Rabu, 14 Februari 2018

Cinta yang Dewasa

Jatuh cinta adalah pertarungan hati dan logika.
@noffret 


Apa perbedaan cinta pada remaja, dan cinta pada orang dewasa? Atau, lebih spesifik, apa perbedaan jatuh cinta pada remaja, dan jatuh cinta pada orang dewasa?

Bagi saya, setidaknya, cinta pada remaja adalah cinta yang tak terkendali, karena pada masa remaja semuanya masih “blur”—ketika pikiran belum matang, akal belum seratus persen waras, dan hati masih sangat menguasai. Itulah kenapa, cinta pada remaja disebut cinta monyet. Yaitu cinta yang belum matang, karena akal belum berkembang.

Berbeda dengan orang dewasa. Ketika jatuh cinta, orang dewasa—khususnya orang dewasa yang waras—bisa menakar dengan akal sehat, apakah cinta yang ia rasakan masuk akal atau tidak. Setelah itu, orang dewasa bisa memutuskan langkah selanjutnya dengan pertimbangan matang, karena dia tidak hanya bisa mengendalikan hatinya sendiri, namun juga bisa menggunakan akalnya.

Jika narasi di atas masih membingungkan, mari gunakan contoh nyata.

Di Twitter, saya pernah mendapati seorang cowok yang tampaknya cinta mati pada Melody JKT48. Setiap kali Melody menulis tweet, cowok itu akan menyambar dengan tumpukan mention yang berisi curahan hatinya. Tidak main-main, cowok itu bahkan mengatakan secara jujur dan blak-blakan, bahwa dia sangat jatuh cinta pada Melody, ingin melamarnya, ingin menjadikan Melody sebagai istrinya, dan lain-lain.

Cowok itu tidak bermaksud bercanda, dia benar-benar serius!

Bagi orang dewasa, yang dilakukan cowok itu mungkin tampak konyol. Tapi apakah cowok itu sadar bahwa perbuatannya konyol? Tidak!

Kenapa cowok itu tidak sadar kalau perbuatannya konyol? Karena memang begitulah remaja! Akalnya belum seratus persen waras, dan dia masih sangat dikuasai hati atau perasaannya sendiri. Dalam kalimat yang mudah, logikanya belum berkembang. Dia belum bisa menakar secara logis, apakah Melody akan jatuh cinta kepadanya sebagaimana dia jatuh cinta pada Melody. Yang ia tahu hanyalah jatuh cinta pada Melody, dan persetan dengan akal sehat!

Diakui atau tidak, kita pun dulu (mungkin) pernah mengalami hal semacam itu, ketika masih remaja. Ketika kita menganggap dan menilai diri secara tidak realistis, lalu jatuh cinta dengan sama tidak realistis. Tidak apa-apa, namanya juga masih remaja. Setelah usia bertambah, akal semakin waras, logika mulai jalan, orang akan lebih mampu menatap kehidupan—dan hal-hal di luar dirinya—secara lebih baik.

Saat orang makin dewasa, cara dia jatuh cinta akan mulai berubah. Biasanya, semakin dewasa seseorang, semakin berubah pula caranya jatuh cinta.

Di masa lalu, misalnya, saya mungkin akan tertantang kalau jatuh cinta pada seorang perempuan, dan dia tampak jinak-jinak keparat merpati. Dia mungkin bermaksud agar saya mengejar-ngejarnya. Setelah saya lelah dan hampir mampus mengejar-ngejar, dia baru akan menerima saya.

Di masa lalu, saya mungkin memang akan tertantang, dan benar-benar akan mengejarnya. Sekarang... saya akan bilang persetan dengannya!

Itu contoh ekstrem bagaimana berubahnya cara seseorang saat jatuh cinta, dan dalam menghadapi perasaan cintanya.

Kenapa bisa ada perubahan semacam itu? Jawabannya itu tadi, pikiran dan hati. Ketika masih remaja, pikiran kita belum banyak berkembang. Hasilnya, hati yang lebih banyak berbicara. Karena pikiran belum berkembang baik, hati pun mendominasi. Akibatnya, ketika melakukan sesuatu, kita lebih terdorong oleh hati. Saat ditantang untuk mengejar-ngejar, kita pun mengejar-ngejar. Karena pikiran belum berperan.

Seiring bertambah usia, dan nalar makin berkembang, kita pun mulai bisa menyeimbangkan hati dan pikiran. Ketika jatuh cinta, kita tidak lagi hanya terdorong oleh hati, tapi juga menakarnya dengan akal sehat. Karena itu pula, kisah cinta remaja dalam film jauh berbeda dengan kisah cinta orang-orang dewasa.

Ada banyak film yang mempertontonkan cowok mengejar-ngejar cewek di sekolahnya. Dan kita senang menyaksikan, karena kisah itu diperankan oleh remaja. Tapi jika film semacam itu diperankan orang dewasa, dengan kehidupan orang-orang dewasa, kita akan menganggapnya konyol. Apa artinya itu? Kita sadar, bahwa cara jatuh cinta antara remaja dan dewasa memang berbeda.

Karenanya pula, kalau kita sudah dewasa, tapi masih berharap menjalani “cinta-cintaan” sebagaimana remaja, artinya nalar dan akal sehat kita tidak/belum berkembang. Dan itu masalah serius, kau tahu. Karena kau bisa saja jatuh cinta pada seseorang yang jelas-jelas tidak akan jatuh cinta kepadamu, lalu kau mengejar-ngejar dia seolah dia akan luluh hanya karena kau mengejar-ngejar. Tolol, juga konyol!

Kini, saat dewasa, akal sehat kita (seharusnya) seimbang dengan perasaan, atau bahkan lebih baik lagi. Ketika jatuh cinta, kita bisa menakar, apakah perasaan kita masuk akal atau tidak? Apakah jatuh cinta yang kita rasakan bisa diteruskan, atau tidak? Itulah fungsi akal sehat, yakni membantu kita berpikir waras, sehingga tidak terjebak dalam hal-hal konyol.

Kalau kalimat itu masih membingungkan, mari gunakan contoh.

Jika saya jatuh cinta pada seorang wanita, hal pertama yang akan saya pikirkan adalah, “Apakah sekiranya dia juga akan jatuh cinta kepadaku, atau tidak?”

Saya akan menilai diri secara objektif, dan menakar kemungkinan secara objektif pula. Jika wanita itu memiliki kemungkinan untuk juga jatuh cinta kepada saya, maka saya akan melanjutkan keinginan, yaitu jatuh cinta kepadanya. Namun, jika jawabannya negatif (wanita itu tidak mungkin jatuh cinta kepada saya), maka saya akan berhenti. Karena melanjutkan usaha juga sia-sia.

Beberapa keparat, yang otaknya di dengkul, mungkin akan berkata, “Ah, cemen lo!”

Mari saya beritahu. Saya pernah jatuh cinta pada Titi Kamal. Iya, Titi Kamal yang itu. Pada masa itu, Titi Kamal belum menikah, jadi saya pikir sah-sah saja kalau jatuh cinta kepadanya. Tetapi, saya juga berpikir, “Apakah mungkin Titi Kamal akan jatuh cinta kepadaku?” Dan akal sehat saya menjawab, “Tidak!” Maka saya pun berhenti, bukan malah mengejar-ngejar Titi Kamal.

Sudah paham yang saya maksudkan? Itulah guna akal sehat!

Kenyataan itu jelas berbeda dengan cowok yang jatuh cinta pada Melody JKT48, yang saya ceritakan di atas. Dia belum mampu berpikir secara dewasa, sehingga dia melakukan sesuatu yang berbeda dengan yang saya lakukan. Dia masih dikuasai hatinya, sementara saya sudah mampu menggunakan akal sehat secara (lebih) baik.

Jadi, itulah hal pertama yang saya pikirkan, ketika jatuh cinta. Yaitu menanyakan pada diri sendiri, “Apakah dia mungkin akan jatuh cinta kepadaku?” Lalu saya akan membiarkan akal sehat (bukan hati) untuk menjawab. Setelah itu, saya akan mengikuti jawaban akal sehat.

Cinta memang berawal dari hati. Tapi kita membutuhkan akal sehat untuk mengelola perasaan cinta yang kita rasa, agar tidak berakhir kecewa dan patah hati.

Andaikan jawaban yang saya terima dari akal sehat mengatakan, bahwa wanita yang membuat saya jatuh cinta juga punya kemungkinan untuk juga jatuh cinta kepada saya, maka saya pun akan melakukan pendekatan. Sampai di sini, juga ada perbedaan antara pendekatan ala remaja dan pendekatan ala dewasa.

Masa remaja adalah “masa pengangguran”, dalam arti mereka belum punya banyak beban, pekerjaan, dan aneka hal yang memberati pikiran. Karena itulah, mereka memiliki banyak waktu luang untuk melakukan perbuatan sia-sia atau hal-hal konyol, semisal mengejar-ngejar sosok pujaan. Atau membuang-buang waktu untuk melamun, membayangkan hal-hal indah tentang cintah.

Tapi orang dewasa tidak bisa lagi melakukan hal-hal semacam itu. Di tengah pekerjaan yang menumpuk, beban pikiran yang menggunung, aneka tagihan yang menjerit setiap bulan, persetan dengan mengejar-ngejar pujaan!

Karenanya, ketika melakukan pendekatan, saya tidak sudi membuang waktu untuk hal-hal sia-sia, semisal harus mengejar-ngejar wanita yang membuat jatuh cinta. Sedikit saja saya merasa dipersulit, saya akan berhenti, dan dia boleh pergi ke neraka.

Wanita kerap berpikir pria adalah makhluk rumit. Tidak! Sebaliknya, pria adalah makhluk yang simpel dan sederhana. Yang menjadikan wanita berpikir pria makhluk rumit, karena wanita sendiri yang terbiasa berpikir rumit!

Ketika saya jatuh cinta pada seorang wanita, misalnya, dan saya pikir dia juga mungkin akan jatuh cinta kepada saya, maka saya akan berpikir, “Aku tertarik kepadamu. Kalau kau juga tertarik kepadaku, mari buat urusan ini menjadi mudah.”

Did you see this? Mudah, simpel, sederhana.

Tapi apakah wanita menyadari betapa mudahnya memahami dan menghadapi pria? Tidak! Alih-alih berpikir sebagaimana pria yang berpikir sederhana, wanita justru berpikir rumit. Alih-alih “membuat urusan menjadi mudah”, mereka justru “membuat urusan menjadi sulit”.

Saya tidak tahu apa yang dipikirkan pria lain, ketika mereka dipersulit wanita yang membuat jatuh cinta. Tetapi, jika saya merasa dipersulit, saya akan berhenti, dan tidak akan buang-buang waktu. Atau, jika saya merasa ditantang (misal ditantang untuk mengejar-ngejar), saya akan balik menantangnya... dengan cara TIDAK MENGEJAR-NGEJARNYA.

Saya seorang bocah, dan saya tidak suka ditantang! Kalau kau mengulurkan tanganmu, saya akan meraihmu. Tapi kalau kau menantang saya, maka saya akan balik menantangmu... dengan cara MELAKUKAN HAL SEBALIKNYA.

Cinta, dalam pikiran remaja, adalah hal-hal tolol yang rumit. Tapi cinta, dalam pikiran orang dewasa, adalah hal-hal sederhana.

 
;