Senin, 20 November 2017

Tanda Ajaib

Insanlara ne kadar çok muhtaç olursam
onlardan kaçmak ihtiyacim da o kadar artiyordu.
—Gerardo V. Cabochan


Catatan ini penting bagi saya, tapi mungkin tidak penting untukmu. Karenanya, sebaiknya tidak usah membaca catatan ini, sebab bisa jadi hanya akan membuang-buang waktumu. Saya hanya sedang ingin ngomong sendiri, bercerita sendiri, kepada diri sendiri.

***

Semalam aku bermimpi, dan mimpiku—entah kenapa—mengingatkanku pada Si Rambut Kaku. Aku lupa siapa namanya, tapi masih ingat dia memiliki rambut yang agak kaku. Jadi kusebut saja dia Si Rambut Kaku.

Kami kenal dan bertemu sudah lama sekali, waktu kami masih sama-sama ABG. Kalau tak salah ingat, perkenalan dan pertemuan kami bermula dari Si Bada. Waktu itu Si Bada aktif di kepanduan, dan mendapat banyak kawan baru. Termasuk Si Rambut Kaku. Dari Si Bada, aku dan Rambut Kaku saling kenal. Bahkan cukup akrab. Kalau tak salah ingat juga, satu dua kali Rambut Kaku datang ke tempatku, dan kami bercakap-cakap secara pribadi.

Aku tidak tahu pasti siapa Si Rambut Kaku—bahkan tidak ingat di mana dia tinggal—selain bahwa dia teman yang asyik. Kami segera nyambung, dan dalam waktu dekat bisa cukup akrab. Sebenarnya, Rambut Kaku memang orang asyik. Semua orang menyukainya.

Si Bada pernah menceritakan, Rambut Kaku lahir dengan suatu keistimewaan. Itu memang cara Si Bada dalam mendramatisir sesuatu, jadi aku tidak kaget. Keistimewaan Rambut Kaku, menurut Bada, adalah tanda yang terdapat pada tangan kirinya. Karena “tanda” itu pula, masih menurut Bada, semua orang menyukai Rambut Kaku. Tidak ada yang tidak menyukainya. Teman-teman percaya cerita itu, dan aku tidak punya alasan untuk tidak percaya.

Meski tahu Si Bada suka mendramatisir segala sesuatu, aku percaya penuturannya waktu itu. Mungkin karena melihat semua orang tampaknya memang menyukai Rambut Kaku. Di mana pun, selalu ada orang yang sepertinya mengenal Rambut Kaku, dan Rambut Kaku biasa bersikap ramah kepada siapa pun yang menyapa. Sebenarnya, aku kagum kepadanya atas sikapnya. Aku ingin sekali bisa luwes seperti itu.

Ya, luwes. Sepertinya itu bukan sesuatu yang kumiliki. Dan Rambut Kaku memiliki itu. Maksudku, luwes.

Yang paling hebat terkait Rambut Kaku, menurutku—juga menurut teman-teman waktu itu—dia punya pacar. Waktu itu kami semua masih ABG. Dengan nalar yang tidak utuh, kami menganggap punya pacar adalah hal istimewa, sesuatu yang sama sekali tidak teraih bocah-bocah seperti kami. Jadi, kami kagum pada Rambut Kaku, karena dia punya pacar.

Bahkan, menurut cerita Si Bada, hubungan Rambut Kaku dengan pacarnya sudah direstui masing-masing orang tua mereka, dan sepertinya kelak mereka akan menikah. Itu sangat hebat, khususnya menurutku yang waktu itu masih ABG. Si Bada juga menceritakan beberapa hal lain terkait Rambut Kaku, yang membuatku makin kagum. Sepertinya, Si Bada penggemar fanatik Si Rambut Kaku. Atau menurutku begitu.

Suatu malam, di bulan Agustus, aku bersama beberapa teman datang ke tempat yang menyambut Agustus dengan keramaian. Itu adat setempat, dan kami semua menyukai serta menikmati perayaan itu. Kami berkumpul bersama di rumah seorang teman di sana, dan di sana pula aku bertemu Si Rambut Kaku. Lalu Rambut Kaku bergabung dengan kami.

Di masa itu, aku sedang dekat dengan Ira. Dia cowok, tentu saja, meski namanya mungkin terdengar seperti nama cewek. Ira ikut denganku waktu itu, ketika aku bersama teman-teman lain datang ke tempat keramaian Agustusan. Ira tidak mengenal teman-temanku di sana, tapi dia selalu bisa beradaptasi dengan baik. Dan teman-temanku juga menerima Ira dengan sama baik.

Waktu kami jalan-jalan di tempat keramaian itu, Rambut Kaku melangkah di sampingku. “Sudah lama aku tidak mengobrol denganmu,” ujarnya. Lalu kami pun mengobrol sambil melangkah, mengikuti teman-teman kami yang lain.

Sepanjang perjalanan, seiring kami melangkah santai, aku mendapati banyak orang yang mengenal Rambut Kaku. Di setiap tempat, di setiap tikungan, selalu ada orang-orang—cowok maupun cewek—yang menyapa Rambut Kaku. Dan, seperti biasa, Rambut Kaku menghadapi mereka dengan keramahannya yang luwes. Aku ingin sekali menjadi Rambut Kaku.

Dalam suatu kesempatan, Rambut Kaku berhenti di suatu tempat, karena menemukan seseorang yang mungkin sobat dekatnya. Dia berhenti di sana, dan mengizinkan teman-teman meninggalkannya. Kami pun melanjutkan langkah, meninggalkan Rambut Kaku. Setelah Rambut Kaku tidak ada, Ira menggantikan tempatnya—dia berjalan di sampingku.

Aku menceritakan pada Ira, tentang Rambut Kaku. Meneruskan cerita Si Bada yang pernah kudengar sebelumnya, aku berkisah pada Ira, bahwa Rambut Kaku memiliki tanda lahir yang seolah keajaiban, yang menjadikan semua orang—cowok maupun cewek—menyukainya. Tanda lahir ajaib itu pula yang menjadikan Rambut Kaku sudah punya pacar, sementara kami semua cuma bisa berkhayal.

Ira menanggapi ceritaku dengan sikap biasa. Dia memang orang bijaksana—maksudku Ira. Dia bukan tipe orang yang mudah percaya pada sesuatu, dan dia—entah bagaimana caranya—bisa berpikir secara komprehensif. Meski waktu itu aku belum mengenal istilah komprehensif. Tapi begitulah Ira. Dia orang yang bisa berpikir bijak dan komprehensif.

Dengan lirih, waktu itu, Ira mengatakan bahwa yang menjadikan banyak orang menyukai Si Rambut Kaku bukan “tanda lahir” sebagaimana yang diceritakan Si Bada dan yang diyakini teman-teman lain.

“Penyebabnya adalah sesuatu yang ada di dermaga,” ujar Ira.

Waktu itu, aku tidak paham sama sekali pada maksud Ira. Bahkan, kalau diingat-ingat sekarang, aku bahkan mungkin tidak percaya ucapannya.

Ira tidak mengenal Rambut Kaku, waktu itu, dan mereka juga tidak pernah bercakap-cakap. Tapi Ira memiliki kemampuan “menyerap” apa pun yang ada di sekelilingnya. Dia mirip spons. Tidak mengeluarkan suara, tapi dapat menyerap air dalam jumlah luar biasa. Begitulah Ira. Dia tidak banyak bicara, khususnya saat berkumpul bersama teman-temanku yang belum ia kenal, tapi Ira dapat “menyerap” apa saja dari semua yang ia dengarkan.

Waktu itu, tampaknya, Ira mengetahui “sesuatu yang ada di dermaga” dari hasil menyerap percakapan di antara teman-teman yang ia dengar. Dan dia bisa menarik kesimpulan dengan sangat tepat—sesuatu yang waktu itu tidak kupahami. Teman-teman kami bahkan mungkin tidak paham, meski mereka asyik membicarakan. Hanya Ira yang paham. Dan ketika Ira mencoba menyatakan pemahamannya kepadaku, aku juga tidak paham.

Kini, atau bertahun-tahun kemudian sejak peristiwa itu, kadang aku merindukan Ira. Dia temanku yang sangat bijak, namun sayang aku terlambat menyadari. Sudah lama aku tak bertemu dengannya.

Ira mungkin lupa pada ucapannya bertahun-tahun lalu, tentang sesuatu yang ada di dermaga. Tapi aku tidak pernah melupakan. Dan, dengan agak malu, aku mengakui yang dikatakan Ira waktu itu memang benar, meski aku butuh waktu bertahun-tahun untuk menyadari kebenarannya. Penyebabnya bukan tanda lahir, ujar Ira waktu itu. Tapi sesuatu yang ada di dermaga.

Ajaib, kalau dipikir-pikir, betapa naifnya aku waktu itu. Atau mungkin pula aku “terdoktrin” oleh keyakinan teman-teman yang sama-sama percaya bahwa keistimewaan Si Rambut Kaku berasal dari tanda lahir yang ada di tangan kirinya. Kini, aku menyadari bahwa yang sama-sama kami percaya ternyata keliru. Dan ucapan Ira memang benar. Penyebabnya ada di dermaga.

Bertahun-tahun sejak itu, kami semua terpisah. Menempuh perjalanan sendiri-sendiri, mengikuti nasib. Si Bada, Rambut Kaku, Ira, juga yang lain, telah memiliki perjalanan hidup sendiri-sendiri. Begitu pula denganku.

Setiap kali teringat Ira, aku kadang menyesal karena terlambat menyadari kearifannya. Dia orang bijak yang seharusnya kudengar kata-katanya. Tapi dulu, saat kami masih bersama, aku jarang mendengarkan. Dia memang bijak, dan aku begitu naif. Mungkin, saat Ira kini teringat kepadaku, dia pun membayangkan betapa bodohnya aku, yang tidak juga melihat kebenaran yang jelas di depan mata.

Dan semalam aku bermimpi, yang mengingatkanku pada kisah Si Rambut Kaku bertahun-tahun lalu. Mimpiku semalam cukup mengesankan, hingga aku dapat mengingat sebagian saat terbangun dari tidur, dan merasa takjub.

Aku tidak ingat bagaimana mimpi itu bermula. Yang masih kuingat, aku bersama seseorang—yang sering kupinjam senyumnya—menempuh perjalanan ke suatu tempat. Aku juga tidak ingat ke mana tujuan kami waktu itu. Yang jelas, aku sangat mengingat bagaimana kami menempuh perjalanan, yang—dalam mimpi—terasa sangat lama dan berliku-liku. Dan aku menikmati perjalanan bersamanya, berdua dengannya. Dia selalu menyenangkan, punya senyum dan keceriaan yang membuatku ingin meminjam semua itu darinya.

Aku terbangun dari tidur, setelah mimpi itu selesai. Atau setidaknya kupikir begitu.

Lalu aku ingat Rambut Kaku, dan kisahnya. Sekarang aku memahami, bahwa intinya memang bukan pada tanda lahir, tepat seperti yang dikatakan Ira bertahun-tahun lalu. Kenyataan itu pun menampar kesadaranku, membawaku flashback ke tahun-tahun lampau, dari SMP, SMA, hingga masa kuliah, sampai kehidupan kini. Ada sesuatu di dermaga—meski dermaga hanya kata sifat.

Ajaib, kalau kupikir-pikir sendiri. Betapa sesuatu bisa mengubah kita secara drastis, meski kita mungkin tidak menyadari. Seperti yang kualami. Seperti tanda lahir. Seperti sesuatu yang ada di dermaga.

 
;