Buku di bawah ini, kalau aku tidak salah duga—dan hampir bisa dipastikan benar—diterjemahkan dari salah satu buku Karl Popper, berjudul All Life is Problem Solving.
[Tweet buku Karl Popper—tidak tersemat di tweet-ku, jadi sulit cari arsipnya]
Apakah isinya bagus? Menurutku sangat bagus. Dan semoga buku terjemahannya sebagus bahasa aslinya.
Popper tampaknya sangat serius memikirkan solusi. Salah satu kalimatnya yang terkenal, terkait solusi, “... no way to demonstrate the truth or, at least, high probability of our theories; the theory that we obtain our general theories by inductive generalization from experience.”
Berdasarkan ocehan Karl Popper yang mungkin terdengar absurd [tapi sangat penting] itu, aku jadi gatal ingin ngoceh soal solusi...
Sambil nunggu udud habis.
Solusi adalah jalan keluar untuk mengatasi masalah. Ada solusi yang bersifat objektif, ada pula solusi yang bersifat subjektif.
Solusi objektif adalah solusi berbasis penelitian ilmiah, sementara solusi subjektif adalah solusi—yang sering kali—berbasis pengalaman pribadi.
Solusi objektif, yang berbasis penelitian ilmiah, umumnya dapat digunakan untuk hampir semua orang.
Contoh, solusi mengatasi sakit kepala adalah mengonsumsi obat sakit kepala. Obat sakit kepala adalah solusi berbasis penelitian ilmiah, dan itu bisa digunakan kebanyakan orang.
Sebaliknya, solusi subjektif adalah solusi berbasis pengalaman/keyakinan pribadi, yang mungkin dapat digunakan diri sendiri dan beberapa orang, tapi belum tentu sesuai untuk semua orang.
Di titik ini, kita kadang kesandung dalam “memaksakan suatu solusi” pada orang lain.
Kalau kita memaksakan suatu solusi pada orang lain, dan orang yang diberi solusi malah jengkel, bisa jadi karena solusi yang kita berikan adalah solusi subjektif yang kita anggap tepat atau manjur (karena kita menganggapnya begitu), tapi belum tentu akan cocok untuk semua orang.
Agar penjelasan ini tidak menyinggung siapa pun, aku akan menggunakan diri sendiri (yang kulakukan) sebagai contoh.
Salah satu solusiku ketika stres adalah pergi (ziarah) ke Wonobodro (desa di atas bukit yang masuk kawasan Batang, Jawa Tengah). Itu tempat yang sangat terkenal.
Di atas bukit Wonobodro, ada makam orang-orang terkenal—masyarakat menyebut mereka wali—salah satunya adalah makam Ki Ageng Wonobodro, orang yang mendirikan Pekalongan. Kalau pas haul, kompleks pemakaman itu dikunjungi ribuan orang dari mana-mana.
Tapi aku lebih suka ziarah ke Wonobodro di hari-hari biasa, sehingga bisa menikmati keheningan di sana.
Karena berada di atas bukit, suasana di sana begitu adem, tenang, sunyi, dan, setiap berada di sana, aku merasakan ketenteraman sekaligus keheningan yang mendamaikan.
Di sana juga ada aliran air alami, semacam got tapi airnya bersih dan sangat jernih. Kalau aku membasuh muka dengan air di sana, aku merasa sedang membasuh muka dengan mata air surga, saking segarnya.
Wonobodro adalah tempat sempurna bagi penyuka kesendirian sepertiku.
Jadi, seperti kubilang tadi, aku selalu ziarah ke Wonobodro setiap kali stres. Sering kali bersama teman, yang juga suka berziarah. Kalau pas tidak ada teman, aku ke sana sendirian.
Selama berada di Wonobodro, menikmati hening, aku merasa seperti baterai yang di-charge ulang.
Karenanya, begitu pulang dari Wonobodro, aku merasa stresku jauh berkurang, energiku bertambah, pikiranku lebih jernih, bahkan hatiku lebih damai, dan aku pun merasa lebih mampu melanjutkan hidup dengan segala problematikanya. Optimismeku meningkat.
Ziarah adalah obat stresku.
Ziarah ke Wonobodro adalah solusi bagiku ketika stres dan lelah. Tapi itu solusi berbasis pengalaman pribadi.
Artinya, solusi itu mungkin cocok bagiku—dan bagi sebagian orang lain—tapi belum tentu cocok untuk semua orang. Nyatanya ada orang-orang yang justru tak suka ziarah.
Jadi kalau misal ada orang lagi stres dan aku menyodorkan solusi “ziarah ke makam wali”, solusi itu akan terasa dan terdengar benar bagiku, tapi belum tentu akan benar pula baginya. Karena terkait solusi berbasis pribadi, orang per orang juga punya cara sendiri yang bisa berbeda.
Hal itu berbeda dengan solusi berbasis penelitian ilmiah, yang contohnya tadi obat sakit kepala.
Kalau misal ada orang lagi sakit kepala, dan aku menyarankan, “Coba minum Oskadon.” Dia tidak akan marah, karena Oskadon memang telah diakui secara umum sebagai obat sakit kepala.
Kalaupun ternyata dia tidak cocok dengan Oskadon, paling-paling jawabannya, “Aku lebih suka minum Bodrex,”—misalnya.
Solusi berbasis penelitian ilmiah bisa disampaikan pada semua orang, tapi belum tentu dengan solusi berbasis pengalaman pribadi. Ini sepele, tapi sangat penting.
Sekalian, mumpung ingat, dan kayaknya relate dengan ocehan ini, catatan baru di blog: Terdengar Benar dan Terasa Benar, tapi Belum Tentu Benar.
*) Ditranskrip dari timeline @noffet, 22 November 2022.