Senin, 24 November 2014

Energi Gelap Tersembunyi

Antara geli dan benci tiap melihat para pendengki.
Mereka seperti monyet tolol yang memaki apel busuk,
hanya karena tak mampu memiliki.
@noffret


Julia Alvarez adalah gadis yang tinggal di kota Juan Domingo Peron, provinsi Formosa, Argentina. Namanya terkenal akibat kejahatan yang menimpanya. Wajahnya dimutilasi oleh dua temannya sendiri, dan kejahatan mengerikan itu terjadi hanya karena Julia Alvarez dianggap terlalu cantik.

Waktu itu Julia sedang dalam perjalanan pulang dari rumah seorang teman. Di jalan yang sepi, dia dihadang dua perempuan yang dikenalnya, dan dua perempuan itu seketika menyerang Julia dengan ganas. Mereka memukul, menendang, membenturkan kepala Julia, hingga akhirnya mereka bisa melumpuhkannya. Setelah Julia tak berdaya, salah satu perempuan penyerangnya mengabil pisau, dan mulai menyayat wajah Julia.

“Semua orang mengatakan kamu cantik,” ujar perempuan itu dengan sinis. “Kamu tak akan cantik lagi setelah urusan kami selesai denganmu. Orang-orang akan memanggilmu Chucky.”

Chucky yang dimaksud adalah boneka seram dengan wajah penuh jahitan, yang muncul dalam serangkaian film horor terkenal. Kenyataannya, Julia Alvarez benar-benar dibuat mirip boneka mengerikan itu. Perempuan yang iri kepadanya menyayat-nyayat wajah dan punggung Julia, hingga gadis itu berlumuran darah akibat banyaknya luka sayatan.

Setelah puas menganiaya korbannya, kedua perempuan itu pergi begitu saja. Julia tergeletak tak berdaya di jalanan, dengan luka-luka mengerikan, sementara darah terus merembes dari wajah dan punggungnya yang tersayat-sayat. Seseorang yang kebetulan melintas kemudian menolong gadis malang itu, dan membawanya ke rumah sakit untuk mendapat perawatan. Di rumah sakit, Julia mendapat puluhan jahitan di wajah dan punggungnya, untuk menyatukan kembali kulit yang menganga akibat sayatan pisau.

Yeni Alvarez, kakak Julia, membuat foto-foto saat Julia masih di rumah sakit, kemudian mengunggahnya ke Facebook. Foto-foto mengerikan itu pun menyebar dengan cepat, dan menggemparkan seluruh Argentina. Kasus yang menimpa Julia Alvarez seolah membuka mata banyak orang betapa mengerikannya akibat yang bisa ditimbulkan iri hati dan kedengkian.

Ketika diwawancarai media, Yeni Alvarez menceritakan, “Sudah lama mereka iri kepada adik saya. Mereka selalu melecehkan dan menghina dia. Namun, kami tak menyangka mereka akan melakukan ini. Saya mencoba tetap kuat untuk adik saya setiap kali melihatnya. Mereka sudah menghancurkan hidupnya. Sebenarnya, situasi ini menghancurkan keluarga kami.”

Kedua pelaku yang menganiaya Julia Alvarez telah ditangkap untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya. Seiring dengan itu, warga Argentina—yang sangat marah—mengutuk perbuatan dan kekejian dua perempuan pendengki itu dengan segala sumpah serapah yang seolah datang dari neraka.

Kini, ketika menulis catatan ini, saya bertanya-tanya, apa salah Julia Alvarez hingga dua orang yang dikenalnya sampai menganiaya dirinya sebegitu keji? Mungkin, satu-satunya kesalahan Julia—kalau memang bisa disebut kesalahan—hanyalah karena dia punya wajah cantik. Kecantikan yang dimilikinya telah menerbitkan iri hati dan kedengkian dua temannya, hingga mereka sampai melakukan perbuatan yang sangat keji kepadanya.

Iri hati dan kedengkian adalah energi gelap yang tersembunyi dalam diri manusia. Sebegitu gelap, hingga pemiliknya sering kali gelap mata dan melakukan hal-hal yang mengerikan... atau memalukan. Orang bisa bertindak irasional ketika terdorong iri hati dan kedengkian, karena energi gelap itu mempengaruhi akal sehatnya. Yang mengerikan, orang-orang semacam itu kadang orang-orang yang kita kenal, yang tampak ramah ketika berinteraksi dengan kita—di dunia nyata maupun di dunia maya.

Cahyo—sebut saja begitu—adalah seorang blogger yang menyebut dirinya “writer”. Di blognya sendiri, di akun Twitter-nya, di Facebook, sampai di Kaskus, dia menyebut dirinya “writer”. Tentu saja tidak masalah, itu hak dia untuk menyebut dirinya apa pun. Mungkin, dia menyebut dirinya “writer” karena telah menulis cukup banyak artikel di blognya. Sekali lagi, tidak masalah, karena itu haknya.

Yang agak jadi masalah, dia mungkin mendengki kepada saya. Sebelum saya muncul, dia mungkin menganggap dirinya blogger paling pintar, paling hebat, dan paling produktif. Kenyataannya, saya sering mendapati komentarnya di blog orang lain dengan nada yang sok dan arogan. Lalu ketika saya muncul, dia merasa dikalahkan—sejak itu sikapnya tidak secongkak sebelumnya. Yang mungkin menyebabkannya makin dengki, saya juga telah menulis banyak buku—sesuatu yang mungkin diimpikannya, hingga dia sangat aktif menyebut dirinya “writer”.

Kedengkian Cahyo semakin tampak, ketika saya membuat blog Belajar Sampai Mati. Ketika berkomentar pertama kali, komentarnya langsung terkesan ingin menjatuhkan saya. Padahal, saya sama sekali tidak berharap dia mengunjungi blog saya, apalagi meninggalkan komentar segala. Tapi Cahyo tampaknya memang hobi meninggalkan jejak di mana-mana, nyampah di kolom komentar blog mana pun—tentu sambil berharap blognya dikunjungi balik. Ketika tahu blog saya dikunjungi banyak orang, dia pun ikut nampang di kolom komentar.

Nah, suatu hari, tiga tahun yang lalu, nyokap dan adik perempuan saya datang ke rumah. Kami pun bercakap-cakap di rumah saya. Sementara saya ngobrol dengan nyokap, adik saya mengambil laptop milik saya, dan keluyuran di internet. Saya tidak tahu dia mengunjungi web/blog mana saja, tapi yang jelas dia tampak cekikikan sendiri bersama laptop saya. Sampai kemudian, dia menoleh, dan bilang, “Bang, coba lihat ini, deh.”

Saya pun tertarik, dan melihat ke layar laptop di pangkuan adik saya. Di layar, terpampang sebuah laman blog milik seseorang yang rupanya sedang membahas buku saya yang waktu itu baru terbit, Mengapa Cewek Cantik Pacaran dengan Cowok Jelek?

Di blog itu, si empunya blog ceritanya baru membaca buku tersebut, dan mungkin dia tidak paham dengan yang saya maksudkan dalam buku. Sebagai pembaca, dia pun menuliskan apresiasi di blognya. Sebenarnya tidak masalah—itu hal biasa. Tetapi, yang membuat adik saya sampai tertarik, di blog itu terdapat komentar seseorang (Cahyo) yang nadanya sangat sok tahu.

Dalam komentar di blog itu, Cahyo menyatakan dirinya tidak membaca buku saya—karena katanya “tidak tertarik dengan buku semacam itu”—tetapi di blog itu dia menuliskan komentar yang terkesan menjelek-jelekkan, dan nadanya sangat sok tahu. Padahal dia tidak membaca buku yang sedang dibicarakannya. Jika seseorang menjelek-jelekkan sesuatu yang tidak diketahuinya, itu namanya apa kalau bukan sok tahu?

Waktu melihat itu, saya cuma tersenyum geli, dan makin menyadari kedengkian si Cahyo. Sambil tersenyum, saya bilang pada adik saya, “Biarin aja, deh.”

Tapi rupanya adik saya terusik. Ketika saya telah kembali bercakap-cakap dengan nyokap, dia menulis komentar di blog tersebut untuk menjawab komentar Cahyo. Intinya, adik saya menjawab, “Sok tahu amat, lu.”

Semula, saya tidak tahu hal tersebut—adik saya tidak menceritakan bahwa dia meninggalkan komentar di blog tadi. Saya baru tahu kenyataan itu, ketika—kalau tak salah ingat—dua bulan kemudian nyokap dan adik saya kembali datang ke rumah saya.

Sama seperti sebelumnya, saya ngobrol dengan nyokap, sementara adik saya asyik dengan laptop di pangkuannya. Dan sama seperti sebelumnya, dia asyik cekikikan sendiri. Kemudian, dia menoleh ke saya dan berkata, “Bang, lihat ini, dong.”

Saya mendekat ke tempatnya, untuk melihat yang ditunjukkannya. Di layar laptop, terpampang blog yang tempo hari, dan pada waktu itulah saya baru tahu kalau adik saya telah meninggalkan komentar di sana, yang ditujukan untuk Cahyo. Rupanya, Cahyo menjawab komentar adik saya dengan penjelasan bahwa, “komentarnya yang menjelek-jelekkan kemarin itu hanya untuk menggoda dan bercanda saja.” (Terdengar klise, eh?)

Tetapi ada satu hal penting yang terjadi di sini. Ketika menulis komentar di blog tersebut, adik saya menggunakan namanya sendiri. Karena dia tidak punya blog, dia pun hanya menuliskan nama serta alamat e-mail-nya, dan mengosongkan kolom alamat blog.

Rupanya, Cahyo sampai berusaha melacak komentar itu dengan cara “membongkar” blog tersebut demi bisa melihat alamat IP komputer yang digunakan adik saya. Karena adik saya menggunakan laptop saya, Cahyo lalu menyimpulkan komentar itu dibuat oleh saya. Kenyataannya, saat membalas komentar adik saya, Cahyo menyangka bahwa komentar itu ditulis oleh saya.

Kenyataan itu menyodorkan cukup banyak hal. Rupanya, selama ini, Cahyo sampai berusaha mengetahui alamat IP komputer (laptop) saya, kemudian mati-matian menghafalkannya. Untuk apa? Mengapa? Dan bagaimana? Bagi saya, kenyataan itu makin membuktikan naluri saya mengenai Cahyo.

Nah, sejak kejadian itu, Cahyo terus-menerus mengirimkan link blognya ke dashboard blog saya. Oh, saya ingat betul—tidak lama setelah insiden di atas, saya terus-menerus mendapati link blog Cahyo di dashboard blog saya, padahal sebelumnya tidak pernah.

Seperti yang saya tulis di sini, munculnya link blog orang lain di dashboard blog kita sebenarnya tidak aneh, kalau memang di blog tersebut ada link yang mengarah ke blog kita. Itu hal wajar, karena bisa jadi pengunjung blog tersebut meng-klik link blog kita yang ada di sana. Sebagai contoh, Blog A memuat link blog saya di blogroll-nya. Kalau sewaktu-waktu saya mendapati ada link Blog A di dashboard saya, itu wajar.

Menjadi tidak wajar jika di blog orang lain sama sekali tidak ada link blog kita, tapi link blog miliknya terus-menerus muncul di dashboard kita. Karena itu berarti si pemilik blog yang secara sengaja mengirimkan link blognya ke dashboard kita. Hal itulah yang terjadi pada Cahyo atau blog Cahyo.

Secara berkala, selalu ada link blog Cahyo di dashboard blog saya. Padahal di blognya sama sekali tidak ada link ke blog mana pun. Jadi dia sengaja mengirimkan link blognya secara manual—entah dengan tujuan apa. Yang jelas, saya tidak mengartikan link itu sebagai undangan agar mengunjungi blognya, karena beberapa kali saya mendapatinya menyatakan bahwa dia tidak mengharapkan banyak pengunjung, karena “dapat menghabiskan bandwith blognya”.

Sampai sekarang, Cahyo masih aktif mengirimkan link blognya ke dashboard blog saya—entah dengan maksud apa. Di mata saya, dia cuma pendengki yang konyol. Sudah ketahuan menjelek-jelekkan saya, lalu dengan sok tanpa dosa terus-menerus mengirimkan link blognya ke dashboard saya. Bayangkan, sejak tiga tahun lalu—sejak kasus di atas—dia rutin melakukan hal itu, padahal terus saya cueki. Bahkan cowok yang pedekate ke cewek pun tidak akan se-ndableg itu!

Umpama saya bertanya langsung kepada Cahyo, kenapa dia terus-menerus mengirimkan link blognya ke dashboard saya, kemungkinan besar dia akan menjawab, “Ah, saya cuma bermaksud menggoda dan bercanda saja,”—jawaban khas pecundang kurang kerjaan.

Terlepas dari semua itu, saya bertanya-tanya dalam hati, “Apa salah saya pada Cahyo, hingga dia sepertinya terus berusaha mengusik saya?”

Satu-satunya kesalahan saya—kalau memang bisa disebut kesalahan—mungkin karena saya dianggap lebih baik dari dirinya.

Membenci Diri Sendiri

Orang yang membencimu adalah orang yang ingin menjadi dirimu, tapi tidak bisa. Karena dia tidak bisa membenci diri sendiri, dia membencimu.
—Twitter,  26 September 2014

“Sirik tanda tak mampu.” Kenyataannya memang begitu. Orang yang mampu tidak punya waktu untuk sirik, karena hidupnya sendiri sudah asyik.
—Twitter,  26 September 2014

Orang paling menyedihkan di dunia ini memang orang yang membenci dirinya sendiri. Menyedihkan, karena orang-orang itu tidak menyadari.
—Twitter,  30 Oktober 2014

Orang yang membenci dirinya sendiri sangat mudah melihat ketidaksempurnaan orang lain. Padahal itu refleksi kekecewaannya pada diri sendiri.
—Twitter,  30 Oktober 2014

Banyak orang ingin menjadi atau memiliki sesuatu, tapi gagal. Mereka kecewa dan marah. Tapi terlalu angkuh untuk kecewa pada diri sendiri.
—Twitter,  30 Oktober 2014

Banyak masalah yang terjadi akibat orang-orang membenci dirinya sendiri, namun tidak menyadari. Mereka menujukan matanya ke orang lain.
—Twitter,  30 Oktober 2014

Banyak orang membenci orang kaya. Sering kali, bukan karena si orang kaya melakukan kesalahan, tapi karena si pembenci memendam kekecewaan.
—Twitter,  30 Oktober 2014

Orang-orang kadang sinis dan mencari kesalahan orang-orang yang terkenal. Sering kali, masalahnya sepele. Mereka ingin terkenal, tapi gagal.
—Twitter,  30 Oktober 2014

Banyak orang ingin sukses, tapi gagal. Bukannya terus berusaha, mereka malah membenci orang-orang sukses. Begitulah pecundang dilahirkan.
—Twitter,  30 Oktober 2014

Setiap orang dilahirkan untuk menjadi pemenang. Tapi sebagian dari mereka kemudian tumbuh menjadi pecundang yang membenci diri sendiri.
—Twitter,  30 Oktober 2014


*) Ditranskrip dari timeline @noffret.

Orang Aneh

Pengin kok terkenal. Kayak nggak ada kepenginan lain yang lebih normal.

Rabu, 19 November 2014

Teror dan Pelajaran dari Film Horor

Tanpa dicari pun, masalah sering kali datang.
Karenanya aku heran setiap melihat orang
yang sengaja mencari-cari masalah.
@noffret


Dalam menonton film, selera orang bisa berbeda, dan saya sangat menyukai film action, meski kadang juga menonton film genre lain—drama, horor, atau bahkan komedi. Tapi saya selalu suka film action. Menonton drama kadang membuat saya tak sabar, khususnya jika jalan ceritanya lambat dan datar. Menonton komedi kadang membuat saya bingung, karena tidak tahu di mana letak lucunya. Sedang menonton film horor sering membuat saya ngeri sampai lama.

Berkaitan dengan film horor, kadang saya menonton karena penasaran, misal karena film itu banyak dibicarakan teman-teman, atau karena sangat terkenal. Selama puluhan kali menonton film horor, saya lebih sering menyesal daripada puas. Menyesal, karena kebanyakan film horor hanya mempertontonkan kengerian dan kesadisan, yang sering tidak masuk akal. Sepertinya, tujuan pembuatan film horor hanya untuk membuat penonton ngeri dan ketakutan.

Selain itu, hal klise yang sering muncul dalam film horor adalah adegan-adegan menjijikkan—seperti muntah di toilet, adegan di tempat kumuh dan kotor, lembap dan gelap, serta darah berceceran. Itu hal-hal yang saya benci dalam film, khususnya jika adegan dan setting tersebut tidak penting-penting amat. Yang lebih menjengkelkan lagi, kadang pelaku teror dalam film horor adalah setan atau psikopat—ending-nya pasti tak masuk akal!

Dulu, saya pernah menulis catatan mengenai film horor yang benar-benar buruk—salah satu sampah produksi Hollywood—berjudul Hit and Run. Seusai menyaksikan film itu, yang saya rasakan cuma kejengkelan dan penyesalan—tidak ada rasa terhibur sedikit pun. Menyesal, karena saya telah buang-buang waktu hanya untuk menyaksikan serentetan adegan film yang seharusnya hanya ditonton orang idiot.

Sebelum menyaksikan Hit and Run, ada film horor goblok lain yang pernah saya tonton, yang memberi efek sama buruk. Judulnya Rest Stop. Film itu bahkan dibikin sekuelnya, demi bisa memuaskan diri membodoh-bodohi penonton.

Rest Stop adalah film horor sadis, dan dalam film itu ada banyak orang yang terbunuh, dengan darah berceceran. Tetapi, sampai film berakhir, siapa pembunuhnya belum terungkap, dan itu membuat penonton penasaran—termasuk saya. Selama menonton film tersebut, saya mencoba mereka-reka dan membayangkan siapa kira-kira pelaku pembunuhan. Tapi karena dalam film itu tidak (belum) diungkap siapa pembunuhnya, saya tetap penasaran.

Kemudian muncul Rest Stop seri kedua. Maka saya pun menontonnya, demi bisa memuaskan rasa penasaran, demi bisa tahu siapa sebenarnya pelaku pembunuhan-pembunuhan sadis itu. Eeeee, ternyata pembunuhnya setan!

Bangsat!

Itu benar-benar film yang sukses membuat penonton misuh-misuh. Bukannya jadi terhibur setelah menonton film, yang ada kami malah tertekan karena menyadari betapa bodohnya kami hingga bisa ditipu dua kali.

Karena kekecewaan semacam itulah, saya malas nonton film horor. Selain tidak memuaskan, dan justru menjengkelkan, efek menonton film horor kadang membuat saya terus terbayang-bayang. Meski sudah lewat berhari-hari, tapi adegan-adegan sadis dalam film itu sering kali masih melekat kuat dalam ingatan. Dan itu mengotori memori saya, seolah-olah saya sengaja memasukkan sampah ke dalam kepala.

Selain setan, sering kali film horor menggunakan psikopat untuk menjadi tokoh utamanya. Itu sama buruk, dan sering kali juga tak masuk akal. Pernah nonton film Grotesque? Itu film horor produksi Jepang, yang sama buruknya dengan sampah produksi Hollywood—hanya memamerkan kekejaman, kegilaan, darah, dan hal-hal mengerikan, dan semuanya berjalan dengan sangat tidak masuk akal.

Secara keseluruhan, isi film Grotesque cuma seperti ini: Ada sepasang muda-mudi sedang berjalan bersama, kemudian seorang psikopat geblek menculik mereka. Lalu sang psikopat menyiksa muda-mudi itu dengan sadis tanpa belas kasihan. Jalan ceritanya sangat dangkal, plotnya sangat tolol, karakter pelakunya tidak meyakinkan, tapi adegan-adegan kekejaman di dalamnya sangat-sangat brutal.

Konon, sutradara yang menggarap Grotesque memang sengaja menampilkan adegan-adegan sangat kejam dan brutal, karena ingin mengalahkan semua kebrutalan dalam film horor ala Hollywood. Tapi apa manfaatnya itu bagi penonton?

Mungkin memang ada orang yang sengaja pergi ke bioskop untuk menyaksikan adegan siksaan, perkosaan, pembunuhan, mutilasi, darah, kengerian, teriakan kesakitan, dan semacamnya. Tetapi, jika semua adegan itu tidak masuk akal, saya pikir kita sedang membodoh-bodohi diri sendiri. Jika kita tidak merasa begitu, mungkin kita perlu menghubungi psikiater.

Kadang-kadang, adegan mengerikan memang “harus” terjadi dalam film, khususnya horor, dan itu sah-sah saja. Selama adegan itu memang perlu, dan tidak keluar dari akal sehat, saya juga tidak keberatan menontonnya. Bahkan, jika memang adegan mengerikan itu terjadi karena latar belakang yang jelas serta masuk akal, saya malah kadang menikmatinya. Salah satu contoh untuk hal ini adalah film I Spit on Your Grave.

Para pecandu sinema pasti tahu film itu, karena sangat terkenal. I Spit on Your Grave adalah remake dari film sama yang dibuat pertama kali pada 1978. Menceritakan seorang novelis bernama Jennifer Hills yang menyepi ke wilayah pedesaan, untuk menulis novelnya. Dia menyewa sebuah kabin di pinggir danau, berharap mendapat suasana sunyi yang nyaman, tapi malah petaka yang menghampirinya. Dia diperkosa secara brutal oleh empat berandal dan seorang sherif.

Dalam perkosaan itu, Jennifer nyaris terbunuh, tapi ia berhasil menyelamatkan diri sebelum peluru sherif menembus tubuhnya. Ia menjatuhkan diri ke sungai, pura-pura mati, menunggu waktu berlalu... dan muncul kembali untuk membalas dendam.

Ketika Jennifer membalas dendam, menyiksa dan membantai para pemerkosanya, adegannya sama sadis dan sama mengerikan seperti film-film horor lain yang saya tonton. Tetapi, kali ini, saya menikmati saat menontonnya. Kenapa? Karena yang dibantai kali ini bukan orang-orang tak bersalah, melainkan bajingan-bajingan yang memang layak menerimanya!

Lebih dari itu, Jennifer punya “legitimasi” untuk melakukan pembalasan dendam atas perbuatan bajingan-bajingan itu. Sebelumnya, dia telah melaporkan tindak perkosaan yang menimpa dirinya terhadap sherif yang ia temui. Tetapi, bukannya menolong, sherif yang seharusnya melindungi warga itu malah melecehkan dan ikut memperkosanya, bersama bajingan-bajingan yang lain. Apa yang harus dilakukan Jennifer?

Sebagai korban perkosaan, Jennifer sama lemahnya seperti wanita-wanita lainnya. Sebagai warga negara yang baik, dia bisa saja melaporkan perkosaan itu kepada polisi. Tapi siapa yang bisa menjamin polisi akan menolongnya, kalau sherif yang ia temui justru ikut memperkosanya? Oh, well, tentu saja dia bisa memaafkan keparat-keparat yang memperkosanya. Tapi Jennifer Hills sepertinya bukan Mother Theresa yang berbakat menjadi Santa. Jadi, pembalasan dendam menjadi pilihannya.

Dan, terus terang, saya menikmati aksi balas dendamnya.

Meski secara teknik film ini tidak bisa dibilang bagus—seperti umumnya film horor lain—tapi I Spit on Your Grave adalah satu di antara sedikit film horor yang bisa saya nikmati kesadisannya. Saat menyaksikan film itu, saya tidak ngeri menyaksikan Jennifer menyiksa, membantai, dan menghabisi bajingan-bajingan pemerkosanya hingga mati berdarah-darah. Karena, sekali lagi, aksi balas dendam mengerikan itu dilakukan berdasar latar belakang yang masuk akal.

Menonton film horor, bagi saya, adalah menyaksikan tipisnya batas moral kekerasan. Di satu sisi, saya ngeri menyaksikan kekerasan diumbar dan dipertontonkan, sementara di sisi lain saya justru menikmatinya. Yang membedakan di sini bukan aksi kekerasannya, melainkan latar belakang aksi kekerasan itu. Ketika menimpa orang-orang tak bersalah, saya jijik menyaksikannya. Tetapi, ketika terjadi pada para bajingan (seperti dalam kasus Jennifer), saya ikut menikmati.

Lebih dari itu, I Spit on Your Grave juga memiliki pelajaran moral—kalau boleh dibilang begitu. Dan, bagi saya, inilah pelajarannya, “Jangan pernah... jangan pernah... dan jangan pernah mencari masalah dengan siapa pun.”

Bajingan-bajingan yang memperkosa Jennifer mungkin menilai dia wanita lemah tak berdaya, hingga merasa bebas menganiaya dan menyiksanya. Tetapi “wanita lemah tak berdaya” itu kemudian muncul sebagai monster yang menjadi mimpi buruk paling mengerikan, yang menuntut balas dengan cara sadis dan paling brutal. Mungkin Jennifer salah, tapi bajingan-bajingan itu jelas lebih salah, karena mereka yang lebih dulu mencari masalah.

Kita tidak pernah tahu orang macam apa yang bermasalah dengan kita. Sosok yang tampak lemah tak berdaya, atau terkesan tak berbahaya, bisa jadi merupakan sosok paling mengerikan yang kita temui di dunia. Kita mencari masalah dengan seseorang hari ini, mungkin dia tidak membalas—bisa karena tak berani, karena keadaan tidak memungkinkan, atau karena hal lain. Tetapi tidak ada jaminan dia tidak akan membalas dendam.

Dan pembalasan dendam, kata Don Corleone, adalah “makanan lezat jika disajikan dalam keadaan dingin”.

Jennifer Hills, dalam I Spit on Your Grave, melakukan pembalasan dendam hanya berselang satu bulan sejak peristiwa perkosaan yang dialaminya. Tapi di dunia kita, ada orang-orang yang menunggu sampai bertahun-tahun—bahkan puluhan tahun—untuk melakukan pembalasan dendam kepada orang yang bermasalah dengannya.

Orang-orang semacam itu sengaja menunggu... menunggu sampai orang-orang lain lupa, menunggu sampai keadaan tepat seperti yang direncanakannya... lalu melancarkan pembalasan dendam dengan cara mengerikan. Orang-orang semacam itu sangat sabar mengunggu saat pembalasan, karena menyadari, bahwa pembalasan dendam adalah “makanan lezat jika disajikan dalam keadaan dingin”—sebentuk pembalasan dendam yang terencana sangat rapi, dan tak mungkin gagal.

Karenanya, sekali lagi, I Spit on Your Grave mengajarkan pelajaran penting itu melalui pembalasan dendam Jennifer Hills kepada para pemerkosanya. Jangan pernah... jangan pernah... dan jangan pernah mencari masalah dengan siapa pun. Tanpa dicari pun, masalah kadang datang tanpa kita inginkan. Karenanya, orang paling tolol adalah orang yang sengaja mencari-cari masalah dengan orang lain. Dan untuk orang-orang semacam itu, selalu ada Jennifer Hills.

Doa Dalam Sunyi

Orang yang menganiaya orang lain karena merasa punya jabatan mungkin lupa, tak ada jabatan yang abadi di dunia.

Orang yang menganiaya orang lain karena merasa kaya mungkin tak menyadari, harta bisa hilang dengan banyak cara.

Orang yang menganiaya orang lain karena merasa kuat di usia mudanya mungkin tolol, karena menjadi tua hanya sekejap mata.

Orang yang menganiaya orang lain karena merasa tenar mungkin idiot, karena popularitas hanya mainan anak-anak.

....
....

Mereka yang menyembah jabatannya semoga segera dihilangkan kuasanya. Mereka yang menyombongkan kekayaannya semoga dihapuskan hartanya. Mereka yang sewenang-wenang karena kekuatannya semoga dilemahkan jiwa raganya. Mereka yang angkuh dan sombong karena merasa terkenal semoga dihinakan hidupnya.

....
....

Amin.

Persoalan

Persoalan adalah huruf.

Huruf

Hidup adalah huruf.

Sabtu, 15 November 2014

Identitas di Dunia Maya

Ada orang bernama Mentari Senja add FB gw.
Langsung gw ignore. Halo Pak/Bu, kalo mau jadi teman saya
kudu pake nama asli. Dan foto yg jelas.
@vickylaurentina


Jeffry adalah salah satu teman saya di Twitter. Selain berteman di dunia maya, kami saling kenal di dunia nyata. Sama seperti saya, dia juga tidak terlalu aktif di Twitter. Saya bahkan baru mem-follow akunnya setelah dia cukup lama di Twitter, karena tidak tahu kalau dia punya akun Twitter.

Nah, belum lama, saat akan mengirim mention untuknya, saya sempat kaget, karena tidak lagi mendapati akun Twitter-nya. Tampaknya akun miliknya telah dihapus. Maka saya pun menghubunginya langsung lewat ponsel. Saat ditanya mengenai akun Twitter-nya yang sudah tidak ada, Jeffry menjelaskan, “Iya, udah aku hapus. Ada orang gila yang bikin nggak nyaman.”

“Hah...?” saya terkejut. “Gimana ceritanya?”

“Ceritanya panjang,” sahut Jeffry sambil ngikik. “Ntar aku ceritain kalau kita ketemu.”

Saat kami ketemu dan ngobrol-ngobrol, Jeffry pun menceritakan kisah cukup panjang yang berakhir dengan penghapusan akun Twitter-nya.

Kisahnya dimulai setahun yang lalu. Jeffry memiliki akun di Facebook, dan sering menulis di Notes Facebook. Catatan-catatannya di sana bisa diakses siapa pun, tapi interaksinya di Facebook hanya terbatas pada kawan-kawan yang ia kenal baik. Sampai kemudian, muncul seseorang meng-add Jeffry. Di Facebook, tentu saja itu hal biasa—si A meng-add si B, atau si B meng-add si C. Jeffry pun sudah biasa menghadapi orang-orang tak dikenal yang ingin berteman dengannya, lalu mereka saling berinteraksi dan berteman di Facebook.

Dalam pertemanan di dunia maya, Jeffry punya aturan pribadi. Pertama, dia akan memprioritaskan orang-orang yang memang dikenalnya di dunia nyata. Karenanya, lingkar pertemanannya di Facebook mayoritas adalah teman-teman yang ia kenal—teman sekolah, teman sekomplek, teman sekampus, atau teman kerja. “Bahkan umpama mereka pakai nama yang aneh sekali pun,” ujar Jeffry, “aku tetap akan memasukkan mereka sebagai teman di Facebook, karena kami memang saling kenal.”

Tapi Jeffry juga tidak bermaksud eksklusif. Dia terbuka berteman dengan siapa pun di Facebook, yang kebetulan menemukan akunnya, tetapi dengan syarat—orang itu punya identitas yang jelas. Jika namanya jelas, fotonya jelas, identitas lainnya jelas, Jeffry pun tidak tunggu lama untuk menerima permintaan pertemanan siapa pun. Setiap orang suka berteman, karena manusia adalah makhluk sosial. Tinggal cara kita berteman, itulah yang menentukan.

Nah, ada seseorang meng-add Jeffry di Facebook, tapi identitasnya tidak jelas—namanya samaran, fotonya menggunakan gambar tidak jelas, sementara identitasnya di Facebook juga samar-samar. Sebut saja namanya Listy si Daun Berduri.

Jeffry tidak menanggapi permintaan pertemanan Listy si Daun Berduri. Lalu Listy mengirimkan pesan pribadi ke akun Facebook Jeffry, menyatakan ingin berteman dengan Jeffry karena sangat menyukai tulisan-tulisan Jeffry di Notes-nya, dan bla-bla-bla. Jeffry tidak terpengaruh. Aturan tetap aturan. Kalau orang itu ingin berteman dengannya, dia harus menggunakan identitas jelas.

Listy terus mengirim pesan pribadi kepada Jeffry di Facebook berkali-kali. Sebegitu sering, hingga akhirnya Jeffry menghilangkan sarana pengiriman pesan dari akun Facebook-nya, agar tidak lagi menerima pesan Listy.

Tapi Listy rupanya tidak menyerah begitu saja. Karena tidak bisa mengirim pesan langsung ke akun Facebook Jeffry, dia kemudian mengirimkan pesan berkali-kali ke alamat e-mail Jeffry. Dengan dongkol, Jeffry memblokir alamat e-mail Listy, hingga tidak lagi menerima e-mailnya. Tetapi, lagi-lagi, Listy tidak menyerah. Dia mungkin mencari keberadaan Jeffry di dunia maya, dan menemukan akun Twitter-nya. Seketika Listy kembali mengerecoki Jeffry—kali ini di Twitter.

Mula-mula, Jeffry mencoba cuek. Tapi lama-lama tingkah Listy makin menyebalkan. Dia pun memblokir akun Twitter Listy, dan mengunci akun Twitter miliknya, dengan harapan tidak lagi menerima gangguan orang itu. Mendapati dirinya diblokir, Listy membuat akun baru, lalu mengirimkan banyak mention ke Jeffry. Kali ini Jeffry “mengalah”. Daripada beban batin, pikirnya, dia pun menghapus akun Twitter-nya.

“Selalu ada orang-orang semacam itu di dunia maya,” ujar Jeffry saat menceritakan kisahnya. “Dan, sialnya, kita selalu punya kemungkinan untuk bertemu orang-orang semacam itu.”

Sebenarnya, yang diminta Jeffry—dan yang diminta orang lain pada umumnya—tidak sulit. Hanya identitas yang jelas. Cuma itu. Kalau kita ingin berteman dan berinteraksi dengan orang lain secara baik di dunia maya, maka kita harus memiliki identitas yang jelas. Aturan itu memang tidak terdapat dalam hukum yang tertulis, tapi telah disepakati banyak orang sebagai hukum tak tertulis.

“Identitas yang jelas” di dunia maya bisa berupa identitas umum, seperti nama asli dan foto diri. Kalau pun tidak menggunakan identitas yang jelas, maka orang itu harus punya “identitas” lain, yaitu karya yang jelas. Itu bisa dibilang syarat mutlak untuk bisa berteman dan berinteraksi dengan orang lain secara baik, khususnya di dunia maya. Tanpa identitas yang jelas, atau tanpa karya yang jelas, orang tidak akan tertarik.

Memang, di dunia maya banyak orang terkenal yang menggunakan identitas tidak jelas. Ndoro Kakung, misalnya. Semua orang tahu itu bukan nama asli. Tetapi, meski begitu, dia punya karya jelas—salah satunya blog yang bisa dibaca siapa pun—sehingga kita bisa mengenalinya, meski umpama kita tidak tahu siapa dia. Karena orang-orang bisa mengenalinya, melalui karya-karyanya, maka orang pun nyaman berteman dengannya.

Kalau kita searching ke Google, dan memasukkan nama “Gola Gong” atau “Tere Liye”, kita akan menemukan ribuan link yang terhubung nama mereka. Semua orang tahu, Gola Gong dan Tere Liye bukan nama asli—bahkan banyak yang tidak tahu nama asli mereka. Tapi kita mau berteman dengan mereka. Kenapa? Lagi-lagi jawabannya sama—karena mereka punya karya yang jelas!

Gola Gong punya ribuan follower di Twitter, sementara Tere Liye punya ribuan fans di Facebook. Ribuan orang mau berteman dan berkomunikasi dengan mereka, meski nama mereka tidak jelas—bukan semata karena mereka terkenal, tetapi lebih karena mereka memiliki karya jelas, yang bisa dikenali orang lain. Di dunia nyata, lebih-lebih di dunia maya, karya yang jelas memiliki nilai setara dengan identitas yang jelas.

Kalian yang membaca catatan ini, juga tentu tahu kalau nama saya bukan nama asli. Tapi kalian mau mengunjungi dan membaca blog ini, bahkan banyak yang bolak-balik kemari. Kenapa? Karena karya yang jelas sama artinya dengan identitas yang jelas!

Meski kalian tidak tahu siapa saya, tapi tulisan-tulisan saya telah berbicara jauh lebih keras dibanding identitas apa pun. Melalui tulisan-tulisan yang kalian baca di sini, kalian pun tahu hidup saya, latar belakang saya, keseharian saya, pikiran-pikiran saya, rahasia hati saya—everything. Melalui tulisan-tulisan yang kalian baca, kalian pun mengenal dan percaya kepada saya, dan tidak keberatan menjadi teman saya. Bukankah begitu?

Jadi, jika kita ingin berteman dan berinteraksi dengan orang lain di dunia maya secara baik, maka kita harus memenuhi syarat itu—identitas yang jelas, atau karya yang jelas. Jika kita tidak punya karya apa pun yang bisa dikenali orang lain, maka tunjukkan identitas yang jelas agar orang lain bisa mengenali.

Karenanya pula, jika kita ingin berinteraksi dengan orang lain di Facebook atau di media sosial lain, tapi diabaikan, jangan buru-buru berburuk sangka. Coba lihat kembali identitas yang kita miliki. Apakah cukup jelas, hingga orang lain bisa mengenali? Kalau nama kita tidak jelas, foto sama tidak jelas, sementara kita tidak punya karya apa-apa yang bisa dikenali, bagaimana orang lain akan tertarik?

Manusia adalah makhluk sosial—setiap orang pada dasarnya suka berteman. Tetapi bukan berarti kita bisa memaksa siapa pun agar berteman dengan kita. Dalam interaksi sesama manusia, selalu ada hukum tak tertulis yang disebut norma, sopan santun, etika—sebut apa pun. Untuk bisa berteman dengan orang lain, kita harus mematuhi norma dan etika tersebut, agar orang lain nyaman berteman dengan kita. Dan, hukum tak tertulis untuk pertemanan di dunia maya adalah identitas yang jelas, atau karya yang jelas.

Oh, well, tentu saja setiap orang boleh beraktivitas di dunia maya tanpa identitas yang jelas, juga tanpa karya yang jelas. Tapi tidak usah berharap apalagi memaksa orang lain agar mau mengenal dan berteman dengannya.

....
....

(Hei, Hoeda Manis! Kamu juga tidak jelas! Aku tidak mau berteman denganmu!)

Yo ora opo-opo
. Tidak jadi temanmu yo aku ora patheken.

Noffret’s Note: Luka (1)

Memang, lebih baik sendiri tapi damai,
daripada terluka karena mencintai.
—Twitter, 21 Maret 2014

Mother Theresa bisa mencintai seseorang
yang selalu menyakitinya.
Tapi, maaf, aku bukan Mother Theresa.
—Twitter, 21 Maret 2014

Mahatma Gandhi bisa mengasihi orang
yang selalu melukai perasaannya.
Tapi maaf, aku bukan Gandhi.
—Twitter, 21 Maret 2014

Seseorang menyatakan, “Mencintailah
hingga terluka.” Ya, itulah yang pernah kulakukan,
dan aku tak sudi melakukannya lagi!
—Twitter, 21 Maret 2014

Berurusan dengan manusia adalah berurusan
dengan batas. Di antaranya batas kesabaran,
batas perasaan, batas toleransi, dan batas terluka.
—Twitter, 21 Maret 2014

Ada orang sangat ketakutan pada gelap,
karena kegelapan pernah melukainya. Begitu pun,
ada orang sangat takut terluka, dengan alasan sama.
—Twitter, 21 Maret 2014

Jika lebih dari separuh hidupmu penuh luka,
yang kauinginkan hanya cinta. Jika cinta ternyata
juga melukai, kau akan lebih memilih sendiri.
—Twitter, 21 Maret 2014

Kau tidak bisa yakin seseorang tulus menyayangimu,
jika yang ia tunjukkan selalu upaya melukai
dan menyakitimu. Begitu pun aku.
—Twitter, 21 Maret 2014

Jika kedekatan pada akhirnya menjadi cara kita
untuk saling menyakiti dan terlukai, mungkin
lebih baik kita kembali asing satu sama lain.
—Twitter, 21 Maret 2014

Hidup adalah soal pilihan. Dan, terus terang,
aku akan memilih apa pun, selama itu mendatangkan
kedamaian, tanpa luka, meski sendirian.
—Twitter, 21 Maret 2014

Kesepian, keterasingan, dan kesendirian tak pernah
membuatku takut. Yang kutakuti adalah kesadaran
bahwa orang yang kucintai bisa melukaiku.
—Twitter, 21 Maret 2014

Kau bisa menyatakan atau bahkan memakiku,
“Pengecut!” Dan aku bisa memberimu jawaban
yang telah lama kuhafal, “Persetan!”
—Twitter, 21 Maret 2014

Setiap orang memiliki luka, trauma, dan
ketakutannya sendiri, dan kita bisa menelusurinya
hingga ke ujung neraka yang paling luka.
—Twitter, 21 Maret 2014

Kita bertahan dengan adaptasi, dan aku tak malu
mengakui bahwa aku rapuh. Itu caraku melindungi
diri sendiri, agar jarak luka semakin jauh.
—Twitter, 21 Maret 2014

Aku butuh waktu lama untuk yakin dan tak ragu
memberikan hatiku kepadamu. Tapi satu luka kecil saja
sudah cukup membuatku pergi menjauh.
—Twitter, 21 Maret 2014

“Pada akhirnya adalah luka,” kata Nietzsche.
Sekarang aku memahami mengapa ia lebih memilih
sendirian dan gila, daripada terluka.
—Twitter, 21 Maret 2014


*) Ditranskrip dari timeline @noffret.
 

Wolverine adalah Kunci

Tapi aku hanya ingin menjadi Magneto.

Senin, 10 November 2014

Mengapa Istri Raffi Ahmad Tidak Secantik Mantan-mantannya?

Topik obrolan beberapa bocah malam ini, “Kenapa
istri Raffi Ahmad tidak secantik mantan-mantannya?”
| Bakal jadi posting blog nih.
@noffret


Malam Minggu, saya nyangkruk dengan lima bocah yang semuanya lelaki. Safik, salah satu bocah, membuka tablet dan mengakses blog ini. Waktu itu, catatan yang terposting di halaman muka adalah Rahasia Gelap Perkawinan, yang isinya membahas hal-hal tidak menyenangkan menyangkut pernikahan. Safik tampak serius sekali membacanya. Kemudian, setelah selesai membaca, dia berujar sambil cengengesan, “Da’, aku tahu kenapa kamu nggak tertarik menikah.”

“Kenapa, coba?”

“Kamu pasti takut istrimu nggak cantik.”

“Hah?” saya kaget. “Kok kamu bisa menyimpulkan gitu?”

“Iyalah,” sahut Safik masih cengengesan. “Mantanmu kan cantik-cantik.”

“Apa hubungannya, coba...???”

“Itu udah jadi rahasia umum, kan? Cowok yang mantannya cantik-cantik, biasanya istrinya nggak cantik.”

Setelah itu, topik obrolan kami tiba-tiba “menukik” ke seputar mantan, pacar, dan istri. Safik dan teman-teman lain mencontohkan cowok-cowok teman kami yang telah menikah, yang kenyataannya memang menghadapi fenomena tersebut. Kami tahu mereka dulu pacaran dengan cewek-cewek cantik. Tetapi, ketika menikah, istri mereka biasa saja—tidak secantik mantan-mantan pacarnya.

Menghadapi pemaparan tersebut, mata saya tiba-tiba terbuka. Jika kasus semacam itu hanya terjadi pada satu atau dua orang, mungkin kita bisa menganggapnya kasuistis. Tapi teman-teman cowok yang menghadapi fenomena aneh itu bisa dibilang sangat banyak. Dulu, mereka cowok-cowok keren yang biasa jalan dengan cewek-cewek cantik, hingga membuat cowok-cowok lain iri. Tapi ketika menikah, eeeh... istrinya biasa-biasa saja.

“Kalau ingin bukti yang lebih kuat,” ujar Safik, “lihatlah Raffi Ahmad. Kenapa istri Raffi Ahmad nggak secantik mantan-mantannya?”

Sekali lagi, obrolan kami seketika “menukik” lebih dalam ke seputar mantan, pacar, dan istri, khususnya seputar kehidupan Raffi Ahmad. Kita tahu siapa saja mantan pacar Raffi Ahmad—yang jumlahnya cukup banyak—dari yang paling kenes sampai yang paling dewasa. Sekarang, jujur sajalah, istri Raffi Ahmad bisa dibilang “biasa-biasa saja” jika dibandingkan mantan-mantannya. Pertanyaannya, mengapa...?

Pertanyaan itu pula yang kemudian membawa kami dalam obrolan seru seputar hubungan pacaran, dan yang terjadi pada mereka. Banyak cowok teman kami yang istrinya cantik. Rata-rata mereka menikahi perempuan yang sejak dulu memang telah menjadi pacarnya. Artinya, mereka pacaran dengan satu orang, hingga kemudian menikah. Tetapi, ada banyak pula cowok teman kami yang pernah pacaran dengan cewek-cewek cantik, tapi kemudian menikah dengan cewek yang biasa-biasa saja. Pertanyaannya, sekali lagi, mengapa...?

Tentu saja kita bisa mengajukan jawaban klise, “Itulah bukti keadilan Tuhan.” Tapi tentu kita membutuhkan jawaban logis yang masuk akal, kan? Kalau cuma mengandalkan keadilan Tuhan, seharusnya saya menikah dengan Scarlett Johansson!

Mari kita lihat Raffi Ahmad. Sebagai cowok, bisa dibilang Raffi nyaris tanpa cacat—good looking, terkenal, kaya, dan sejauh ini moralnya baik-baik saja. Satu-satunya “cacat” yang sempat menggores hidupnya hanya ketika tersangkut kasus narkoba. Secara keseluruhan, kita bisa mengatakan Raffi cowok baik-baik. Dengan segala kualitas yang dimilikinya, Raffi Ahmad jelas memiliki daya tarik besar di mata cewek-cewek. Karenanya tidak heran kalau kemudian dia gonta-ganti pacar yang semuanya bisa dibilang sangat cantik. Tidak perlu saya sebutkan nama-namanya, kalian pasti sudah hafal.

Lalu “antiklimaks” terjadi. Raffi Ahmad kemudian menikah dengan perempuan yang “biasa-biasa saja”—khususnya jika dibandingkan mantan-mantannya. Mengapa Raffi lebih memilih istrinya yang sekarang, daripada mantan-mantannya yang lebih cantik?

Untuk tahu jawaban yang pasti, tentu kita harus “mengobrak-abrik” hati Raffi Ahmad, agar menemukan alasan logis yang menyebabkannya. Tapi itu tidak mungkin, kan? Jadi, mari kita “obrak-abrik” hati lelaki lainnya. Dan agar saya tidak terus “nggelendengi” orang lain, sekarang izinkan saya “mengobrak-abrik” hati saya sendiri.

Sebagai lelaki, saya tentu memiliki kecenderungan atau bahkan ketertarikan pada perempuan cantik. Kenyataannya, perempuan yang pernah pacaran dengan saya memang cantik-cantik—semua teman mengakui. Tetapi, sebagai lelaki pula, tiga kriteria teratas yang saya impikan dari calon istri sama sekali tidak memasukkan kecantikan di dalamnya. Tidak pula kecerdasan, karir—apalagi popularitas!

Sejujujurnya, saya tidak—atau belum—kepikiran untuk menikah. Dalam hidup, saya masih punya setumpuk hal yang harus dilakukan, yang jauh lebih penting dari menikah. Namun, jika kelak ditakdirkan menikah, saya ingin menikah dengan perempuan yang memiliki tiga kriteria ini: 1) Ramah; 2) Pintar masak; dan 3) Betah di rumah.

See...? Dari tiga kriteria teratas, tidak ada kecantikan, kecerdasan, atau semacamnya. Tentu saja saya bersyukur kalau calon istri kelak memenuhi tiga kriteria itu, plus cantik dan pintar. Tapi kalau pun tidak, saya tidak akan mempersoalkannya, selama kami cocok, nyaman, dan bisa saling menerima.

Tiga kriteria itu sengaja saya tetapkan di peringkat teratas, karena memang itulah kualifikasi yang paling saya cari dari perempuan yang akan saya nikahi. Sebagai lajang, saya menjalani kehidupan yang damai, tenang, tenteram, dan bisa dibilang nyaris tanpa masalah. Karenanya, jika menikah, saya ingin kehidupan saya makin damai, makin tenang, makin tenteram, dan bukan malah sebaliknya.

Kenapa harus “ramah, pintar masak, dan betah di rumah”?

Silakan bilang saya terlalu tradisional. Tetapi istri ideal bagi saya memang istri tradisional. Yaitu wanita yang bisa membuat kenyang suaminya dengan makanan sehat yang dimasaknya sendiri, dari dapur rumah sendiri, hingga tidak perlu kelayapan hanya untuk makan. Dia juga harus ramah, dan tahu cara bersosialisasi dengan orang lain, agar mampu mengimbangi kepribadian saya yang introver. Dan ketiga, dia betah di rumah, karena saya lelaki rumahan yang lebih damai tinggal di rumah dan tidak suka keluyuran.

Ketika seorang lelaki memutuskan untuk menikahi seorang perempuan, mereka memiliki motivasi yang bisa jauh berbeda dibanding ketika pacaran. Saat pacaran, mungkin kebanyakan lelaki ingin bisa membanggakan pacarnya, hingga kebanyakan lelaki pun menomorsatukan kecantikan. Tetapi, ketika menikah, yang dicari lelaki tidak lagi kebanggaan semacam itu—oh, well, itu sudah tidak penting lagi. Ketika menikah, yang paling diinginkan lelaki adalah ketenteraman. Persetan cewek cantik, kalau tiap hari ngajak bertengkar!

Cantik itu penting, sama pentingnya dengan cerdas, modis, dan kualitas-kualitas yang lain. Tetapi masing-masing orang—khususnya lelaki—memiliki skala prioritasnya sendiri. Dalam skala prioritas saya, tiga yang paling atas bukan kecantikan atau penampilan, melainkan ramah, pintar masak, dan betah di rumah. Itu kualifikasi wajib untuk calon istri. Soal cantik atau pintar, bagi saya hukumnya cuma sunah. Selama dia mampu membuat saya kenyang dan bahagia di rumah, saya akan selalu jatuh cinta kepadanya.

Pacaran hanya bertemu sesekali, tapi menikah bertemu setiap hari. Bisakah kita melihat perbedaan besarnya? Pacaran tak jauh beda dengan main bongkar pasang—kau bisa membangun apa pun yang kauinginkan dengan benda-benda yang tersedia, dan kalau bosan bisa membuat yang lain. Tetapi menikah seperti bermain puzzle. Kita harus meletakkan potongan-potongan gambar yang tepat di bidang-bidang kosong yang tepat, agar hasil akhirnya bisa kita pandangi dengan puas.

Dalam hidup saya, atau dalam diri saya, bidang-bidang kosong itu adalah sifat introver yang membuat saya sering kesulitan saat bersosialisasi. Bidang kosong lain adalah sulit cari makan—tiap hari saya harus keluar rumah hanya untuk makan. Itu kadang menyiksa, khususnya ketika sedang sakit atau tidak enak badan. Ketika menikah, saya ingin menutup bidang-bidang kosong itu, hingga prioritas teratas perempuan yang ingin saya nikahi adalah yang ramah dan pintar masak, plus betah di rumah. Karena pernikahan adalah menutup yang terbuka, dan melengkapi yang kurang.

Kelak, jika menemukan perempuan yang membuat saya nyaman bersamanya, dan dia ramah, pintar masak, serta suka tinggal di rumah, dan dia mau menerima saya sebagai suaminya, maka sejarah baru mungkin akan tergurat—saya akan menikah. Dan kalau ternyata istri saya kelak jauh lebih cantik dari mantan-mantan saya, well, saya bisa apa...?

Jadi, mengapa Raffi Ahmad menikah dengan Nagita Slavina? Sekarang kita bisa mulai membayangkannya.

Dilema Suami

Kalau suami tidak bekerja, atau malas bekerja, atau kehilangan pekerjaan, istri marah-marah, karena tidak ada uang belanja, dan hidup sehari-hari terasa susah.

Kalau suami bekerja dengan normal, berangkat pagi dan pulang sore, istri sering mengeluh, karena menurutnya keadaan mereka tak pernah berubah, dia tak bisa membeli ini-itu seperti teman-temannya.

Kalau suami rajin bekerja, sering lembur sampai malam, demi bisa mengumpulkan banyak uang untuk memanjakan istrinya, si istri masih marah dan sok bijak menyatakan, “Aku tidak butuh itu semua! Aku hanya ingin sering bersamamu!”

....
....

Kalau suami sering pergi untuk berbagai urusan, apalagi sampai berhari-hari, istri jadi mudah curiga dan sering marah-marah.

Kalau suami tak perlu pergi-pergi karena pekerjaannya sehari-hari bisa dikerjakan di rumah, istri sering merecoki dengan mengajaknya pergi-pergi.

Kalau suami malas kerja, istri marah karena menganggap suaminya tak bertanggung jawab. Kalau suami rajin kerja, istri marah karena menganggap suami lebih mementingkan pekerjaannya.

....
....

Kalau suami tampak lusuh, istri marah-marah dan meminta suami untuk berdandan rapi agar enak dipandang.

Kalau suami tampak necis dan wangi, istri marah-marah karena curiga suaminya sedang jatuh cinta pada wanita lain.

....
....

Kalau suami dianggap tidak perhatian, istri marah-marah karena tidak diperhatikan, “Aku punya suami tapi seperti tak punya suami!”

Kalau suami begitu perhatian, istri marah-marah dan curiga, menganggapnya sebagai topeng suami untuk menutupi perselingkuhan.

....
....

Suami istri punya sejuta alasan untuk bertengkar—meributkan hal-hal paling remeh sampai yang paling besar, dari yang ilmiah sampai yang paling tak masuk akal.

Kalau dipikir-pikir memang benar, bahwa semua hal di dunia ini berpasangan. Ada lelaki, ada perempuan. Ada suami, ada istri. Ada honeymoon... juga ada poisonmoon.

Bisik Langit

Dan sesungguhnya wanita-wanita sempurna di dunia sebaiknya tidak usah menikah, agar tetap sempurna.

Rabu, 05 November 2014

Tulisan Berat, Tulisan Ringan

Setiap tulisan selalu membuktikan mutunya sendiri
sebelum dia membuktikan kelemahan tulisan lain.
—Nirwan Dewanto


Sebenarnya agak tidak adil menyebut suatu tulisan sebagai “tulisan berat” atau “tulisan ringan”. Menulis adalah proses yang berat, karenanya—kalau mau adil—sebenarnya semua tulisan tergolong “berat”. Tak peduli “seringan” apa pun, suatu tulisan—kalau memang bagus—membutuhkan kerja keras dan proses berpikir yang berat.

Baca: Media Online Paling Memuakkan

Tulisan-tulisan lucu yang membuat pembacanya tertawa atau cekikikan biasanya disebut “tulisan ringan”. Padahal, tidak setiap orang (penulis) mampu menulis sesuatu yang dapat membuat pembacanya tertawa. Membuat tulisan lucu hingga pembacanya terpengaruh untuk tertawa adalah hal berat, butuh pemikiran serius, dan bukan pekerjaan main-main. Karenanya, membuat “tulisan ringan” bukan pekerjaan ringan. Buktinya, tidak semua orang mampu melakukannya.

Apakah Hilman Hariwijaya tidak berpikir ketika membuat serial Lupus hingga pembacanya cekikikan? Tentu saja dia berpikir—bahkan berpikir keras! Bukan pekerjaan mudah merangkai kisah yang masuk akal, natural, tapi mampu membuat pembaca ngakak ketika menikmatinya. Begitu pula Raditya Dika atau penulis-penulis lain yang lekat dengan tulisan komedi. Semuanya berpikir keras—sama kerasnya dengan para penulis “tulisan berat” yang membuat jidat pembacanya berkerut dan berlumut.

Karenanya, istilah “tulisan ringan” dan “tulisan berat” sebenarnya tidak merepresentasikan proses penulisannya, melainkan lebih merupakan istilah umum untuk menyebut tulisan yang “tidak perlu banyak mikir ketika membacanya” dan tulisan yang “perlu berpikir cukup keras ketika membacanya”. Umumnya, tulisan yang disebut “ringan” mudah dipahami, dan kenyataannya memang sering kali membahas hal-hal ringan. Sebaliknya, tulisan yang disebut “berat” memang kadang berat dipahami, dan sering kali juga membahas hal-hal berat.

Mana yang lebih baik? Menurut saya tidak ada yang lebih baik atau lebih buruk, karena masing-masing penulis memiliki cara, bakat, interest, dan kemampuannya masing-masing dalam menulis. Jika penulis “tulisan berat” dianggap lebih baik atau bahkan lebih hebat dibanding penulis “tulisan ringan”, cobalah minta mereka untuk membuat “tulisan ringan” yang mampu membuat pembacanya tertawa. Saya tidak yakin mereka bisa. Karl Marx, Gibran, atau Nietszche sekali pun bisa mati berdiri kalau diminta menulis komedi.

Sebaliknya, pembaca juga memiliki kecenderungannya sendiri-sendiri dalam memilih tulisan yang ingin dibacanya. Ada pembaca yang menyukai tulisan-tulisan berat yang memaksanya berpikir keras, ada pula pembaca yang menyukai bacaan ringan yang menghibur dan membuat cekikikan. Adanya penulis yang mau membuat “tulisan ringan” menjadikan pembaca memiliki lebih banyak pilihan. Dalam dunia literasi, itu bukan hal buruk, karena sering kali “tulisan ringan” justru menjadi awal perkenalan seseorang dengan dunia bacaan dan keasyikan membaca.

Umumnya, penyuka bacaan ringan adalah kaum remaja, sebagaimana umumnya pembaca tulisan berat adalah orang-orang dewasa atau orang tua. Kenyataan itu sebenarnya bisa menjadi ilustrasi bahwa setiap orang memang bertumbuh dan berkembang, tidak hanya secara fisik dan psikis, tetapi juga secara nalar.

Dalam hidup, saya percaya semua orang bertumbuh, termasuk dalam bacaan yang dipilihnya. Setiap orang bertumbuh—tidak hanya secara fisik, pergaulan dan pengalaman, tetapi juga secara intelektual. Karenanya, anak-anak remaja yang saat ini menyukai bacaan ringan bisa jadi akan menyukai bacaan berat di masa dewasanya. Kenyataan itu bukan berarti tulisan ringan tidak penting. Perannya justru sangat penting, karena melalui tulisan ringan itulah sering kali para remaja yang semula tidak suka membaca jadi tertarik membaca.

Bayi yang baru lahir hanya membutuhkan ASI. Ketika usianya semakin bertambah, mereka mulai mengenal makanan lain, dari bubur sampai roti yang dihaluskan. Meski kita tahu nasi kebuli atau nasi dengan lauk pecel lele sangat enak, makanan itu belum cocok untuk mereka. Karenanya, biarkan mereka tumbuh, seiring usia, seiring fisiknya mampu mencerna makanan lain yang lebih berat. Pada akhirnya, tanpa diminta pun mereka akan mengenali bahwa nasi kebuli itu lezat, bahwa pecel lele itu enak. Pada tahap itu, mereka bahkan telah mengenal makanan favorit.

Kenyataan itu bukan berarti ASI tidak penting, bukan berarti bubur dan roti yang dihaluskan tidak penting. Semuanya penting, karena membantu mereka bertumbuh setahap demi setahap. Sebagaimana saya dulu menikmati masa remaja dengan kisah-kisah Lupus yang lucu dan membuat cekikikan, saya tetap menganggapnya sebagai bacaan penting ketika dewasa, karena melalui serial Lupus-lah saya mengenali asyiknya membaca.

Kini, ketika telah melahap banyak bacaan berat, serial Lupus tidak terlalu menarik lagi bagi saya. Tetapi, bagaimana pun, saya tetap merasa berutang budi pada Hilman, karena—melalui kisah-kisah Lupus yang ditulisnya—saya bisa belajar menikmati bacaan, hingga mau meluangkan waktu berjam-jam memegangi buku dan membaca tulisan di dalamnya.

Kenyataan itu juga bisa terjadi pada para remaja lain yang saat ini mungkin menyukai bacaan-bacaan ringan. Selalu ada kemungkinan mereka akan bertumbuh dan berkembang—dari keasyikan membaca tulisan ringan untuk kemudian melangkah ke bacaan yang lebih serius dan lebih berat, dan begitu seterusnya. Sebagaimana kita tidak perlu memaksakan nasi kebuli ke mulut bayi, kita juga tidak perlu memaksakan bacaan berat pada mereka yang memang belum mampu “mengunyahnya”.

Sebenarnya, tak peduli tulisan ringan atau pun tulisan berat, keduanya melalui sistem penilaian dan kompetisi yang sama. Bagaimana pun, hukum alam tetap berlaku. Yang bagus akan bertahan, yang buruk akan tersingkir. Dalam konteks dunia kepenulisan, kenyataan itu juga terjadi, dan terus terjadi. Tulisan ringan yang bagus akan terus bertahan, sebagaimana tulisan berat yang bagus. Sebaliknya, tulisan ringan yang buruk pelan namun pasti akan tersingkir karena ditinggalkan pembacanya, sebagaimana tulisan berat yang buruk.

Ketika era buku-buku ringan (semacam teenlit) mengalami booming di Indonesia pada awal 2000-an, kita tidak bisa menghitung lagi berapa banyak buku-buku ringan yang beredar di toko buku, dan banyaknya penulis yang menggeluti tulisan semacam itu. Apakah semuanya bertahan? Tidak—hanya segelintir yang mampu bertahan, sementara sebagian besar yang lain menghilang.

Apa penyebabnya? Mungkin ada cukup banyak penyebab yang menjadikan hal itu, tapi elemen paling penting adalah kualitas! Buku ringan yang berkualitas tetap memiliki pembaca, sebagaimana buku berat yang berkualitas. Dengan kata lain, penulis yang mampu menghadirkan tulisan yang baik dan berkualitas—meski disebut “ringan”—akan mampu bertahan, tetapi yang buruk dan tidak berkualitas akan ditinggalkan.

Jadi, “tulisan berat” dan “tulisan ringan” menghadapi tantangan yang sama, tinggal masing-masing penulis lebih nyaman memilih mana. Ketika suatu tulisan—dalam bentuk buku—dilempar ke pasar, buku itu akan berhadapan dengan pembacanya masing-masing. Pada akhirnya, pembaca akan memiliki selera serta penilaian tertentu untuk menentukan apakah suatu buku dianggap bagus atau buruk, berkualitas atau tidak. Hukum alam tetap berlaku. Yang bagus akan bertahan, yang buruk akan tersingkir.

Ketika menulis, setiap penulis akan memikirkan segmen pembaca yang ditujunya. Segmen itu akan mempengaruhi tulisan yang dihasilkannya, tema yang dibicarakan, sampai pada gaya penulisannya. Jika memang segmen yang dituju adalah para remaja, maka tentu si penulis akan menyesuaikan tulisannya, dengan tema yang lekat dengan kehidupan remaja, juga dengan gaya penulisan yang sesuai dengan jiwa remaja. Apakah itu kemudian disebut tulisan ringan atau tulisan berat, sebenarnya itu sudah bukan urusan penulis—pembacalah yang menilai—karena tugas penulis adalah menghadirkan pilihan bacaan kepada mereka.

Kenyataannya, kadang-kadang, yang disebut tulisan berat dan tulisan ringan sangat relatif. Suatu tulisan bisa disebut berat bagi sebagian orang, padahal sebagian lain menganggapnya ringan—begitu pula sebaliknya. Sebagai misal, saya menganggap novel-novel John Grisham sebagai bacaan ringan, karena tidak perlu berpikir untuk menikmatinya. Tapi banyak teman saya menganggap novel Grisham tergolong berat. Sebaliknya, saya menganggap tulisan-tulisan David Sedaris tergolong berat, karena kadang saya tidak paham yang ia maksudkan dalam tulisannya, tapi teman-teman saya bisa asyik cekikikan ketika membacanya.

Seperti dalam urusan makanan, masing-masing orang memiliki seleranya sendiri dalam bacaan. Sebagian ada yang menyukai masakan tradisional, sebagian lain lebih suka masakan modern. Sebagian ada yang menyukai bacaan-bacaan menghibur yang membuat tertawa, sebagian lain menyukai bacaan-bacaan berat yang memaksanya berpikir. Tidak masalah memilih makanan apa pun, selama makanan yang dikonsumsi memang sehat, bebas racun atau zat-zat berbahaya, sebagaimana tidak masalah memilih bacaan-bacaan ringan atau berat selama bacaan itu baik dan berkualitas.

Pada akhirnya, kembali lagi pada kualitas. Tak peduli sekeren apa pun bentuk makanan, orang tidak akan doyan kalau nyatanya tidak enak, apalagi mengandung zat berbahaya. Dan tak peduli sesederhana apa pun suatu makanan, orang akan menyukainya kalau memang rasanya enak dan menyehatkan. Dalam konteks tulisan berat dan tulisan ringan, yang perlu kita perhatikan bukan berat atau ringannya, melainkan kualitasnya. Ada banyak tulisan ringan yang bagus, sama banyaknya dengan tulisan berat yang bagus. Juga banyak tulisan ringan yang buruk, sama banyaknya dengan tulisan berat yang buruk.

Wasiat Harv

“Kalau kau menjadi pakar dalam mengatasi masalah dan mengatasi apa pun, apa yang bisa menghentikanmu dari keberhasilan? Jawabannya tidak ada! Dan bila tidak ada yang bisa menghentikanmu, kau pun tidak bisa dihentikan! Dan bila kau tidak bisa dihentikan, apa pilihan yang kaumiliki dalam hidup? Jawabannya adalah segala pilihan. Bila kau tidak dapat dihentikan, segala sesuatu tersedia untukmu. Kau hanya memilih hal itu, dan itu menjadi milikmu. Itulah kebebasan!”

....
....

Aku mendengarkanmu, Harv. Aku selalu mendengarkanmu.

Bangkit

Temanku bernama bangkit.

Sabtu, 01 November 2014

Mengenal Segmen Pembaca

Riwayat hidup seorang penulis biasanya adalah juga
riwayat hidup seorang pembaca.
A.S. Laksana


Di toko koran/majalah, kita bisa menemukan sekian banyak majalah yang ditujukan untuk berbagai pembaca yang berbeda. Ada majalah yang ditujukan untuk pembaca pria, ada majalah yang ditujukan untuk pembaca wanita, ada majalah yang dikhususkan untuk remaja pria, remaja wanita, orangtua, atau anak-anak. Bahkan, ada majalah-majalah yang secara khusus ditujukan untuk penggemar tanaman, penggemar burung, penggemar video games, dan lain-lain. Ada majalah kesehatan, majalah kebudayaan, majalah teknologi, sampai majalah mistik.

Baca: Media Online Paling Memuakkan

Masing-masing majalah itu menyasar pembaca yang berbeda, dan dikonsumsi oleh konsumen yang berbeda. Misalnya, majalah Gadis ditujukan untuk remaja wanita. Kenyataannya, mayoritas pembeli majalah Gadis adalah remaja wanita. Memang ada remaja pria yang juga membeli atau membacanya, tapi jumlahnya jauh lebih sedikit dibanding remaja wanita. Bahkan, sepertinya kita sangat jarang mendapati remaja pria menenteng majalah Gadis, meski bukan berarti tidak ada.

Gaya tulisan di majalah remaja berbeda dengan gaya tulisan di majalah dewasa. Model artikel di majalah kesehatan jauh berbeda dibanding artikel di majalah humor. Begitu pula ilustrasi foto-fotonya, desain sampulnya, sampai lay out dan kemasannya. 

Selain itu, kebanyakan iklan yang terdapat di majalah wanita adalah iklan menyangkut produk atau layanan yang ditujukan untuk wanita. Kebanyakan iklan yang ada di majalah remaja adalah iklan mengenai hal-hal yang berhubungan dengan kehidupan para remaja. Kebanyakan iklan di majalah pria adalah iklan produk atau layanan yang ditujukan untuk pria. Sejauh ini, saya belum pernah menemukan iklan penumbuh kumis di majalah Gadis.

Apa artinya itu? Melalui ilustrasi-ilustrasi itu, kita mulai melihat yang disebut segmen pembaca. Yaitu segmentasi atau batasan lingkup pembaca yang dituju oleh sebuah produk, dalam hal ini majalah. Suatu majalah dengan segmentasi pembaca yang jelas akan lebih mudah dikenali daripada majalah yang segmen pembacanya tidak jelas. Dengan kata lain, segmentasi pembaca yang jelas akan ikut membentuk citra dan identitas.

Apa yang terbayang dalam benak kita ketika mendengar “majalah Aneka"? Benar, kita akan langsung membayangkan majalah remaja yang dibaca oleh para remaja. Meski mungkin ayah atau nenek kita juga ikut membaca majalah Aneka, tapi image majalah Aneka telah lekat sebagai majalah remaja. Karenanya, ketika para remaja membutuhkan bacaan untuk menambah wawasan, majalah Aneka menjadi salah satu pilihan. Begitu pula majalah-majalah lain yang ditujukan untuk segmen pembaca berbeda, masing-masing memiliki pembacanya sendiri.

Sebagai penulis, mengenali segmen pembaca adalah salah satu hal penting, karena segmen itu pula yang akan mempengaruhi isi serta gaya tulisan kita. Hilman Hariwijaya, misalnya, telah menentukan segmen pembacanya ketika menulis serial Lupus. Karena dia menujukan karyanya untuk remaja, dia pun menulis dengan gaya bahasa yang meremaja, serta hal-hal yang berhubungan dengan kehidupan remaja. Sejauh ini, saya belum pernah membaca kisah tentang Lupus yang membahas marxisme atau filsafat perennialisme.

Sebaliknya, Goenawan Mohamad menulis untuk pembaca dewasa—bahkan yang memiliki kadar intelektual cukup. Karenanya, dia pun menulis dengan serius, menggunakan referensi-referensi yang berat, menyitir perspektif dan pemikiran para tokoh dan filsuf, serta menyuguhkan tulisannya dengan sangat mendalam, hingga pembacanya berpikir.

Mana yang lebih baik antara Hilman Hariwijaya dan Goenawan Mohamad? Tidak ada yang lebih baik atau lebih buruk, karena keduanya memiliki pembacanya sendiri. Para pembaca tulisan Goenawan Mohamad bisa jadi dulunya penggemar Lupus, dan para remaja yang semula menyukai Lupus bisa jadi kelak akan mengagumi tulisan Goenawan Mohamad. Kenyataannya, saya sendiri pun begitu. Di masa remaja dulu, saya menyukai karya Hilman. Ketika dewasa, saya menyukai tulisan Goenawan Mohamad.

Segmentasi pembaca dalam penulisan adalah pemilihan objek atau sasaran tulisan, merujuk kepada siapa tulisan itu akan ditujukan. Dalam hal ini, ketika seseorang akan menulis, ia harus dapat membidik siapa yang diharapkan akan membaca tulisan tersebut. Hal ini penting, karena tulisan adalah media komunikasi yang memerlukan pemahaman seimbang antara penulis sebagai komunikan, dan pembaca sebagai penerima pesan. Tulisan adalah media sekaligus pesan yang memiliki syarat harus dipahami oleh penerima pesan. Karenanya, tulisan harus tepat dan sesuai dengan sasaran pembaca yang dituju oleh tulisan tersebut.

Jika hal ini mau dipaparkan lebih spesifik, maka segmentasi pembaca bisa dijabarkan berdasarkan usia (anak-anak, remaja, dewasa, orang tua, atau semua umur), berdasarkan pendidikan (prasekolah, sekolah dasar, sekolah menengah, mahasiswa, dosen, kalangan akademisi, atau masyarakat umum), berdasarkan lokasi tempat tinggal (masyarakat pedesaan, masyarakat perkotaan/urban, atau masyarakat umum), berdasarkan jenis kelamin (pria, wanita, atau semua jenis kelamin), dan lain-lain.

Melalui segmentasi yang jelas dan terarah, format dan bentuk tulisan akan sesuai dengan yang diinginkan oleh pembaca, sesuai pemahaman mereka, serta selaras dengan kondisi psikososial mereka. Hasilnya, tulisan kita pun memiliki peluang lebih besar untuk dapat diterima oleh mereka. Selain itu, menentukan segmentasi pembaca yang spesifik juga akan mempersempit tingkat persaingan yang ada.

Ketika mulai aktif menulis di blog, saya memikirkan hal itu cukup serius. Blog-blog terkenal di Indonesia bisa dikenali dalam beberapa segmen yang berbeda. Waktu itu, bisa dibilang dunia blog Indonesia didominasi oleh segelintir orang yang menggarap segmen pembacanya masing-masing, secara spesifik. Sebagai contoh, misalnya, Raditya Dika (radityadika.com) menguasai pembaca remaja, Ndoro Kakung (ndorokakung.com) membahas isu-isu sosial kontemporer yang dikemas ringan, sementara Priyadi (priyadi.net) membahas topik-topik yang relatif berat—keduanya tentu menujukan tulisannya untuk segmen pembaca dewasa.

Jika saya membuat blog dengan menyasar pembaca remaja, sama artinya saya harus bersaing dengan Raditya Dika. Jika saya menulis isu-isu sosial, artinya saya harus duel dengan Ndoro Kakung. Begitu pun, kalau saya membahas topik-topik berat, saya harus rebutan pembaca dengan Priyadi. Mereka telah lebih dulu aktif di dunia blog—jauh-jauh hari sebelum saya mulai menulis blog. Karenanya, bersaing dengan mereka sama artinya berperang tanpa jaminan menang.

Kenyataan itu bahkan telah terlihat sangat jelas. Di internet—khususnya di dunia blog Indonesia—tak terhitung banyaknya blogger yang mencoba meniru Raditya Dika. Mereka menulis catatan-catatan kesehariannya sambil berusaha melucu dan berharap pembaca akan tertawa. Dan apakah mereka berhasil? Sebagian kecil mungkin memang berhasil, tapi lebih banyak yang gagal.

Begitu pula orang-orang yang ingin meniru Ndoro Kakung atau Priyadi—sebagian dari mereka memang ada yang berhasil, tapi lebih banyak yang gagal. Yang berhasil memang bisa mendapatkan pembaca setia hingga blognya terkenal, sementara yang gagal mengalami nasib sebaliknya.

Karena pemikiran seperti itu, saya pun memikirkan segmen lain yang belum tergarap, yang kemudian membawa saya mengenali segmen sangat spesifik, yaitu anak muda yang mau belajar dan berpikir. Jadi, ketika mulai membuat dan menulis di blog, segmen pembaca itulah yang saya tuju—anak-anak muda yang mau belajar dan berpikir. Yang disebut “anak muda” bisa siapa saja, dari para remaja sampai orang tua yang masih berjiwa muda, pria maupun wanita. Jika mereka merasa muda dan mau belajar, maka itulah segmen pembaca yang saya tuju.

Setelah menentukan segmen pembaca secara jelas dan spesifik, saya pun mulai menyesuaikan tulisan agar benar-benar tepat seperti segmen pembaca yang saya tuju. Hasilnya, seperti yang bisa kalian lihat, blog ini membahas hal-hal serius bahkan kadang berat, namun menggunakan bahasa yang mudah dipahami, penjelasan sederhana yang tidak membosankan, meski sesekali membahas hal-hal ringan dan lucu yang membuat tersenyum.

Sebelumnya, jika saya perhatikan, kebanyakan blogger tampak tidak pede dengan tulisannya sendiri. Hal itu bisa dikenali dari seringnya penggunaan emoticon atau isyarat tertentu yang sering disisipkan dalam tulisan-tulisan mereka. Misalnya, ketika menyampaikan pendapat tertentu, dan khawatir akan berbeda pendapat dengan pembaca, mereka akan menambahkan emoticon senyum. Atau, ketika menyatakan suatu pikiran tertentu, dan khawatir akan dianggap terlalu serius, mereka akan menambahkan isyarat “Tsah!” atau semacamnya, yang menunjukkan kalau mereka tidak bermaksud serius.

Saya sengaja menghilangkan semua itu dari tulisan saya. Ketika bermaksud serius, saya benar-benar menunjukkan kalau saya serius—bahkan tulisan di blog ini pun sengaja menggunakan bahasa Indonesia baku dan bukan bahasa gaul—untuk menunjukkan kalau ini memang blog serius.

Saya percaya bahwa pembaca yang saya tuju—anak-anak muda yang mau belajar dan berpikir—memiliki kapasitas otak yang cukup, sehingga mereka tentu dapat menoleransi perbedaan pemikiran. Karenanya, saya tidak terlalu peduli kalau beda pendapat dengan orang lain, karena—bagi orang-orang yang mau belajar—beda pendapat atau perbedaan pikiran adalah hal biasa.

Karena segmentasi pembaca itu pula yang membuat saya menggunakan gaya bahasa seperti yang kalian kenali. Ketika menyapa pembaca dalam tulisan, misalnya, saya menggunakan “kau” atau “kalian”, dan bukan “kamu” atau “Anda”. Penggunaan kata ganti “kau” atau “kalian” lebih egaliter dan terdengar akrab daripada kata ganti “Anda” yang terdengar kaku atau terlalu formal. Sementara kata ganti “kamu” terdengar terlalu remaja.

Sejak menulis catatan pertama di blog hingga bertahun-tahun kemudian, saya terus konsisten menggunakan gaya bahasa semacam itu, karena segmen pembaca saya telah jelas dan spesifik. Topik atau tema apa pun yang saya bahas, semuanya ditulis dengan gaya yang sama. Saya tidak menulis untuk anak muda yang malas belajar, saya pun tidak menulis untuk orang tua kolot yang merasa dirinya pasti benar. Saya menulis untuk anak muda—teman-teman saya—yang mau belajar, dan berpikir, dan belajar, dan berpikir, dan belajar, dan berpikir.

Apakah formula yang saya terapkan di blog ini berhasil? Kalian sudah tahu jawabannya.

Segmentasi pembaca sebenarnya tidak hanya penting untuk penulis, namun juga penting untuk disadari oleh si pembaca. Bagi penulis, segmen pembaca yang jelas akan mengarahkannya dalam menulis agar tepat sasaran. Sementara bagi pembaca, segmentasi yang jelas akan memberitahu apakah suatu tulisan tepat untuk dibaca olehnya atau tidak.

Misalnya, pembaca yang menyukai tulisan-tulisan berat mungkin tidak cocok dengan tulisan-tulisan ringan. Karenanya, penikmat tulisan berat tidak perlu buang-buang waktu hanya untuk meributkan tulisan-tulisan yang dianggap ringan. Sebaliknya, pembaca yang menyukai tulisan-tulisan menghibur dan bikin cekikikan tidak perlu mengerutkan kening sampai gila hanya gara-gara memaksakan diri membaca tulisan berat. Masing-masing orang memiliki selera bacanya sendiri, sebagaimana masing-masing penulis memiliki segmen pembacanya sendiri.

Di catatan mendatang, kita akan membahas tentang tulisan ringan dan tulisan berat, serta beberapa hal yang perlu kita pahami mengenai keduanya.

Noffret’s Note: Kebisingan

Malam yang menggumpal mulai retak menjemput pagi.
Keheningan mulai terpecah oleh bising yang menari.
—Twitter, 5 Januari 2014

Malam menjemput subuh, dan subuh mengundang pagi.
Lalu kebisingan umat manusia dimulai.
—Twitter, 15 Agustus 2013

Seperti di hari-hari kemarin, pagi datang dengan hening.
Tapi manusia selalu memiliki cara untuk menodainya dengan bising.
—Twitter, 21 Juli 2014

Keahlian manusia yang paling hebat adalah membuat
kerusakan... dan kebisingan. Dalam hal itu, tidak ada
makhluk lain yang mampu menandingi.
—Twitter, 13 Agustus 2014

Manusia mungkin perlu belajar pada ikan sapu-sapu.
Diam, tenang, bekerja dengan baik dalam keheningan...
dan tak pernah membuat keributan.
—Twitter, 13 Agustus 2014

Aku benar-benar ingin tahu bagaimana pendapat Langit
tentang kerusakan dan kebisingan tanpa henti
yang terus diperbuat manusia di muka Bumi.
—Twitter, 13 Agustus 2014

Dari dulu aku tidak pernah takut mati. Bagiku,
kematian hanyalah perjalanan damai menuju hening,
meninggalkan dunia yang terlalu bising.
—Twitter, 13 Agustus 2014

Sebenarnya, yang paling ditakuti manusia bukan setan
atau kematian, tapi keheningan.
Mereka sudah terlalu asing dengan kesunyian.
—Twitter, 13 Agustus 2014

Kegilaan manusia terhadap hiburan dan ingar bingar
kebisingan hanyalah fakta kecil betapa manusia
memang selalu takut menghadapi kenyataan.
—Twitter, 27 Agustus 2014

Penyakit manusia modern yang paling mengerikan
bukan kanker atau semacamnya.
Tapi ketidakmampuan hidup tanpa suara apa-apa.
—Twitter, 13 Agustus 2014

Ada yang lebih menyedihkan dari kematian.
Yaitu hidup dalam kebisingan.
—Twitter, 13 Agustus 2014

Sejak bangun tidur sampai mau tidur lagi, kehidupan
manusia terus dihujani berbagai macam kebisingan,
hingga mereka asing dari keheningan.
—Twitter, 13 Agustus 2014

Dalam bayanganku, Neraka adalah tempat nyala api
dan teriakan bising. Dalam bayanganku,
Surga adalah tempat kelembutan sunyi yang hening.
—Twitter, 13 Agustus 2014

Rakus melahap apa saja, merusak alam hingga binasa,
menciptakan kebisingan luar biasa,
lalu mengklaim sebagai makhluk paling mulia. Manusia.
—Twitter, 13 Agustus 2014

Kesunyian dan keraguan mungkin berjodoh,
seperti kebisingan dan kebingungan menari seirama.
—Twitter, 8 Mei 2014

Bising bertanya pada Hening, “Kenapa kau tak bersuara?” |
Hening menjawab, “Kau telah mengambil semua suaraku.”
—Twitter, 14 Juni 2014

Suara bersahut-sahutan. Hening menyepi di kesunyian.
—Twitter, 4 Oktober 2014


*) Ditranskrip dari timeline @noffret.

Obrolan Bocah

“Aku sering melakukan hal-hal konyol,” ujar seorang bocah.

“Sama,” sahut bocah temannya. “Aku bahkan selalu melakukan hal-hal konyol.”

“Kenapa kita bisa seperti itu, ya?”

“Mungkin karena kita bocah.”

 
;