Kamis, 22 Juni 2017

Sebaiknya Kita Tidak Usah Maaf-maafan di Hari Lebaran

Idul Fitri, mohon maaf lahir dan batin. Idul Adha,
mohon maaf lahir dan batin. Giliran salah beneran,
tidak mau minta maaf. Piye karepe?
@noffret


Setiap kali lebaran tiba, umat Islam di Indonesia melakukan kebiasaan khas, yaitu bermaaf-maafan dengan sesama—tetangga, sanak famili, teman-teman—dan kebiasaan itu dilakukan di dunia nyata maupun di dunia maya. Di sebagian keluarga, tradisi maaf-maafan bahkan dianggap belum cukup, sehingga dilengkapi tradisi sungkeman. Yang muda sungkem pada yang tua, atau anak-anak sungkem pada orang tua, kakek nenek, dan seterusnya.

Sekilas, kebiasaan atau tradisi semacam itu baik. Orang saling maaf-memaafkan sambil merayakan hari raya. Tetapi, jika dipikirkan secara mendalam, kebiasaan atau tradisi itu keliru, bahkan—nuwun sewu—sebentuk pembusukan terhadap kehidupan manusia.

Dalam kalimat-kalimat di atas, saya menyebut maaf-maafan di hari lebaran (Idul Fitri) adalah “kebiasaan” atau “tradisi”. Karena kenyataannya memang sekadar kebiasaan dan tradisi di Indonesia. Orang-orang yang merayakan Idul Fitri tentu orang Islam. Tapi ajaran Islam tidak menyatakan apalagi mewajibkan bahwa merayakan lebaran harus disertai maaf-maafan. Untuk lebih memahami hal ini, silakan baca catatan-catatan berikut:

Ketika Nabi Muhammad SAW masih hidup, Idul Fitri sudah dirayakan. Tetapi tidak ada acara maaf-maafan. Begitu pula pada zaman Khalifah—dari Abu Bakar dan seterusnya—Idul Fitri tetap dirayakan, tapi tidak ada acara maaf-maafan. Karena itu, ritual maaf-maafan pada hari lebaran atau Idul Fitri tidak memiliki akar pada ajaran Islam, karena kenyataannya hanya kebiasaan yang ditradisikan di Indonesia.

Hanya di Indonesia, orang saling maaf-maafan di hari lebaran, sembari berkata, “Minal aidin, ya.” Hanya di Indonesia, orang-orang giat membuat serta mengunggah foto orang berpose sungkem, dilengkapi kalimat “minal aidin wal wal faizin”.

Lhah, “minal aidin” itu artinya apa? Jangan-jangan, mereka yang saban tahun rajin mengucapkan “minal aidin” sama sekali tidak tahu arti kalimat yang mereka ucapkan sendiri. Bahkan, jangan-jangan, mereka menganggap “Minal aidin wal faizin” memiliki arti “Mohon maaf lahir dan batin”. Jadi, kalau Si A dan Si B sudah saling mengucapkan “minal aidin”, maka artinya mereka sudah saling memaafkan.

Itu konyol, kalau tak mau dibilang menyedihkan.

Fenomena Idul Fitri di Indonesia, jika dipikirkan secara mendalam, adalah sebentuk perayaan membingungkan yang dirayakan tanpa pengetahuan dan kesadaran. Dan karena itu pula saya gelisah. Karena Idul Fitri dirayakan setiap tahun, saya pun gelisah setiap tahun.

Hal pertama yang menggelisahkan saya, adalah keyakinan orang-orang terhadap tradisi yang dianggap sebagai ajaran agama. Maaf-maafan di hari raya Idul Fitri sebenarnya budaya, cuma kebiasaan setempat, dalam hal ini Indonesia. Tetapi, berapa banyakkah orang yang menyadari, bahwa itu hanya sekadar budaya dan bukan ajaran agama?

Rata-rata atau mayoritas orang menganggap bahkan meyakini bermaaf-maafan di hari lebaran adalah ajaran agama. Karena mereka menganggap ajaran agama, mereka pun mewajibkan diri untuk melakukan. Di sisi lain, mereka juga akan menganggap orang lain salah (atau menyalahi ajaran agama) jika tidak bermaaaf-maafan di hari lebaran. Sekali lagi, ini konyol kalau tak mau dibilang menyedihkan.

Padahal, sekali lagi, tradisi bermaaf-maafan di hari lebaran tidak memiliki akar pada ajaran Islam. Jika dirunut sampai ke akar-akarnya, tradisi itu akan mentok pada zaman Mangkunegara I (sekitar tahun 1700-an.) Baca uraian selengkapnya di sini: Lebaran dan Maaf yang Tidak Jelas.

Sayangnya, orang-orang yang disebut ustad atau ulama tampaknya tidak mau menjelaskan hal ini secara gamblang kepada masyarakat awam, tapi justru melembagakannya, hingga seolah maaf-maafan di hari lebaran adalah ajaran Islam.

Dalam hal ini—sekali lagi, nuwun sewu—saya curiga, bahwa para ustad dan para ulama tidak tahu mengenai hal itu, atau mereka tahu tapi pura-pura tidak tahu. Bagaimana pun, sebagian ustad dan ulama mungkin senang mendapati masyarakat berduyun-duyun datang ke rumah mereka, mencium tangan mereka, sembari minta maaf dan bla-bla-bla. Jadi, meski mereka tahu itu bukan ajaran Islam—dan hanya sekadar budaya—mereka memilih bungkam, dan membiarkan masyarakat tetap meyakini bahwa itu ajaran agama.

Sekali lagi, kenyataan ini membuat saya gelisah.

Bayangkan, setiap tahun ada jutaan orang yang harus menempuh perjalanan jauh demi sesuatu yang disebut “mudik”. Mereka berdesak-desakan di dalam bus, antre di stasiun-stasiun kereta api, rela membayar mahal demi tiket pesawat, atau “menyabung nyawa” di jalanan dengan kendaraan sendiri. Mereka melakukan semua itu demi bisa menemui sanak keluarga di kampung halaman, dan melakukan sesuatu yang mereka yakini sebagai ajaran agama, yaitu “bermaaf-maafan”.

Jutaan orang itu akan merasa “berdosa” jika lebaran datang, tapi tidak mudik atau pulang ke kampung halaman. Mengapa merasa berdosa? Karena tidak bisa bermaaf-maafan. Itu logika mudah ketika sesuatu (dalam hal ini budaya maaf-maafan) dianggap dan diyakini sebagai ajaran agama. Sehingga jutaan orang rela melakukan perjalanan jauh dan menyabung nyawa, demi bisa pulang menemui orang tua dan keluarga di kampung halaman.

Dan itu berlangsung setiap tahun, tahun demi tahun, dan setiap tahun selalu ada korban. Sebagian tewas di jalan, sebagian luka-luka dan masuk rumah sakit, sementara sebagian besar lain mengalami hal-hal tidak menyenangkan selama perjalanan. Untuk sebuah kebiasaan, untuk sebuah tradisi, alangkah mahal yang harus mereka bayar.

Itu baru membicarakan sisi mudik. Padahal, mudik dan segala ikutannya juga mempengaruhi hal lain, termasuk liburan massal, meningkatnya hasrat konsumtif, dan lain-lain, yang semuanya berdampak pada naiknya harga-harga barang. Setiap tahun, khususnya setiap kali lebaran, harga-harga barang—di antaranya makanan—akan naik. Alasannya sepele, “karena lebaran.” Tetapi, ironisnya, setelah lebaran berlalu, harga-harga yang sudah naik itu sulit turun kembali.

Akibatnya, lebaran menjadikan harga-harga naik, seolah lebaran adalah sebentuk inflasi yang menggerus nilai mata uang. Karena harga yang naik tiap lebaran sulit turun kembali, lalu pada lebaran mendatang terjadi kenaikan lagi, dan begitu seterusnya.

Hasilnya, orang-orang miskin atau kaum dhuafa menjadi korban pertama dari kenyataan ini. Mereka menjalani kehidupan dengan kembang-kempis, dengan penghasilan pas-pasan, sementara lebaran yang datang tiap tahun menggerus kehidupan mereka dengan harga-harga yang kian mencekik, hingga mereka makin kesulitan melanjutkan hidup seusai lebaran.

Ini menyedihkan. Oh, well, sangat menyedihkan. Betapa lebaran yang seharusnya menjadi suka cita kaum dhuafa—ketika mereka bisa menerima zakat dari orang-orang kaya—berubah menjadi moment yang makin mencekik kehidupan mereka. Dan cekikan demi cekikan itu makin kuat setiap lebaran tiba, karena hari raya itu kini berubah menjadi persekutuan budaya dan kapitalisme, persetubuhan antara kebodohan dan seringai licik para pemodal.

Sekali lagi, itu hal pertama yang membuat saya gelisah setiap tahun, setiap kali lebaran datang. Budaya diyakini sebagai ajaran agama, dan kebiasaan itu lalu dikapitalisasi yang menghasilkan cekikan pada orang-orang lemah. Idul Fitri telah kehilangan esensinya, karena bukan lagi kesempatan bagi orang-orang lemah atau kaum dhuafa untuk bersuka cita mendapat hak mereka (zakat dan sedekah dari orang-orang kaya), tapi justru menjadi tali tak kasatmata yang makin menjerat dan mencekik leher mereka.

Hal kedua, yang juga membuat saya gelisah, adalah hilangnya esensi maaf dalam kehidupan manusia.

Salah satu perbedaan esensial antara manusia dengan binatang adalah maaf. Hanya manusia yang bisa meminta maaf dan memberi maaf. Hanya manusia yang bisa menyadari kesalahannya, lalu dengan rendah hati meminta maaf kepada pihak yang disalahi. Hanya manusia yang bisa berbesar hati menerima maaf dari sesamanya, dan melupakan dendam untuk dikuburkan. Hanya manusia yang mengenal maaf. Karenanya, maaf adalah pilar penting kehidupan manusia, sekaligus esensi mulia yang membedakan manusia dengan binatang.

Sebegitu esensial maaf dalam kehidupan manusia, hingga sebagian kita tidak mampu melakukan. Ada orang-orang yang tidak bersedia meminta maaf pada sesamanya, meski merasa bersalah. Mereka terlalu tinggi hati untuk melakukan. Sebaliknya, ada orang-orang yang tidak bersedia memberi maaf pada sesama, meski sudah dimintai maaf dengan tulus. Kenyataan ini menunjukkan betapa penting esensi maaf dalam kehidupan manusia.

Tetapi, lebaran—dan kebiasaan maaf-maafan di hari lebaran—melakukan distorsi besar-besaran terhadap maaf yang seharusnya “suci”. Akibatnya, aktivitas maaf-memaafkan yang sebenarnya bernilai tinggi berubah tanpa nilai. Maaf hanya menjadi tradisi tahunan, dan—setelah itu terjadi, seperti sekarang—maaf bahkan berubah menjadi ilusi. Kita meyakini telah meminta dan memberi maaf, namun yang kita lakukan hanya sekadar menyelenggarakan tradisi.

Maaf yang dilakukan di hari lebaran sebenarnya bukan maaf—itu sekadar “kembang lambe”, bunga manis di bibir, yang tidak sampai ke hati—karena ketiadaan esensi.

Meminta maaf pada orang lain adalah sebentuk kesadaran dari hati, yang menuntun kita untuk mengakui kesalahan, dan berharap kesalahan kita dimaafkan. Karenanya, adab meminta maaf adalah menemui orang yang akan kita mintai maaf, dan mengatakan kepadanya bahwa kita telah menyadari kesalahan, dan kita berjanji untuk tidak mengulangi, lalu memohon dia untuk memaafkan kesalahan kita. Itu berat—oh, well, sungguh berat. Sebegitu berat, hingga tidak setiap orang mampu melakukan!

Dalam adab atau aktivitas maaf semacam itulah, maaf memiliki nilai, karena menunjukkan esensi kita sebagai manusia. Bahwa kita tetap manusia—bukan binatang—sehingga mampu menyadari kesalahan, dan meminta maaf secara tulus pada pihak yang kita salahi. Sekali lagi, hanya—dan hanya—aktivitas maaf semacam itulah yang memiliki nilai dan esensi.

Sayangnya, lebaran mendistorsi esensi maaf. Orang saling meminta dan memberi maaf bukan karena kesadaran, tapi karena kebiasaan. Meminta dan memberi maaf bukan karena kesadaran, melainkan karena tradisi tahunan. Maaf tidak lagi memiliki nilai, karena lebaran telah mendistorsi esensinya. Dan itu, untuk kesekian kali, sangat... sangat menyedihkan.

Karena itulah, seperti yang saya bilang di atas, lebaran pada akhirnya melakukan pembusukan pada nilai-nilai kemanusiaan kita. Karena lebaran dirayakan tanpa pengetahuan, tapi hanya sekadar mengikuti kebiasaan. Dalam hal itu, maaf yang seharusnya menjadi esensi penting kehidupan manusia berubah menjadi sekadar tradisi dan budaya. Kita tidak lagi menganggap maaf sebagai hal penting dalam kehidupan manusia, karena—setahun sekali—kita bisa melakukannya ketika lebaran tiba.

Itu konyol, kalau tak mau dibilang menyedihkan. Melakukan kesalahan hari ini, menyadari kesalahan yang dilakukan, tapi berpikir, “Minta maafnya nanti saja, pas lebaran.”

Cobalah pikir dengan akal sehat, apa yang lebih konyol dari itu? Sebenarnya, itu sama konyol dengan orang-orang yang begitu giat meminta maaf pada orang-orang—yang dikenal maupun tak dikenal—padahal tidak melakukan kesalahan apa pun! Lebaran telah menggerus esensi maaf, sekaligus mendistorsi nilai kita sebagai manusia.

Untuk itulah, saya ingin menyarankan, agar kita tidak lagi bermaaf-maafan di hari raya atau di hari lebaran. Karena, selain bukan ajaran agama, aktivitas maaf-maafan di hari lebaran hanya mendistorsi esensi maaf, sehingga maaf yang seharusnya bernilai tinggi menjadi tanpa nilai.

Berhentilah menjadikan maaf sebagai tradisi setahun sekali, karena itu konyol. Sama konyol dengan meminta dan memberi maaf pada orang-orang, padahal kita tidak saling melakukan kesalahan. Sekali lagi, aktivitas semacam itu—selain tidak diajarkan agama—juga menjadikan maaf kehilangan nilai.

Marilah kita beragama dengan kesadaran. Marilah kita merayakan lebaran dengan kesadaran. Marilah kita saling memaafkan dengan kesadaran. Dan, akhirnya, marilah kita menjalani kehidupan sebagai manusia dengan kesadaran. Dalam hal itu, kita bisa memulai kesadaran dengan tidak lagi maaf-maafan di hari lebaran.

 
;