Senin, 20 Februari 2017

Pikiran dan Gaya Hidup

Melihat minumanmu saja, aku sudah minder. #IkiOpo
@noffret


Orang memang macam-macam. Cara orang menjalani kehidupan begitu beragam. Bagaimana orang menatap dan memandang hidup juga berbagai-bagai, tergantung latar belakang, pergaulan, pendidikan, dan lain-lain.

Di antara keragaman orang-orang dalam menjalani dan menatap kehidupan, saya bisa membaginya dalam empat kuadran. Tentu saja ada kemungkinan lain di luar empat kuadran yang saya bayangkan. Namun, empat kuadran berikut ini bisa dibilang telah mencakup hampir semua orang.

Kuadran pertama, orang yang gaya hidupnya sederhana, dan pikirannya juga sederhana. Orang-orang di kuadran pertama biasanya menjalani kehidupan apa adanya. Hidup sederhana, menatap kehidupan dengan pola pikir sederhana, tidak macam-macam, dan harapan hidupnya pun umumnya juga sederhana. Mereka makan sederhana, berpenampilan sederhana, dan pikiran mereka bebas (atau kosong) dari aneka paradigma yang rumit. Biasanya, mereka hidup di desa, atau di kota kecil.

Kuadran kedua, orang yang gaya hidupnya high class, dan pikirannya juga high class. Mereka jenis orang yang menjalani gaya hidup kelas atas, mengonsumsi makanan dan minuman yang namanya sulit dieja, berpenampilan mewah atau glamor, mengenakan barang-barang branded, dan biasanya juga hidup di kota-kota besar. Sama seperti gaya hidupnya, pikiran mereka pun sama high class. Otak mereka rumit oleh berbagai paradigma, khas orang-orang berpendidikan tinggi, atau setidaknya bisa beradaptasi dengan perkembangan zaman.

Dua kuadran di atas bisa dibilang “no problem”, atau minim masalah, dan tidak terlalu menghadapi banyak tantangan. Kuadran pertama, orang sederhana dengan pikiran sederhana. Jalan hidup mereka pun lurus, namanya juga orang sederhana. Begitu pula orang-orang di kuadran kedua, yaitu yang gaya hidupnya high class dan pikiran mereka juga high class. Sama-sama tidak masalah. Mereka punya modal untuk itu, dan mereka menikmati gaya hidup semacam itu.

Yang agak menghadapi masalah adalah orang-orang di kuadran ketiga dan keempat.

Kuadran ketiga, orang yang gaya hidupnya high class, tapi pikirannya sederhana. Orang-orang di kuadran ketiga menjalani gaya hidup kelas atas—sebagaimana orang-orang di kuadran kedua—tapi otak mereka tidak mampu mengikuti gaya hidup kelas atas yang mereka jalani. Jadi, secara penampilan, mereka hebat. Mewah dan glamor. Tapi begitu ngoceh, kelihatan tololnya. Mereka punya modal untuk hidup mewah, tapi sayang pikiran mereka kosong.

Terakhir, kuadran keempat, orang yang gaya hidupnya sederhana, tapi pikirannya high class. Orang-orang di kuadran keempat menjalani gaya hidup sederhana—sebagaimana orang-orang di kuadran pertama—tapi pikiran mereka tidak sederhana. Jadi, orang-orang ini biasa makan di warteg atau kaki lima, berpenampilan sederhana, menjalani hidup bersahaja, tapi pikiran mereka ruwet oleh berbagai perspektif, paradigma, dan aneka macam hal yang sangat rumit.

Dua kuadran tersebut—ketiga dan keempat—bisa jadi sering menghadapi masalah. Orang-orang di kuadran ketiga mungkin asyik diajak pesta, bersenang-senang, dan biasanya mereka juga teman yang menyenangkan—tapi hanya sebatas itu. Mereka tidak bisa diajak berpikir mendalam, karena pikiran mereka sederhana.

Karena itu pula, ketika mereka harus menghadapi persoalan yang—bagi mereka—berat, mereka pun biasanya cepat down. Mereka lebih tahu cara bersenang-senang, tapi tidak tahu bersusah-susah. Bahkan, bisa jadi, mereka tidak tahu di mana letak ban serep mobil mereka sendiri.

Begitu pula orang-orang di kuadran keempat. Kebalikan dari kuadran ketiga, orang-orang di kuadran keempat biasanya menjadi teman yang didatangi ketika butuh nasihat, atau saat kita ingin bertukar pikir. Mereka—orang-orang di kuadran keempat—biasa berpikir mendalam, penuh wawasan, dan bijaksana.

Tetapi, orang-orang yang pikirannya hebat itu tampak kaku ketika berurusan dengan hal-hal mewah atau glamor, karena mereka biasa menjalani gaya hidup sederhana. Bahkan, bisa jadi, mereka tidak tahu bagaimana cara makan pizza.

Di antara empat kuadran tersebut, di manakah kalian berada?

Seperti yang disebut tadi, masing-masing orang masuk dalam kuadran tertentu, biasanya dipengaruhi oleh latar belakang, keluarga, pergaulan, pendidikan, dan lain-lain. Semua hal itu ikut membentuk dan mengarahkan kita semua, untuk kemudian masuk ke dalam kuadran tertentu, dan terbiasa dengan hal itu.

Orang-orang yang tinggal di desa terpencil, sulit mendapat akses ke dunia luar, minim pendidikan, dan pergaulan juga terbatas, kemungkinan besar masuk kuadran pertama. Sebaliknya, orang-orang yang tinggal di kota besar, dan kebetulan juga tergolong kaya, hingga bisa sekolah sampai tingkat tinggi, kemungkinan besar masuk kuadran kedua.

Sementara orang-orang di kuadran ketiga dan keempat adalah orang-orang yang menghadapi dunia jungkir balik. Orang yang tumbuh di keluarga kaya, akrab dengan kemewahan, tapi mungkin malas belajar, biasanya masuk kuadran ketiga. Sebaliknya, orang yang tumbuh di keluarga sederhana, akrab dengan kesederhanaan, tapi rajin belajar hingga berwawasan luas, biasanya masuk kuadran keempat.

Sekali lagi, di antara empat kuadran tersebut, di manakah kalian berada?

Kalau saya introspeksi diri sendiri, saya masuk kuadran keempat, yang merupakan kuadran paling bermasalah. Kuadran pertama adalah yang paling mudah, kuadran kedua mudah dan menyenangkan, kuadran ketiga menyenangkan meski kadang bermasalah, sementara kuadran keempat yang paling bermasalah. Di kuadran paling bermasalah itulah saya berada.

Karena lahir dan tumbuh di keluarga berkekurangan, saya terbiasa dengan hal-hal sederhana. Makan sederhana, berpenampilan sederhana, menjalani kehidupan secara sederhana, sebagaimana umumnya orang lain yang menjalani hidup serba kekurangan. Tetapi, “sialnya”, saya terlalu rajin belajar, dan itu mengakibatkan pikiran saya tidak sederhana. Dari sinilah masalah saya dimulai.

Kini, ketika dewasa, mungkin hidup saya telah banyak berubah, dan saya pun menjalani kehidupan yang lebih baik. Tetapi, gaya hidup sederhana yang sejak kecil saya alami bisa dibilang semacam “doktrinasi” yang membuat saya sulit melepas. Dalam urusan makan, misal, saya tetap sederhana. Sampai kini, saya lebih suka masakan atau makanan tradisional, daripada makanan-makanan mewah yang nama dan rasanya sangat aneh. Bahkan meski saya bisa membelinya.

Karenanya, meski saya memiliki kemampuan finansial untuk makan di restoran mewah yang menyuguhkan aneka masakan “aneh”, saya tetap lebih menikmati makan di angkringan, atau di tempat-tempat yang jelas menyuguhkan masakan tradisional. Kadang-kadang, saya memang terpaksa masuk restoran mewah, misal karena diajak teman. Tetapi, kadang-kadang pula, lidah saya tidak cocok dengan masakan yang ada di sana.

Begitu pula soal penampilan, atau lainnya. Dalam kehidupan sehari-hari, saya terbiasa berpenampilan sederhana, meski definisi “sederhana” juga bisa relatif. Yang jelas, saya menilai penampilan saya masih sederhana, dalam arti jauh dari kesan mewah apalagi glamor. Terus terang, saya tidak tertarik berpenampilan mewah atau glamor, meski mungkin saya mampu melakukannya. Saya lebih nyaman dinilai “seperti orang kebanyakan”.

Jadi, saya biasa menjalani gaya hidup sederhana, tidak macam-macam, bahkan saya termasuk bocah rumahan yang damai tinggal di rumah. Saya tidak punya cita-cita menjadi artis, selebritas, atau berambisi jadi orang terkenal, atau semacamnya. Karena saya orang sederhana, dan saya tenteram menjalani kehidupan yang sederhana. Intinya, gaya hidup saya sangat sederhana.

Yang menjadi masalah—khususnya yang saya alami—pikiran saya tidak sesederhana gaya hidup yang saya jalani. Dan itu, terus terang, kerap membuat saya bingung sendiri.

Tempo hari, saya ngobrol dengan Wawan—teman di dunia nyata—dan saya sempat bilang kepadanya, bahwa yang membuat saya kesulitan menemukan pasangan yang cocok, salah satunya karena hal itu tadi; kehidupan yang sederhana, tapi pikiran tidak sederhana. Menemukan pasangan wanita yang mampu serasi dengan saya—baik dalam pikiran maupun gaya hidup—bisa dibilang sulitnya luar biasa.

Mencari wanita yang pikirannya serasi dengan saya mungkin mudah. Ada banyak wanita berpikiran maju dan berwawasan, di luar sana. Tetapi wanita yang memiliki pikiran high class, biasanya juga menjalani kehidupan yang sama high class—sesuatu yang bertolak belakang dengan kehidupan yang saya jalani. Saya hidup sederhana, dia biasa hidup mewah. Saya minum teh, dia minum... apa itu namanya.

Sebaliknya, mencari wanita yang sederhana juga sama mudah. Ada banyak wanita sederhana, yang mau menerima pasangan sederhana, dan bersedia diajak hidup sederhana. Tetapi, wanita-wanita sederhana semacam itu—umumnya—juga memiliki pikiran sama sederhana. Akibatnya, bisa jadi, kami hanya serasi dalam gaya hidup dan dalam kesederhanaan, tapi pikiran kami sulit “nyambung”.

Orang-orang bijak di zaman dulu punya nasihat baik untuk anak-anak muda, khususnya yang sedang mencari pasangan. “Dalam mencari pasangan,” kata mereka, “carilah pasangan yang seimbang.”

Saya pikir, nasihat itu tetap relevan hingga zaman sekarang. Carilah pasangan yang seimbang, yaitu pasangan yang mampu mendampingi diri kita secara serasi, dan tidak timpang. Saya pun akan mengikuti nasihat itu, jika kelak berencana mencari pasangan.

Karena saya orang sederhana, maka saya pun akan berusaha menemukan pasangan yang sama sederhana. Agar saya tidak kebingungan mengikuti gaya hidupnya, sebagaimana dia juga tidak kebingungan mengikuti gaya hidup saya. Serasi, seimbang, dan tidak timpang.

Karena itu pula, meski umpama—sekali lagi, umpama—Syahrini mau menikah dengan saya, bersedia menjadi istri saya, terus terang saya tidak bersedia. Masalahnya ya itu tadi, saya pasti akan kebingungan mengikuti gaya hidupnya, sebagaimana dia juga akan kebingungan mengikuti gaya hidup saya.

Asal kalian tahu, Syahrini harus menyamar hanya untuk beli pecel di warung favoritnya. Dia pakai sandal jepit, berpakaian sederhana, tanpa make up, dan—tentu saja—tidak naik Lamborghini. Mungkin terdengar konyol, tapi itu benar.

Syahrini—atau wanita glamor seperti dirinya—jelas bukan tipe wanita yang saya dambakan. Saya ingin, jika kelak punya pasangan, dia wanita yang enjoy datang ke warung pecel favorit tanpa harus repot-repot menyamar. Yaitu wanita sederhana, dengan penampilan bersahaja, yang menggunakan make up sekadarnya, sehingga tidak terlalu menarik perhatian.

Yang menjadi masalah, kembali ke soal tadi. Menemukan wanita semacam itu—sederhana, dan bersahaja—mungkin mudah. Tetapi wanita yang seperti itu, dan bisa memahami rumitnya pikiran saya, itulah yang tidak mudah. Setidaknya, sampai sekarang saya belum menemukannya.

 
;