—Catatan dari Ramadan 2025
Malam ke-17 Ramadan, hujan turun sangat deras. Saya masih di rumah orang tua, waktu itu, karena biasa ikut tarawih di mushala depan rumah ortu. Menjelang tengah malam, hujan yang semula sangat deras perlahan-lahan surut. Ketika akhirnya tinggal gerimis, saya memutuskan untuk pulang.
Sambil berkendara pelan-pelan, saya memperhatikan kanan kiri jalan, mencari warung makan yang masih buka. Sampai kemudian saya melihat gerobak kacang rebus di pinggir jalan, tepat berhadapan dengan sebuah rumah sakit. Saya selalu suka kacang rebus, dan sudah lama tidak makan kacang rebus. Jadi saya pun memutuskan untuk berhenti.
Penjual kacang rebus itu sedang leyeh-leyeh di atas terpal yang ia gelar di trotoar. Ketika saya mendekati gerobaknya, ia bangkit dari leyeh-leyehnya, menyambut saya dengan ramah. Saya memesan dua contong kacang rebus.
Sambil menunggu dia membungkus kacang rebus yang masih hangat, saya melihat sekeliling. Jalanan tampak sepi, karena sudah tengah malam, dan gerimis masih turun. Saya lalu melihat terpal yang digelar di trotoar, dan berpikir, sepertinya enak makan kacang rebus saat tengah malam di pinggir jalan sepi.
Jadi, setelah membayar dua contong kacang rebus, saya bertanya pada penjualnya, “Saya boleh duduk di sini?”
“Silakan,” sahut penjual kacang rebus sambil tersenyum lebar. “Saya malah senang, karena ada teman.”
Kami lalu duduk di atas terpal, dan saya mulai menikmati kacang rebus yang hangat. Trotoar tempat terpal itu terlindung atap depan toko, sehingga tidak terkena gerimis yang masih turun. Tengah malam dingin, kacang rebus hangat, dinikmati di pinggir jalan sepi, adalah kombinasi yang sangat environmental—apa pun artinya.
Sambil menikmati kacang rebus, saya bertanya, “Sampeyan biasa mangkal di sini sampai tengah malam gini, Mas?” [Maksud saya, kalau dia memang biasa mangkal di sana, saya akan sering mendatanginya, karena memang suka kacang rebus.]
Penjual kacang rebus menyahut sambil tersenyum, “Nggak, Mas. Jam segini biasanya saya udah tidur di rumah.”
Saya menampakkan muka bingung, sambil terus mengunyah.
Penjual kacang rebus melanjutkan, masih dengan senyum, “Biasanya saya udah pulang sekitar isya. Tapi namanya jualan, kadang laris kadang sepi. Sejak Ramadan ini, sepi terus. Kalau pas sepi, saya terus jualan sampai tengah malam gini, nyari tempat yang sekiranya ada pembeli. Makanya saya sengaja bawa terpal, biar bisa leyeh-leyeh kalau pas nemu tempat mangkal yang pas, sekalian istirahat.”
Saya mengangguk-angguk, mulai memahami maksudnya. Dia pasti sengaja berhenti di depan rumah sakit, karena rumah sakit beroperasi 24 jam, dan selalu ada kemungkinan orang yang tertarik makan kacang rebus di tengah malam.
Ketika saya tanya sudah berapa lama dia jualan kacang rebus, dia menjawab, “Ini jalan tiga tahun. Tadinya saya guru, Mas.”
“Hah?” Saya kaget, karena baru mendengar ada guru yang alih profesi jadi penjual kacang rebus.
Penjual kacang rebus lagi-lagi tersenyum, kemudian menceritakan. Tadinya, dia mengabdi sebagai guru di sebuah SD. Sama seperti rata-rata guru honorer lain, dia sangat berharap diangkat jadi PNS. Tapi dia tidak tahu kapan hal itu akan terjadi, sementara honor sebagai guru sangat minim. Tapi yang membuat ia meninggalkan profesinya sebagai guru bukan masalah honor, melainkan dilema yang belakangan ia sadari.
Dia menceritakan, “Ada tetangga saya yang juga guru, dan belakangan diangkat jadi PNS. Selama mengabdi sebagai guru, tetangga saya ini punya usaha warung kelontong yang menopang kehidupannya. Setelah jadi PNS, dia mengajukan kredit ke bank, dan memperbesar warungnya. Belakangan, warung itu jadi toko, semacam minimarket, dan tetangga saya hidup berkecukupan. Yang jadi masalah, orang-orang di kampung kami kemudian menganggap dia korupsi.”
“Padahal dia jadi kaya karena usaha tokonya?” tanya saya.
“Iya,” jawab penjual kacang rebus. “Tetangga saya ini udah buka warung selama bertahun-tahun, udah punya banyak pelanggan. Tapi karena waktu itu masih guru honorer, dia nggak punya modal untuk memperbesar usaha. Setelah jadi PNS, dia punya gaji tetap yang lumayan, hingga bank berani ngasih kredit. Dari kredit itu dia mengembangkan warungnya jadi toko serbaada, dan penghasilan dari situ jelas meningkat. Tapi ya itu tadi, banyak orang di kampung kami nggak bisa memahami hal itu, dan seenaknya menuduh dia jadi kaya karena korupsi, hanya karena dia sekarang jadi PNS.”
Saya manggut-manggut.
Penjual kacang rebus melanjutkan, “Gara-gara hal itu, saya jadi kayak dilema. Di satu sisi, saya bertahan jadi guru honorer sambil berharap jadi PNS. Tapi di sisi lain, saya juga khawatir kalau jadi PNS bakal mendatangkan tuduhan seenaknya dari para tetangga. Akhirnya saya memutuskan keluar [dari pekerjaan sebagai guru] dan mencari pekerjaan lain. Semula, saya sempat kerja di pabrik. Tapi baru setahun [kerja di sana], pabriknya tutup. Habis itu saya mulai jualan kacang rebus, karena sulit nyari kerjaan lain.”
Sekali lagi saya manggut-manggut. Jalan hidup orang memang bisa sangat unik dan tak terduga.
Saya berkata, “Kalau di bulan Ramadan gini, orang dagang apa pun pasti laris, ya?”
Penjual kacang rebus tertawa. “Lha itu sampeyan lihat sendiri, kacang saya masih menggunung.”
Saya menengok ke gerobak, dan kacang rebus di sana memang masih menggunung. Saya kembali berkata, “Di depan mal yang dekat alun-alun, di sana banyak penjual aneka makanan. Saban saya lewat sana, pasti ramai banget. Sampeyan pernah nyoba jualan di sana?”
“Sering,” dia menjawab. “Semula, saya juga mikir gitu, daerah sekitar alun-alun selalu ramai, dan banyak penjual yang buka lapak di sana. Saya udah nyoba jualan di sana, sejak sebelum Ramadan sampai seminggu Ramadan. Tapi jarang yang beli. Saya sebelahan sama warung mi ayam dan tukang siomay. Mereka juga bilang sepi. Jadi emang di sana ramai, banyak orang, tapi mungkin tujuannya belanja ke mal, bukan buat jajan.”
Saya baru tahu soal itu.
Sekadar catatan, saya sering lewat depan mal yang kami bicarakan ini, dan jalanan di sekitar mal selalu ramai, bahkan macet, karena orang-orang berdesakan dengan banyak kendaraan di jalan. Di depan mal ada alun-alun, dan di seputar alun-alun itu penuh orang jualan aneka makanan. Semula, saya mengira keramaian di sana berdampak pada para penjual makanan. Tapi setelah mendengar penjelasan penjual kacang rebus, saya baru menyadari apa yang sebenarnya terjadi.
Tanpa terasa, kacang di contong sudah habis, lalu saya menyulut rokok. Setelah mengisapnya sesaat, saya berkata, “Kata orang-orang, Ramadan adalah bulan penuh berkah, jadi jualan apa aja pasti laku, bahkan laris.”
Penjual kacang rebus tertawa getir. “Itu, sih, jare wong kondho (kata orang). Kenyataannya nggak mesti gitu. Karena orang-orang sering kali hanya melihat, tapi nggak mengalami. Kayak sampeyan, misalnya. Lihat sekitar alun-alun selalu ramai, dan berpikir lapak-lapak penjual makanan di sana pasti laris. Nggak, Mas. Sampeyan cuma melihat. Sementara saya, dan para penjual lain, benar-benar mengalami. Dan kami membuktikan sendiri, keramaian yang terlihat itu nggak berarti jualan kami pasti laris. Orang-orang yang ramai di sana itu mungkin ingin jalan-jalan atau belanja di mal, bukan untuk mendatangi lapak-lapak kami.”
Penjelasan itu membuat saya teringat sesuatu. Saya pernah membaca analisis yang menyatakan bahwa kita saat ini sedang memasuki era “resesi yang aneh”—untuk tidak menyebut mengerikan—akibat piramida kehidupan makin meluas di bagian bawah. Dalam skema sederhana, piramida ekonomi terdiri dari tiga bagian. Paling bawah adalah bagian masyarakat miskin, bagian tengah piramida diisi kalangan menengah, sementara puncak piramida ditempati kalangan atas.
Sebagaimana bentuk piramida, semakin ke atas semakin mengecil. Karena nyatanya kalangan atas hanya sedikit, kalangan menangah cukup banyak, sementara kalangan miskin yang paling banyak. Yang jadi masalah, saat ini piramida ekonomi mengalami perubahan; bagian paling bawah—yang berisi orang-orang miskin—semakin meluas, sementara uang hanya berputar di kalangan menangah dan atas. Akibatnya, kalangan menengah dan atas mungkin saat ini tidak terlalu merasakan adanya resesi. Tapi kalangan terbawah, yaitu orang-orang miskin, benar-benar terimpit karena mereka harus memperebutkan jumlah uang yang makin sedikit, sementara yang memperebutkan semakin banyak.
Dalam skala sederhana, penjelasan penjual kacang rebus tadi “match” dengan analisis tersebut. Kalau kamu termasuk kalangan atas, hampir dapat dipastikan kamu tidak merasakan masalah ekonomi sama sekali, karena uang masih lancar berputar. Kalau kamu termasuk kalangan menengah, kamu mungkin merasakan masalah ekonomi, tapi kamu belum terpikir resesi, karena setidaknya masih ada uang yang mudah diperoleh, misalnya penghasilan tetap. Tapi kalau kamu termasuk kalangan bawah, kamu pasti berani bersumpah bahwa saat ini sulit sekali mencari uang, karena perputaran uang di kalangan terbawah memang makin sedikit, sementara yang memperebutkan semakin banyak.
Kita saat ini sedang mengalami resesi yang aneh sekaligus mengerikan, karena resesi itu hanya dialami dan dirasakan kalangan bawah. Jadi orang-orang dari kalangan atas tetap asyik membeli iPhone terbaru, kalangan menengah tetap jalan-jalan di mal, sementara kalangan bawah makin tercekik. Karena bahkan sekadar untuk bertahan hidup pun, mereka merasakan napas kian menipis.
Larut malam itu, duduk di terpal bersama penjual kacang rebus, saya menatap gerimis yang masih turun. Rintik air tak putus-putus, dan entah kapan akan berhenti. Sementara dingin kian menggigit.