Jumat, 20 Juni 2025

Kebenaran Tertua di Dunia

Salah satu kebenaran tertua di dunia yang tak juga dipahami manusia: 

Jika rumah tangga bermasalah, yang akan jadi korban terbesar adalah anak-anak di dalamnya. Merekalah yang akan menanggung kepedihan batin sekaligus trauma, yang sering kali terus mereka rasakan sampai dewasa.

Yang disebut "masalah dalam rumah tangga" sebenarnya bukan hanya masalah antara suami dan istri (misal perselingkuhan atau KDRT), tapi juga sikap atau perlakuan orang tua pada anak-anak, kesiapan mental dan emosi orang tua dalam memiliki dan menghadapi anak-anak mereka.

Kita sering mendengar pesan yang serupa doktrinasi, bahwa "anak-anak seperti kertas putih". Itu benar. Anak-anak yang diasuh dan dibesarkan dengan penuh cinta kasih akan tumbuh dengan cinta kasih serupa [bahkan lebih besar] pada orang tuanya.

Dan... tepat begitu pula sebaliknya.

Ada banyak orang tua di dunia ini yang sangat baik pada anak-anaknya. Itu fakta.

Tapi jangan lupakan fakta bahwa di dunia ini juga ada orang tua yang buruk, yang memperlakukan anak-anaknya dengan kejam, hingga si anak trauma sampai dewasa, dan memendam kebencian diam-diam.

Kadang-kadang kita begitu egois, dan menilai orang lain berdasarkan pengalaman diri sendiri. Karena orang tua kita baik, misalnya, lalu kita berkeyakinan bahwa semua orang tua di dunia juga sama baik. 

Itu benar-benar naif. Tidak semua anak beruntung punya orang tua yang baik.

Memang, ada kalanya orang tua memperlakukan anak-anaknya dengan sangat buruk dan kejam, semata-mata karena ketidaktahuan. 

Misalnya, karena dulu dia dibesarkan dengan kejam oleh orang tuanya, lalu dia juga memperlakukan anak-anaknya dengan kejam, dan menganggap itu hal biasa.

Tetapi, terlepas apa pun alasan dan latar belakangnya, kita menghadapi kebenaran ini: Bahwa kesiapan memiliki anak (misal pengetahuan parenting/pengasuhan) sama penting dengan memiliki anak, sebagaimana kesiapan menikah (secara mental dan emosional) sama penting dengan menikah.

Sayangnya, selama ini kita terus menerus didoktrin dengan berat sebelah. Kita disuruh-suruh menikah, tapi tidak disuruh untuk mempersiapkan diri (secara mental, emosional, sampai finansial). Kita disuruh segera punya anak, tapi tidak disuruh belajar parenting dan pengasuhan anak.

Bisa melihat bagaimana mengerikannya dampak yang ditimbulkan doktrin semacam itu? Hasil yang muncul, sebagaimana yang kita saksikan sekarang, adalah kekacauan rumah tangga, KDRT, perselingkuhan, tingginya angka perceraian, sampai anak-anak yang trauma dan terluka... dan terluka.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 16 November 2022.

Jumat, 20 Juni 2025

Bukan Aku

Rintik gerimis menerpa jendela kaca. 
Tik. Tik. Tik. 
Seseorang meringkuk di sampingku. 
Matanya lelap. 
Wajahnya milikku. 
Tapi bukan aku.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 16 Maret 2012.

Jumat, 20 Juni 2025

Lagi

Lagi pusing lagi.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 22 Maret 2012.

Jumat, 20 Juni 2025

Jejak

Kita meninggalkan jejak kaki di belakang. Kadang terlihat, kadang tidak. Tapi jejak itu ada di sana. Dan, terkadang, seseorang menemukannya.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 26 Agustus 2012.

Jumat, 20 Juni 2025

Karena Sutradaranya

Film yang paling kunantikan saat ini: Ambulance. Karena sutradaranya Michael Bay.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 27 Oktober 2021.

Jumat, 20 Juni 2025

Tidak Butuh Sayap

Kita tidak butuh sayap untuk terbang. Tetapi kita juga tidak perlu menjalani hidup dengan merangkak.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 28 Agustus 2012.

Jumat, 20 Juni 2025

Setan Menggodaku

Setan menggodaku agar menggodamu. Ternyata, dia juga menggodamu agar menggodaku. Lalu kita saling menggoda dan tergoda. Dan setan tertawa.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 29 Agustus 2012.

Jumat, 20 Juni 2025

Cakep Cuma Pas Habis Mandi

Merasa cakep cuma pas habis mandi. Aku.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 18 September 2019.

Jumat, 20 Juni 2025

Selera Humor Tak Terduga

Seseorang di Twitter dengan serius mengklaim dirinya "Presiden Republik Social Media". Twitter memang memiliki selera humor tak terduga.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 12 Maret 2012.

Jumat, 20 Juni 2025

Masih Ramai

Seharian gak lihat Twitter, ternyata sampai sekarang masih ramai.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 28 Septmber 2019.

Jumat, 20 Juni 2025

Bagindu

Oh... bagindu. 

Selasa, 10 Juni 2025

Kacang Rebus dan Obrolan Tengah Malam

—Catatan dari Ramadan 2025


Malam ke-17 Ramadan, hujan turun sangat deras. Saya masih di rumah orang tua, waktu itu, karena biasa ikut tarawih di mushala depan rumah ortu. Menjelang tengah malam, hujan yang semula sangat deras perlahan-lahan surut. Ketika akhirnya tinggal gerimis, saya memutuskan untuk pulang.

Sambil berkendara pelan-pelan, saya memperhatikan kanan kiri jalan, mencari warung makan yang masih buka. Sampai kemudian saya melihat gerobak kacang rebus di pinggir jalan, tepat berhadapan dengan sebuah rumah sakit. Saya selalu suka kacang rebus, dan sudah lama tidak makan kacang rebus. Jadi saya pun memutuskan untuk berhenti.

Penjual kacang rebus itu sedang leyeh-leyeh di atas terpal yang ia gelar di trotoar. Ketika saya mendekati gerobaknya, ia bangkit dari leyeh-leyehnya, menyambut saya dengan ramah. Saya memesan dua contong kacang rebus.

Sambil menunggu dia membungkus kacang rebus yang masih hangat, saya melihat sekeliling. Jalanan tampak sepi, karena sudah tengah malam, dan gerimis masih turun. Saya lalu melihat terpal yang digelar di trotoar, dan berpikir, sepertinya enak makan kacang rebus saat tengah malam di pinggir jalan sepi.

Jadi, setelah membayar dua contong kacang rebus, saya bertanya pada penjualnya, “Saya boleh duduk di sini?”

“Silakan,” sahut penjual kacang rebus sambil tersenyum lebar. “Saya malah senang, karena ada teman.”

Kami lalu duduk di atas terpal, dan saya mulai menikmati kacang rebus yang hangat. Trotoar tempat terpal itu terlindung atap depan toko, sehingga tidak terkena gerimis yang masih turun. Tengah malam dingin, kacang rebus hangat, dinikmati di pinggir jalan sepi, adalah kombinasi yang sangat environmental—apa pun artinya. 

Sambil menikmati kacang rebus, saya bertanya, “Sampeyan biasa mangkal di sini sampai tengah malam gini, Mas?” [Maksud saya, kalau dia memang biasa mangkal di sana, saya akan sering mendatanginya, karena memang suka kacang rebus.]

Penjual kacang rebus menyahut sambil tersenyum, “Nggak, Mas. Jam segini biasanya saya udah tidur di rumah.”

Saya menampakkan muka bingung, sambil terus mengunyah.

Penjual kacang rebus melanjutkan, masih dengan senyum, “Biasanya saya udah pulang sekitar isya. Tapi namanya jualan, kadang laris kadang sepi. Sejak Ramadan ini, sepi terus. Kalau pas sepi, saya terus jualan sampai tengah malam gini, nyari tempat yang sekiranya ada pembeli. Makanya saya sengaja bawa terpal, biar bisa leyeh-leyeh kalau pas nemu tempat mangkal yang pas, sekalian istirahat.”

Saya mengangguk-angguk, mulai memahami maksudnya. Dia pasti sengaja berhenti di depan rumah sakit, karena rumah sakit beroperasi 24 jam, dan selalu ada kemungkinan orang yang tertarik makan kacang rebus di tengah malam.

Ketika saya tanya sudah berapa lama dia jualan kacang rebus, dia menjawab, “Ini jalan tiga tahun. Tadinya saya guru, Mas.”

“Hah?” Saya kaget, karena baru mendengar ada guru yang alih profesi jadi penjual kacang rebus.

Penjual kacang rebus lagi-lagi tersenyum, kemudian menceritakan. Tadinya, dia mengabdi sebagai guru di sebuah SD. Sama seperti rata-rata guru honorer lain, dia sangat berharap diangkat jadi PNS. Tapi dia tidak tahu kapan hal itu akan terjadi, sementara honor sebagai guru sangat minim. Tapi yang membuat ia meninggalkan profesinya sebagai guru bukan masalah honor, melainkan dilema yang belakangan ia sadari.

Dia menceritakan, “Ada tetangga saya yang juga guru, dan belakangan diangkat jadi PNS. Selama mengabdi sebagai guru, tetangga saya ini punya usaha warung kelontong yang menopang kehidupannya. Setelah jadi PNS, dia mengajukan kredit ke bank, dan memperbesar warungnya. Belakangan, warung itu jadi toko, semacam minimarket, dan tetangga saya hidup berkecukupan. Yang jadi masalah, orang-orang di kampung kami kemudian menganggap dia korupsi.”

“Padahal dia jadi kaya karena usaha tokonya?” tanya saya.

“Iya,” jawab penjual kacang rebus. “Tetangga saya ini udah buka warung selama bertahun-tahun, udah punya banyak pelanggan. Tapi karena waktu itu masih guru honorer, dia nggak punya modal untuk memperbesar usaha. Setelah jadi PNS, dia punya gaji tetap yang lumayan, hingga bank berani ngasih kredit. Dari kredit itu dia mengembangkan warungnya jadi toko serbaada, dan penghasilan dari situ jelas meningkat. Tapi ya itu tadi, banyak orang di kampung kami nggak bisa memahami hal itu, dan seenaknya menuduh dia jadi kaya karena korupsi, hanya karena dia sekarang jadi PNS.”

Saya manggut-manggut.

Penjual kacang rebus melanjutkan, “Gara-gara hal itu, saya jadi kayak dilema. Di satu sisi, saya bertahan jadi guru honorer sambil berharap jadi PNS. Tapi di sisi lain, saya juga khawatir kalau jadi PNS bakal mendatangkan tuduhan seenaknya dari para tetangga. Akhirnya saya memutuskan keluar [dari pekerjaan sebagai guru] dan mencari pekerjaan lain. Semula, saya sempat kerja di pabrik. Tapi baru setahun [kerja di sana], pabriknya tutup. Habis itu saya mulai jualan kacang rebus, karena sulit nyari kerjaan lain.”

Sekali lagi saya manggut-manggut. Jalan hidup orang memang bisa sangat unik dan tak terduga.

Saya berkata, “Kalau di bulan Ramadan gini, orang dagang apa pun pasti laris, ya?”

Penjual kacang rebus tertawa. “Lha itu sampeyan lihat sendiri, kacang saya masih menggunung.”

Saya menengok ke gerobak, dan kacang rebus di sana memang masih menggunung. Saya kembali berkata, “Di depan mal yang dekat alun-alun, di sana banyak penjual aneka makanan. Saban saya lewat sana, pasti ramai banget. Sampeyan pernah nyoba jualan di sana?”

“Sering,” dia menjawab. “Semula, saya juga mikir gitu, daerah sekitar alun-alun selalu ramai, dan banyak penjual yang buka lapak di sana. Saya udah nyoba jualan di sana, sejak sebelum Ramadan sampai seminggu Ramadan. Tapi jarang yang beli. Saya sebelahan sama warung mi ayam dan tukang siomay. Mereka juga bilang sepi. Jadi emang di sana ramai, banyak orang, tapi mungkin tujuannya belanja ke mal, bukan buat jajan.”

Saya baru tahu soal itu. 

Sekadar catatan, saya sering lewat depan mal yang kami bicarakan ini, dan jalanan di sekitar mal selalu ramai, bahkan macet, karena orang-orang berdesakan dengan banyak kendaraan di jalan. Di depan mal ada alun-alun, dan di seputar alun-alun itu penuh orang jualan aneka makanan. Semula, saya mengira keramaian di sana berdampak pada para penjual makanan. Tapi setelah mendengar penjelasan penjual kacang rebus, saya baru menyadari apa yang sebenarnya terjadi.

Tanpa terasa, kacang di contong sudah habis, lalu saya menyulut rokok. Setelah mengisapnya sesaat, saya berkata, “Kata orang-orang, Ramadan adalah bulan penuh berkah, jadi jualan apa aja pasti laku, bahkan laris.”

Penjual kacang rebus tertawa getir. “Itu, sih, jare wong kondho (kata orang). Kenyataannya nggak mesti gitu. Karena orang-orang sering kali hanya melihat, tapi nggak mengalami. Kayak sampeyan, misalnya. Lihat sekitar alun-alun selalu ramai, dan berpikir lapak-lapak penjual makanan di sana pasti laris. Nggak, Mas. Sampeyan cuma melihat. Sementara saya, dan para penjual lain, benar-benar mengalami. Dan kami membuktikan sendiri, keramaian yang terlihat itu nggak berarti jualan kami pasti laris. Orang-orang yang ramai di sana itu mungkin ingin jalan-jalan atau belanja di mal, bukan untuk mendatangi lapak-lapak kami.”

Penjelasan itu membuat saya teringat sesuatu. Saya pernah membaca analisis yang menyatakan bahwa kita saat ini sedang memasuki era “resesi yang aneh”—untuk tidak menyebut mengerikan—akibat piramida kehidupan makin meluas di bagian bawah. Dalam skema sederhana, piramida ekonomi terdiri dari tiga bagian. Paling bawah adalah bagian masyarakat miskin, bagian tengah piramida diisi kalangan menengah, sementara puncak piramida ditempati kalangan atas.

Sebagaimana bentuk piramida, semakin ke atas semakin mengecil. Karena nyatanya kalangan atas hanya sedikit, kalangan menangah cukup banyak, sementara kalangan miskin yang paling banyak. Yang jadi masalah, saat ini piramida ekonomi mengalami perubahan; bagian paling bawah—yang berisi orang-orang miskin—semakin meluas, sementara uang hanya berputar di kalangan menangah dan atas. Akibatnya, kalangan menengah dan atas mungkin saat ini tidak terlalu merasakan adanya resesi. Tapi kalangan terbawah, yaitu orang-orang miskin, benar-benar terimpit karena mereka harus memperebutkan jumlah uang yang makin sedikit, sementara yang memperebutkan semakin banyak.

Dalam skala sederhana, penjelasan penjual kacang rebus tadi “match” dengan analisis tersebut. Kalau kamu termasuk kalangan atas, hampir dapat dipastikan kamu tidak merasakan masalah ekonomi sama sekali, karena uang masih lancar berputar. Kalau kamu termasuk kalangan menengah, kamu mungkin merasakan masalah ekonomi, tapi kamu belum terpikir resesi, karena setidaknya masih ada uang yang mudah diperoleh, misalnya penghasilan tetap. Tapi kalau kamu termasuk kalangan bawah, kamu pasti berani bersumpah bahwa saat ini sulit sekali mencari uang, karena perputaran uang di kalangan terbawah memang makin sedikit, sementara yang memperebutkan semakin banyak.

Kita saat ini sedang mengalami resesi yang aneh sekaligus mengerikan, karena resesi itu hanya dialami dan dirasakan kalangan bawah. Jadi orang-orang dari kalangan atas tetap asyik membeli iPhone terbaru, kalangan menengah tetap jalan-jalan di mal, sementara kalangan bawah makin tercekik. Karena bahkan sekadar untuk bertahan hidup pun, mereka merasakan napas kian menipis.

Larut malam itu, duduk di terpal bersama penjual kacang rebus, saya menatap gerimis yang masih turun. Rintik air tak putus-putus, dan entah kapan akan berhenti. Sementara dingin kian menggigit.

Selasa, 10 Juni 2025

Menyaksikan Dunia Terbakar

Masih ingat Alqaeda? Dulu, Alqaeda muncul dan dunia gempar. Setelah Alqaeda hancur, muncul ISIS. Kini, ISIS mengalami kehancuran seperti Alqaeda. 

Aku berani bertaruh, kelak akan muncul sesuatu yang serupa, yang akan kembali membuat dunia kacau seperti sebelumnya.

Dunia tidak baik-baik saja, karena dunia memang sengaja dirancang untuk tidak baik-baik saja.

Sementara di sini sebagian orang sibuk mengurusi selangkangan, di luar sana ada orang-orang yang terus merancang dan mencabik-cabik peradaban manusia, demi menyaksikan dunia terbakar.

Dulu, waktu awal ISIS muncul, sebagian orang (yang mungkin merasa pintar) menghubung-hubungkan kemunculan ISIS dengan "pasukan berbendera hitam" yang konon akan muncul di akhir zaman, sebagaimana yang telah dinubuatkan.

Orang-orang itu melihat "permainan" dengan cara terbalik.

Orang yang merancang ISIS memang sengaja menciptakan gerombolan itu sesuai "nubuat akhir zaman" (pasukan berbendera hitam) agar orang-orang naif mempercayainya begitu. Bukan nubuat yang meramalkan kelahiran ISIS, tapi ISIS yang memang sengaja dibentuk agar sesuai gambaran nubuat.

Yang paling mudah memang menipu manusia dengan embel-embel agama, memberi mereka mimpi tentang utopia. Lalu mereka tersesat sambil meyakini diri paling benar, sambil membunuh manusia lainnya.

Dan sementara itu, di kegelapan, orang-orang tertawa menyaksikan dunia yang terbakar.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 1 April 2019.

Selasa, 10 Juni 2025

Ritual Bocah

Saya lagi duduk sendirian sambil menikmati udud, ketika seorang bocah lewat, kemudian mendekati batu besar yang ada di pinggir jalan.

Di depan batu besar, bocah itu tampak diam sejenak, lalu berkata dengan suara keras, “Dia adalah hedot! Dia adalah hedot! Oh, oh, oh!” Setelah itu dia menepuk batu dengan cukup keras, tiga kali. Dia kembali tampak diam sejenak di depan batu, lalu pergi meneruskan langkah.

Saya tertarik menyaksikan itu. 

Setelah udud habis, saya mendekati batu besar di sana, diam sejenak di hadapannya, lalu berkata dengan suara keras, “Dia adalah hedot! Dia adalah hedot! Oh, oh, oh!” Setelah itu saya menepuk batu dengan cukup keras, tiga kali. Saya kembali diam sejenak di depan batu, lalu pergi meninggalkannya.

Jiwa bocah saya terasa damai.

Selasa, 10 Juni 2025

Petanda Ribuan Tahun

Ribuan tahun lalu, ada orang-orang yang meninggalkan "petanda" lewat patung, rute-rute jalan, karya seni, lukisan, hingga catatan-catatan abstrak dalam buku-buku tua berdebu. Petanda-petanda itu ditinggalkan begitu saja, tampak tidak penting, tapi "memandu" siapa pun yang tahu.

Ribuan tahun kemudian, di zaman digital, orang-orang semacam itu tetap ada, mewarisi pengetahuan-pengetahuan kuno yang diwariskan dari masa ribuan tahun lalu, dan kini mereka mewariskannya pada generasi mendatang. Tidak lagi lewat patung dan semacamnya... tapi lewat internet.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 3 April 2019.

Selasa, 10 Juni 2025

Zamani di HRC

Tempo hari di Hard Rock Cafe Singapura, Zamani bernyanyi riang, setelah bangkit dari patah hati yang nyaris membunuhnya. Dia membuktikan waktu memang menyembuhkan luka hati, dan orang bisa terlahir kembali.

Bagi yang tak tahu siapa Zamani, lihat di sini » http://bit.ly/2cCh0Mj 


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 2 April 2019.

Selasa, 10 Juni 2025

Catatan dari Sunyi

Catatan dari tempat paling terpencil di dunia, terindah di bawah langit, sekaligus paling sunyi di muka bumi.

Kesunyian Sunyi » https://bit.ly/2HJtos3 


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 17 Maret 2019.

Selasa, 10 Juni 2025

Gemboran

Ora awan, ora bengi, gaweane gemboran.

Selasa, 10 Juni 2025

Ada Apa dengan Brama?

Seharian tadi ada ratusan orang masuk blogku dengan keyword "Brama Kumbara", "Brama vs Kampala", dan semacamnya. Ada apa dengan Brama ya?


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 3 April 2012.

Selasa, 10 Juni 2025

Kultwit Soal Kultwit

Coba ya, ada yang kultwit soal kultwit.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 27 Maret 2012.

Selasa, 10 Juni 2025

Umur 14

Sekarang aku jadi mengingat-ingat, apa yang sekiranya dulu kulakukan waktu berumur 14.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 30 Januari 2020.

Selasa, 10 Juni 2025

Terlalu Sering

Sri Mulyani terlalu sering mendapat penghargaan dengan embel-embel "terbaik", dan itu justru mencurigakan, meski mungkin terkesan hebat bagi orang awam.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 21 Maret 2019.

Minggu, 01 Juni 2025

Buka Bersama Kaum Introver

—Catatan dari Ramadan 2025


Hari kedua Ramadan, Rusli mengirim pesan WhatsApp ke ponsel saya, “Kalau nanti sore aku mengundangmu datang ke rumah untuk buka bersama, kamu mau?”

Saya menjawab, “Ya, aku datang.”

Sore harinya, sekitar pukul 17.00, saya berangkat ke rumah Rusli. Bayangan saya waktu itu, Rusli mengundang beberapa teman kami. Tetapi, ketika sampai di rumah Rusli, saya tidak mendapati siapa pun, selain si tuan rumah.

“Aku berencana mengundang satu orang per hari untuk buka bersama, sampai akhir Ramadan,” Rusli menjelaskan, “dan kamu orang pertama yang kuundang.”

Saya agak tercengang mendengarnya.

Rusli mengajak saya ke samping rumah, tempat kami biasa nyangkruk kalau ketemu. Di tempat itu ada meja, dan di atasnya terdapat aneka jajan di piring. Dari kue lapis, lumpiang, martabak mini, risoles, yang semuanya tampak enak. 

Sambil menunggu maghrib, kami duduk di sana dan bercakap-cakap. Saya bertanya, “Gimana ceritanya, kok kamu punya ide buka bersama yang aneh ini?”

Rusli tersenyum. “Kemarin, pas hari pertama Ramadan, banyak wanita di kampung sini yang jualan jajan, lewat depan rumah. Aku kenal rata-rata mereka, dan aku beli beberapa jajan untuk buka puasa. Sambil menikmati jajan-jajan itu, aku teringat pada ibuku dulu.”

Lalu Rusli menceritakan. Dulu, saat ibunya masih ada, ibu Rusli kerap membeli jajan yang dijual para wanita di kampung mereka. Di tempat Rusli, setiap hari ada beberapa wanita yang keliling kampung, dan mereka selalu mendatangi rumah Rusli, menawarkan dagangan. Setiap hari pula, ibu Rusli membeli dagangan wanita-wanita itu, biasanya secara bergilir. Karena itu, setiap hari selalu ada jajan yang berbeda-beda di rumah Rusli.

Rusli pernah bertanya pada ibunya, kenapa ia rutin membeli jajan dari para wanita itu setiap hari, dan ibunya memberi jawaban tak terduga. Ibu Rusli mengatakan, “Wanita-wanita yang berdagang keliling itu para janda. Suami mereka udah meninggal, dan mereka harus menghidupi anak-anaknya. Karena itu Ibu selalu berusaha membeli dagangan mereka, sebagai upaya kecil membantu para wanita itu, agar mereka nggak kehilangan harapan.”

Penjelasan itu sangat mengejutkan bagi Rusli, karena ia tidak pernah memikirkan hal itu sebelumnya. Ibu Rusli juga seorang janda, karena ayah Rusli telah meninggal sejak lama. Jadi ibu Rusli tentunya juga tahu bagaimana kehidupan, tantangan, serta perasaan yang dialami para janda yang berjualan keliling itu. 

“Sejak itu,” ujar Rusli pada saya kemudian, “aku jadi punya pandangan berbeda pada wanita-wanita yang sering menawarkan jualannya ke sini. Tadinya aku nggak punya perasaan apa-apa, selain hanya berpikir kalau mereka berjualan. Tapi setelah mendengar penjelasan ibuku, aku menyadari kalau wanita-wanita itu bukan sekadar berjualan—mereka sedang mempertahankan hidupnya, berusaha menghidupi anak-anaknya, dengan upaya yang mereka bisa.”
 
Rusli mengenal wanita-wanita yang berjualan itu, karena memang tinggal di perkampungan yang sama. Ketika ibunya meninggal beberapa tahun lalu, Rusli melanjutkan kebiasaan ibunya; membeli dagangan para wanita yang biasa datang ke rumahnya. 

Dalam perspektif Rusli, para wanita yang berjualan itu bukan sekadar mencari untung yang paling beberapa rupiah, tapi juga mempertahankan harapan bahwa hidup masih layak dijalani, bahwa upaya yang mereka lakukan tidak sia-sia. Karenanya, ketika membeli dagangan para wanita itu, Rusli tidak berpikir bahwa ia sedang membeli dagangan mereka, tapi lebih sebagai semacam upaya menunaikan kewajiban moral pada sesama manusia.

Saya manggut-manggut mendengar penjelasan itu.

Rusli melanjutkan, “Kemarin, pas beli jajan mereka untuk buka puasa, aku terpikir ingin beli lebih banyak. Masalahnya, aku nggak akan bisa menghabiskannya sendiri. Jadi aku lalu punya ide bikin acara buka bersama yang aneh ini, mengundang satu teman per hari, agar aku bisa terus membeli jajan dari para wanita itu setiap hari. Mereka senang, aku juga senang, dan teman-teman yang kuundang juga semoga ikut senang.”

“Aku senang, Rus,” ujar saya jujur. “Jajan-jajan di meja ini favoritku.”

Ketika azan maghrib terdengar, kami memulai buka puasa dengan teh hangat yang telah siap di meja, lalu menyantap jajan di piring. Seperti yang saya bayangkan, jajan-jajan itu memang enak. Teh hangat, jajan tradisional, dan udud, adalah kombinasi buka puasa yang sangat environmental—apa pun artinya.

Malam harinya, sekitar pukul 20.00, Rusli menawari untuk keluar cari makan, tapi saya mengatakan, “Aku masih kenyang sekarang, dan biasanya juga cuma makan pas sahur.”

“Yang bener?” 

“Iya,” saya menjawab, “kalau puasa, aku cuma makan satu kali, biasanya kalau udah larut malam, atau pas jam sahur.”

Biasanya, saat buka puasa, saya hanya minum teh hangat, makan jajan, dan udud. Sudah. Setelah itu berangkat ke rumah ortu, karena ikut shalat tarawih di sana, dan pulangnya mampir ke warung untuk makan. Kalau kebetulan belum lapar, saya pulang ke rumah, lalu baru keluar mencari makan setelah tengah malam atau sekitar jam makan sahur. Itu satu-satunya waktu saya makan nasi, dan hanya satu kali itu.

Rusli bertanya, “Emang kamu nggak lapar pas siangnya?”

Saya tersenyum, “Namanya juga puasa, ya pasti lapar, lah!”

Rusli tertawa, “Maksudku, kalau kamu sadar bakal kelaparan karena cuma makan satu kali, kenapa nggak makan dua kali, pas buka dan pas sahur?”

“Jawabannya mungkin terdengar filosofis.”

“Jelasin aja, siapa tahu aku tertarik mengikuti.”

Saya lalu menjelaskan, “Aku mikirnya gini. Puasa itu pembelajaran untuk menahan diri, karena asal kata puasa—shaum—artinya memang menahan diri. Menahan lapar, menahan haus, menahan hasrat ingin udud, dan menahan hal-hal lain yang biasa kita lakukan sebagai manusia. Di malam hari, aku masih minum teh dalam jumlah banyak, dan masih udud dalam jumlah banyak. Aku cuma mengurangi makan, karena baru itu yang bisa kulakukan. Kenapa ini penting? Karena kalau di bulan puasa aku masih makan dalam jumlah banyak seperti di hari-hari biasa, ya buat apa puasa? Itu kayak cuma memindahkan waktu makan dari siang ke malam, dan esensi puasa jadi hilang.”

Rusli ngikik, tapi kemudian manggut-manggut. “Aku paham sekarang.”

Saya meminum teh di gelas, lalu berkata, “Makanya aku heran campur bingung tiap melihat orang-orang merazia warung-warung yang buka di bulan Ramadan, lalu memarahi orang-orang lain yang nggak puasa. Jika puasa bertujuan menahan diri, itu di mana letak menahan dirinya? Lagian nggak setiap orang Islam juga puasa Ramadan, misal karena lagi haid, atau lagi sakit, atau kebetulan lagi bepergian jauh dan butuh makan di warung.”

Seiring percakapan yang terus mengalir, jajan di piring semakin habis, sementara asbak makin penuh puntung rokok.

Rusli berkata, “Aku baru ingat sekarang. Kamu, kan, punya masalah GERD, ya. Dengan kamu cuma makan satu kali, itu nggak apa-apa selama puasa? Soalnya ada orang yang sampai pingsan bahkan meninggal karena GERD-nya kumat pas puasa.”

“Mungkin daya tahan tubuh atau masalah GERD orang per orang beda-beda, ya,” saya menjawab. “Kalau aku sendiri, selama ada sesuatu yang masuk ke perut, misal jajan kayak gini, terus juga makan nasi pas jam sahur, bisa dibilang nggak ada masalah. Biasanya, GERD-ku kambuh kalau sama sekali nggak ada makanan yang masuk, atau cuma makan sesuatu yang nggak bergizi.”

Saya lalu menceritakan, “Dulu pernah kejadian, pas bulan puasa aku nggak makan apa-apa, karena semalaman terus-terusan hujan. Aku malas keluar. Pas buka puasa, aku cuma minum teh sambil udud. Malam harinya, aku cuma beli siomay yang kebetulan lewat. Besoknya, perutku melilit nggak karuan, GERD-ku kambuh, dan aku merasa mau mati. Aku pergi ke apotek, beli obat, dan terpaksa batalin puasa. Sejak itu aku mengingat-ingat untuk cukup gizi selama puasa, agar kejadian kayak gitu nggak terulang. Yang konyol, aku cerita kejadian itu ke adikku. Terus adikku cerita ke Ibu, dan kayaknya Ibu salah nangkep dan mengira sebulan itu aku nggak puasa. Hahaha...”

“Terus kamu jelasin hal yang sebenarnya ke ibumu?”

“Nggak.”

Rusli heran, “Lhoh, kenapa?”

Sambil tertawa, saya menjawab, “Aku berpuasa untuk diriku sendiri, bukan untuk orang lain. Jadi kalau ibuku atau siapa pun mengira aku nggak puasa, ya bodo amat, wong itu memang bukan urusan mereka.”

Rusli ikut tertawa, dan menyahut, “Sekarang aku paham arti puasa yang sebenarnya. Hahaha...” 

Minggu, 01 Juni 2025

Memang Begitu

Dulu, waktu kecil, aku berpikir uang bisa membuat orang bahagia. Sekarang, setelah dewasa, aku menyadari bahwa memang begitulah kenyataannya.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 24 Maret 2019.

Minggu, 01 Juni 2025

Masalah Umat Manusia

Setiap kali mendengar orang mengatakan "kita diciptakan/dilahirkan dengan sempurna", aku berpikir... bagaimana dengan mereka yang terlahir dengan cerebral palsy? Atau bayi-bayi yang lahir dengan jantung bocor? Atau dengan anggota tubuh yang tak lengkap? Ada yang bisa menjelaskan?

Tentu aku tidak berani mengatakan "apa cuma aku yang berpikir begini?" karena di planet ini ada 7 miliar manusia. Pasti ada banyak orang yang berpikir serupa. Pertanyaannya, kenapa tidak (atau setidaknya jarang kita dengar) ada yang berani terang-terangan mempertanyakannya?

Masalah umat manusia, dalam pikiranku, adalah kondisi terpaksa mempercayai sesuatu, meski jelas-jelas bertentangan dengan kenyataan, bahkan umpama kenyataan itu tepat ada di depan mata. Manusia lebih memilih aman untuk percaya, daripada gelisah dan mempertanyakan kepercayaannya.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 20 Maret 2019.

Minggu, 01 Juni 2025

Urip Isine Doktrin

Malam larut gini, ada orang lagi teriak-teriak dikeraskan toa, mendoktrin orang-orang tentang—yang dia sebut—kebenaran. Urip kok isine doktrin.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 30 Maret 2019.

Minggu, 01 Juni 2025

Ketololan Khas Twitter

Ketololan khas Twitter:

Si A mem-follow Si B.

Si B tidak mem-follow Si A, tapi Si B berharap Si A mendekatinya, aktif mengejarnya, berharap Si A melakukan semua yang ia inginkan.

Kalau kau kebetulan mengalami hal seperti Si B, sebaiknya berhentilah mimpi dan berhalusinasi.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 3 April 2019.

Minggu, 01 Juni 2025

Slilit di Sela Gigi

Aku sering berpikir, masalah hidup kita mirip slilit yang menyelip di sela gigi, dan kita tidak menemukan tusuk gigi atau apa pun. Kita gelisah merasakan kondisi yang sangat mengganggu, tapi sulit menjelaskan ke orang lain, dan bisa jadi mereka malah menggampangkan masalah kita.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 12 April 2019.

Minggu, 01 Juni 2025

Jika Ingin Bahagia

Jika menginginkan kehidupan bahagia, ikatkan pada tujuan, bukan pada orang atau sesuatu. —Albert Einstein


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 19 Maret 2019.

Minggu, 01 Juni 2025

Pagi yang Akademis

Pagi yang sungguh akademis.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 8 April 2019.

Minggu, 01 Juni 2025

Perjuangan Berat Pertama

Perjuangan berat pertama manusia setiap hari adalah bangkit dari tempat tidur, dan melawan kemalasannya sendiri.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 23 Maret 2019.

Minggu, 01 Juni 2025

Down Sampai Kiamat

Facebook tidak bisa diakses, Instagram down, begitu pula WhatsApp? Bodo amat! Semoga semuanya tetap down sampai kiamat.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 14 Maret 2019.

Minggu, 01 Juni 2025

Ingin Udara

Iya.

 
;