun tahu dia teman sekolah di SMA—karena mengenal wajahnya—dan dia pun tahu siapa saya. Jadi, saya menemuinya, dan bertanya di mana tempat pembuat undangan pernikahan. Dengan baik hati, Alya mengantarkan ke tempat yang saya maksud. Itulah kali pertama saya mengenal Alya.

“Jadi, rumahmu di sini?” tanya saya pada Alya, setelah urusan selesai.

“Ya.” Lalu dia menawari, “Mampir, yuk. Mumpung udah di sini.”

Kami bercakap-cakap di rumahnya. Alya adalah gadis ceria yang bisa ramah pada siapa pun. Meski di sekolah bisa dibilang kami tidak pernah bercakap sekali pun, sore itu dia bisa mengobrol dengan asyik, seolah kami biasa melakukannya. Jadi, saya pun mudah hanyut, dan ikut mengobrol dengan asyik.

Menjelang maghrib, saya pamit pulang. Tapi saya bilang kepadanya, “Minggu depan, mungkin aku akan datang ke tempat tadi, untuk ngambil undangan yang udah jadi. Aku masih boleh mampir?”

Dia tersenyum, mengangguk.

Dan begitulah awalnya.

Sejak itu, saya beberapa kali dolan ke rumah Alya, meski tidak lagi punya urusan dengan tempat pembuatan undangan. Meski bisa dibilang telah cukup akrab, namun kami jarang bersama di sekolah. Saat jam istirahat, saya lebih sering masuk perpustakaan, sementara Alya dan teman-temannya suka ngerumpi di kantin. Teman-teman saya bahkan tidak tahu kalau saya sering dolan ke rumah Alya. Mungkin, begitu pula teman-teman Alya.

Sampai kemudian, terjadilah peristiwa itu. Alya dan Dira berantem di dalam kelas... dan saya diundang ke kantor BP.

Jadi, siang itu Alya bercerita pada teman-temannya, kalau saya sering dolan ke rumahnya. Cerita itu sampai ke telinga Dira, yang langsung menuduh Alya berbohong. Alya marah disebut pembohong, dan dua cewek itu pun saling ledek, saling caci, dan... singkat cerita, mereka sampai jambak-jambakan dan lain-lain, dan lain-lain. Seisi kelas geger, dan dua cewek itu diajukan ke kantor BP.

Kepada Guru BP, saya berkata, “Saya memang sering dolan ke rumah Alya.” Lalu saya menceritakan semua kisah di atas apa adanya.

Sebenarnya, Alya dan saya hanya berteman—kami tidak saling naksir apalagi pacaran, sebagaimana umumnya anak SMA. Tampaknya, selama waktu-waktu itu, kami hanya saling merasa cocok. Saya jarang punya teman cewek, sementara Alya mungkin tidak punya teman cowok. Lalu kami bertemu, berteman, dan saling merasa nyaman. Hanya itu.

Saat di rumah Alya, kadang kami membeli rujak, pecel, atau makanan lain di dekat rumah Alya, lalu kami menikmatinya bersama. Tidak pernah tercetus pikiran untuk pacaran atau semacamnya—kami sudah bahagia sebagai teman. Bahkan, akhirnya, saat lulus SMA, Alya segera menikah dengan laki-laki yang telah dipilihkan keluarganya.

Saat menghadiri acara perkawinannya, saya juga tidak punya perasaan apa-apa, selain hanya kehilangan seorang teman. Karena, tidak lama setelah menikah, Alya diboyong ke tempat suaminya. Sejak itu pula, saya tidak pernah lagi melihat Alya... hingga suatu malam di swalayan.

....
....

“Jadi, kamu lagi ngapain di sini?” tanya Alya, sambil menatap keset-keset terhampar di lantai swalayan. Sementara anak lelakinya menjauh, menuju rak makanan ringan.

“Uhm... aku kerja di sini,” jawab saya asal-asalan. “Ini lagi beres-beresin keset.”

Alya tertawa. “Kamu memang pembohong yang payah. Pekerja di swalayan ini pakai seragam celana jins dan hoodie, ya?”

Saya pun tak tahan untuk ikut tertawa. “Sebenarnya, aku lagi nyari keset buat kamar mandi. Ini lagi nyari yang cocok.”

“Udah menikah? Pasti belum!”

“Ya, aku belum menikah.” Kemudian, sambil nyengir, saya berujar, “Itu salahmu, kan? Kamu ninggalin aku saat kita lulus SMA. Udah berapa abad itu?”

Tawa Alya berderai. Kemudian dia menatap saya sambil geleng-geleng seperti seorang ibu bijaksana. “Kamu sama sekali nggak berubah, ya?”

“Aku nggak tahu harus senang atau sedih mendengarnya.”

“Maksudku, kamu seperti nggak berubah sedikit pun. Nggak tambah tua, masih kelihatan belia kayak dulu...” Lalu tawanya kembali berderai.

“Bukannya aku emang masih belia, Al?”

“Masih belia!” sahut Alya sambil tertawa. “Coba lihat aku! Aku udah jadi emak-emak gini. Eh, anakku udah tiga, lho. Yang tadi itu, anak pertama, udah hampir lulus SD. Kamu juga tadi sama sekali nggak kenal aku, karena aku pasti udah berubah banyak. Tapi kamu... coba lihat. Kamu masih kelihatan belia, seperti dulu. Tadi, waktu melihatmu, aku langsung tahu ini kamu, karena masih persis seperti yang aku kenal dulu. Ya ampun, kamu bahkan masih cakep pakai hoodie!”

Lalu kami pun mengobrolkan teman-teman kami dulu, yang rata-rata sudah menikah dan punya anak. Dari Alya, saya juga tahu Dira telah menikah, juga telah punya anak. Sambil nyengir, Alya berujar, “Kayaknya, yang bertahan melajang cuma kamu. Teman-teman kita udah punya keluarga, anak-anak, dan mereka semua udah berubah. Cuma kamu yang nggak berubah.”

Saat Alya pamit untuk melanjutkan belanjanya, saya berdiri memegangi sebuah keset dan menatap kepergiannya. Dia mendorong troli menuju anak lelakinya yang sedang berdiri di depan rak makanan. Lalu melangkah bersama si anak, perlahan menjauh dari tempat saya berdiri.

Saya menengok keset di tangan, dan terngiang ucapan Alya, “Cuma kamu yang nggak berubah.”

Dan angan saya melayang ke panjang tahun yang telah lewat. Mungkin saya memang tidak pernah berubah. Atau mungkin, suatu saat, saya akan berubah... dengan alasan yang tepat.

Saat ini, saya masih senang menjadi bocah.

Mudahkan, Jangan Persulit!

Jika harus memilih, aku lebih suka web sederhana
tapi loading-nya ringan, daripada web hebat tapi
loading-nya lambat. Begitu pun lainnya.
@noffret


“Dalam nge-blog, apa yang menurutmu paling penting untuk diperhatikan?”

“Loading!”

“Bisa diperjelas?”

“Loading yang ringan. Semakin ringan loading-nya, semakin bagus. Kecepatan loading itu pula yang pertama kali kuperhatikan saat membuat dan mengelola blog.”

“Kenapa loading sangat penting?”

“Well, hidup punya aturan yang sangat jelas, dan semua orang sepakat. Kalau kita bisa mendapatkan sesuatu yang mudah, kenapa harus mempersulit diri? Maksudku, di luar sana ada jutaan blog hebat, menawan, berkualitas, dengan loading yang sangat ringan dan ramah pengguna. Karena itu, aturan dalam membuat blog—dan aturan hidup lain sepanjang berurusan dengan manusia—adalah ‘mudahkan, jangan persulit!’ Setiap orang menyukai hal-hal yang ramah, bukan yang menjengkelkan.”

“Loading yang ringan termasuk ramah, ya?”

“Benar sekali. Loading yang ringan tak jauh beda dengan senyum yang ramah. Sementara loading yang berat sama dengan sikap menjengkelkan. Kau tahu, aku lebih suka mengakses blog sederhana, bersahaja, tapi loading-nya ringan, daripada blog yang tampil mewah tapi loading-nya sangat berat. Itu hanya buang-buang waktu dan cuma bikin jengkel. Dalam analogi, kau tentu lebih suka orang bersahaja tapi ramah kepadamu, daripada orang yang tampak hebat tapi sikapnya menjengkelkan.”

“Bagaimana kalau kau—entah bagaimana caranya—jatuh cinta pada blog yang kebetulan loading-nya berat?”

“Pertanyaan sulit. Tapi biar kuberitahu sesuatu. Di dunia ini, search engine paling hebat adalah Google. Dan, kita tahu, Google sangat ringan loading-nya. Website paling lengkap adalah Wikipedia, karena menyimpan jutaan artikel. Tetapi Wikipedia juga sangat ringan loading-nya. Di luar sana juga ada jutaan blog yang sangat hebat, dengan konten istimewa, tetapi loading-nya juga sangat ringan. Mereka-mereka yang hebat itu justru menyadari bahwa hal paling penting dalam blog setelah konten adalah kecepatan loading. Jadi, tak peduli secinta apa pun pada sebuah blog, aku akan bilang persetan kepadanya, jika loading-nya lambat dan menjengkelkan.”

“Kalau begitu, loading mengalahkan cinta, dong?”

“Bisa dikatakan begitu. Sebagai pengguna internet, kau punya banyak pilihan. Kalau harus memilih satu di antaranya, mungkin kau akan memilih yang paling berkualitas. Tetapi kau juga pasti akan memperhitungkan loading. Menghadapi blog yang loading-nya lambat, sama saja menyiksa diri. Seperti yang kubilang tadi, aku lebih suka blog yang bersahaja, tapi loading-nya ringan, hingga aku bisa mengaksesnya dengan hati senang.”

“Bagaimana kalau ada blog yang loading-nya ringan, tapi isinya tidak berkualitas?”

“Sebenarnya, pertanyaan semacam itu tidak perlu diajukan.”

“Kenapa?”

“Karena di dunia ini ada jutaan blog yang sangat berkualitas, dan ditunjang loading yang sangat ringan. Jadi, kalau ada blog dengan nilai sempurna semacam itu bertebaran di mana-mana, mengapa kita harus mempersulit diri? Sama saja, kau dikelilingi banyak wanita mempesona yang dengan senang hati mau jadi pacarmu. Kenapa kau harus repot-repot mengejar lawan jenis yang sikapnya menjengkelkan?”

“Sepertinya topik percakapan kita mulai bergeser. Karena kau menyinggung lawan jenis, bagaimana kalau kebetulan kau jatuh cinta pada seseorang, tapi sikapnya menjengkelkan?”

“Jawabannya sama seperti tadi—aku akan bilang persetan dengannya!”

Percakapan yang Meragukan

Aku seorang peragu, dan aku bisa menerima segala bentuk keraguan.
Tapi aku sangat-sangat membenci dan menjauhi percakapan yang meragukan.
—Twitter, 18 Mei 2015

Di luar percakapan, keraguan adalah jalan untuk belajar. Dalam
percakapan, satu-satunya kemungkinan yang terjadi hanyalah kebohongan.
—Twitter, 18 Mei 2015

Kesalahan terbesar manusia mungkin cuma satu; Terlalu banyak bicara.
Untuk wanita, ada kesalahan lain; Terlalu banyak drama.
—Twitter, 18 Mei 2015

Hidup pasti akan jauh lebih mudah dijalani, kalau saja manusia tak terlalu
banyak bicara, dan wanita tidak terlalu tergila-gila pada drama.
—Twitter, 18 Mei 2015

Ya bisa berarti ya dan tidak. Tidak bisa berarti ya dan tidak. Diam bisa
berarti ya dan tidak. Pernahkah wanita menyadari itu sungguh gila?
—Twitter, 18 Mei 2015

“Aku pulang ya.” | “Iya.” (Maksudnya, “Jangan!”) | Aku akan tetap pulang,
karena kau tak melarang. Persetan jika ternyata maksudmu “Jangan!”
—Twitter, 18 Mei 2015

Urusan hidupku sudah terlalu banyak. Aku tak punya waktu
untuk bermain drama tolol atau mengartikan kode-kode konyol.
—Twitter, 18 Mei 2015


*) Ditranskrip dari timeline @noffret.

Kamis, 14 Januari 2016

Kembang Gunung Lawu

Seseorang berkata, “Nasib adalah kesunyian masing-masing.”
Dan sekarang aku mengerti, takdir bersenandung dalam hening.
@noffret


Epos Saur Sepuh karya Niki Kosasih bukan hanya kisah kolosal dengan plot raksasa, tapi juga melibatkan ratusan tokoh dengan karakter unik dan mengesankan. Bagi saya, Saur Sepuh tak kalah hebat dengan saga Harry Potter atau epos Mahabarata—sama-sama mengagumkan, dengan jalinan cerita penuh filosofi, dan tak lekang oleh zaman. Niki Kosasih benar-benar hebat dalam membangun kisah, menciptakan tokoh-tokoh, serta merangkai alur dan plot yang rumit namun mempesona.

Salah satu karakter mengesankan dalam kisah Saur Sepuh adalah Lasmini. Dia tokoh kontroversial—dikenal sebagai pendekar hebat, sekaligus perempuan jalang. Banyak orang tidak menyukai Lasmini karena tingkahnya yang menyebalkan. Dia tipe wanita yang dijauhi lelaki, sekaligus dibenci sesama wanita. Tetapi, pada sosok Lasmini pulalah, Niki Kosasih menunjukkkan kehebatannya sebagai kreator cerita.

Lasmini berasal dari Kadipaten Pamotan—suatu tempat di Kerajaan Majapahit. Ia menjadi kekasih Tumenggung Bayan, seorang pejabat Majapahit. Hubungan Lasmini dengan Tumenggung Bayan berjalan dengan baik. Tapi kisah cinta mereka kemudian berakhir, ketika sang Tumenggung tewas di tangan Brama Kumbara.

Sebelumnya, Brama Kumbara—Raja Madangkara—mengirim utusan bernama Tumenggung Adiguna ke Kadipaten Pamotan untuk suatu misi. Tumenggung Bayan membunuh utusan tersebut, hingga Brama murka dan memburunya. Mereka bertarung, dan Tumenggung Bayan tewas dalam pertarungan.

Atas tewasnya Tumenggung Bayan, Lasmini pun mendendam. Dia memburu Brama sampai ke Madangkara dengan satu tujuan pasti—membalas kematian kekasihnya. Tetapi, saat bertemu Brama Kumbara, Lasmini justru jatuh hati, dan lupa pada niatnya membalas dendam. Bukannya membunuh Brama seperti yang diniatkan semula, Lasmini justru menyatakan cinta.

Waktu itu, Brama Kumbara telah memiliki istri, dan dia menolak cinta Lasmini. Tapi Lasmini tampaknya telah mabuk kepayang, hingga terus berupaya meraih hati Brama. Upaya itulah yang kemudian membuat banyak orang jengkel pada Lasmini. Reputasi Lasmini sebagai perempuan jalang dan binal pun perlahan terbentuk.

Mantili, adik Brama, juga sangat membenci Lasmini. Mantili pulalah, yang dengan penuh murka, mengusir Lasmini dari tanah Madangkara. Kelak, permusuhan antara Mantili dan Lasmini menjadi permusuhan abadi. Lasmini membenci Mantili setengah mati, begitu pula Mantili membenci Lasmini sepenuh hati.

Terusir dari Madangkara, dengan hati pedih dan terlunta, Lasmini kemudian jatuh ke pelukan Juragan Basra, seorang hartawan tua di Kerajaan Pajajaran. Lasmini berpikir dapat mengobati lara hatinya dengan menjadi pasangan lelaki kaya raya. Gelimang uang, pikirnya, dapat menjadi pelipur lara yang akan melupakan pikirannya dari cinta terhadap Brama.

Tapi rupanya Lasmini keliru. Hidup bersama Juragan Basra tidak membuat bahagia. Gelimang harta tidak menjadikannya merasakan cinta. Hubungan yang ia jalin pun kemudian penuh masalah, pertengkaran, dan keributan yang terus membuat batinnya tertekan. Akhirnya, tak kuat menghadapi kehidupan yang pahit, Lasmini memutuskan untuk pergi meninggalkan Juragan Basra.

Ditinggal Lasmini, Juragan Basra merasa terluka, dan dia gelap mata. Juragan Basra menyuruh anak buahnya untuk membunuh Lasmini. Bagi Juragan Basra, lebih baik kehilangan Lasmini karena perempuan itu mati, daripada kehilangan Lasmini karena ditinggal pergi.

Jadi begitulah. Di tengah perjalanan, di daerah Lawu, Lasmini dicegat beberapa orang suruhan Juragan Basra, yang kemudian memperkosa Lasmini beramai-ramai. Setelah itu, mereka melemparkan tubuh Lasmini ke jurang.

Seharusnya Lasmini mati, dan kisah itu selesai. Tapi takdir menghendaki lain.

Saat tubuh Lasmini hampir menghantam dasar jurang, muncul seorang nenek menolongnya. Sang penolong bukan nenek sembarangan. Dia dikenal dengan nama Nenek Lawu, seorang pendekar sakti yang menyepi di puncak Gunung Lawu. Nenek Lawu menyadari usianya sudah sangat tua, dan dia harus mewariskan ilmunya sebelum tutup usia. Saat melihat tubuh Lasmini melayang ke dasar jurang, dia pun tahu kepada siapa harus mewariskan kesaktiannya.

Syahdan, Lasmini kemudian tinggal di Gunung Lawu, menjadi murid sang nenek sakti. Selain mengobati tubuh dan hatinya yang terluka, Lasmini juga belajar banyak pengetahuan dan ilmu kesaktian. Nenek Lawu mewariskan ilmu demi ilmu yang dimilikinya kepada Lasmini. Di bawah didikan Nenek Lawu, Lasmini pun mewujud menjadi pendekar yang sangat sakti dan digdaya. Lasmini tetap tinggal di Gunung Lawu, sampai gurunya wafat.

Setelah Nenek Lawu wafat, Lasmini turun gunung dengan satu misi—membalas dendam kepada orang-orang yang telah melukai dan menginjak-injak harga dirinya. Kini, dia bukan lagi Lasmini yang dulu. Segala sakit, luka, dan derita, telah membentuknya menjadi pribadi yang sangat kuat... ditambah berbagai kesaktian yang diwarisinya dari Nenek Lawu. Lasmini pun pergi ke Pajajaran untuk memburu bajingan-bajingan yang telah melukainya.

Pajajaran seketika geger dengan kemunculan Lasmini. Perempuan pendekar itu membantai Juragan Basra dan semua anak buahnya, serta pendekar-pendekar yang mencoba menghalanginya. Dalam waktu singkat, Lasmini membuat Pajajaran banjir darah. Pendekar-pendekar sakti bergelimpangan, dan kabar mengenai kehebatan Lasmini pun tersebar ke mana-mana, sampai ke Kerajaan Madangkara.

Kerajaan Pajajaran bersahabat dengan Kerajaan Madangkara. Mengetahui Pajajaran diobrak-abrik Lasmini, Brama Kumbara—Raja Madangkara—merasa perlu membantu Pajajaran. Maka Brama pun mengirim dua pendekar sakti dari Madangkara, bernama Atang Subali dan Gatra Denawa, dua orang yang dikenal sebagai pendekar cambuk yang perkasa.

Selama bertahun-tahun, sepasang pendekar cambuk itu tak pernah terkalahkan, hingga menjadi andalan Madangkara dalam urusan meredam keributan di antara pendekar. Tetapi, saat menghadapi Lasmini, dua bocah sakti itu kalah, dan mati.

Kekalahan sepasang pendekar sakti Madangkara seketika menyulut kegemparan di rimba persilatan. Para pendekar dan jawara dari berbagai tempat merasa penasaran, dan mereka pun memburu Lasmini dari segala penjuru. Sesakti apa pun, Lasmini menyadari tak mungkin mampu menghadapi banyak pendekar sakti sekaligus. Maka dia pun melarikan diri, dan menyepi di Gunung Lawu, tempat yang dulu pernah mengobati lara hatinya.

Nasib kembali terulang—Lasmini terpinggirkan, orang-orang membencinya. Kembang Gunung Lawu harus kembali memeluk puncak yang sepi.

Sendirian di puncak Gunung Lawu, bersama kesepian dan kegalauan, tanpa sengaja Lasmini menemukan kitab pusaka milik mendiang gurunya. Kitab pusaka itu rupanya berisi ilmu kesaktian tingkat tinggi yang belum sempat diajarkan Nenek Lawu, karena keburu wafat. Lasmini mempelajari kitab pusaka itu, hingga akhirnya menguasai Ajian Cipta Dewa, ilmu kesaktian tertinggi di dunia Saur Sepuh.

Cipta Dewa adalah penggabungan intisari Ajian Serat Jiwa, Ajian Waringin Sungsang, dan Ajian Lampah Lumpuh. Serat Jiwa adalah ilmu kesaktian yang dimiliki banyak pendekar kelas atas. Lampah Lumpuh adalah ilmu kesaktian tingkat tinggi andalan Brama Kumbara. Sementara Waringin Sungsang adalah ilmu kesaktian pamungkas Panembahan Pasopati, sang mahaguru Padepokan Gunung Saba. Entah bagaimana caranya, Nenek Lawu berhasil menggabungkan ketiga ilmu kesaktian itu, dan mensintesiskannya menjadi ilmu baru bernama Cipta Dewa.

Dengan tekun, Lasmini mempelajari ilmu kesaktian peninggalan gurunya, hingga benar-benar menguasai Cipta Dewa. Dia yang semula sudah sangat sakti, kini benar-benar tak terkalahkan. Jadi, Lasmini pun kemudian turun gunung, sekali lagi, kali ini untuk menjajal kehebatan yang baru dimilikinya. Dia pergi ke Gunung Saba, dan menantang Panembahan Pasopati.

Di masa lalu, Panembahan Pasopati pernah bertarung dengan Brama Kumbara, saat Brama memburu murid Panembahan Pasopati yang merebut Pedang Setan milik Mantili. Dalam pertarungan itu, Brama sempat kalah, sampai kemudian bertarung sekali lagi, dan mereka bisa dibilang seimbang. Artinya, Panembahan Pasopati bukan orang sembarangan. Dia mahaguru yang benar-benar sakti, terbukti Brama pun kesulitan mengalahkannya.

Dan sekarang, Lasmini datang menantangnya. Dalam pertarungan dengan Lasmini, Panembahan Pasopati pun menggunakan kesaktian andalannya, Ajian Waringin Sungsang. Lasmini melawan kesaktian itu dengan Ajian Cipta Dewa. Batu-batu beterbangan, pohon-pohon rubuh, angin kencang menerjang, dan... well, Panembahan Pasopati tewas dengan muntah darah.

Sekali lagi, rimba persilatan geger.

Berhasil mengalahkan Panembahan Pasopati, Lasmini pun semakin percaya diri. Dia memutuskan pergi ke Madangkara, untuk menantang Mantili, wanita yang selama ini dibencinya, yang dulu pernah mengusirnya dari Madangkara. Kali ini, pikir Lasmini, dia akan membunuh Mantili, agar perempuan itu tidak bisa lagi menghinanya.

Di Madangkara, Lasmini bertarung dengan Mantili. Akhir pertarungan bisa ditebak—Mantili kalah. Kali ini, dendam Lasmini akan terbalas—perempuan yang dulu menghinanya akan segera mati. Lasmini pun siap menghantamkan Ajian Cipta Dewa untuk membunuh Mantili... tapi kemudian muncul Raden Bentar. Dia menghalangi Lasmini yang akan membunuh Mantili.

Raden Bentar adalah putra Brama Kumbara. Dulu, ketika Lasmini pertama kali mengenal Brama, Raden Bentar masih kecil. Tetapi, kini, Raden Bentar telah tumbuh menjadi remaja, dan... Lasmini seperti menyaksikan sosok Brama pada diri Raden bentar. Cinta dari masa lalu tiba-tiba meletup tanpa bisa ditahan, dan Lasmini pun tak mampu mengerahkan tenaganya untuk membunuh Mantili. Nyawa Mantili selamat, gara-gara letupan cinta masa lalu yang dirasakan Lasmini.

Peristiwa itu kemudian menghadirkan kisah baru—bukan hanya bagi Lasmini, tetapi juga bagi Raden Bentar. Lasmini, yang merasa tidak mampu meraih Brama, merasa menemukan pengganti Brama melalui Raden Bentar. Sementara, bagi Raden Bentar, Lasmini adalah sosok seorang mbakyu, wujud wanita dewasa yang selama ini dirindukannya. Singkat cerita, mereka saling jatuh cinta.

Tetapi, kita tahu, asmara Lasmini dengan Raden Bentar menjadi kisah cinta terlarang. Raden Bentar adalah putra mahkota Kerajaan Madangkara yang terhormat. Sementara Lasmini telah terkenal sebagai perempuan jalang, penggoda, dan rusak. Hubungan antara Lasmini dengan Raden Bentar pun menjadi skandal yang mengguncang Madangkara. Brama Kumbara risau, Mantili murka, sementara orang-orang di istana kebingungan. Mereka pun menentang dan melarang hubungan Raden Bentar dengan Lasmini.

Berbagai upaya dilakukan untuk menjauhkan Raden Bentar dari Lasmini. Tapi tampaknya Sang Pangeran telah jatuh hati pada Sang Mbakyu. Brama Kumbara, dengan segala kebijaksanaannya, mencoba memahami hubungan antara putranya dengan Lasmini. Bagaimana pun, dia tidak bisa melarang putranya untuk jatuh cinta pada siapa pun, termasuk pada Lasmini. Tapi tidak setiap orang sebijak Brama Kumbara. Pramitha, ibu Raden Bentar, termasuk orang yang tak bisa menerima putranya menjalin hubungan dengan Lasmini.

Akhirnya, setelah berbagai upaya dicari dan dilakukan, keluarga istana Madangkara menemukan sebuah solusi. Mereka mendengar berita bahwa di Kerajaan Pajajaran ada seorang perempuan terhormat bernama Dewi Anjani. Dia putri Tumenggung Gitanyali, seorang pejabat Pajajaran. Selain cantik, Dewi Anjani juga sangat mirip Lasmini.

Istana Madangkara kemudian menyusun rencana. Mereka mengundang keluarga Tumenggung Gitanyali untuk menghadiri jamuan makan malam istana. Tujuan undangan itu sebenarnya untuk memperkenalkan Raden Bentar dengan Dewi Anjani. Tentu dengan harapan Raden Bentar bisa melupakan Lasmini. Jika itu benar terjadi, keluarga istana Madangkara pun akan merestui. Anjani seorang wanita terhormat, keturunan ningrat, yang tentu lebih layak bagi seorang pangeran seperti Raden Bentar, daripada perempuan jalang seperti Lasmini.

Tumenggung Gitanyali pun datang menghadiri undangan istana Madangkara, bersama keluarganya. Seperti yang diberitakan sebelumnya, Dewi Anjani memang sangat mirip Lasmini. Dua perempuan itu seperti pinang dibelah dua. Raden Bentar diperkenalkan dengan Dewi Anjani, dan dia seketika terpesona. Tetapi, di lubuk hati terdalam Raden Bentar, dia tahu tidak jatuh cinta pada Dewi Anjani. Dia hanya menemukan bayang-bayang Lasmini—sosok wanita yang dicintainya—pada diri Dewi Anjani.

Dan siapakah sebenarnya Dewi Anjani? Bagaimana dia bisa sangat mirip Lasmini? Ternyata, Dewi Anjani adalah anak Lasmini!

Mari kita flashback ke masa lalu. Di masa lalu, Lasmini adalah sosok wanita baik dan terhormat sekaligus pendekar hebat. Di masa lalu, Lasmini adalah pendekar muda yang dikenal sebagai pembela kebenaran dan keadilan. Dia senang pergi ke sana kemari, mengunjungi berbagai tempat, menikmati jiwa petualangnya yang mencintai kebebasan. Di berbagai tempat yang dikunjungi, Lasmini mengalahkan banyak penjahat yang mengganggu orang-orang lain, hingga dia pun sangat dihormati dan disegani.

Sampai kemudian, Lasmini bertarung dengan Si Tombak Iblis, seorang penjahat keji yang memimpin gerombolan perampok. Dalam pertarungan dengan Si Tombak Iblis, Lasmini kalah. Si Tombak Iblis hampir memperkosa Lasmini. Di saat genting itu, muncul seorang punggawa bernama Gitanyali, yang juga seorang pendekar tangguh. Si Tombak Iblis bertarung dengan Gitanyali, dan Si Tombak Iblis kalah. Gitanyali lalu menolong Lasmini.

Di masa itu, Gitanyali adalah seorang lelaki muda, tampan, sakti, dan memiliki jabatan di Kerajaan Pajajaran sebagai punggawa. Sementara Lasmini adalah wanita muda, cantik jelita, dan terkenal sebagai pendekar hebat. Lasmini merasa menemukan orang yang tepat, sementara Gitanyali merasa menemukan tambatan hati. Keduanya saling jatuh cinta, dan menikah. Dari pernikahan itu, lahirlah Dewi Anjani.

Seharusnya mereka bahagia selama-lamanya, seperti yang sering dikatakan legenda. Tapi ternyata tidak. Jiwa petualang Lasmini merasa terkekang dalam kehidupan barunya. Kecintaannya pada kebebasan seperti terkurung di balik tembok-tembok istana. Kegelisahan itu menjadikan Lasmini sering cekcok dengan suaminya, dan pertengkaran mereka makin hari makin panas. Singkat cerita, Lasmini memutuskan pergi meninggalkan suami dan putrinya.

Lasmini kembali menjadi sosok pendekar petualang seperti semula, sementara Gitanyali melanjutkan hidupnya sebagai abdi negara. Setelah kepergian Lasmini, Gitanyali menikah lagi dengan seorang perempuan di lingkungan istana. Dewi Anjani, putri Lasmini, kemudian tumbuh besar bersama ayah dan ibu tirinya.

Sementara itu, Lasmini yang hidup di dunia luas, kemudian bertemu Tumenggung Bayan, seorang pejabat yang juga memiliki jiwa petualang. Lasmini merasa menemukan pasangan yang tepat, yang dapat memahami dirinya seutuhnya. Mereka pun tertarik dan saling jatuh cinta... sampai kemudian Tumenggung Bayan tewas terbunuh oleh Brama Kumbara.

Lalu kisah panjang itu pun dimulai, dan Lasmini—yang semula sosok baik dan terhormat—perlahan-lahan berubah... dan terus berubah.

Kini, Lasmini yang sekarang bukan lagi Lasmini yang dulu. Perjalanan hidup yang panjang dan keras telah mengubahnya menjadi pribadi yang jauh berbeda... bersama luka, kepahitan, kesepian, dan kehilangan.

Kisah Lasmini, bagi saya, adalah potret buram manusia. Bahwa manusia yang kita kenal—dengan segala kelebihan dan kekurangan—kadang bukan karena keinginan dan kehendaknya, melainkan karena dibentuk, dibangun, dan dikonstruksi oleh perjalanan hidup serta pengalaman. Seperti Lasmini. Dia mungkin tidak pernah mengimpikan menjadi sosok jalang menyebalkan, tapi kehidupan dan pengalaman membentuknya, dan dia berubah perlahan-lahan. Sebegitu perlahan, hingga dia sendiri tidak menyadari.

Begitulah kita, orang per orang. Yang hebat maupun yang menyedihkan. Yang pintar maupun yang menyebalkan. Yang ceria maupun yang pemurung. Yang ekstrover maupun yang introver. Yang cerewet maupun yang pendiam. Semuanya dibentuk, dibangun, dan dikonstruksi oleh darah dan daging yang kita warisi, sekaligus oleh pengalaman dan perjalanan hidup yang kita alami.

Di dalam kesadaran semacam itulah, pelajaran penting yang paling perlu kita pelajari adalah pelajaran memahami... dan bukan menghakimi.

Penyakit Klasik Manusia

Yang minoritas selalu berusaha memahami yang mayoritas.
Tapi yang mayoritas tampaknya kesulitan memahami yang minoritas.
—Twitter, 5 Januari 2015

Berharap semua orang bisa tepat sepertiku, itu lucu.
Tetapi, sama lucunya, berharap semua orang bisa tepat sepertimu.
—Twitter, 5 Januari 2015

Penyakit manusia paling klasik adalah mengharapkan
semua orang sama seperti dirinya.
—Twitter, 6 Januari 2015

Karena setiap orang diciptakan berbeda, dengan latar belakang berbeda,
maka sungguh tak masuk akal jika kita berharap mereka semua sama.
—Twitter, 6 Januari 2015

Kita muak melihat tokoh novel atau film yang semuanya tampak sama.
Ironisnya, di dunia nyata, kita justru ingin melihat semua orang sama.
—Twitter, 6 Januari 2015


*) Ditranskrip dari timeline @noffret.

Ukur

Seorang gila berbicara sendiri di trotoar, suatu malam yang larut. Pakaiannya compang-camping, dan di pundaknya terdapat sebuah gembolan entah berisi apa. Dia menggerak-gerakkan tubuh dengan ringan, sambil berceloteh sendiri dengan wajah datar.

“Sudah diukur?” ocehnya entah pada siapa. Kemudian, dengan nada yang lebih riang, dia melanjutkan, “Ayo diukur. Diukur, diukur, diukur. Hahaha... sudah diukur? Ayo diukur. Diukur, diukur, diukur. Hahaha... sudah diukur? Ukur... ukur... ukur...”

Lalu dia berjoget di trotoar.

“Ukur... oh, oh, ukur... ukur... ukur...”

Terus berjoget.

“Ukur... oh, oh, ukur... ukur... ukur... oh, oh.”

Beberapa saat kemudian, dia menghentikan gerak joget, dan menepuk jidat sambil berkata, “Aku ini ukur yang tak pernah diukur.”

....
....

Saya melihat dan memperhatikan tanpa sengaja saat melewatinya. Sesampai di rumah, saya terngiang kalimatnya, “Aku ini ukur yang tak pernah diukur.” 

Kesimpulan Mbuh

Di dunia ini banyak orang mbuh. Dan sebaik-baik orang mbuh adalah yang menyadari dirinya mbuh.

Sabtu, 09 Januari 2016

Kebohongan Teori HIV/AIDS

Kita hidup di zaman ketika pengetahuan
bisa dikendalikan, dimanipulasi, dan disembunyikan.
Yang kita tahu tak pernah terjamin benar.
@noffret


Julian Assange adalah bocah paling nakal di dunia. Melalui WikiLeaks, dia membocorkan dokumen-dokumen paling rahasia, hingga membuat pemerintah di berbagai negara—khususnya Amerika—kebakaran jenggot.

Kita tahu kisah selanjutnya. Selama Assange masih berkeliaran bebas, bocah-bocah besar di Amerika tidak akan bisa tidur nyenyak. Karenanya, nasib Assange pun sudah ditentukan. Dia menjadi salah satu target yang paling dibidik, dan selanjutnya kita tahu nasibnya sekarang.

Salah satu dokumen rahasia yang pernah dibocorkan WikiLeaks adalah konspirasi yang dilakukan oleh perusahaan farmasi terkenal dunia, Proffy. (Proffy bukan nama sebenarnya. Saya sengaja menyamarkan nama perusahaan tersebut, agar lebih mudah dilafalkan lidah kita. Kalau kalian ingin tahu nama sebenarnya perusahaan yang dimaksud, silakan merujuk pada dokumen yang dirilis WikiLeaks).

Pada 1996, Proffy berencana melakukan uji coba obat-obatan terhadap anak-anak Nigeria yang mengidap meningitis. Karena obat-obatan yang akan diujicobakan dinilai masih kontroversial (belum jelas manfaatnya dan berpotensi berbahaya), permintaan Proffy pun ditolak oleh Jaksa Agung Nigeria.

Apa yang dilakukan Proffy terhadap penolakan itu? Melakukan revisi terhadap obat buatannya yang dinilai masih meragukan? Tidak. Melakukan penelitian kembali terhadap obat-obatan yang diciptakannya, agar hasilnya lebih baik dan lebih aman? Juga tidak!

Yang dilakukan Proffy setelah itu adalah menyewa penyelidik untuk mencari dan menggali kesalahan atau apa saja yang mungkin dilakukan Jaksa Agung Nigeria, agar mereka bisa menggunakannya untuk memaksa dan menekan si Jaksa Agung meloloskan permintaan mereka (menggunakan anak-anak Nigeria untuk uji coba obat-obatan).

Perhatikan, kisah itu terjadi pada 1996, atau bisa dibilang “baru kemarin”. Pada era 1990-an, sistem hukum telah jauh lebih baik, khususnya dalam menghadapi permintaan uji coba obat-obatan terhadap sekelompok subjek di negera tertentu. Tetapi sistem yang sama belum ada (setidaknya belum baik) ketika hal sama terjadi puluhan tahun sebelumnya.

Catatan berikut ini diambil dari rangkaian tweet saya di Twitter (7 Juni 2015, dengan sedikit perbaikan), membahas konspirasi HIV/AIDS. Dalam rangkaian tweet berikut, ada beberapa ilustrasi yang mirip dengan kisah di atas—penggunaan sekelompok orang untuk uji coba obat-obatan tertentu, tanpa mereka sadari sedang menjadi sarana uji coba.

Di bagian akhir catatan, saya juga menuliskan sejumlah referensi yang bisa dijadikan rujukan, jika ingin memverifikasi atau mempelajari lebih lanjut objek ini.

....
....

Masih percaya HIV berasal dari kera hijau? Bahwa penyakit itu bermula di Afrika? Bahwa AIDS mula-mula berjangkit di kalangan homoseksual?
   
Semua asal usul HIV/AIDS yang dicekokkan kepada kita selama ini hanyalah rekayasa dan kebohongan, hasil manipulasi ilmu pengetahuan.

Kebohongan asal usul HIV/AIDS dipercaya banyak orang, karena yang menyatakan adalah WHO. Padahal WHO bukan nabi, malaikat, apalagi Tuhan.

Masyarakat awam sangat percaya WHO, tapi banyak ilmuwan yang menyangsikan kenyataan itu. Mereka pun meneliti dan memverifikasi. Tetapi...

Tetapi... mereka kemudian terbunuh.

Banyak ilmuwan jujur telah menemukan berbagai ketidakberesan seputar HIV/AIDS, yang jauh berbeda dengan “informasi resmi” yang beredar.

Tapi kebanyakan mereka memilih diam, karena kolega-kolega mereka yang berani buka mulut soal itu tiba-tiba mati dengan berbagai sebab.

Para ilmuwan yang jujur telah menemukan satu konklusi, bahwa HIV/AIDS sengaja diciptakan sekelompok orang dengan suatu agenda/tujuan.

Setelah virus HIV diciptakan, WHO membawanya ke Afrika, dan melakukan uji coba di sana. Karena itulah kemudian HIV/AIDS bermula di sana.

Dasawarsa '70-an, jutaan orang Afrika terinfeksi HIV. Hanya berselang beberapa tahun, epidemi menyebar ke New York, menyerang kaum gay.

Sebelum munculnya HIV/AIDS, tidak ada satu virus/penyakit pun yang bisa secara khusus menyerang masyarakat dengan warna kulit tertentu.

Sebelum ada HIV/AIDS, tidak ada satu virus/penyakit pun yang dapat secara khusus menyerang orang dengan orientasi seksual tertentu.

Kenyataan itu tidak hanya mementahkan teori bahwa HIV/AIDS berasal dari kera hijau, tapi juga mengarahkan kecurigaan pada kesengajaan.

Amerika (melalui WHO) menyatakan bahwa HIV/AIDS telah menyerang Afrika jauh sebelum 1970. Faktanya, tidak ada virus itu sebelum 1970.

Selama ratusan tahun, orang-orang Afrika telah hidup berdampingan dengan kera-kera hijau yang dituduh sebagai biang keladi HIV/AIDS.

Jika memang HIV/AIDS ditularkan dari kera hijau kepada orang Afrika, mestinya virus/penyakit itu telah ada di sana sejak zaman kuno.

Faktanya, HIV/AIDS baru ada di Afrika pada 1970-an, bertepatan dengan WHO yang datang ke sana untuk melakukan vaksinasi massal.

Pada 11 Mei 1987, The London Times menurunkan headline berjudul “Smallpox Vaccine Triggered AIDS Virus” (Vaksin Cacar Memicu Virus AIDS).

Berita itu sebagai respons atas program vaksinasi cacar massal di Afrika yang disponsori WHO, yang kemudian memicu epidemi HIV/AIDS.

Hingga 1977, WHO menyuntikkan vaksin kepada sekitar 100 juta penduduk kulit hitam Afrika. Para ilmuwan sepakat, itulah awal mula AIDS.

Salah satu ilmuwan yang sepakat pada hipotesis itu adalah Dr. Robert Gallo, yang dikenal sebagai penemu (pemberi nama) virus HIV/AIDS.

Tetapi, belakangan, Dr. Robert Gallo memilih bungkam. Banyak pihak memperkirakan, dia menghadapi ancaman jika terus buka mulut soal itu.

Pierce Wright, editor sains The London Times, juga semula sangat galak menyuarakan kecurigaan bahwa HIV/AIDS di Afrika adalah ulah WHO.

Dia bahkan sempat menulis di London Times, bahwa WHO-lah yang seharusnya paling bertanggung jawab atas wabah HIV/AIDS di Afrika.

Tetapi, lagi-lagi, Pierce Wright kemudian bungkam, sementara London Times tidak pernah lagi mengungkit-ungkit soal kecurigaan HIV/AIDS.

Yang lebih aneh, Dr. Robert Gallo kemudian aktif mengumandangkan pemberitahuan ke seluruh dunia, bahwa HIV/AIDS berasal dari kera hijau.

Secara ilmiah, sangat tidak masuk akal dan aneh jika epidemi HIV/AIDS dituding berasal dari kera hijau yang meloncat ke orang Afrika.

Lebih tidak ilmiah lagi jika HIV/AIDS yang kemudian berkembang di New York dinyatakan berasal dari Afrika. Di mana kronologi ilmiahnya?

Secara konvensional inilah “dakwah” WHO: HIV/AIDS berasal dari kera hijau ke Afrika. Dari Afrika ke homoseksual New York, lalu mendunia.

Para ilmuwan yang jujur dan waras sudah menyatakan bahwa itu TIDAK MUNGKIN TERJADI. Kronologi itu sangat aneh, janggal, dan tidak ilmiah.

Berdasarkan realitas yang lebih ilmiah, inilah kronologi yang lebih dipercaya: Pada 1970-an, WHO melakukan vaksinasi massal di Afrika.

Tidak lama setelah vaksinasi massal pada sekitar 100 juta orang kulit hitam itu, tiba-tiba muncul wabah HIV/AIDS di Afrika. Kebetulan?

Lalu bagaimana dengan New York? Penjelasan umum menyatakan bahwa setelah HIV/AIDS menyebar di Afrika, virus itu meloncat ke New York.

Penjelasan itu saja sudah tidak masuk akal. Bagaimana mungkin sebuah virus dari Afrika memilih New York, tetapi melewatkan daerah lain?

Lebih tidak masuk akal lagi, ketika wabah HIV/AIDS merebak di New York, epidemi itu hanya menyerang kaum homoseksual. Aneh? Sangat!

Faktanya, menurut banyak ilmuwan, virus HIV/AIDS yang kemudian menyebar di New York bukan datang dari Afrika, tapi datang dari WHO juga.

Inilah faktanya... Fakta yang selama ini ditutupi dan disembunyikan dari pengetahuan kita...

Menjelang 1977, SVCP melakukan eksperimen vaksin hepatitis B atas sponsor pemerintah, di New York, Los Angeles, dan San Francisco.

SVCP (Special Virus Center Program) adalah laboratorium paling berbahaya di dunia. Di sanalah berbagai virus dan penyakit diciptakan.

SVCP bermarkas di Bethesda, Maryland, di bawah NCI (National Cancer Institute) AS. Bocah-bocah WHO sering nyangkruk di markas SVCP.

Seperti yang disebut tadi, pada 1977 SVCP melakukan eksperimen vaksin hepatitis B di New York, Los Angeles, dan San Francisco.

Dalam eksperimen itu, SVCP mengundang para lelaki homoseksual di tiga kota tersebut untuk mendaftarkan diri (untuk menerima vaksin).

Para lelaki homoseksual di sana pun beramai-ramai mendaftar, karena menyadari aktivitas seksual mereka berisiko. Ingat, itu tahun ‘70-an.

Lebih dari itu, mereka juga percaya pada program yang dilakukan SVCP, karena program vaksinasi itu didukung oleh pemerintah mereka.

Yang aneh, tidak lama setelah vaksinasi oleh SVCP, ketiga kota itu (New York, Los Angeles, dan San Francisco) mengalami wabah HIV/AIDS.
   
Tiga kota itu menjadi episenter (sumber penyebaran) HIV/AIDS, dan para pengidap HIV/AIDS di tiga kota tersebut rata-rata kaum gay.
   
Dari situlah kemudian muncul “doktrin” yang menyatakan HIV/AIDS adalah penyakit kaum homoseksual. Akar penyebabnya telah disembunyikan.

Sudah melihat kejanggalan dan kebohongan teori HIV/AIDS? Semua yang kita dengar tentang virus/penyakit ini hanyalah hasil manipulasi.
   
Disebut berasal dari kera hijau, meloncat ke orang Afrika. Dari Afrika lalu meloncat ke kaum gay New York. Itu sangat tidak masuk akal!
   
Realitas yang terjadi jauh lebih ilmiah dan masuk akal, bahwa virus itu mula-mula dibawa WHO ke Afrika, kemudian oleh SVCP di New York.
   
Sebagian orang awam mungkin berpikir, “Ah, masa sih WHO sampai seperti itu?” | Mereka menilai WHO terlalu tinggi, bahkan mulia.
   
Jauh sebelum virus HIV/AIDS diciptakan, ada eksperimen serupa yang sama gila dan sadis. Yaitu penciptaan virus sifilis (syphilis).
   
Pada 1920-an, virus sifilis diciptakan, kemudian para dokter (disokong pemerintah) melakukan uji coba virus itu pada para petani Alabama.
   
Dokter-dokter kesehatan publik itu dengan sengaja berbohong kepada para buruh tani kulit hitam Alabama, dan itu didukung pemerintah.
   
Mereka menyatakan memberi vaksinasi untuk tujuan kesehatan, tetapi menyuntikkan bibit-bibit virus yang kemudian disebut sifilis.
   
Para petani tidak menyadari, dan sejak itu virus sifilis berkembang biak di tubuh mereka. Para dokter biadab memantau mereka diam-diam.
   
Selama 40 tahun kemudian, orang-orang yang disuntik virus itu mati perlahan-lahan, dan hal itu dianggap bagian uji coba atau eksperimen.
       
Bahkan ketika penisilin ditemukan, para dokter itu tetap tidak berupaya menyembuhkan para petani yang telah disuntik virus sifilis.
   
Ketika para petani itu mati satu per satu, dokter-dokter pemerintah membujuk keluarga si mati untuk memberi izin melakukan otopsi.
   
Orang-orang miskin itu pun mengizinkan, karena mereka menerima imbalan, yakni pemerintah akan menanggung biaya pemakaman.
   
Fakta mengerikan itu disembunyikan dalam satu dokumen CIA, berjudul “The Plutonium Files: America’s Secret Experiments in the Cold War”.
   
Bertahun kemudian, setelah sukses dengan virus sifilis, virus lain yang jauh lebih hebat diciptakan, yang kemudian dikenal sebagai HIV.
   
Virus HIV/AIDS adalah ciptaan yang sangat hebat, kreasi yang genius, karena virus itu langsung membidik sistem sel-T manusia.
   
Jika kita menyerang sistem sel-T manusia, kita membinasakannya. Tanpa repot-repot, tanpa ribut-ribut. Itulah yang dilakukan HIV/AIDS.
   
WHO sendiri, secara tersirat, telah mengakui bahwa mereka memang terlibat dalam penciptaan/penyebaran virus HIV/AIDS di Afrika.
   
Dalam The Federation Proceedings of the United States (1972), WHO menyatakan, “Dalam hubungannya dengan respons kekebalan, sejumlah...
   
... sejumlah pendekatan eksperimental dapat diperlihatkan.” Pernyataan itu berkaitan dengan virus HIV/AIDS. Mereka pula yang punya ide.
   
WHO mengusulkan bahwa cara yang halus dan rapi untuk melakukan itu adalah dengan memasukkan virus HIV/AIDS ke dalam program vaksinasi...
   
... kemudian menunggu dan mengamati hasilnya. “Ini, khususnya, akan bersifat informatif pada orang-orang yang memiliki hubungan darah.”
   
Pada 1972, WHO mengadakan vaksinasi cacar di sejumlah tempat yang telah dipilih: Uganda, Haiti, Brasil, Jepang. Hasilnya bisa ditebak.
   
Tidak lama setelah program vaksinasi itu dilakukan, tempat-tempat itu menjadi epidemiologi (penyebaran) HIV/AIDS. Sama seperti lainnya.
   
Penjelasan soal ini masih sangat panjang jika diteruskan. Dan aku sudah capek. Jadi cukup sekian.
   
Kesimpulannya sama seperti awal tadi: Yang kita tahu dan kita percaya belum tentu memang seperti itu kenyataannya.
   
Di luar HIV/AIDS, masih banyak pengetahuan lain yang merupakan hasil kebohongan dan manipulasi. Tapi orang-orang yang tahu memilih diam.
   
Pengetahuan-pengetahuan semacam itu sengaja disembunyikan dan dilindungi. Itu jenis pengetahuan yang bisa membuat siapa pun terbunuh.

Selamat malam, selamat tidur, selamat bermimpi buruk. Dunia tak seramah yang kita kira, manusia pun kadang tak semulia yang kita percaya.

....
....

Jika ingin memverifikasi ocehan saya di atas, atau ingin mempelajari lebih lanjut mengenai kebenaran HIV/AIDS, silakan merujuk pada referensi berikut:
  • A. Chase, Magic Shots, William Morrow & Company, 1982.
  • A. Fenner & W. Check, The Truth About AIDS, Rinehart & Winston, 1984.
  • A. Hooper, The River: A Journey to the Source of HIV and AIDS, Little Brown & Company, 1999.
  • A. Kellner, Reflections of Wolf Azmunness, Proggress in Clinical and Biological Research, 1985.
  • AR. Cantwell, Jr., Queer Blood: The Secret AIDS Genocide, Aries Rising Press, 1993.
  • AR. Cantwell, Jr., The Cancer Microbe, Aries Rising Press, 1990.
  • AR. Cantwell, Jr., AIDS and the Doctor of Death: An Inquiry into the Origin of the AIDS Epidemic, Aries Rising Press, 1988.
  • AR. Cantwell, Jr., AIDS: The Mystery and the Solution, Aries Rising Press, 1984.
  • AR. Cantwell, Jr. & L. Rowe, African ‘eosinophilic bodies’ in vivo in two American men with Kapoi’s sarcoma and AIDS, Journal of Dermatologic and Surgery and Oncology 11, 1985.
  • C. Pillar & K. Yamamoto, Gene Wars: Military Control Over the New Genetic Technologies, Beech Tree Books, 1988.
  • J. Goodfield, Quest for Killers, Birkhauser, 1985.
  • JB. McCormick, et al., Level 4: Virus Hunters of the CDC, Turner Publishing, 1996.
  • L. Montagnier, Virus, Norton Company Inc., 2000.
  • LG. Horowitz, Emerging Viruses: AIDS and Ebola, Tetrahedron, 1996.
  • R. Chirimuuta, AIDS, Africa and Racism, Brethy House, 1987.
  • R.E. Lee, AIDS: An Explosion of the Biological Time-Bomb?, Biographical Publishing Company, 2000.
  • RF. Garry, et al., Documentation of an AIDS Virus in the United States in 1986., JAMA, 1988.
  • R.Y. Dodd & LF. Barker, Infection, Immunity and Blood Transfusion, Proceedings of the XVth Annual Scientific Symposium of the American Red Cross, 1985.
  • Robert Gallo, Virus Hunting: AIDS, Cancer and the Human Retrovirus, Basic Books, 1991.
  • S. Connor, AIDS Science Stands on Trial, New Scientist, Februari, 1987.
  • V. Livingston & E. Addeo, The Qonquest of Cancer, Franklin Watts, 1984.
  • AIDS: A Doctor’s Note on the Man-Made Theory, New Down, No. 46, Jan-Feb, 1998.
  • AIDS: Who is Blame?, New Down, No. 66, May-Jun, 2001.
  • Chimps, Conspiracies and Killer Viruses, New Down, No. 54, May-Jun, 1999.
  • Gay Cancer, Emerging Viruses and AIDS, New Down, No. 50, Sep-Oct, 1998.
  • The Origin of AIDS, New Down, No. 92, Sep-Oct, 2005.

Teman Bernama Damon

“Kau punya teman bernama Damon?” tanya temanku.

“Tidak,” aku menjawab.

“Sayang sekali.”

“Kenapa?”

“Yeah, kupikir kau punya teman bernama Damon.”

Aku jadi tertarik. “Apakah itu penting?”

“Sangat penting,” dia menjawab serius. “Setiap orang seharusnya punya teman bernama Damon.”

“Uh... begitu, ya? Jadi, kau punya teman bernama Damon?”

“Tidak.”

“Katamu tadi setiap orang seharusnya punya teman bernama Damon?”

“Iya, aku berpikir begitu, karena orang-orang mengondisikanku untuk berpikir begitu. Jadi, aku percaya setiap orang seharusnya punya teman bernama Damon.”

“Tapi kau tidak punya teman bernama Damon.”

“Ya, aku tidak punya teman bernama Damon,” dia mengangguk. “Makanya, aku tanya kepadamu, apakah kau punya teman bernama Damon. Maksudku, kalau kau punya teman bernama Damon, aku ingin dikenalkan dengannya, agar aku juga punya teman bernama Damon.”

“Sayang sekali aku tidak punya teman bernama Damon...”

“Ya, sayang sekali,” dia kembali mengangguk. “Karena seharusnya setiap orang punya teman bernama Damon.”

Beberapa dari Kita adalah Puno

Aku berkata pada diriku, “Beberapa dari kita adalah puno.”

Dan aku setuju.

Rabu, 06 Januari 2016

Undangan Penting

Setelah dipikir-pikir,
tweet ini sama sekali tidak penting.
@noffret


Seorang teman mengadakan suatu acara di suatu tempat, dan dia menyerahkan selembar undangan untuk saya.

Saya berjanji untuk datang, kalau tidak ada urusan mendesak.

....
....

Pada hari H, saya datang ke tempat acara. Mengikuti intruksi yang ada di undangan, saya menuju suatu pintu yang tampak dijaga beberapa petugas berwajah kaku.

Di depan pintu, tampak beberapa orang akan masuk, dan mereka menyerahkan undangan yang dibawa kepada petugas yang menjaga. Kemudian mengisi buku tamu di meja. Setelah itu, petugas menyerahkan kembali undangan, dan mereka tampak masuk. Setelah memperhatikan hal itu, saya pun menuju ke sana.

Saat sampai di sana, salah satu penjaga menahan saya, dan berkata, “Maaf, pintu ini hanya untuk orang-orang penting. Boleh saya lihat undangan Anda?”

Saya mengeluarkan undangan yang saya terima, dan menyerahkan kepadanya.

Si petugas melihat undangan, dan mendadak tersenyum. Sambil mengembalikan undangan, dia meminta saya masuk dengan nada ramah. “Silakan.”

Tapi saya ragu-ragu. Jadi, dengan ragu pula, saya berkata, “Kalau tidak salah dengar, Anda tadi menyebut pintu ini untuk orang-orang penting?”

“Benar,” dia menjawab.

“Kalau begitu, mungkin saya salah masuk. Karena saya bukan orang penting.”

Petugas itu tampak bingung. “Tapi undangan Anda... uhm, undangan Anda menyebutkan Anda termasuk penting.”

“Kalau begitu, undangan ini mungkin keliru,” saya menyahut sambil memegang undangan di tangan. “Karena saya bukan orang penting.”

Para petugas di sana saling berpandangan, tampak bingung.

Akhirnya, saya berkata pada mereka, “Maaf, kalau boleh tahu, di mana pintu untuk orang tidak penting?”

Dengan bingung, seorang petugas menunjukkan, “Di sebelah sana.”

Saya mengucap terima kasih, lalu pergi menuju pintu yang ditunjuk.

Di pintu khusus untuk orang tidak penting, saya pun melangkah masuk. Tapi seorang petugas di sana menghentikan langkah saya, dan berkata, “Boleh saya lihat undangan Anda?”

Dengan patuh, saya menyerahkan undangan yang saya bawa.

Petugas di sana melihat undangan saya, lalu dengan ramah menyatakan, “Maaf, Anda salah masuk. Anda termasuk undangan penting, dan seharusnya Anda masuk lewat pintu sebelah sana.” Dia menunjuk ke arah pintu tempat saya akan masuk tadi.

“Uhmm...” saya jadi bingung. “Sebenarnya, tadi saya sudah berencana masuk pintu sebelah sana. Tapi saya pikir telah keliru.”

“Tidak, tidak,” petugas itu menyahut. “Anda sudah benar masuk lewat pintu sebelah sana, karena undangan ini menunjukkan Anda termasuk undangan penting.”

Dia menyerahkan undangan yang tadi saya berikan, tapi saya belum beranjak pergi. Setelah terdiam sesaat, saya bertanya, “Jadi, pintu sebelah sini untuk undangan yang tidak penting?”

Dia menjawab dengan ramah, “Pintu sebelah sini untuk undangan biasa.”

“Maksudnya, untuk orang biasa?”

“Benar.”

“Kalau begitu, mungkin saya lebih tepat masuk pintu sebelah sini, karena saya juga orang biasa.”

“Tapi undangan Anda menyebutkan Anda termasuk penting.”

“Undangan ini mungkin keliru, karena saya sama sekali tidak penting.”

Petugas itu tampak bingung.

Akhirnya saya berkata, “Begini saja. Apakah saya diizinkan masuk lewat pintu sini?”

Masih dengan ramah, petugas itu menjelaskan, “Saya tentu akan mempersilakan Anda masuk pintu mana pun. Tapi saya ditugaskan di sini untuk memastikan orang masuk melalui pintu yang tepat. Karena itulah ada petugas di masing-masing pintu, untuk memastikan orang masuk lewat pintu yang tepat. Berdasarkan undangan yang Anda bawa, Anda termasuk undangan penting, dan saya menyarankan Anda masuk pintu yang tepat—di sebelah sana—yang khusus ditujukan untuk undangan penting seperti Anda.”

Benar-benar petugas yang baik, pikir saya. Karenanya, dengan nada bersahabat, saya pun menyahut, “Maafkan saya. Tapi undangan yang saya terima mungkin keliru. Karena kenyataannya saya sama sekali tidak penting.”

“Sebenarnya,” dia menyahut dengan serbasalah, “saya tidak tahu orang-orang yang datang ke sini. Saya hanya ditugaskan untuk mengidentifikasi undangan yang mereka bawa. Karenanya, sejujurnya, saya tidak tahu orang per orang yang tadi telah lewat sini, karena saya hanya memastikan mereka membawa undangan, dan masuk lewat pintu yang tepat.”

“Jadi, Anda tidak tahu siapa orang-orang yang tadi masuk lewat pintu ini?”

“Tidak,” dia menjawab dengan serbasalah.

“Anda juga tidak tahu siapa saya?”

Dia makin tampak serbasalah. “Tidak.”

Saya tersenyum. “Nah, itu menunjukkan kalau saya memang tidak penting, kan? Saya tidak beda dengan orang-orang lain yang tadi masuk lewat pintu ini—sama-sama tidak Anda kenal.”

“Tapi undangan Anda...”

“Seperti yang saya bilang tadi, undangan ini mungkin keliru.”

Mungkin karena bosan menghadapi tingkah saya, petugas itu akhirnya berkata, “Saya benar-benar minta maaf, tapi saya tidak bisa mengizinkan Anda masuk lewat pintu ini. Berdasarkan undangan yang Anda bawa, Anda harus masuk lewat pintu di sebelah sana.”

Akhirnya saya pulang.

....
....

Sesampai di rumah, saya letakkan undangan tadi di atas meja. Lalu saya bikin teh hangat, dan menyulut rokok. Sambil mengisap rokok, saya memandangi undangan di atas meja dengan takjub. Jika diperhatikan, lembaran kertas itu memang tampak sangat penting. Setidaknya, lebih penting dari saya.

Noffret’s Note: Jurnalisme

Kompas dan Tempo (online) kayaknya makin menurunkan standar, dan
makin berubah menjadi koran kuning. Berita internet makin menyedihkan.
—Twitter, 8 April 2015

Jurnalisme bukan hakim (dan bukan obrolan di warung kopi), dan judul
berita ini salah. RT @tempodotco Memprihatinkan, Bea Masuk Indonesia
Terendah di Dunia http://bit.ly/1IAlqwJ
—Twitter, 27 Juli 2015

Ini judul berita yang benar. Netral, tanpa memaksakan opini.
RT @kompascom Penerimaan Negara Bertambah Rp 800 Miliar
dari Bea Masuk http://kom.ps/AFtAp7
—Twitter, 27 Juli 2015

Jadi gatel ingin ngomongin jurnalistik.
—Twitter, 27 Juli 2015

Pertanyaan yang dari dulu tak pernah selesai terjawab, “Apakah blog
termasuk produk jurnalistik?” Jawabannya tergantung si empunya blog.
—Twitter, 27 Juli 2015

Jika pemilik blog menjadikan blognya sebagai sarana menulis berita
(bukan opini, esai dan semacamnya), maka blog menjadi bagian jurnalistik.
—Twitter, 27 Juli 2015

Tetapi jika pemilik blog menjadikan blognya sebagai sarana menuangkan
opini, pemikiran pribadi, dan semacamnya, maka blog bukan jurnalistik.
—Twitter, 27 Juli 2015

Mana yang lebih baik? Karya jurnalistik atau non-jurnalistik? Tidak ada
yang lebih baik atau lebih buruk. Itu hanya soal pilihan. Tetapi...
—Twitter, 27 Juli 2015

Tetapi, jika suatu web/blog telah menyatakan diri sebagai bagian
jurnalistik, dia harus menjaga karyanya benar-benar objektif, tanpa opini.
—Twitter, 27 Juli 2015

Memaksakan opini atau pemikiran pribadi terhadap tulisan yang disebut
jurnalistik adalah pengkhianatan terhadap pembaca dan jurnalisme.
—Twitter, 27 Juli 2015

Dan itulah masalah terbesar dunia jurnalistik di Indonesia. Web-web
yang mendaku sebagai karya jurnalistik sering terpeleset opini sendiri.
—Twitter, 27 Juli 2015

Di timeline Twitter, setiap detik kita mendapati judul-judul berita
(yang katanya) jurnalistik, tapi isinya penuh opini pribadi penulisnya.
—Twitter, 27 Juli 2015

Judul-judul berita yang diawali “Memprihatinkan...”, “Astaga...”, “Mengerikan...”,
“Luar Biasa...”, “Wah...” dan semacamnya, semuanya SALAH!
—Twitter, 27 Juli 2015

Awalan-awalan judul berita semacam itu tidak netral, karena mewakili
ide/opini penulisnya. Padahal tugas jurnalis hanya menyampaikan fakta.
—Twitter, 27 Juli 2015

Tugas jurnalis hanya menyampaikan fakta. Soal memprihatinkan, luar biasa,
mengerikan, hebat, dan lain-lain, itu hak pembaca untuk menilai.
—Twitter, 27 Juli 2015

Karenanya, berita dengan judul subjektif (seperti contoh tadi) tidak
hanya salah, tapi juga merampok hak pembaca untuk menilai suatu fakta.
—Twitter, 27 Juli 2015

Dan, sekali lagi, itulah masalah terbesar dunia jurnalistik Indonesia.
Web-web jurnalistik justru lebih sering mengedepankan subjektivitas.
—Twitter, 27 Juli 2015

Nyaris semua judul berita mereka diawali ide/opini penulisnya.
Akibatnya, efek yang timbul tidak netral/objektif.
—Twitter, 27 Juli 2015

Membaca berita di web-web Indonesia, pembaca seperti dipaksa untuk
sesuai dengan opini penulisnya yang tertuang dalam judul. Akibatnya...
—Twitter, 27 Juli 2015

Akibatnya, pembaca berita di Indonesia seperti kumpulan orang idiot
yang tak bisa menentukan opini dan pemikirannya sendiri untuk menilai.
—Twitter, 27 Juli 2015

Dan itukah misi jurnalisme? Tentu saja tidak! Jurnalisme ada untuk
mencerdaskan pembaca, dan bukan mengubah pembaca menjadi kumpulan bebek.
—Twitter, 27 Juli 2015

Karena jurnalis Indonesia lebih senang menulis judul-judul subjektif
(bahkan bombastis), pembaca pun mudah terprovokasi. Itu mengerikan.
—Twitter, 27 Juli 2015

Hasilnya, muncul orang-orang yang merasa telah tahu isi suatu berita
hanya dengan membaca judulnya. Lalu bereaksi subjektif dan sok tahu.
—Twitter, 27 Juli 2015

Ending-nya, orang-orang ribut berpolemik dan meributkan banyak hal,
tanpa tahu pasti (dan utuh) soal apa yang sebenarnya mereka ributkan.
—Twitter, 27 Juli 2015

Tentu saja rangkaian tweet-ku soal jurnalisme ini subjektif. Tapi aku
tidak pernah mengatakan rangkaian tweet-ku sebagai karya jurnalistik.
—Twitter, 27 Juli 2015


*) Ditranskrip dari timeline @noffret.

Masalah

“Aku sedang ada masalah,” kata seorang bocah pada temannya.

Si teman menyahut pasti, “Pergilah kepada Maxim. Dia akan menyelesaikan semua masalahmu.”

“Errr... masalahnya, Maxim juga punya banyak masalah.”

Jumat, 01 Januari 2016

Humor dan Kearifan

Memiliki selera humor adalah berkat yang layak disyukuri.
Terpujilah orang-orang yang bisa membuat orang lain
tersenyum dan tertawa.
@noffret


Orang Amerika kadang keterlaluan saat membuat humor, termasuk humor menyangkut pemerintah. Salah satu humor yang pernah membuat saya ngakak tanpa bisa ditahan adalah kisah kemacetan yang terjadi di Washington, DC., pada era presiden George W. Bush.

Berdasarkan humor tersebut, suatu hari terjadi kemacetan amat parah di jalanan Washington. Lalu lintas macet total, dan mobil-mobil tak bisa bergerak. Di antara kemacetan, tampak beberapa relawan yang sibuk di antara mobil-mobil, membantu mengurai kemacetan. Ada pula beberapa yang mengetuk-ngetuk jendela mobil, lalu bercakap dengan si pengendara.

Di salah satu mobil, seorang pengendara menurunkan kaca jendela, dan bertanya pada seorang relawan yang kebetulan sedang berdiri di samping mobilnya.

“Ada apa, sampai macet begini?” sapa si pengendara.

Si relawan menjawab, “Presiden Bush disandera teroris!”

“Aduh, pasti akan lama macetnya.”

“Terorisnya minta tebusan satu miliar dollar,” ujar si relawan. “Kalau permintaannya tidak dipenuhi, Presiden akan disiram bensin terus dibakar.”

“Mengerikan sekali!” ujar si pengendara. “Jadi, apa tugas Anda di sini?”

“Saya bertugas mengumpulkan sumbangan dari tiap mobil.”

“Begitu. Berapa saya harus menyumbang?”

“Terserah Anda. Tadi, ada yang menyumbang lima liter, tujuh liter, ada juga yang menyumbang sepuluh liter bensin...”

Seperti yang dibilang tadi, saya ngakak tanpa bisa ditahan saat pertama kali mendengar humor tersebut. Dan humor-humor semacam itu biasa muncul dalam kehidupan orang Amerika. George W. Bush mungkin salah satu presiden Amerika yang paling banyak dikarikaturkan, sekaligus paling sering menjadi objek humor. Karenanya, saya pun cukup yakin dia tahu setidaknya satu humor atau karikatur mengenai dirinya. Dan bersyukurlah orang Amerika, karena mereka tidak diperkarakan gara-gara kenakalan semacam itu.

Entah karena menjunjung tinggi demokrasi dan liberalisasi, atau karena menyadari mereka memang brengsek, pemerintah Amerika—sejauh ini—belum pernah terdengar memperkarakan warganya karena hal-hal semacam humor atau sindiran-sindiran terhadap pemerintah. Bisa jadi pula mereka memahami bahwa humor semacam itu adalah protes atau kritik yang jauh lebih bisa diterima, daripada tindakan-tindakan protes yang anarkis.

Humor sering kali memang menjadi semacam pisau bedah sangat tajam, yang mampu mengorek berbagai macam borok. Saat tubuh mengalami masalah dan perlu operasi, dibutuhkan pisau bedah yang tajam untuk membedah kulit dan mengeluarkan masalah yang mengganggu. Pasien yang tubuhnya dibedah dan dikorek-korek tidak keberatan, karena menyadari pisau tajam itu tidak dimaksudkan untuk membunuh, melainkan untuk menyelamatkan. Humor sering berfungsi semacam itu. 

Karenanya, pemerintah Amerika pun mungkin menyadari, bahwa munculnya humor-humor menyangkut mereka—sesinis dan sesarkas apa pun—lebih dimaksudkan sebagai teguran yang bertujuan positif, meski mungkin memerahkan kuping. Karenanya, alih-alih menangkap dan memperkarakan orang-orang pembuat humor nakal, mereka lebih suka membiarkan. Bisa jadi, diam-diam, mereka juga menikmati dan cekikikan sendiri.

Dalam banyak hal, humor juga sering introspektif. Tidak hanya membuat kita mampu tersenyum atau tertawa, tapi juga menyalakan impuls kesadaran untuk melakukan introspeksi. Humor-humor Nasrudin Hoja, misalnya, atau humor-humor Abu Nawas, banyak yang reflektif dan introspektif. Di Indonesia, humor-humor Gus Dur juga banyak yang introspektif—jenis humor yang tidak hanya membuat kita tergelak, tapi sekaligus mengangguk-angguk.

Humor Nasrudin Hoja atau Abu Nawas mungkin bisa dibilang humor-humor paling terkenal di dunia. Nyaris di negara mana pun, dua nama itu dikenal sebagai sosok humoris. Hal itu, kemungkinan, karena humor-humor mereka dapat diterjemahkan dan dipahami di semua tempat, dan dapat dinikmati tanpa batas waktu—jenis humor universal yang mampu membuat gelak tawa di mana pun saat dibaca atau diperdengarkan.

Lebih dari itu, humor-humor Nasrudin Hoja atau Abu Nawas juga tidak bersifat menyerang. Humor mereka lebih banyak reflektif dan introspektif. Ada banyak sindiran yang terdapat dalam humor-humor mereka, tapi pembaca bisa asyik menikmati, karena objek yang menjadi sasaran sindiran adalah Abu Nawas atau Nasrudin Hoja sendiri. Itu seperti pertunjukan pantomim dengan adegan slapstik—tersandung, terjatuh—tapi penonton tertawa, karena yang tersandung dan terjatuh adalah si pemeran pantomim.

Menggunakan humor untuk mencapai suatu tujuan—atau menyampaikan pesan—tak jauh beda dengan menggunakan pisau bedah untuk mengorek borok. Nasrudin Hoja tahu cara mengorek borok-borok ego dan kedunguan manusia, dan dia menggunakan pisau yang amat tajam; humor yang introspektif. Abu Nawas mengorek borok-borok yang sama, dengan pisau tajam yang sama; humor yang reflektif.

Humor-humor semacam itu sering kali menjadi humor-humor evergreen yang dinikmati manusia sepanjang masa. Karena, senaif apa pun, manusia juga memiliki fitrah kehendak untuk memperbaiki diri. Dan humor, dalam hal ini, adalah cara memperbaiki diri yang dapat digunakan tanpa menyakiti. Berbeda dengan khutbah yang sering dogmatis, berbeda dengan ceramah yang mungkin bikin ngantuk, humor reflektif dan introspektif jauh lebih menarik.

Dalam kehidupan sehari-hari, kita pun menyukai humor, meski humor kosong atau humor yang murni dimaksudkan sebagai humor semata. Kita senang pada hal-hal yang membuat tertawa, bahkan kita juga senang saat mampu membuat orang lain tertawa. Dalam hal itu, humor sering berfungsi sebagai semacam pelicin hubungan antarmanusia. Dua orang yang semula kaku dan menjaga jarak bisa lebur saat bisa tertawa bersama.

Tetapi, sebagaimana hal lain, penggunaan humor pun tetap membutuhkan kearifan. Kita tidak meletakkan linggis di atas bantal, tidak menyimpan cangkul di dalam kulkas, sebagaimana kita harus meletakkan humor sesuai proporsinya. Karena humor pun bisa menjadi masalah, ketika diletakkan di tempat yang salah, atau dilakukan dengan cara tidak tepat.

Di Thailand, misalnya, pernah ada orang yang terancam penjara gara-gara humor. Padahal humornya tidak menyinggung siapa pun. Ceritanya, pada 1 November 2015, seorang lelaki berusia 23 tahun bernama Pichit Boondaeng menumpang pesawat Thai Lion di bandara Don Muang menuju Hatyai. Saat kru pesawat membantu memasukkan tas ke dalam kabin, Pichit Boondaeng bergurau dengan mengatakan tas yang dibawanya berisi bom.

Pichit Boondaeng memaksudkan ucapannya sebagai humor, dengan tujuan membuat kru pesawat tersenyum. Dia bahkan tertawa saat mengatakan gurauan itu. Tetapi, alih-alih mendapat senyuman, Pichit Boondaeng justru masuk penjara. Gara-gara “humor” yang dilontarkannya, kru pesawat melaporkan lelucon yang tidak lucu itu kepada kapten. Kapten pesawat kemudian memutuskan membatalkan penerbangan, dan meminta semua penumpang turun.

Setelah itu, tim penjinak bom dipanggil, untuk memeriksa tas Pichit Boondaeng. Tidak ada bom yang ditemukan, karena Pichit Boondaeng memang cuma bermaksud menyatakan humor. Meski begitu, Pichit Boondaeng harus menghadapi penyelidikan, dan dia didakwa membuat laporan palsu, serta menghadapi hukuman penjara lima tahun plus denda 200.000 baht (sekitar 77 juta rupiah). Perusahaan penerbangan juga berencana menggugat Pichit Boondaeng, akibat kerugian yang dialami setelah penerbangan tersebut tertunda.

Ironis? Berlebihan? Mengerikan? Mungkin ya, tetapi kasus itu menunjukkan kepada kita bahwa humor adalah pisau yang amat tajam. Ketika digunakan sembarangan, dampaknya bisa berbahaya. Padahal, dalam konteks Pichit Boondaeng, humor yang ia lontarkan bisa dibilang tidak menyinggung siapa pun. Kesalahannya adalah melontarkan humor di tempat yang salah. Jika kekeliruan meletakkan humor saja bisa mengundang masalah, apalagi melontarkan humor yang jelas-jelas bermasalah?

Seperti kasus Charlie Hebdo, tempo hari. Mereka mungkin berniat menjadikan humornya sebagai humor—atau bahkan otokritik—tetapi mengkarikaturkan seseorang yang disakralkan sama artinya mengundang masalah. Mereka tentu menyadari hal itu, tapi tetap melakukan. Mereka memiliki kecerdasan juga keberanian, tapi mungkin kurang kearifan. Dan pisau tajam yang mereka gunakan kemudian menyayat kulit hingga terluka... dan berdarah.

Membuka Lemari, Suatu Hari

Aku tak pernah membayangkan tersesat ke Negeri Narnia melalui lemari, tentu saja. Tapi membuka lemari kadang membuatku pedih.

Seperti hari itu, saat akan mengambil sebuah celana, mataku tanpa sengaja mendapati beberapa hal di rak pakaian baru—baju, celana, t-shirt, dan lainnya. Semuanya masih baru, dengan segel yang masih terpasang, sengaja belum kulepas, untuk mengingatkan bahwa pakaian baru itu menungguku. Dan aku selalu mengimpikan memakainya, suatu hari, saat datang waktu yang tepat, untuk sesuatu yang tepat.

Tapi tahun demi tahun terus menunggu. Semua yang ada di rak lemari itu masih tetap baru. Seperti bertahun lalu. Dan masih menunggu.

Perlahan-lahan kusentuh mereka, dan tiba-tiba hatiku pedih. Membeli beberapa pakaian baru kadang jauh lebih mudah... daripada memakainya.

Pelajaran Hening

Aku sering berpikir, dunia pasti akan jauh lebih tenang, hening,
dan tenteram, jika tidak ada perayaan atau keramaian apa pun.
—Twitter, 31 Desember 2015

Tapi tampaknya mayoritas manusia lebih menyukai keramaian,
perayaan, ingar bingar, dan hal-hal yang jauh dari keheningan.
—Twitter, 31 Desember 2015

Manusia punya seribu satu alasan untuk merayakan banyak hal, dan
manusia punya seribu satu hal untuk diramaikan dengan kebisingan.
—Twitter, 31 Desember 2015

Seperti tahun baru, misalnya. Aku tetap tidak paham kenapa sekadar
pergantian tahun saja harus dirayakan, diramaikan, dengan kebisingan.
—Twitter, 31 Desember 2015

Bagiku, pergantian tahun tak jauh beda dengan pergantian hari, pergantian
minggu, atau pergantian bulan. Hari baru, minggu baru. Biasa saja.
—Twitter, 31 Desember 2015

Kecenderungan manusia pada perayaan dan keramaian serta kebisingan
tampaknya telah menjadi semacam kecanduan atau neurosis kolektif.
—Twitter, 31 Desember 2015

Tentu saja hal-hal dalam hidup perlu dirayakan, tapi kebanyakan manusia
menganggap perayaan sebagai keramaian, kebisingan, dan ingar bingar.
—Twitter, 31 Desember 2015

Seperti tahun baru, misalnya. Jalanan macet, orang berdesakan, pekik
terompet, gelegar knalpot, petasan, adalah wujud kebisingan perayaan.
—Twitter, 31 Desember 2015

Kalau saja setiap perayaan dapat dilakukan dengan hening, tahun baru
tidak akan identik dengan kemacetan, petasan, terompet atau kebisingan.
—Twitter, 31 Desember 2015

Seharusnya sekolah dan perguruan tinggi di dunia memasukkan
satu pelajaran penting bagi anak-anak manusia, yaitu Pelajaran Hening.
—Twitter, 31 Desember 2015

Kita bisa merayakan apa pun dengan hening, dengan tenang, dengan
tenteram, tanpa petasan, dan tanpa menimbulkan masalah serta kebisingan.
—Twitter, 31 Desember 2015

Seperti tahun baru, misalnya. Bagiku, merayakan malam tahun baru dengan
hening jauh lebih khusyuk daripada di jalanan yang macet dan bising.
—Twitter, 31 Desember 2015

Selamat merayakan tahun baru, bagi yang merayakan. Kalau pun tidak
merayakan, tidak apa-apa. Karena tahun baru adalah hal yang biasa saja.
—Twitter, 31 Desember 2015


*) Ditranskrip dari timeline @noffret.
 

Kesimpulan yang Sangat (Tidak) Ilmiah

Seseorang baru disebut lelaki sejati, jika pernah masuk swalayan sendirian di malam Minggu hanya untuk membeli keset, lalu antre di kasir sepanjang tiga meter di belakang mbak-mbak ganjen.

Bahkan Hercules pun belum tentu mampu melakukannya.

 
;