Barusan nyari anget-anget ke warung bakso. Di warung ada 3 laki-laki yang lagi ngobrol. Salah satunya terdengar berkata, "Wanita tuh kalau diluruskan ya Allaaaaaah, sulitnya setengah mati! Entah cuma istriku, atau memang semua wanita begitu?"
Temannya terdengar menyahut...
"Kayaknya semua wanita emang gitu," sahut si teman. "Soalnya istriku juga gitu. Kalau diajak omong sulitnya minta ampun! Jadinya sering makan ati."
Istilah "diluruskan" dan "diajak omong" dalam percakapan itu mungkin maksudnya konotatif.
Laki-laki ketiga mengatakan hal serupa.
"Kalau apa-apa, mending tak kerjakan sendiri," kata laki-laki ketiga. "Daripada ajak omong istri, ujung-ujungnya malah ribut, gak ada hasilnya apa-apa."
Aku duduk di sebelah meja mereka. Sambil makan bakso, percakapan mereka sangat jelas terdengar. Dan aku tersenyum, diam-diam.
Sebelumnya, aku juga sering mendengar para wanita saling curhat dan mengobrolkan suami mereka. Percakapan-percakapan mereka juga sebelas dua belas dengan yang tadi kudengar. Para wanita itu saling mengeluhkan suaminya.
Di media sosial semacam Instagram, orang-orang pamer kemesraan dengan pasangan. Mereka berani menunjukkan muka, bahkan menebar senyuman seolah pasangan paling bahagia di dunia. Tapi di akun semacam Cermin Lelaki (yang jujur dan apa adanya), tidak ada yang berani pasang muka.
Karena pernikahan, setidaknya dalam pikiranku, adalah kehidupan tertutup topeng yang memberi tahu dunia bahwa mereka baik-baik saja, padahal tidak. Itu kehidupan yang jelas penuh tekanan. Sebegitu tertekan, sampai mereka butuh akun semacam Cermin Lelaki untuk sekadar curhat.
Setiap pilihan tentu mengandung konsekuensi, baik pilihan untuk menikah atau pilihan untuk melajang. Yang paling bangsat adalah orang-orang yang menikah, lalu sok bahagia padahal diam-diam tertekan, dan hobi menyuruh-nyuruh serta menyinyiri orang-orang lain agar cepat kawin.
Aku bisa tahu apakah perkawinanmu bahagia atau tidak, dengan melihat apakah cocotmu terjaga atau tidak. Kalau kau suka nyinyir dan menyuruh-nyuruh orang lain cepat kawin agar bahagia dan bla-bla-bla, bahkan iblis di neraka pun tahu... jauh di lubuh hatimu kau tidak bahagia.
Pernah ada keparat tolol yang saban waktu menyuruh-nyuruhku cepat kawin, dengan segala bujuk rayu memuakkan. Ketika kutanya, kenapa suka menyuruh-nyuruhku kawin, dia menjawab, "Karena aku kasihan melihatmu."
Oh, well, kasihan melihatku!
Padahal aku justru kasihan melihatnya!
Ujian perkawinan yang tidak pernah dikatakan siapa pun kepadamu:
Kalau kau bahagia bersama pasanganmu, masalahmu adalah anak. Kalau kau bahagia dengan pasanganmu dan punya anak, masalahmu adalah uang. Kalau kau bahagia dengan pasanganmu dan punya anak serta uang, masalahmu...
...adalah kesehatan. Kalau kau bahagia bersama pasanganmu, punya anak, uang, juga sehat, masalahmu adalah kesetiaan. Kalau kau bahagia dengan pasangan dan anakmu, serta punya uang, sehat, dan saling setia, masalahmu adalah keluarga.
Dan hanya sedikit yang lolos dari kutukan itu.
Tentu saja aku percaya ada orang-orang yang bahagia dalam perkawinan, tapi hanya segelintir! Dalam statistik, jumlahnya paling nol koma sekian. Selebihnya bergelimang masalah dan saling tertekan diam-diam. Wong hidup sendiri saja bisa penuh masalah, apalagi hidup dalam ikatan.
Karenanya, bocah-bocah Amerika punya guyonan, "Kutukan paling mematikan sebenarnya bukan 'Avra kedavra', tapi 'Hari ini kunikahkan kalian'."
"Avra kedavra" mengakhiri masalah. Tapi "Hari ini kunikahkan kalian" memulai masalah. Dalam bayanganku, itu seperti membuka Kotak Pandora.
*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 26 Februari 2020.