Minggu, 10 Agustus 2025

Dingin di Luar, Hangat di Hati

Orang yang bekerja seharian biasanya merasakan lelah saat malam hari, hingga hanya ingin istirahat dengan tenang, agar besok dapat bekerja kembali. Apalagi jika kerjanya lebih menggunakan fisik, seperti tukang bangunan, atau tukang cuci batik. Karenanya, saya tahu diri untuk tidak mengganggu—misal mendatangi—teman-teman saya yang bekerja seperti itu, kecuali kalau hari libur, atau mereka yang meminta. Karena saya tahu, mereka pasti kelelahan setelah seharian bekerja, dan ingin menikmati istirahat tanpa terganggu apa pun.

Dulu saya biasa mendatangi Apri—orang yang saya ceritakan di sini—kapan saja, karena waktu itu dia masih belum kerja. Belakangan, Apri bekerja sebagai buruh di pabrik batik bersama Kholid, yang saya ceritakan di sini. Sekarang Apri dan Kholid berteman, karena mereka bekerja di tempat sama, dan mengerjakan hal yang sama. Sebagai teman mereka, saya senang melihatnya.

Malam Jumat kemarin, Kholid mengajak saya kumpul di rumah Apri, untuk menikmati kacang rebus bersama. “Majikanku baru panen kacang,” katanya. Para pekerja, termasuk Apri dan Kholid, mendapat sekantong kacang tanah. Apri dan Kholid lalu punya ide menggabungkan kacang itu, untuk dinikmati bersama.

Saya penyuka kacang rebus. Dan saya senang ngobrol dengan Apri serta Kholid. Jadi, saya lalu datang ke rumah Apri, pada malam Jumat seperti yang mereka minta. Malam itu cuaca agak dingin saat saya melaju ke tempat Apri.

Di rumah Apri, saya mendapati Kholid dan Apri sudah duduk santai di depan sebaskom kacang rebus yang masih hangat. Sambil tersenyum, saya berkata pada Apri, “Kamu bisa ngerebus kacang, Pri?”

“Ya bisa, lah,” sahut Apri. “Wong cuma masukin kacang ke panci, kasih air, terus ditambah sedikit garam.”

Malam itu, seperti biasa, tempat tinggal Apri sunyi ngelangut. Kami duduk di ruang tamu sederhana, beralas tikar, dan menikmati kacang rebus yang masih hangat. Usai puas makan kacang, saya meminum teh hangat di gelas, lalu menyulut rokok. 

Saya bertanya ke Kholid, “Majikanmu punya kebun kacang apa gimana?”

“Nggak cuma kacang,” jawab Kholid, “ada juga singkong, ketela, pepaya, dan sayuran.” Lalu Kholid menceritakan, majikannya punya tanah warisan yang cukup luas di wilayah kabupaten. Daripada tidak digunakan, tanah itu lalu dijadikan kebun, dan pengurusannya diserahkan pada petani setempat. Para petani menggarap tanah luas itu dan menghasilkan aneka tanaman, termasuk kacang tanah. Hasil panen dibagi dua; untuk petani penggarap dan untuk si pemilik tanah.

“Karena majikanku udah kaya, dan nggak terlalu butuh duit,” ujar Kholid, “hasil panen itu nggak dijual, tapi dibagi-bagikan ke para pekerja di pabrik.” Karenanya, beberapa kali, Kholid pernah dapat seikat bayam, di lain waktu pernah dapat ketela, atau buah-buahan.

Saya mengangguk-angguk mendengar penjelasan itu. “Enak juga ya, punya kebun. Bisa makan hasil tanaman segar.”

Kami lalu membicarakan pengusaha batik yang jadi majikan Kholid dan Apri. Usaha batik tempat mereka bekerja relatif terkenal, dan showroom-nya sering didatangi para pembeli dari luar kota, luar pulau, bahkan luar negeri. Sebagian pembeli itu termasuk para pejabat hingga para artis. Kedatangan para artis di sana biasanya membuat orang-orang (tetangga) di sekitar showroom jadi heboh, karena dapat menyaksikan artis-artis dalam wujud nyata.

Percakapan kami lalu beralih membahas artis dan orang-orang terkenal. Apri berkata kepada saya, “Kalau kamu ngefans seorang artis, kamu ingin ketemu dengannya?”

“Nggak,” sahut saya.

“Lhoh, kenapa?” tanya Kholid.

“Ya sadar diri, lah.”

Apri tampak bingung, “Sadar diri gimana?”

Saya mengisap rokok, lalu menjelaskan, “Aku ngefans sama Iwan Fals, misalnya. Aku hafal lagu-lagunya, tahu kisah hidupnya, bahkan memasang posternya di rumah. Pendeknya aku sangat mengenal Iwan Fals, karena mengidolakannya. Tapi Iwan Fals, kan, nggak tahu apalagi kenal aku. Jadi kayaknya aneh aja kalau aku sampai punya keinginan ketemu dia. Lha aku ini siapa?”

Kholid bertanya, “Jadi, kamu sebatas nonton konsernya, gitu?”

“Iya, paling gitu,” jawab saya. “Wong nonton video-video Iwan Fals di YouTube aja, aku udah senang. Kalau ingin melihat langsung, aku paling nonton konsernya, seperti para penggemar yang lain.”

“Nggak ada keinginan ketemu langsung?” tanya Kholid lagi. “Misal biar bisa ngobrol?”

“Nggak, lah,” saya tertawa. “Seperti yang aku bilang tadi, aku sadar diri. Makanya nggak berani ngarep macam-macam.”

Apri dan Kholid manggut-manggut. Lalu saya balik bertanya, “Emang kalian ingin ketemu tokoh idola atau artis yang kalian sukai?”

Kholid berkata, “Jujur, aku dulu ya kepikiran ingin ketemu artis atau tokoh yang aku idolakan. Tapi setelah dengar pengakuanmu barusan, aku jadi mikir, ‘iya, ya, kenapa aku sampai ngarep macam-macam sampai ingin ketemu?’ Ya mungkin aku mau aja ketemu, tapi artisnya, kan, belum tentu mau ketemu aku, hahaha...”

Saya beralih kepada Apri, “Kalau kamu, Pri?”

“Sama kayak kamu,” jawab Apri. “Sebenarnya, aku juga mikirnya sama kayak kamu tadi, cuma aku nggak tahu gimana menyebutnya. Intinya aku juga nggak berani ngarep macam-macam hanya karena ngefans seorang artis. Itu namanya sadar diri, ya?”

Percakapan kami terus mengalir, sambil menikmati kacang rebus, menyesap teh, dan mengisap udud. Tanpa terasa, kacang rebus di baskom akhirnya benar-benar tandas, dan jarum jam sudah menunjuk tengah malam.

Kholid bertanya pada saya, “Kita pulang apa nginap, nih?”

Apri langsung menyela, “Nginap aja, nggak usah pulang.”

Jalan pulang dari rumah Apri harus melewati jalanan gelap dan panjang yang diapit perkebunan dan persawahan. Sebenarnya saya tidak masalah jika harus melewati jalanan itu di tengah malam untuk pulang. Tapi Kholid sepertinya enggan. Jadi kami lalu memutuskan untuk menginap di tempat Apri. 

Setelah membersihkan tikar dari kulit-kulit kacang, kami lalu membaringkan badan. Sambil menunggu lelap, kami bercakap-cakap pelan. 

Kholid berkata, “Ternyata di sini juga dingin kalau tengah malam, ya. Kirain cuma di tempatku. Di tempatmu juga gitu, Da’?”

“Iya,” saya menjawab. “Akhir-akhir ini emang sangat dingin pas tengah malam. Padahal biasanya semromong (panas) terus.”

“Kalian perlu selimut?” tanya Apri.

“Nggak perlu, sih,” sahut Kholid. “Tapi kalau ada sarung, kayaknya bagus.”

Apri bangkit, dan sesaat kemudian menyerahkan sarung untuk saya dan Kholid. Kami lalu menjadikan sarung itu sebagai selimut. 

Udara terasa dingin, malam kian ngelangut.

 
;