Kamis, 19 Oktober 2017

Anies Baswedan dan Soal Pribumi

Karena, pada akhirnya, mau tak mau, bagaimana pun caranya,
orang harus berhadapan dengan dirinya sendiri.
@noffret


Menulis catatan ini membuat saya merasa latah. Tapi bagaimana lagi? Otak saya gatal, dan saya butuh muncrat... dalam wujud kata-kata. Jadi, saya terpaksa menulis catatan ini. Kalau ada yang baca ya silakan, kalau tidak ada ya tidak apa-apa. Lagian tidak penting-penting amat.

Well, ribut-ribut soal pribumi yang berawal dari pidato Anies Baswedan kemarin, bisa dibilang lucu yang ironis. Setidaknya, menurut saya begitu. Lucu, karena reaksi yang timbul akibat satu kata bisa sedemikian besar dan sebegitu heboh, bahkan belakangan saya dengar Anies Baswedan sampai dilaporkan ke polisi gara-gara menyebut kata pribumi. Sumpah, bagi saya itu lucu.

Tapi juga ironis... karena, dalam hal ini, saya membayangkan Anies Baswedan—dan para pendukungnya yang sadar—mungkin agak bingung bagaimana menghadapi masalah yang “lucu” ini.

Ketika Anies Baswedan diributkan banyak orang hanya karena menyebut kata pribumi dalam pidatonya, keributan itu sebenarnya berlebihan. Wong isi pidato itu berlembar-lembar, dan di dalamnya hanya ada satu kata pribumi. Lebih dari itu, Anies Baswedan menyebut atau menggunakan kata pribumi tidak dalam maksud rasis, melainkan meletakkannya pada konteks zaman penjajahan.

Jadi, menurut pendukung Anies Baswedan, meributkan satu kata “pribumi” dari berlembar-lembar teks pidato sama artinya mencabut kata itu dari konteks. Jelas tidak adil. Anies Baswedan ngomong sampai berbusa-busa, lalu kita hanya menarik satu kata dari omongannya, kemudian meributkan sembari menyalah-nyalahkannya. Sangat tidak adil, dan tidak berpendidikan!

Saya setuju. Oh, well, sangat setuju.

Tetapi... bukankah hal itu pula yang terjadi pada Ahok, sekian waktu yang lalu?

Kalau-kalau kalian amnesia, mari saya ingatkan. Ahok ngomong panjang lebar, beramah-tamah dengan warga, membahas program-programnya sebagai pemimpin Jakarta, dan kebetulan dalam omongan yang panjang lebar itu terselip kata “Al-Maidah”. Dalam omongan Ahok, sebenarnya, kata Al-Maidah bukan hal substansial, karena substansi omongan Ahok waktu itu adalah program yang ia sampaikan pada warga.

Tapi apa yang terjadi kemudian? Kata “Al-Maidah” dicabut dari omongan Ahok yang panjang lebar, lalu dihakimi habis-habisan, tanpa peduli bahwa itu keluar konteks. Buntutnya bahkan sangat panjang. Muncul demo berjilid-jilid, sampai Buni Yani—yang dianggap biang kerok—harus berhadapan dengan pengadilan, sementara Ahok masuk penjara.

Lucu? Ironis? Mungkin.

Dan hal itulah yang sekarang saya lihat pada ribut-ribut “pribumi” yang diomongkan Anies Baswedan. Bedanya, tentu saja, Anies Baswedan hanya dihujani kritik, tanpa ada demo berjilid-jilid, dan—insya Allah—dia juga tidak masuk penjara.

Yang ingin saya tahu, apakah Anies Baswedan menyadari bahwa yang sekarang menimpanya adalah semacam karma—“hukuman setimpal atau serupa”? Atau, mari kita gunakan istilah yang lebih islami. Teguran. Apakah Anies Baswedan menyadari bahwa ribut-ribut-soal-pribumi semacam teguran untuknya?

Sampai detik ini, saya tetap tidak percaya Ahok menista agama. Kalian boleh beda pendapat, dan itu hak kalian. Ini negara demokrasi, dan berbeda pikiran adalah hal biasa, jadi tidak usah ribut!

Saya ulangi. Sampai detik ini, saya tetap tidak percaya Ahok menista agama. Alasannya sederhana, dan masuk akal. Pertama, karena saya menyaksikan pidato atau ocehan Ahok seutuhnya, dan saya tahu betul di mana konteks kata Al-Maidah yang disebut Ahok. Meski menontonnya berulang-ulang, saya tetap yakin bahwa Ahok tidak beritikad buruk atau bermaksud menista agama.

Kedua, jika kita memang ingin menilai Ahok secara minor, jauh lebih masuk akal untuk percaya bahwa Ahok hanya “keselip lidah”, daripada “menista agama”. Ingat, Ahok sadar dirinya minoritas, dan berharap tetap dipilih sebagai pemimpin. Dalam posisi semacam itu, mungkinkah dia akan menista agama mayoritas, yang ia harapkan menjadi pendukungnya?

Dua latar belakang itu saja, bagi saya, mementahkan tuduhan Ahok menista agama. Karenanya, saya begitu yakin bahwa Ahok sebenarnya tidak bersalah. Bahkan meski sekarang dia mendekam di penjara.

Yang ingin saya tahu... apakah Anies Baswedan juga menyadari kenyataan itu? Tentu saja ini pertanyaan sejuta dolar yang tak mungkin terjawab.

Tetapi saya yakin, masing-masing kita—setidaknya yang cukup waras—masih memiliki akal sehat, dan nurani untuk menyadari mana yang benar dan mana yang salah. Meski definisi benar dan salah kadang bisa berbeda versi.

Well, lupakan soal itu. Kita kembali saja pada soal pribumi yang diributkan.

Seperti yang dibilang tadi, istilah pribumi yang disebut Anies Baswedan sebenarnya tidak penting-penting amat, toh nyatanya ada tokoh atau pejabat lain yang juga menyebut-nyebut kata yang sama dalam ucapan atau pidato mereka. Lebih dari itu, Anies Baswedan juga sudah menjelaskan, bahwa kata pribumi yang ia sebut dalam pidato terkait konteks zaman penjajahan.

Jadi, bagi saya, masalah itu sudah selesai.

Tetapi, yang menarik di sini, masih banyak orang yang menganggap masalah itu belum selesai. Karenanya, seperti yang dibilang tadi, persoalan ini lucu sekaligus ironis. Lucu, karena sesuatu yang sebenarnya tidak penting-penting amat, terus dipersoalkan dan dibahas seolah sesuatu yang amat sangat penting. Dan ironis... karena ya itu tadi, saya teringat Ahok!

Sekarang, mari kita berpikir secara akademis.

Terkait istilah pribumi yang disebut Anies Baswedan dalam pidatonya, mungkinkah dia memang sengaja mengagungkan ras pribumi? Asumsikan saja bahwa yang disebut “pribumi” adalah orang-orang yang memiliki akar di Nusantara, semisal orang Jawa, orang Sumatra, orang Maluku, dan semacamnya. Dalam konteks itu, apakah Anies Baswedan termasuk pribumi?

Ingat, dia orang Arab, yang tentu tidak termasuk “pribumi” dalam konteks yang tadi kita asumsikan. Jadi, dalam hal ini, tidak mungkin kalau Anies Baswedan bermaksud mengagungkan suatu ras sambil merendahkan atau mengesampingkan ras lain. Karenanya, saya percaya pada penjelasan Anies Baswedan, bahwa istilah itu muncul dalam pidatonya, semata-mata terkait konteks zaman penjajahan. Anies Baswedan tidak bermaksud rasis.

Tapi orang-orang tidak peduli, eh? Meski sudah dijelaskan dengan gamblang, meski teks-teks pidatonya sudah disebar agar siapa pun bisa membaca dan tidak salah paham, orang-orang masih ribut... dan terus ribut. Belakangan, saya bahkan membaca berita di Media Indonesia, bahwa Anies Baswedan terancam pidana gara-gara ucapannya.

Oh, well, apakah kalian teringat sesuatu?

 
;