Senin, 26 Juni 2017

Lebaran Seorang Bocah

Pulang ke rumah sendiri, tapi tidak bisa masuk
karena kuncinya ketinggalan di tempat lain.
Benar-benar malam lebaran yang sempurna.
@noffret


Karena hidup sendirian, saya menjalani keseharian tanpa siapa pun, termasuk saat Ramadan datang. Secara pribadi, saya tidak menganggap itu masalah, karena saya juga menikmati. Kesendirian bukan sesuatu yang membuat saya tertekan. Sebaliknya, saya nyaman dan tenang melewati waktu dalam kesendirian.

Beberapa tetangga kadang bilang, mereka kasihan melihat saya, karena setiap hari sendirian. Mau makan harus keluar, cari warung makan. Padahal, saya menikmati yang saya jalani. Seperti saat Ramadan. Kadang saya keluar rumah pukul 03.00 dini hari, menuju warung nasi gudeg, atau warung nasi uduk. Bisa jadi, tetangga saya ada yang berpikir, “Kasihan amat tuh bocah. Mau sahur aja harus keluar, sendirian.”

Padahal, sekali lagi, saya senang-senang saja, dan sama sekali tidak tertekan apalagi tersiksa. Jauh lebih menyenangkan bagi saya untuk makan nasi gudeng atau nasi uduk—atau apa pun yang enak—meski harus keluar rumah, daripada makan di rumah tapi tidak enak. Nuwun sewu, itu cuma pikiran nakal saya.

Tetangga-tetangga mungkin membayangkan, saya bangun tidur dini hari seperti mereka, untuk makan sahur, dengan mata kriyep-kriyep karena masih mengantuk. Bedanya, mereka bisa menikmati sahur tanpa harus repot keluar rumah, sementara saya harus keluar rumah untuk mencari makan sahur. Padahal, saya belum tidur sama sekali!

Dulu, zaman masih tinggal bersama orang tua, saya selalu tersiksa setiap kali makan sahur. Sekitar pukul 03.00, biasanya, saya harus bangun untuk makan. Padahal tidur sedang enak-enaknya, sedang lelap-lelapnya. Lalu disuruh bangun untuk makan sahur! Seenak-senaknya makanan yang dimakan, rasanya tetap hambar, wong makan sambil mengantuk. Yang saya pikirkan waktu itu bukan makan, tapi melanjutkan tidur!

Ketika akhirnya hidup di rumah sendiri, dan tidak lagi bersama orang tua, saya pun menjalani kehidupan dengan cara saya sendiri, sehingga bisa menentukan cara hidup yang saya inginkan. Seperti saat Ramadan. Selama bulan puasa, saya tidak pernah tidur malam. Jadi, ketika makan sahur, saya tidak dalam kondisi mengantuk. Sebaliknya, dalam kondisi segar bugar. Hasilnya, saya bisa menikmati makan sahur dengan nikmat.

Selama Ramadan, saya biasanya baru tidur pagi hari. Lalu bangun seusai dhuhur. Atau, kalau pas ada perlu, saya baru tidur habis dhuhur, dan bangun setelah ashar. Hanya beberapa jam kemudian, magrib datang. Lalu bisa berbuka. Malam hari sampai subuh, saya mengerjakan hal-hal yang perlu dikerjakan. Dengan jadwal harian semacam itu, puasa jadi tidak terasa, dan saya enjoy menjalani. Sekadar catatan, saya bisa menjalani kehidupan seperti itu, karena bekerja di rumah sendiri, dan bebas mengatur hidup serta pekerjaan saya sendiri.

Karena itulah, seperti yang dibilang tadi, saya justru enjoy, dan sebenarnya tidak patut dikasihani. Wong saya sama sekali tidak merasa terpaksa menjalaninya.

Kesendirian semacam itu terus saya jalani, sampai saat lebaran tiba. Seperti orang-orang lain, jadwal wajib saya pada malam lebaran adalah mengantarkan zakat fitrah.

Beberapa hari sebelum lebaran, saya sudah membeli beras untuk keperluan zakat fitrah. Ketika malam lebaran tiba, saya pun menyiapkan beras zakat fitrah tersebut, untuk saya bawa pada orang yang berhak menerima.

Kebetulan, saya punya famili jauh, seorang wanita. Dia tidak punya keluarga, dan—karena usianya sudah tergolong sepuh—dia tidak bekerja. Setiap tahun, saya membawa zakat fitrah untuk famili tersebut.

Jadi, pada malam lebaran, sekitar pukul 20.00, saya keluar rumah. Setelah memastikan semua pintu telah terkunci, saya pergi ke rumah famili, dan menyerahkan zakat fitrah untuknya. Seperti biasa, dia meminta saya duduk dulu, agar kami bisa mengobrol.

Famili saya menghidangkan teh, dan saya pun duduk santai di kursi, menikmati percakapan dengannya. Sekitar setengah jam kemudian, saya pamit, karena merasakan perut yang lapar.

Dalam perjalanan pulang, saya memperhatikan kanan kiri jalan, siapa tahu ada warung makan yang buka untuk saya singgahi. Tapi tidak juga menemukan. Sebenarnya, ini kisah klise setiap kali lebaran datang. Lebaran tahun kemarin, dan kemarinnya lagi, dan kemarinnya lagi, saya selalu kesulitan mencari makan, karena warung-warung makan kompak tutup.

Kadang saya bertanya-tanya sendiri, apa para penjual nasi tidak berpikir bahwa orang tetap butuh makan meski lebaran? Warung-warung makan kompak tutup pada malam lebaran—biasanya sampai beberapa hari setelah lebaran—seolah orang tidak butuh makan ketika lebaran datang. Akibatnya saya kesulitan mencari warung makan yang buka untuk... well, sekadar mengganjal perut yang kelaparan.

Mungkin para pemilik warung makan berpikir, orang-orang tidak butuh makan di luar selama lebaran, karena biasanya telah menyediakan lontong dan opor ayam—plus rendang, sambal goreng kentang, dan lain-lain—di rumah masing-masing. Asumsi yang tidak seratus persen benar.

Memang, kalau saya mau pulang ke rumah orang tua, di sana pasti ada lontong dan opor ayam. Juga sambal goreng kentang, perkedel, kerupuk udang, dan lain-lain. Tapi saya segan kalau datang ke rumah orang tua pada malam lebaran, karena pasti ramai, ada banyak tamu. Sejak malam lebaran sampai beberapa hari setelah lebaran, rumah orang tua saya selalu ramai—itu hal biasa yang telah saya saksikan sejak kecil dulu.

Jadi, daripada harus “terjebak” dalam keramaian di rumah orang tua, saya lebih memilih menghindar. Lebaran atau bukan lebaran, saya lebih nyaman sendirian daripada di tengah keramaian, dan harus basa-basi haha-hihi.

Malam itu, sambil melaju pelan di jalan raya, saya terus mencari-cari warung makan yang buka, tapi sepertinya memang tidak ada. Akhirnya, ketika mendapati penjual martabak, saya pun memutuskan untuk makan martabak saja. Jadi, saya berhenti di sana, dan memesan martabak untuk saya bawa pulang.

Dengan martabak yang siap dinikmati, saya pun melaju pulang dengan hati yang ringan. Saya sudah membayangkan untuk bikin teh hangat, lalu menikmati martabak yang masih panas, dan diakhiri dengan merokok. Pasti nikmat sekali. Martabak dan teh hangat dan rokok adalah kombinasi sempurna untuk malam lebaran, pikir saya.

Sesampai di rumah, dengan perasaan berdebar karena akan segera menikmati martabak, saya merogoh saku celana untuk mengambil kunci rumah. Tapi tidak ada. Saya rogoh saku-saku yang lain, tapi kunci sialan itu tidak ada.

“Fuck!” rasanya saya ingin menjerit, karena bingung tidak bisa masuk ke rumah sendiri.

Malam itu saya mengenakan celana baggy, dengan saku agak longgar. Kunci rumah, seingat saya, ada di saku kanan celana. Tapi saku sialan itu kini kosong, dan kunci rumah entah ada di mana. Feeling saya mengatakan, bisa jadi kunci itu jatuh dari saku waktu saya duduk di rumah famili, saat tadi mengantarkan zakat fitrah untuknya.

Dengan jengkel tapi bingung mau jengkel sama siapa, akhirnya saya kembali pergi ke rumah famili untuk memastikan kunci rumah saya memang jatuh di sana. Semoga saja begitu. Karena urusan ini pasti akan lebih merepotkan kalau kunci itu jatuh di tempat penjual martabak.

Harapan saya terkabul. Ternyata kunci rumah saya ada di kursi rumah famili, tempat saya duduk tadi. Akhirnya, setelah pamit lagi, saya pulang.

Kali ini saya bisa masuk, dan tiba-tiba rumah terasa lebih indah.

Di rumah, sebagaimana bayangan tadi, saya buru-buru membuat teh hangat, lalu membuka bungkusan martabak yang masih agak hangat. Karena buru-buru, saya tidak sempat berpikir akan duduk di mana. Jadi, secara spontan, saya duduk di lantai rumah, dan pelan-pelan mengunyah martabak. Setelah martabak habis, saya menyeruput teh, kemudian menyulut rokok. Rasanya nikmat sekali. 

Malam itu, duduk di lantai rumah dan menyandar ke dinding, saya mengisap rokok sendirian, dan... entah kenapa, saya merasa terharu. Bayangan saya menari-nari ke masa lalu, mengingat saat kecil dulu. Sementara suara takbir terdengar dari kejauhan.

Di masa lalu, ketika masih kecil, kedatangan lebaran selalu menyenangkan. Sebegitu menyenangkan, hingga rasanya datangnya lebaran lama sekali. Setiap tahun, sebagaimana umumnya anak-anak lain, saya menunggu-nunggu datangnya lebaran. Karena di saat lebaran saya bisa makan enak, punya baju baru, punya banyak uang, dan bersuka cita. Kebahagiaan khas anak-anak. Saat saya membayangkannya, semua keceriaan itu rasanya sudah lama sekali.

Kini, setelah tidak lagi menjadi anak-anak, saya merasa lebaran justru datang sangat cepat. Baru kemarin lebaran, sekarang sudah lebaran lagi. Tidak terasa. Tahu-tahu setahun sudah berlalu.

Dulu, saya punya baju baru setahun sekali, saat lebaran tiba, dan rasanya sangat menyenangkan. Kini, saya bisa membeli baju baru kapan pun saya mau, tapi rasanya biasa-biasa saja.

Dulu, saya bisa makan enak setahun sekali, saat lebaran tiba, dan rasanya sangat menyenangkan. Kini, saya bisa makan enak setiap hari, tapi rasanya biasa-biasa saja.

Dulu, saya bisa punya uang agak banyak setahun sekali, saat lebaran tiba, dan rasanya sangat menyenangkan. Kini, saya punya uang jauh lebih banyak dari yang pernah saya miliki dulu, tapi rasanya biasa-biasa saja.

Apa yang terjadi, hingga ada perubahan seperti itu? Mengapa sesuatu yang dulu terasa sangat menyenangkan, kini terasa biasa saja?

Mungkin karena usia saya kini jauh lebih dewasa, sehingga tidak lagi merasakan keriangan anak-anak. Mungkin karena pikiran saya kini terlalu ruwet, sehingga tidak bisa lagi menikmati kegembiraan khas anak-anak. Atau mungkin karena saya telah terbiasa dengan hal-hal enak, sehingga tidak lagi menunggu datangnya lebaran hanya untuk menikmati hal-hal menyenangkan khas anak-anak.

Atau mungkin memang kegembiraan hanya ditujukan untuk anak-anak. Karena hanya mereka yang bisa menatap kehidupan dengan sederhana.

Di kejauhan, suara takbir masih terdengar.

 
;