Kamis, 14 Desember 2017

Perempuan Penangkap Hujan

Secangkir cokelat panas, sebatang rokok, dan hujan di luar.
Hidup selalu tahu cara memberimu kegelisahan.
@noffret


Di Sleman, ada seorang wanita hebat bernama Sri Wahyuningsih. Sehari-hari, dia berdagang aneka jajan tradisional di Pasar Godean, Yogyakarta. Rumahnya ada di Desa Sedonoharjo, Kecamatan Ngaglik, Kabupaten Sleman, berjarak sekitar 20 kilometer dari Gunung Merapi. Para tetangga biasa memanggilnya Yu Ning.

Yu Ning memiliki pemikiran hebat yang tidak dipikirkan kebanyakan orang lain, khususnya terkait hujan yang turun di Sleman. Bagi orang-orang lain, mungkin, hujan hanya sebatas air yang turun dari langit, lalu mengalir ke selokan, dan selesai. Apa pentingnya memikirkan hujan? Toh setiap tahun hujan pasti turun.

Tapi Yu Ning memiliki pemikiran jauh lebih mendalam. Ia berpikir, jika air hujan yang turun tidak dimanfaatkan, yang akan terjadi adalah bencana.

Sebelum saya melanjutkan uraian ini, ada yang bisa memahami alur pikiran itu?

Jika air hujan yang turun tidak dimanfaatkan, yang akan terjadi adalah bencana. Ada yang paham maksudnya?

Sekarang, kita akan melihat lebih jelas tempat tinggal Yu Ning. Seperti yang disebut tadi, Yu Ning tinggal di tempat yang berjarak 20 kilometer dari Gunung Merapi. Artinya, dia tinggal di daerah hulu yang memiliki air berlimpah. Di tempatnya tinggal, orang-orang tidak pernah kekurangan air, karena di sana banyak sumber air yang bisa dimanfaatkan dengan mudah.

Jadi, ketika Yu Ning menyatakan, “Jika air hujan tidak dimanfaatkan, yang akan terjadi adalah bencana,” kalimat itu terdengar aneh, untuk tidak menyebut sinting. Mengapa harus repot-repot memanfaatkan air hujan, toh di mana-mana sumber air melimpah?

Tetapi, itulah kehebatan seorang visioner—yang mampu melihat jauh ke depan—sementara orang-orang biasa hanya melihat yang ada di depan matanya. Yu Ning telah melihat sesuatu yang akan terjadi, kelak bertahun-tahun yang akan datang, sementara orang-orang lain sama sekali tidak melihat apalagi memikirkannya!

Sumber air, seberlimpah apa pun, akan mengalami titik akhir. Itu realitas “alami” yang terjadi di zaman kita, meski titik akhir masing-masing sumber air bisa berbeda. Titik akhir sumber air terjadi ketika sumber itu mengering, atau air yang muncul di sana sudah tidak bisa lagi digunakan atau dimanfaatkan (misal karena tercemar limbah). Sekali lagi, itu realitas yang telah terjadi di mana-mana, khususnya di Indonesia.

Sebagai contoh, orang-orang di tempat saya tinggal, dulu biasa menggunakan air dari rumahnya sendiri untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, dari mandi, mencuci, sampai membuat air minum. Mereka membuat sumur di rumah, baik sumur tradisional maupun sumur bor. Selama berpuluh-puluh tahun, bahkan lebih lama lagi, air di rumah-rumah mereka selalu jernih, dan melimpah, dan mereka tidak pernah kekurangan air.

Sekarang, apakah air bersih dan jernih itu masih terus mengalir berlimpah seperti dulu? Apakah orang-orang di daerah saya masih leluasa menikmati keberlimpahan air seperti bertahun lalu?

Jawabannya tidak!

Sejak sekitar tiga tahun yang lalu, air di daerah saya mulai berubah. Sebagian tempat ada yang mulai tercemar (tidak lagi jernih), sebagian lain berbau, sebagian lain masih jernih tapi tidak sehat (mengandung endapan tertentu), sehingga tidak bisa lagi digunakan. Hasilnya, orang-orang di daerah saya mulai berlangganan air dari PDAM. Saat ini, nyaris tidak ada satu rumah pun yang masih menggunakan air dari sumurnya sendiri—semuanya telah diganti pipa-pipa PDAM.

Coba lihat. Selama berpuluh-puluh tahun, bahkan mungkin sejak berabad yang lalu, air di daerah saya berlimpah, jernih, bersih, sehat, dan tidak ada satu orang pun yang kekurangan air. Tetapi, kini, tidak ada satu orang pun yang masih bisa memanfaatkan air di rumahnya sendiri, karena semuanya telah tercemar.

Kondisi di wilayah tempat tinggal Yu Ning, di Sleman, tidak jauh beda dengan kondisi di tempat saya tinggal. Bedanya, air di tempat Yu Ning masih bersih sampai saat ini—karena di wilayah hulu, dekat gunung—sementara air di tempat saya sudah berubah, tercemar, dan kehilangan kejernihannya. Yu Ning memahami, cepat atau lambat, kondisi air di tempatnya akan sama dengan kondisi air di tempat lain yang kini telah tercemar.

Karena itulah, dia mengatakan, “Jika air hujan tidak dimanfaatkan, yang akan terjadi adalah bencana (kekeringan, sumber air mulai tercemar, dan semacamnya).”

Karena kesadaran itu pula, Yu Ning kemudian menangkap air hujan di tempatnya, lalu mengolahnya hingga bisa dimanfaatkan sebagai air minum. Prosesnya mudah. Cukup menampung air hujan yang mengucur dari atap, atau air hujan yang turun dari langit. Prinsipnya, air hujan yang turun setelah 15 menit, aman untuk dikonsumsi.

Yu Ning memaparkan, “15 menit hingga 30 menit pertama saat hujan, air banyak membawa polutan. Air hujan setelah itu, baru ditampung. Tetapi jika tiap hari hujan, tak perlu lagi menunggu hingga 15 menit untuk segera menampung air.”

Di rumah Yu Ning, terdapat drum-drum bersih yang digunakan untuk menampung air tersebut. Drum-drum itu tertutup rapat, serta terbuat dari plastik yang tersertifikasi food grade. Di dasar drum, terdapat saringan yang terbuat dari aneka bahan, seperti kain dakron atau penyaring (filter) mikro lainnya, untuk menyaring padatan terlarut yang terkandung di dalam air hujan.

“Air ini sudah bisa digunakan untuk kebutuhan sehari-hari,” ujar Yu Ning menjelaskan. “Tetapi, agar siap minum, kami menggunakan proses elektrolisasi untuk memisahkan kandungan asam dan basa. Air dengan kandungan basa siap minum setelah melalui proses elektrolisasi menggunakan konduktor berbahan titanium, untuk menyaring kandungan mineral padat seperti zat kapur.”

Alat elektrolisa air yang digunakan juga sederhana. Terdiri dari dua bejana kaleng food grade yang terbuat dari plastik, dan masing-masing disambungkan dengan pipa. Di dalamnya terdapat konduktor titanium berbentuk spiral, yang tersambung dengan listrik yang dialirkan dari adaptor kecil di luar bejana. Terdapat macro filter di dalam bejana untuk menyaring kandungan karbon dari air hujan, selama proses elektrolisa berlangsung.

Setelah melalui proses elektrolisa selama satu jam, air hujan pun siap untuk diminum. Terkait hal itu, Yu Ning menceritakan, “Tahun 2016, Dinas Kesehatan menyatakan elektrolisasi air ini lulus uji kandungan fisika dan kimia untuk air minum. Tahun 2015, mahasiswa dari Universitas Gadjah Mada juga melakukan uji klinis. Hasilnya air hujan ini layak minum.”

Di garasi di samping rumahnya, Yu Ning menyediakan air minum yang berlimpah untuk diambil siapa pun yang membutuhkan. Dia tidak memungut biaya apa pun kepada siapa pun, karena yang dia lakukan semata-mata kesadaran bahwa dia perlu melakukannya. Bahwa kalau air hujan tidak dimanfaatkan, yang akan terjadi adalah bencana. Sumber air akan mengering, cepat atau lambat, dan dia memiliki tanggung jawab moral untuk “memperlambat” kedatangan bencana tersebut.

“Sumur resapan (sumber air) berfungsi sebagai tabungan air untuk anak cucu kita,” ujarnya. Yang ia maksudkan, “Mumpung kita masih bisa memanfaatkan air hujan, mari manfaatkan. Sementara air yang masih jernih di sumber resapan adalah jatah anak cucu kita kelak.”

Itu pemikiran yang hebat, sekaligus visioner. Dia tidak hanya memikirkan diri sendiri, atau generasinya sendiri, tapi juga memikirkan generasi yang akan datang. Dia ingin generasi mendatang—anak-anak dan cucu-cucu kita—masih bisa menikmati air jernih dari sumber-sumber air, sebagaimana yang sekarang kita nikmati. Sekali lagi, tidakkah itu hebat?

Dan sebagaimana orang-orang hebat lain, Yu Ning tidak menyuruh atau memerintah orang lain untuk melakukan yang ingin ia lakukan. Ia melakukannya sendiri, dengan kemampuannya sendiri, tanpa ribut-ribut!

Seperti yang dijelaskan tadi, dia menangkap air hujan yang turun di sekitar rumahnya, lalu melakukan proses elektrolisasi untuk mengubah air hujan menjadi air bersih yang layak minum. Air minum itu lalu ia masukkan ke dalam drum-drum yang tersertifikasi food grade, dan meletakkannya di garasi samping rumah. Ia mempersilakan siapa pun yang butuh untuk mengambil, tanpa membayar sepeser pun!

Benar-benar wanita hebat yang mulia, visioner yang murah hati!

Dan bagaimana reaksi serta sikap para tetangga Yu Ning, menyaksikan kehebatan wanita itu? Memuji dan menghargainya? Mengikuti jejak langkahnya yang hebat? Menyebutnya Kartini Masa Kini? Tidak!

Seperti yang juga dialami para visioner lain yang pernah hidup di muka bumi, Yu Ning justru mengadapi cibiran dan hinaan!

Mungkin terdengar ironis, tetapi seperti itulah nasib para visioner yang pernah hidup di muka bumi, begitulah takdir orang-orang hebat yang pernah berdiri di bawah langit. Mereka tidak dipahami masyarakatnya, dan—alih-alih mendapat penghargaan—mereka justru tersisih bersama cibiran, dianggap orang aneh yang “tak sama dengan orang lain”. Orang-orang hebat sering kali terbuang.

Masyarakat mencibir Yu Ning, karena menilai wanita itu “tidak seperti orang-orang lain”. Sementara orang-orang lain asyik menikmati air dari sumber yang melimpah, Yu Ning malah repot-repot menangkap air hujan dan mengolahnya. Mereka menganggap Yu Ning berbeda. Dan meski perbedaannya tidak merugikan siapa pun, masyarakat tetap tak rela. Karena masyarakat, di mana pun, selalu ingin semua orang sama.

Untung bagi Yu Ning, perlahan namun pasti masyarakat mulai bisa menerima visinya, meski butuh waktu bertahun-tahun. Sebelumnya, selama bertahun-tahun, Yu Ning hanya melakukan visinya seorang diri, dalam sunyi, di bawah cibiran dan hinaan. Tetapi, setelah para ahli membuktikan bahwa air yang ditampungnya benar-benar layak minum, masyarakat mulai menahan cibiran mereka.

Lalu anak-anak kecil yang sering kehausan setelah bermain, mampir ke garasi Yu Ning, meminta izin minum di sana. Yang dilakukan anak-anak kecil itu kemudian diikuti orang-orang lain yang lebih dewasa. Mereka ikut minum di tempat Yu Ning, kadang meminta air di tempat Yu Ning untuk kebutuhan minum di rumah, dan Yu Ning tetap menyediakannya secara gratis. Di garasi rumahnya, bahkan sering ada galon-galon milik tetangga yang ditinggalkan di sana, berharap diisi air minum gratis oleh Yu Ning.

“Ada tetangga yang merasakan manfaat air hujan ini, dan kemudian menceritakannya pada tetangga yang lain,” ujar Yu Ning. “Semua yang minum juga tak pernah diare karena air minum saya. Tubuh orang yang minum air ini jadi laboratorium dan testimoni yang banyak mengubah pandangan orang.”

Akhirnya, kini, para tetangga dan masyarakat sekitar mulai mengikuti langkah Yu Ning. Mereka ikut menangkap air hujan, dan meminta pengarahan Yu Ning tentang proses elektrolisasi. Kini, banyak orang yang bisa memproduksi air minumnya sendiri. Karena aktivitas positif itu, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) memberikan bantuan sejumlah tandon air penangkap hujan, temuan pakar hidrologi dari Universitas Gadjah Mada.

Manfaat menangkap hujan tidak hanya dirasakan oleh warga sekitar tempat tinggal Yu Ning. Hingga kini, setidaknya ada 60 kota dan kabupaten di Jawa maupun luar Jawa pernah berkunjung ke rumah Yu Ning, dan belajar langsung cara menangkap hujan, dan mengolahnya hingga menjadi air siap minum. Yu Ning pun sering diundang untuk membagikan pengalaman atau memberikan informasi tentang proses pengolahan air hujan siap minum, di banyak tempat.

Dia juga menjadi pemateri di program tanggap bencana BNPB untuk menyebarkan aktivitas menangkap air hujan. Saat ini, wilayah lain seperti Gunung Kidul dan Kulon Progo, juga mulai menangkap air hujan untuk digunakan sehari-hari.

Karena ketegaran visi seorang perempuan, kini ada banyak orang yang ikut mendapat manfaat, dan air hujan tak sekadar karunia yang numpang lewat.

 
;