Minggu, 27 Juli 2014

Surat Tertutup untuk Diriku Sendiri





























































































































Mary Jane Watson adalah Mbakyu

Saya berkata, “Mary Jane Watson adalah mbakyu.”

Lalu dia menjawab, “Benar sekali! Mary Jane Watson adalah wanita yang didambakan setiap kita. Dia tidak hanya indah, tapi juga lembut, sensitif, bersahaja, dan penuh pengertian. Kalau bertemu dengannya, aku ingin sekali bercakap-cakap tentang banyak hal—dia pasti teman bicara yang menyenangkan.”

“Ya, kamu benar,” sahut saya sungguh-sungguh. “Tetapi, kalau bertemu dengannya, aku tidak ingin mengajaknya bercakap-cakap.”

“Jadi, apa yang akan kamu lakukan kalau bertemu dengannya?”

“Aku mau ndusel.”

Prinsip Hidup Manusia

Dari zaman purba sampai kelak di akhir masa, prinsip hidup manusia akan tetap sama, tak peduli siapa pun manusianya. Prinsip dasar itu berbunyi, “Jika kita bisa mendapatkan sesuatu yang baik dengan mudah, kenapa harus mempersulit diri?”

Jutaan orang memerlukan air setiap hari untuk berbagai keperluan—dari makan dan minum, sampai untuk mencuci piring dan baju. Jika kita bisa mendapatkan air bersih dengan mudah melalui keran di rumah, tentunya kita tidak sudi membuang waktu dan energi untuk mengangkut air lewat ember dari tempat lain. Jika kita bisa mendapatkan sesuatu yang baik dengan mudah, kenapa harus mempersulit diri?

Jutaan orang butuh makan setiap hari, setiap malam, setiap saat. Jika kita bisa mendapatkan makanan yang baik, nikmat, dan cocok di dekat rumah, kita tentu tidak akan sudi membuang waktu dan energi untuk pergi ke kota lain hanya untuk menikmati makanan dengan kualitas sama. Jika kita bisa mendapatkan sesuatu yang baik dengan mudah, kenapa harus mempersulit diri?

Jutaan orang mengakses web/blog setiap hari, setiap saat, bahkan setiap detik. Jika kita bisa menikmati web/blog yang baik dengan loading yang ringan, kita tentu tidak akan sudi membuang waktu dan energi untuk membuka web/blog yang loading-nya selambat keong. Jika kita bisa mendapatkan sesuatu yang baik dengan mudah, kenapa harus mempersulit diri?

Jutaan orang ingin mendapatkan pasangan, dengan berbagai latar belakang dan alasan—karena faktor usia, kebutuhan, sampai karena tuntutan sosial. Jika kita bisa mendapatkan pasangan yang baik dan cocok dengan mudah, tentunya kita tidak sudi membuang waktu dan energi untuk mengurusi orang sok jaim hanya untuk menjadi pasangannya. Jika kita bisa mendapatkan sesuatu yang baik dengan mudah, kenapa harus mempersulit diri?

Itulah prinsip dasar kehidupan manusia. Setiap orang ingin mendapatkan yang terbaik, dengan cara yang mudah. Naluri dasar setiap manusia tidak ingin dipersulit, sebagaimana mereka menjauhi rasa sakit. Sebaliknya, manusia butuh kesenangan, yang ditunjang kemudahan.

Karenanya, kunci sukses untuk apa pun di dunia ini adalah memenuhi kebutuhan dan naluri dasar itu. Mudahkan, jangan persulit. Sekali lagi, mudahkan—jangan persulit!

Kalau kita membuat web/blog, usahakan loading-nya seringan mungkin. Ketika seseorang membuka sebuah web atau blog, mereka butuh membaca isinya, bukan untuk mengagumi ornamen-ornamennya. Kecuali kalau web/blog kita memang hanya menyuguhkan ornamen.

Mudahkan, jangan persulit!

Kalau kita membuka warung makan atau restoran, buat tempatnya senyaman mungkin, dan layani pelanggan secepat yang kita bisa. Tidak ada orang yang suka menunggu, apalagi menunggu sesuatu yang paling cuma makanan, yang bisa didapatkan di semua tempat.

Mudahkan, jangan persulit!

Kalau kita seorang guru atau pengajar, terangkan pelajaran dengan bahasa yang sederhana, mudah dipahami, dan tidak usah sok memakai istilah-istilah rumit yang hanya bisa kita pahami sendiri. Murid butuh paham, bukan butuh mendengar istilah aneh yang memusingkan.

Mudahkan, jangan persulit!

Kalau kita jatuh cinta pada seseorang, tunjukkan sikap ramah dan terbuka, dan usahakan agar kita mudah didekati. Tidak usah terlalu banyak sok jaim yang tak perlu, karena toh akhirnya sikap sok jaim memang tidak perlu. Kalau orang bisa mendapatkan pasangan yang apa adanya, mereka tidak akan sudi buang waktu dan energi untuk mengejar seseorang yang jaimnya selangit.

Mudahkan, jangan persulit!


Selasa, 22 Juli 2014

Pecel Lele Paling Nikmat Sedunia Akhirat

Hidup bukan detak jarum jam atau bayang-bayang di kejauhan.
Ia denyut napas yang dijalani dengan kesadaran.
@noffret


Di selatan Pekalongan, ada sebuah daerah bernama Wonopringgo. Di daerah itu ada sebuah warung makan sederhana di pinggir jalan, yang menyediakan aneka menu—opor ayam, pecel lele, sayur asem, dan lainnya. Saya mengenal warung itu bertahun-tahun lalu, dan pernah menjadi pelanggan sampai lama. Yang membuat jatuh cinta, di warung itu ada pecel lele yang saya anggap paling nikmat sedunia akhirat.

Tepat di depan warung itu ada sebuah pondok pesantren. Karenanya, bisa jadi, warung makan itu sebenarnya ditujukan untuk para santri yang mondok di sana. Kenyataannya memang para santri sering terlihat masuk warung itu, dan membeli nasi untuk dimakan di pondok. Tetapi, orang-orang yang bukan santri pondok juga banyak mendatangi warung tersebut, termasuk saya.

Sekadar catatan, Ustad Zainuddin MZ juga dulu suka datang ke warung itu, saat masih hidup, bersama Rhoma Irama. Ini serius! Biasanya, mereka datang ke sana untuk menikmati pecel lele dengan sambal terasi. Saya tahu kenyataan itu, waktu warung tersebut memajang guntingan koran berisi foto Zainuddin MZ dan Rhoma Irama yang sedang makan di sana.

Dulu, waktu saya masih sering dolan ke daerah itu, saya pun suka mampir ke warung tersebut. Kadang sendirian, kadang bersama teman. Biasanya, saya akan memesan nasi, pecel lele dengan sambal terasi, dan wedang alang-alang (minuman tradisional yang dibuat dari tanaman alang-alang—rasanya manis dan menghangatkan).

Bisa dibilang, yang disuguhkan di sana enak semua, dan memenuhi selera saya—lahir batin. Nasinya dibuat dari beras unggul, hingga bentuknya keras tapi empuk, tidak lembek, biji-biji nasinya saling terpisah. Meski dimakan dengan tangan langsung (tidak menggunakan sendok), nasi itu tidak lengket di tangan, hingga kita bisa makan dengan nyaman. Dalam bayangan saya, nasi jenis itulah yang kelak akan kita nikmati setiap hari di surga.

Kemudian pecel lelenya. Subhanallah...! Saya pernah menikmati pecel lele di berbagai tempat, di ratusan warung makan, tapi bisa dibilang tidak ada yang mampu menandingi kenikmatan pecel lele yang disajikan warung itu. Wujudnya memang sama—karena sama-sama lele. Tapi rasanya berbeda. Entah bagaimana cara mereka menggoreng, yang jelas pecel lele di warung itu rasanya berbeda dibanding di tempat lain mana pun.

Pecel lele itu dilengkapi sambal terasi yang nikmatnya juga mampu menciptakan sensasi orgasme. Saat mulai menyantapnya bersama nasi dan lalapan, saya akan menikmatinya perlahan-lahan, karena tak ingin segala kenikmatan itu cepat berlalu. Inilah yang disebut makan, pikir saya setiap kali menikmati sajian di sana.

Well, kalau-kalau belum tahu, ada perbedaan esensial antara makan dengan “makan”. Makan (tanpa tanda kutip) adalah aktivitas makan yang benar-benar kita nikmati. Sedangkan “makan” (dengan tanda kutip) adalah aktivitas memasukkan makanan ke mulut tanpa bisa dinikmati. Ironisnya, dalam hidup, saya lebih sering “makan” daripada makan. Kenyataan itu terjadi karena sulitnya menemukan warung makan yang mampu memuaskan selera saya.

Sejujurnya, selera makan saya tidak sulit, bahkan bisa dibilang sederhana. Saya bukan pecinta makanan-makanan aneh yang namanya sulit dilafalkan, yang hanya tersedia di restoran mewah atau hotel bintang lima. Tidak—saya jauh lebih sederhana dari itu. Seperti yang pernah saya tulis di sini, saya justru menyukai masakan tradisional, yang bahkan bisa dibuat ibu kita di rumah—sayur asem atau sayur lodeh, ayam goreng, pecel lele, lalapan, tempe goreng, dan semacamnya.

Dalam menikmati makan, yang pertama dan terutama saya perhatikan adalah nasinya. Dan untuk nasi ini tidak bisa ditawar-tawar, alias mutlak. Nasinya harus keras, tapi empuk. Artinya tidak menggumpal, tidak lembek, dan butiran-butiran nasinya saling terpisah. Nasi “ideal” semacam itu biasanya hanya dapat diwujudkan beras berkualitas baik, dengan cara menanak yang sama baiknya. Dengan nasi semacam itu, saya bisa makan dengan lauk apa pun.

Sebaliknya, jika nasinya lembek dan tidak memenuhi kualifikasi di atas, maka saya tidak akan doyan dan tidak berselera memakannya, tak peduli semewah dan senikmat apa pun lauk-pauknya. Omong-omong, saya bahkan lebih memilih mati daripada memakan nasi lembek yang tidak saya sukai.

Nah, di warung makan yang saya ceritakan tadi, nasinya benar-benar memenuhi kualifikasi saya. Sudah begitu, pecel lele dan sambal terasinya juga nikmat tiada tara. Hasilnya pun saya makan dengan penuh hikmat. Sebegitu hikmat, hingga saya tanpa sadar mengucap syukur dalam hati untuk setiap butir nasi yang masuk ke mulut, untuk setiap kunyahan, untuk setiap zarrah beras yang masuk ke kerongkongan, untuk setiap hela napas yang saya gunakan selama makan. Allahu akbar!

Seusai makan, sambil sedikit menahan pedas di mulut, saya akan menyeruput wedang alang-alang atau teh hangat, sebagai tanda selesai makan. Ya Tuhan, bahkan wedang alang-alang atau teh hangat yang disajikan di sana pun enak luar biasa! Kadang-kadang saya curiga, warung ini sebenarnya berasal dari surga!

Bersama perasaan syukur di hati setelah makan, saya pun duduk menyandar, merasakan perut yang kenyang, lalu mulai mengisap rokok dengan nikmat. Alkhamdulillah...! Terpujilah Tuhan untuk semua karunia kenikmatan ini.

Biasanya, sambil merasakan sensasi orgasme seusai makan seperti itu, angan saya mengkhayal dengan liar. Kelak, kalau punya calon istri, saya akan mengajaknya ke warung itu, dan menunjukkan kepadanya seperti apa nasi dan lauk-pauk yang saya sukai. Itu faktor penting yang menunjang kerukunan dalam hidup berumahtangga—khususnya rumahtangga saya—agar kami bisa membangun keluarga yang sakinah, mawaddah, warahmah.

Tanpa nasi keras, pikir saya, keluarga yang sakinah sukar diwujudkan. Kalau istri saya membuat nasi yang lembek, itu sama saja mengajak bertengkar. Jadi, calon istri ideal bagi saya adalah wanita yang bisa membuat nasi keras, dan menyukai nasi keras. Soal-soal lain bisa dikompromikan. Tapi soal nasi keras... oh, well, itu mutlak!

Meski saya sangat mencintai sajian makanan di warung itu, sayangnya sekarang tidak bisa sesering dulu datang ke sana. Masalahnya sederhana, sekarang saya tinggal di tempat yang sangat jauh dari warung itu, hingga rasanya segan datang ke sana hanya untuk makan. Karena jarak yang sangat jauh pula, sudah bertahun-tahun saya tidak lagi makan di sana, bahkan sempat berpikir mungkin warung itu sudah tidak ada.

Sampai sekitar dua minggu yang lalu, ada teman yang berduka cita karena ayahnya meninggal dunia. Rumahnya ada di daerah warung makan tadi. Saya pun datang bertakziah (turut berbelasungkawa) ke sana malam hari, dan mengajak bocah ini.

Ayah teman saya bisa dibilang belum terlalu tua (masih 50-an tahun), jarang sakit, dan meninggalnya juga bisa dibilang tiba-tiba. Teman saya bahkan bercerita kalau dia sama sekali tidak menyangka ayahnya akan tiada. Kematian memang misteri, dan kita tak pernah tahu kapan akan terjadi.

Pulang dari takziah, kami mampir ke warung langganan saya dulu. Ternyata warungnya masih ada. Di tempat yang sama, dengan sajian yang sama. Dengan nasi yang keras, dan pecel lele paling nikmat sedunia akhirat.

Seusai menikmati sajian yang sangat nikmat itu, saya membayangkan. Hidup ini begitu singkat. Kematian juga datang tak peduli berapa usia kita. Sambil mengenang almarhum ayah teman saya yang kini tiada, saya seperti disadarkan bahwa hidup seharusnya diisi hal-hal bermanfaat, dan dijalani dengan makanan yang kita anggap nikmat, agar setiap hela napas dapat disyukuri penuh hikmat.

Dan, bagi saya, makanan semacam itu adalah nasi yang keras, dengan pecel lele paling nikmat sedunia akhirat.

Senin, 21 Juli 2014

Noffret’s Note: Dalam Pikiranku

Dalam pikiranku, anak-anak yang ingin cepat dewasa
adalah orang-orang yang kelak
paling merindukan masa kanak-kanak.
—Twitter, 13 Juni 2014
   
Dalam pikiranku, pesta dan keramaian
adalah cara sebagian orang melarikan diri dari kesepian...
untuk lebih merasa kesepian.
—Twitter, 13 Juni 2014

Dalam pikiranku, suara paling keras
yang bisa didengar manusia adalah kenyataan
yang bersuara tanpa keributan kata-kata.
—Twitter, 13 Juni 2014

Dalam pikiranku, dunia modern adalah
masyarakat masa kini yang telah menjauh
dari kebudayaan buruk... tapi kecanduan berita buruk.
—Twitter, 13 Juni 2014

Dalam pikiranku, peradaban masa kini
telah menjauhkan manusia dari pemujaan berhala...
untuk menyembah berhala lainnya.
—Twitter, 13 Juni 2014

Dalam pikiranku, orang-orang yang paling
keras bersuara dan bising berteriak adalah telinga
yang paling tidak bisa mendengar apa-apa.
—Twitter, 13 Juni 2014

Dalam pikiranku, peradaban modern telah
mengakrabkan manusia pada kebisingan,
hingga mereka mulai takut dan asing pada kesunyian.
—Twitter, 13 Juni 2014

Dalam pikiranku, sesuatu yang paling sering
dibanggakan dalam keramaian adalah sampah
yang terlihat aslinya saat ditatap dalam keheningan.
—Twitter, 13 Juni 2014


*) Ditranskrip dari timeline @noffret.

Sungguh Lucu

Sungguh lucu menyaksikan orang yang mati-matian berusaha menunjukkan dirinya tidak bersalah, tapi segala upayanya justru semakin menunjukkan dia bersalah.

Rabu, 16 Juli 2014

Indonesia Sakit Jiwa

Saat melihat para pejabat dan politisi, sering kali
aku berpikir, “Apakah mereka bisa mengurus dirinya sendiri?”
@noffret


Dalam suatu kesempatan, Presiden Soeharto pernah menyatakan bahwa korupsi adalah persoalan ekonomi. Dia ingin mengatakan bahwa tingkat penghasilan seseorang menjadi faktor yang berpotensi untuk korupsi atau tidak. Dengan kata lain, semakin rendah penghasilan, semakin tinggi potensinya untuk korupsi. Soeharto menyatakan tesisnya itu saat mengomentari kasus korupsi besar-besaran di Pertamina, yang waktu itu menyeret keterlibatan direkturnya, Ibnu Sutowo.

Bertahun-tahun berlalu sejak Soeharto menyatakan hal itu. Umpama dia masih hidup saat ini, mungkinkah dia akan tetap mempercayai tesisnya sendiri?

Gayus Tambunan—well, bagaimana kabarnya bocah itu?—masih berusia 30 tahun, tapi telah memiliki gaji 12 juta per bulan. Jika dinalar dengan akal sehat masyarakat umum negeri ini, bocah berpenghasilan 12 juta per bulan tentu sudah luar biasa. Tapi apa yang dilakukannya? Bukannya mensyukuri penghasilannya yang besar di atas rata-rata ukuran orang lain, dia malah aktif korupsi dalam jumlah huahaha.

Jika Soeharto masih hidup sekarang, kira-kira orang tua itu mau ngomong apa?

Gayus hanyalah contoh kecil betapa tidak relevannya tesis Soeharto, khususnya untuk Indonesia. Jika saya harus menyebutkan bocah-bocah lain yang juga sama kayanya dan sama rakusnya melakukan korupsi, maka saya bisa menghabiskan waktu lama untuk melakukannya, saking banyaknya. Jika saya harus menyebutkan semuanya, maka kalian akan mati bosan karena membaca tumpukan nama yang jumlahnya huahaha.

Korupsi bukan soal kaya atau miskin, sebagaimana yang dinyatakan Soeharto. Yang benar, korupsi adalah soal mental. Tak peduli sekaya apa pun, seseorang akan tetap korupsi kalau mentalnya memang korup. Sebaliknya, tak peduli semiskin apa pun, seseorang tidak akan tergoda untuk korupsi kalau mentalnya bersih. Menyatakan tinggi rendahnya penghasilan adalah faktor yang membuat seseorang korupsi atau tidak, sama halnya menyatakan bahwa urusan manusia hanyalah soal perut semata.

Dan tampaknya memang “ideologi perut” itulah yang menggerakkan para keparat pejabat untuk terus menggerogoti kekayaan negara, mengorupsi hak milik rakyatnya, demi terus menumpuk kekayaan pribadinya. Orang-orang semacam itu telah mengalami kerusakan mental—sedemikian rusak, hingga apa pun dikorupsi, digerogoti, tanpa rasa malu dan ewuh pekewuh. Orang macam apa yang tidak malu mengorupsi dana haji? Orang macam apa yang tega mengorupsi dana pengadaan kitab suci?

Tanpa bermaksud mengurangi rasa hormat, para pejabat negeri ini tampaknya memang menghadapi masalah mental. Sering saya membaca berita di koran tentang seorang koruptor yang telah tertangkap, dan ditahan atau dipenjara akibat kasus korupsinya. Lalu pejabat-pejabat lain berdatangan menjenguk si koruptor di penjara. Ketika diwawancarai, para pejabat yang menjenguk si koruptor biasanya menjawab tanpa dosa, “Saya menjenguk ke sini, sebagai bentuk dukungan moral untuknya.”

Dukungan moral!

Ketika seorang pejabat terbukti korupsi, artinya moralnya tidak beres—bermental korup! Dan ketika pejabat bermental korup seperti itu dipenjara karena kejahatan korupsinya, teman-temannya sesama pejabat datang menjenguk dengan menyatakan sebagai bentuk dukungan moral. Ya Tuhan, dukungan moral! Bagaimana bisa pejabat yang terbukti bermental korup semacam itu didukung moralnya? Saya khawatir, orang-orang yang menjenguk itu juga mengalami masalah moral yang sama.

Well, masalah besar negeri ini tampaknya memang masalah moral, masalah mental. Tidak hanya para pejabatnya, tapi juga rakyatnya. Karena begitu banyaknya pejabat yang korup dan terbukti melakukan tindak pidana korupsi, pelan namun pasti kejahatan korupsi mengalami distorsi nilai. Disadari atau tidak, itulah masalah terbesar negeri ini.

Hampir setiap hari, di media mana pun, kita terus dibombardir berita korupsi yang dilakukan berbagai macam pejabat, dari tingkat atas sampai paling bawah, dari yang jumlahnya ecek-ecek sampai yang bertriliun-triliun. Dan berita-berita itu bersaing dengan berita perkawinan artis, perceraian selebritas, sampai urusan remeh temeh orang terkenal lain. Di koran, di televisi, di web-web internet, sampai di baris-baris timeline kita.

Pernahkah kita merasakan efek psikologisnya? Dulu, kita menilai korupsi sebagai kejahatan, bahkan kejahatan besar, karena korupsi adalah merampok harta negara, mencuri hak rakyat. Sekarang, akibat banyaknya pelaku korupsi dan begitu derasnya media memberitakannya, korupsi makin tampak bukan kejahatan lagi. Sekali lagi, pernahkah kita merasakannya...?

Korupsi telah mengalami distorsi nilai—dari “kejahatan” menjadi “sekadar kejahatan”—akibat massifnya media memberitakannya, akibat semakin banyak pelakunya.

Kita tidak lagi terkejut ketika mendapati pejabat anu ditangkap karena dugaan korupsi, atau wakil anu divonis penjara sekian tahun karena terbukti korupsi. Kita telah menganggapnya hal biasa. Itu memang watak dasar manusia. Sesuatu yang paling mengejutkan sekali pun, lama-lama akan terlihat dan terasa biasa jika terus menerus menghadapinya. Itulah masalah kita, itulah masalah bangsa kita!

Dan coba lihat wajah para koruptor itu. Dulu, duluuuu sekali, orang-orang yang diadili karena terbukti korupsi akan malu luar biasa. Sebegitu malu, hingga sering kali keluarganya akan pindah ke tempat lain yang jauh, demi tidak dikenali para tetangga. Di masa lalu, korupsi bukan hanya kejahatan besar, tetapi juga aib yang akan mencoreng wajah semua orang yang terlibat dengan si koruptor.

Sekarang, pejabat yang terbukti korupsi masih bisa cengengesan tanpa dosa, bahkan kadang masih berdalih dengan setumpuk apologi, seolah ditangkap karena korupsi hanya semacam ketahuan menyontek di kala ujian. Bahkan ketika akhirnya divonis karena terbukti korupsi serta dijatuhi hukuman penjara, koruptor-koruptor itu masih tampak “biasa saja”—sebegitu biasa, hingga kadang masih sempat mengundang petugas salon untuk mengurus rambutnya.

Bangsa ini mengalami masalah mental. Tidak hanya pejabatnya, tapi juga rakyatnya. Dari waktu ke waktu, kita seperti dikondisikan untuk menerima dan memahami bahwa korupsi hanyalah “soal biasa”, suatu “budaya” yang umumnya memang dilakukan para pejabat dan orang-orang yang mengurus negara. Tidak usah terkejut, tidak usah sok kaget, toh ini soal biasa. Korupsi hanyalah soal “sesuatu yang perlu dilakukan” kalau kau punya kesempatan.

Menjelang pemilu, kita tahu, ada banyak sekali orang-orang yang rela mengeluarkan banyak uang demi bisa menjadi caleg. Uang yang mereka keluarkan demi “perjuangan” bisa menduduki kursi di legislatif tidak hanya jutaan atau puluhan juta, tapi sampai ratusan juta, bahkan ada yang sampai milyaran. Demi bisa menjadi caleg!

Di suatu majalah, ada kisah seseorang yang ingin menjadi caleg, sampai menghabiskan biaya 600 juta rupiah. Untuk menutupi semua biaya itu, dia menjual aset-asetnya, bahkan berutang ke rentenir. Singkat cerita, orang itu gagal karena tak terpilih, lalu stres dan gila. Itu bukan kisah istimewa, karena kita semua mungkin juga pernah membaca kisah yang sama—seseorang entah siapa bermimpi menjadi caleg, menghabiskan banyak uang, lalu gagal, lalu stres, dan kadang ada yang sampai masuk rumah sakit jiwa.

Saat membaca kisah-kisah itu, saya sangat miris. Tidak hanya miris membayangkan banyaknya uang yang hilang, tidak hanya miris membayangkan nasib apes mereka yang gagal, tapi juga miris membayangkan apa jadinya bangsa ini jika orang-orang itulah yang menduduki kursi-kursi kepemimpinan. Mereka telah menghabiskan banyak uang demi meraih ambisinya menjadi wakil rakyat. Kira-kira, jika telah berhasil menjadi wakil rakyat sebagaimana yang mereka inginkan, apa yang akan mereka lakukan?

Benar, mereka akan berpikir bagaimana caranya agar segera balik modal!

Menjadi pejabat, menjadi wakil rakyat, tampaknya telah menjadi cara gampang untuk mengumpulkan uang dan kekayaan, plus kadang kekuasaan. Karena cara pandang itu pula yang menjadikan segelintir rakyat begitu berambisi menjadi pejabat, karena menganggap kepemilikan jabatan adalah sarana mengumpulkan kekayaan. Maka wajar kalau kemudian korupsi telah menjadi budaya negeri ini, kolusi menjadi tradisi, sementara suap menggejala di semua lini.

Masalah bangsa kita adalah masalah mental. Tidak hanya para pejabatnya, tapi juga rakyatnya. Kita sedang mengalami masalah mental, pergeseran nilai, dan berubahnya cara pandang terhadap hal yang salah dan benar, kecil dan besar. Kita memukuli maling ayam sampai hampir mati, dan di saat lain menganggap hal biasa terhadap para pelaku korupsi.

Ketika menjadi Menteri Muda Luar Negeri di zaman Soekarno, Haji Agus Salim biasa memakai kemeja tambalan karena sedikitnya kemeja yang ia miliki. Dr. Leimena, yang juga pejabat negara, cuma punya dua potong kemeja. Bung Hatta, wakil presiden Soekarno, sampai mati tidak bisa membeli sepatu yang diimpikannya, karena tidak punya cukup uang.

Mereka orang-orang miskin, khususnya jika dinilai dengan ukuran kita sekarang. Tapi kita tidak pernah membaca sejarah yang menyatakan mereka melakukan korupsi, bahkan ketika kesempatan untuk melakukannya terbuka lebar.

Korupsi bukan soal kaya atau miskin, korupsi adalah soal mental. Para pahlawan bangsa ini telah menunjukkan dengan gamblang bahwa semiskin apa pun, mereka memiliki mental terpuji hingga menjauh dari korupsi. Sementara pejabat di masa sekarang juga menunjukkan dengan gamblang, bahwa sekaya apa pun seseorang tidak berarti akan terbebas dari perilaku korupsi.

Korupsi bukan soal kaya atau miskin. Korupsi adalah soal mental. Yang mengkhawatirkan, bangsa ini sepertinya sedang mengalami masalah mental.

Tebak-tebakan Paling Nggemesin Sedunia

Dua bocah tebak-tebakan di teras rumah, dengan ekspresi sangat serius seolah sedang membahas paradigma filsafat.

Bocah pertama mengajukan tebakannya, “Cantik, pintar, lucu, dan ngangenin, siapa coba?”

“Mbakyukuuuuuuh!” jawab bocah kedua semangat. “Pasti mbakyuku!”

“Lhah, kamu kan nggak punya mbakyu?”

Bocah kedua mimisan madu.
 

Perca Pikiran

Aku kadang berpikir, kita semua dibuat dari semacam anyam-anyaman.

Jumat, 11 Juli 2014

Suatu Siang di Bank: Sebuah Kisah Tidak Ilmiah

Salah satu misteri dunia yang belum terungkap:
Mengapa pegawai bank rata-rata cantik?
@noffret


Seperti umumnya orang lain, saya juga butuh berhubungan dengan bank untuk beberapa keperluan. Meski sekarang penarikan uang bisa dilakukan dengan mudah lewat ATM, dan transfer antar bank bisa dilakukan lewat ponsel atau internet, namun kadang-kadang kita tetap harus datang ke kantor bank untuk mengurus sesuatu. Dan bagi saya, datang ke bank adalah sesuatu yang menjengkelkan sekaligus menyenangkan.

Yang lebih menjengkelkan sekaligus menyenangkan lagi, saya kadang harus cukup sering datang ke bank karena adanya hal-hal penting. Misalnya ada surat-surat tertentu yang perlu saya tandatangani, atau semacamnya.

Mengapa datang ke bank bisa mendatangkan sesuatu yang paradoks; menjengkelkan sekaligus menyenangkan? Mari kita bahas satu per satu.

Saya menganggap datang ke bank adalah hal menjengkelkan, karena harus keluar rumah. Kita tahu, semua bank hanya buka di siang hari. Dan keluar rumah di siang hari—apalagi ketika panas menyengat—adalah hal yang sangat membuat saya risau. Meski bukan vampir yang akan terbakar jika kena matahari, tapi saya lebih suka tinggal di rumah yang adem daripada berpanas-panas.

Kemudian, hal lain yang juga menjengkelkan, kadang-kadang saya harus antre. Untungnya, rata-rata bank sekarang telah memasang AC sehingga orang yang antre di dalamnya tidak perlu kepanasan. Bank tempat saya menjadi nasabah juga menyediakan kursi untuk mengantre, sehingga orang-orang tidak perlu capek berdiri.

Nah, sekarang bagian yang menyenangkan. Satu hal yang membuat saya senang setiap kali datang ke bank adalah... para pegawainya.

Pegawai bank, yang pria maupun wanita, rata-rata sangat ramah. Setidaknya, saya belum pernah mendapati ada pegawai bank yang tampak manyun waktu melayani. Mereka benar-benar mencerminkan sosok berpendidikan—tersenyum ramah, berbicara dengan nada pelan, meminta dengan sopan, dan berusaha membuat nasabah merasa nyaman. (Deskripsi ini didasarkan pada bank tempat saya menjadi nasabah. Mohon maaf kalau ternyata ada bank yang pegawainya jutek dan bermuka masam).

Setiap kali ke bank, saya seperti disadarkan bahwa saya belum punya istri. Oh, well, para pegawai wanita di bank langganan saya ini rata-rata cantik. Dan seksi. Dan pintar. Dan ramah. Dan tidak sombong. Dan yang jelas, rajin menabung!

Setiap kali menyaksikan mereka, alam semesta seperti sedang menepuk pundak saya, dan berbisik, “Carilah istri seperti mereka!” Dan saya, diam-diam, membatin, “Ya, aku ingin punya istri seperti mereka!”

Pegawai bank, dalam bayangan saya, adalah sosok wanita ideal untuk dijadikan istri. Apa yang kurang dari mereka, coba?

Pertama, mereka cantik. Entah mengapa, rata-rata pegawai bank yang saya temui selalu cantik, bahkan seksi. Kedua, mereka ramah dan murah senyum. Ketiga, mereka tahu membuat kita merasa nyaman di dekatnya. Keempat, mereka pintar. Buktinya mereka bisa menjadi pegawai bank. Kelima, mereka tahu tentang uang, sehingga dapat diharapkan mampu mengelola keuangan rumahtangga dengan baik. Apa yang kurang, coba?

Nah, yang sangat menyenangkan, setiap kali saya datang ke bank untuk mengurus sesuatu, biasanya saya akan dilayani pegawai wanita. Namanya Dian (tentu saja ini bukan nama sebenarnya). Biasanya kami akan duduk berhadapan, dipisahkan sebuah meja. Saat kami sedang mengurus sesuatu, misalnya, dan saya harus menunggu dia menulis beberapa hal di kertas, kadang tanpa sadar saya memandanginya.

Dia sangat cantik, Ma’am.

Wanita ini, si Dian, yang sering melayani saya di bank, memiliki ciri indah seperti yang saya sebutkan di atas—sopan, murah senyum, berbicara dengan nada pelan, dan tahu membuat saya merasa nyaman di dekatnya. Biasanya, setelah menyelesaikan urusan saya, Dian akan menawarkan dengan senyum ramah, “Ada yang bisa saya bantu lagi?”

Detik itu, rasanya saya ingin menjawab, “Ya. Kamu mau makan malam denganku?”

Tapi saya tidak pernah berani menyatakan hal itu. Mungkin karena mereka sangat sopan, sehingga saya pun merasa harus pula bersikap sopan kepada mereka. Pegawai bank adalah para pelaku teori psikologi paling purba tentang manusia. Yakni kesopanan mengundang kesopanan, sikap kurang ajar mengundang sikap yang sama kurang ajar. Wanita itu sangat sopan. Dan saya merasa dituntut untuk juga memperlakukannya dengan sopan.

Well, di antara kesenangan di bank, satu hal yang sering membuat saya jengah dan tidak nyaman adalah ketika mendengar panggilan mereka. Entah mengapa, para nasabah bank selalu dipanggil dengan sebutan “Pak” atau “Bu”, tak peduli berapa umur mereka. Saya pernah mendapati ada nasabah yang jelas-jelas memakai seragam SMA, tapi dipanggil “Pak”. Mungkin itu memang standar panggilan atau sebutan yang memang diberlakukan di bank, dengan tujuan sebagai sopan santun kepada nasabah. Tetapi saya justru merasa tidak nyaman dengan panggilan itu.

Semula, saya menerima dipanggil “Pak” oleh pegawai di bank, termasuk oleh Dian, karena saya pikir panggilan itu lama-lama akan hilang sendiri dan diganti panggilan lain yang lebih tepat, mengingat saya masih lajang dan belum menjadi bapak. Tapi ternyata tidak. Meski saya sudah berpuluh kali datang ke bank itu, Dian tetap memanggil saya dengan sebutan “Pak”.

Padahal, karena telah sering menangani urusan saya, Dian pasti tahu berapa umur saya, tahu bahwa saya masih lajang dan belum jadi bapak, bahkan kami mungkin seumuran. Saya sudah mencoba “mengingatkannya” dengan halus, dengan memanggilnya “Mbak”, dengan harapan dia mengikuti cara saya menyapa. Tapi Dian tetap saja memanggil saya “Pak”. Rasanya, tiba-tiba saya menua dalam sekejap setiap kali dipanggil begitu.

Dulu, waktu awal-awal menjadi nasabah bank ini, saya mencoba menerima panggilan itu. Tetapi, lama-lama, saya semakin jengah dan tidak nyaman. Sampai suatu hari, karena tidak tahan, saya mencoba mengutarakannya secara langsung. Siang itu, saya kembali duduk berhadapan dengan Dian di bank. Setelah urusan kami selesai, Dian menawarkan seperti biasa, “Ada yang bisa saya bantu lagi?”

Saya pun mengambil kesempatan itu. Saya berkata dengan sopan, “Mbak Dian, bisakah Anda tidak memanggil saya dengan sebutan ‘Pak’?”

Dia terdiam, sepertinya terkejut. Lalu menjawab dengan kikuk, “Uhm... maksud Anda, Pak? Eh...”

“Maksud saya, saya tidak nyaman dipanggil ‘Pak’, karena—Anda tahu—saya belum menjadi bapak. Rasanya saya berubah menjadi tua setiap kali datang ke sini gara-gara panggilan itu. Mungkin ini tidak penting bagi orang lain, tapi ini penting bagi saya. Kalau boleh meminta, tolong jangan panggil saya dengan sebutan itu.”

Dian tampak semakin kikuk, tapi berusaha menjawab dengan sopan, “Itu... uhm, sebenarnya itu memang standar kesopanan kami pada nasabah...”

“Saya tahu,” ujar saya sambil tersenyum menenangkannya. “Selain sebagai standar kesopanan, panggilan itu juga tentu ditujukan sebagai bentuk profesionalitas. Tetapi, kalau boleh saya katakan, apa arti kesopanan dan profesionalitas kalau itu justru membuat yang bersangkutan tidak nyaman?”

“Jadi... uhm... jadi, Anda ingin dipanggil bagaimana?”

“Saya ingin dipanggil dengan nama saya, tanpa embel-embel apa pun. Tapi, ya, saya tahu, mungkin itu tidak sopan. Jadi, tolonglah panggil saya dengan sebutan yang lebih tepat, seperti saya memanggil Anda.”

....
....

Saya tidak tahu apa yang terjadi setelah peristiwa siang itu. Mungkin, Dian menyampaikan keluhan saya pada atasannya, dan si atasan mungkin pula merasa perlu menindaklanjuti keluhan saya. Sejujurnya saya paham bahwa keluhan saya sangat tidak ilmiah, dan mungkin cuma saya satu-satunya di Indonesia yang pernah mengajukan keluhan semacam itu pada sebuah bank.

Tapi yang jelas, sejak peristiwa tersebut, semua pegawai di bank itu mengubah panggilan mereka kepada saya. Dan kenyataan itu benar-benar membuat saya terkejut, sekaligus berdebar-debar. Terkejut, karena mendapati betapa sebuah bank rela mengubah peraturannya demi kenyamanan seorang nasabah. Dan berdebar-debar, karena... well, ini ceritanya.

Suatu siang, saya datang ke bank untuk urusan seperti biasa. Seperti biasa pula, saya diantarkan ke meja Dian. Saat melihat saya, Dian tersenyum ramah seperti biasa. Namun panggilannya kepada saya terdengar tidak biasa.

“Ah, Mas Hoeda,” sapanya dengan sopan. “Ada yang bisa saya bantu?”

Dalam beberapa detik, saya terpaku karena panggilan itu. Tadi, waktu sampai di bank ini, seorang pegawai pria juga telah mengubah panggilannya kepada saya, tapi saya tak terlalu terpengaruh, karena dia sama-sama pria. Tapi dipanggil “Mas” dengan sopan oleh Dian membuat saya... well, membuat saya... merasa ingin mengajaknya ke KUA.

“Silakan duduk,” ujar Dian dengan senyum ramah seperti biasa.

Saya pun duduk dengan kikuk.

Selama beberapa saat, Dian seperti biasa menangani urusan saya, menulis dan menandatangani beberapa berkas, dan selama itu tanpa sadar saya memandanginya. Diam-diam saya berharap Dian cukup lama mengurus berkas-berkas itu, agar saya bisa lebih lama memandanginya. Oh, well, dia sangat cantik, Ma’am.

“Nah,” ujar Dian tiba-tiba sambil menyodorkan beberapa kertas, “silakan tanda tangan di sini, dan di sini.”

Saya menuruti permintaannya. Setelah itu dia membereskan berkas-berkas, merapikannya, dan menyerahkan kepada saya sambil menawari dengan sopan, “Ada yang bisa saya bantu lagi, Mas?”

Saya berdebar—sangat berdebar. Detik itu, rasanya ingin menyahut, “Ya, aku ingin menikah denganmu.”

Tapi saya tidak berani mengatakannya.

Dan saya benar-benar membenci kenyataan itu.

Memang

Memang, kita hanya mau mendengar yang ingin kita dengar. Jika suara yang kita dengar berbeda dengan keyakinan, kita menutup telinga.

Memang, kita hanya mau melihat yang ingin kita saksikan. Jika yang terlihat ternyata berbeda dengan kepercayaan, kita menutup mata.

Memang, kita makhluk egois yang terlalu lama memuja diri sendiri. Jika dunia di luar kita berbeda dengan dunia kita, maka kita tak percaya. 

Padahal yang kita yakini bisa saja keliru. Yang kita percaya bisa saja berbeda. Hidup yang kita jalani bisa saja berlainan dengan hidup orang lain.

Tapi mungkin kita terlalu lama menganggap diri sebagai kebenaran tunggal, hingga kesulitan ketika mendapati ada bentuk lain dari kebenaran.

Sampai kapan...?

Pengapuran

Begitulah istilahnya.

Atau, kupikir, begitulah istilahnya.

Sabtu, 05 Juli 2014

Terampasnya Ruang Pribadi

Ironi manusia tak pernah berubah sejak zaman dulu kala.
Tak pernah berpikir, tetapi berpikir bahwa mereka berpikir.
Lalu hidup dengan itu.
@noffret


Di masa sekarang, nyaris bisa dibilang tak ada tempat pribadi bagi setiap orang. Di mana pun, di dunia nyata apalagi di dunia maya, setiap orang telah kehilangan hak privatnya. Istilah “desa dunia” yang dulu terdengar indah bahkan menakjubkan, sekarang justru meresahkan, jika tidak ingin dibilang mengerikan. Semua orang telah kehilangan ruang pribadinya, karena di mana-mana seolah ada mata yang melihat, dan telinga yang mendengar, sementara siapa pun bisa memasuki wilayah privat kita.

Belum lama, beberapa pihak meributkan kemungkinan Facebook menjadi alat mata-mata yang dimanfaatkan CIA (dinas intelijen Amerika) dalam memantau aktivitas dunia maya dan para pelakunya. Sebenarnya itu cerita lama—sebegitu lama, hingga sudah sangat basi. Kenyataannya, tidak hanya Facebook, hampir seluruh aktivitas kita di dunia maya dipantau oleh banyak pihak—CIA, FBI, BIN, ASIS, Mossad, BND, MI6, DGSE, sebut lainnya.

Di beberapa negara, aktivitas di internet bahkan dipantau pemerintahnya secara sangat ketat. Tetapi bukan berarti di negara-negara yang relatif bebas bisa melakukan apa saja seenaknya. Seluruh aktivitas yang kita lakukan di dunia maya bisa dibilang tidak bisa disembunyikan, semuanya akan terpantau—oleh pemerintah secara resmi, atau oleh pihak-pihak lain yang bisa mengakses aktivitas kita.

Masuk ke dunia maya sama saja artinya masuk ke dunia tanpa batas. Tanpa penghalang. Tanpa penutup. Tanpa ruang pribadi. Beraktivitas di internet artinya beraktivitas di dunia yang terbuka, tempat siapa pun dapat melihat, bisa menyaksikan, dan... kadang kala, bisa memanfaatkannya untuk berbagai tujuan.

Mari kita ambil contoh yang sangat sederhana. Masih ingat kasus Dinda yang dihujat banyak orang, gara-gara menuliskan keluh kesahnya di Path? Dinda merasa kesal gara-gara ada ibu hamil yang meminta tempat duduknya di kereta api. Kekesalannya ia tulis di Path. Kita tahu, Path adalah jejaring sosial yang relatif tertutup karena jatah pertemanan setiap orang dibatasi, sehingga masing-masing pengguna Path hanya berteman dengan orang-orang yang ia kenal baik.

Karenanya, ketika Dinda menulis keluh kesahnya di Path, dia pasti membayangkan teman-temannya di sana akan dapat memahami perasaannya, karena mereka teman-teman yang ia kenal baik. Selain itu, Path juga relatif tertutup, sehingga tidak akan ada orang lain yang bisa bebas membaca keluh kesahnya. Tapi apa yang terjadi kemudian? Salah satu “teman baik” itu meng-capture keluh kesah Dinda, dan menyebarkannya ke jejaring sosial yang jelas terbuka seperti Twitter. Hasilnya, Dinda di-bully oleh rakyat Indonesia.

Sekarang mari kita pikirkan. Jika di jejaring sosial yang tertutup semacam Path saja tidak ada privasi, apa yang bisa kita harapkan dari jejaring sosial lain semisal Facebook atau Twitter? Apalagi blog?

Dalam pengalaman pribadi, saya pernah memiliki blog yang diproteksi, dan hanya bisa diakses 100 orang setelah alamat e-mail mereka didaftarkan. Saya memilih sendiri mereka-mereka yang bisa mengakses blog itu, yaitu orang-orang yang saya yakini bisa dipercaya, yang dapat memahami diri saya luar dalam, yang bisa menjaga dan menghormati kepercayaan untuk izin akses yang saya berikan. Di blog itu, saya memuntahkan pikiran-pikiran saya yang paling “liar”, dan membiarkan mereka menikmati serta mendiskusikannya.

Dan apa yang kemudian terjadi...? Artikel-artikel yang ada di blog itu di-copy seseorang (atau beberapa orang), dan diposting di Facebook. Meski mereka tidak bermaksud negatif (karena tujuannya agar bisa didiskusikan dengan lebih banyak orang), tetapi kenyataan itu sudah menunjukkan satu hal, bahwa kita tidak memiliki ruang privat di internet, bahwa kita telah kehilangan ruang pribadi di dunia maya, bahwa aktivitas yang kita maksudkan sebagai pribadi bisa saja diketahui secara umum oleh orang banyak.

Sekali lagi, memasuki dunia maya artinya memasuki dunia tempat segala hal nyaris tidak bisa disimpan atau disembunyikan. Orang boleh memproteksi akun Twitter atau bahkan blognya, tetapi selalu ada cara yang memungkinkan isi akun atau muatan blog itu keluar dan diketahui banyak orang. Bahkan meski suatu materi telah dihapus sekali pun, jejak-jejak keberadaan materi itu masih dapat ditemukan dan dilihat, untuk kemudian disimpan pihak lain.

Memikirkan kenyataan itu, sepertinya sungguh mengerikan jika kita tidak berhati-hati di dunia maya. Karena dorongan eksistensi, beberapa orang kadang terlalu mengumbar bahkan mengeksploitasi dirinya—mereka mengunggah foto-fotonya, menuliskan detail-detail kehidupannya secara vulgar, men-tweet kegiatan-kegiatannya, memberitahukan tempat-tempat yang sedang dihadirinya, lengkap dengan peta petunjuk lokasi yang dapat dilihat siapa pun.

Kadang-kadang saya ngeri membayangkan bagaimana orang-orang itu bisa sangat leluasa memberitahukan keberadaan dirinya secara mudah pada dunia, tanpa memikirkan apa saja yang bisa terjadi. Atau mungkin saya yang terlalu introver dan paranoid?

Mungkin sebagian orang berpikir bahwa dunia nyata dan dunia maya jauh berbeda. Mungkin mereka mengira masih memiliki privasi dan ruang pribadi di dunia nyata. Jika memang begitu, sepertinya mereka keliru. Sama halnya dengan dunia maya, di dunia nyata pun sekarang tidak ada lagi ruang pribadi, dan setiap orang telah kehilangan privasi.

Pikirkanlah berapa banyak kamera pengintai yang terpasang di ruang-ruang atau tempat-tempat yang biasa kita datangi. Sebagian kamera pengintai itu memang dipasang secara resmi untuk tujuan keamanan, semisal di gedung perkantoran, swalayan, atau bank, dan semacamnya. Tetapi jangan lupakan kamera-kamera pengintai yang dipasang secara tidak resmi oleh orang-orang iseng dengan tujuan tidak jelas.

Di kamar-kamar kecil, di ruang ganti baju, selalu ada kemungkinan kamera pengintai yang tidak kita lihat, dan bisa saja aktivitas yang kita lakukan di tempat-tempat itu terekam untuk kemudian disalahgunakan. Orang yang bersama kita juga tidak menutup kemungkinan merekam segala aktivitas dan percakapan tanpa kita ketahui, dengan banyak tujuan dan alasan. Bahkan aktivitas yang paling pribadi pun tidak menjamin bebas dari kemungkinan semacam itu.

Dalam salah satu serial film James Bond, kita menyaksikan kacamata canggih yang dipakai agen 007 untuk melihat tembus pandang. Menggunakan kacamata itu, Bond bisa melihat yang ada di balik pakaian orang-orang lain. Percaya atau tidak, kacamata semacam itu benar-benar ada di dunia nyata, dan tidak hanya dimiliki agen-agen intelijen semacam James Bond. Siapa pun kini bisa memiliki kacamata semacam itu, dan bisa “mengintip” pakaian orang-orang lain yang ditemuinya.

Di Jepang, ada perusahaan bernama Kaya Spesial Optic, Inc. Perusahaan itu mengkhususkan diri pada pembuatan alat optik selama 30 tahun, dan salah satu karya mereka yang spektakuler adalah kacamata canggih yang disebut “Infrared See Through Filter PF”. Menggunakan kacamata itu, kita bisa menembus pandangan di balik permukaan objek. Dengan kata lain, kacamata itu memungkinkan kita melihat yang ada di balik pakaian siapa pun.

Saat ini, kacamata itu belum masuk ke Indonesia, dan harganya juga masih relatif mahal. Tapi cepat atau lambat, benda itu akan masuk ke Indonesia, dan bocah-bocah di sekeliling kita akan segera memilikinya. Pikirkan saja bagaimana implikasinya dalam kehidupan sehari-hari di masa mendatang. Bocah yang tampak seperti kutubuku berkacamata, yang sekilas seperti anak manis, ternyata sedang memelototi sesuatu di balik baju kita sambil cengengesan tanpa dosa.

Selain kacamata canggih semacam itu, saat ini di Indonesia sudah ada berbagai peralatan yang tidak kalah canggih, yang ditujukan untuk keperluan serupa. Siapa pun yang biasa keluyuran ke Glodok pasti tahu banyaknya aneka macam peralatan “spionase” yang bisa didapatkan dengan harga murah. Kamera seukuran uang koin, alat pemindai berupa bolpoin, detektor gerak berbentuk jam weker, perekam suara berwujud korek api—sebut apa pun.  

Dua puluh tahun yang lalu, mainan-mainan canggih semacam itu hanya digunakan orang-orang yang bekerja di dunia intelijen, dan diproduksi dalam jumlah terbatas karena biaya pembuatannya sangat mahal. Sekarang, siapa pun bisa keluyuran ke Glodok, dan memilikinya dengan harga sangat murah. Jika mainan-mainan itu belum terdengar mengesankan, sekarang mari kita lihat mainan lain. Namanya kamera X-ray.

Sekilas, nama X-ray mungkin terdengar familier—di rumah sakit, di bandara, atau di beberapa tempat lain juga difasilitasi kamera X-ray. Tetapi X-ray yang sedang kita bicarakan ini agak berbeda dengan X-ray yang mungkin telah kita kenal. Dan kali ini tidak terdapat di bandara atau di rumah sakit, tetapi di... ponsel.

Jika kita menyalakan fitur kamera foto atau video di ponsel untuk memotret atau merekam orang lain, kita hanya mendapatkan gambar/film yang sesuai dengan objek yang kita bidik. Tapi tidak begitu jika ponsel kita dilengkapi X-ray. Jika kita menggunakan kamera yang telah ditanam X-ray di dalamnya, orang-orang yang memakai baju bisa terlihat telanjang dalam foto atau film yang kita bidik. Dan itulah tujuan penggunaan X-ray dalam ponsel.

Saat ini, tidak ada ponsel produk mana pun yang secara default dilengkapi X-ray. Tapi siapa pun bisa melengkapi ponselnya dengan teknologi itu melalui tempat-tempat yang melayani hal tersebut. Tarif modifikasinya masih relatif mahal, tergantung kecanggihan ponsel yang digunakan—semakin canggih ponsel, semakin tinggi tingkat megapixel, semakin mahal biaya modifikasinya. Dari yang saya dengar, teknologi yang berpotensi nakal bahkan berbahaya ini telah mulai masuk ke Indonesia.

Mari kita pikirkan, sekali lagi, betapa makin sempitnya ruang pribadi di dunia yang kita huni, hingga bisa dibilang ruang privat telah hilang. Di dunia maya, siapa pun bisa memantau aktivitas kita. Di dunia nyata, hal yang sama tak jauh berbeda. Di dunia maya, isi pikiran dan keseluruhan hidup kita bisa diketahui orang lain. Di dunia nyata, isi pakaian dan keseluruhan tubuh kita bisa disaksikan orang lain. Tidak ada lagi ruang privat, tidak ada lagi tempat pribadi.

Istilah “desa dunia” yang beberapa tahun lalu terdengar indah sekarang lebih menyerupai teror. Orang-orang hidup di rumah mereka sendiri-sendiri, tapi sebenarnya saling berhimpitan sangat dekat, hingga masing-masingnya bisa saling melihat dan mengetahui. Orang-orang tidak saling mengenal, tapi siapa pun bisa menyaksikan segala yang ada di balik pakaian orang lainnya dengan mudah, hingga seolah-olah semua manusia hidup telanjang.

Ribuan tahun yang lalu, manusia purba berhimpitan di gua-gua dan menjalani hidup dalam ketelanjangan. Tapi mereka masih memiliki ruang privat dan tempat pribadi. Di zaman sekarang, manusia modern menjalani hidup individualistik di rumah-rumah berpagar tinggi, tapi kehilangan privasi dan ruang pribadi. Oh, well, ironisme manusia tak pernah selesai.

Wawancara dengan Iblis

Si reporter bertanya, “Jika suatu saat kebusukanmu sebagai iblis terbongkar, apa yang akan kaulakukan?”

“Aku akan membuat kartu nama,” jawab si iblis. “Dan aku akan mencoba melakukan hal-hal busuk lainnya.”

“Khas iblis, eh?” Si reporter tersenyum. “Kenapa kau tampaknya sangat berhasrat melakukan hal-hal busuk?”

“Karena aku punya tiga sifat khas. Pertama, aku tinggi hati. Kedua, aku pendengki. Dan ketiga, aku rendah diri.”

“Bisa dijelaskan?”

Si iblis menyeringai. “Aku tinggi hati—merasa dan menganggap diriku paling hebat. Tidak ada yang mengalahkanku, dan tidak boleh ada yang mengalahkanku! Aku juga pendengki. Karena itu, jika mendapati ada yang mengungguliku, aku akan dengki kepadanya. Bukannya tulus mengagumi kelebihannya, aku akan menyerangnya. Tetapi, karena aku rendah diri, maka aku akan menyerangnya dengan cara-cara yang busuk, dari belakang punggungnya. Bahkan, kalau pun aku tak bisa lagi menyerangnya karena kebusukanku telah terungkap, aku akan mencoba melakukan hal-hal tertentu yang kuharap dapat mengganggunya.”

“Misalnya...?”

Si iblis yang minderan menundukkan wajah malu.

Noffret’s Note: Anak-anak

Tidak ada yang lebih menyedihkan di dunia manusia,
selain tangis anak-anak terluka.
—Twitter, 16 Juni 2014

Punya anak adalah hak. Tapi memberikan hak anak
adalah kewajiban. Kadang-kadang orangtua lupa membedakan.
—Twitter, 16 Juni 2014

Masalah kita, mungkin, terlalu banyak dicekoki
kewajiban anak kepada orangtua, tapi sangat jarang
diajari kewajiban orangtua kepada anak.
—Twitter, 16 Juni 2014

Jika anak dilarang menyakiti perasaan orangtua,
kenapa orangtua sepertinya tidak pernah dilarang
menyakiti perasaan anak-anak?
—Twitter, 16 Juni 2014

Jika kita percaya ada anak baik dan anak nakal,
kenapa kita seolah menganggap semua orangtua
di dunia baik semua? Itu penilaian tidak adil.
—Twitter, 16 Juni 2014

Orangtua kita mungkin baik dan sempurna.
Tapi bukan berarti semua orangtua di dunia sebaik
dan sesempurna orangtua kita. Mari membuka mata.
—Twitter, 16 Juni 2014

Jika aku harus membela orangtua atau anak-anak,
aku akan membela anak-anak.
Karena mereka lebih punya hak untuk dibela.
—Twitter, 16 Juni 2014

Orangtua punya pilihan ketika memutuskan
untuk punya anak-anak. Tetapi anak-anak
tidak diberi pilihan sebelum mereka dilahirkan.
—Twitter, 16 Juni 2014

Orangtua tidak punya hak mengeluh ketika membesarkan
anak-anaknya, karena mereka sendiri yang memilih
untuk punya anak-anak. Dewasa, dong!
—Twitter, 16 Juni 2014

Kalau anak sesekali nakal, tentu saja wajar,
namanya juga anak-anak.
Memangnya apa yang kalian harapkan dari anak-anak?
—Twitter, 16 Juni 2014

Siapa pun tahu, orangtua banyak berkorban demi anak.
Itu benar, dan memang seperti itu seharusnya.
Sungguh keliru jika sebaliknya.
—Twitter, 16 Juni 2014

Orangtua punya kewajiban mendidik dan membesarkan
anak-anaknya. Tentu saja iya, karena mereka sendiri
yang memilih punya anak-anak.
—Twitter, 16 Juni 2014

Kehidupan adalah soal pilihan. Punya anak atau tidak
juga soal pilihan. Dan setiap pilihan mengandung
konsekuensi, menuntut tanggung jawab.
—Twitter, 16 Juni 2014

Aku mencintai anak-anak. Sebegitu cinta,
hingga aku tak terpikir untuk punya anak-anak.
—Twitter, 16 Juni 2014


*) Ditranskrip dari timeline @noffret.

Selasa, 01 Juli 2014

Surat Prabowo, E-Mail Gita Wirjawan, dan SMS Irman Gusman

Attention! Tolong jangan mengirim mention
berisi kampanye atau black campaign capres mana pun.
Aku tak tertarik dan tak akan terpengaruh!
@noffret


Prabowo Subianto, yang sekarang menjadi calon presiden, diketahui mengirim surat kepada para guru di sekolah-sekolah. Surat itu dinilai melanggar aturan kampanye, dan sekarang mulai ditangani Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu). Berdasarkan berita yang saya baca, Bawaslu mulai memanggil tim sukses Prabowo untuk mengklarifikasi hal tersebut. Berikut ini transkrip surat Prabowo, sesuai aslinya.


Dengan hormat,

Besar harapan saya bahwa surat ini sampai ke tangan anda dalam suasana yang baik dan bersahabat.

Jika diizinkan oleh Allah SWT, saya akan maju sebagai calon presiden Republik Indonesia pada Pemilu 9 Juli akan datang.

Untuk itu, dari hati saya yang terdalam, saya memohon doa dan restu anda. Insya Allah, apabila saya terpilih nanti, saya akan berusaha sekuat tenaga memimpin Indonesia menjadi sebuah negara yang lebih maju lagi, lebih sejahtera, serta lebih bermartabat di mata dunia.

Atas dukungan anda, saya bertekad untuk memajukan semua golongan, merangkul segenap kalangan, serta merajut kerja sama yang erat semua elemen bangsa kita. Indonesia harus melangkah bersama dalam mencapai cita-cita yang mulia di masa depan.

Fokus utama saya adalah peningkatan kesejahteraan rakyat, kemajuan pendidikan, serta pemberdayaan ekonomi kecil dan menengah. Semua sektor harus diperhatikan, dari sektor industri, jasa, perkebunan, perdagangan, dan terutama sektor pertanian. Indonesia akan menjadi negara maju dalam satu generasi, jika semua sektor ini diperhatikan dengan sungguh-sungguh.

Saya paham sepenuhnya bahwa tidak ada pemimpin yang berhasil tanpa dukungan rakyat. Karena itulah dengan rendah hati saya memohon dukungan anda dan keluarga. Dukungan ini sangat berarti buat saya, menambah semangat saya untuk terus mengabdi pada Tanah Air kita tercinta.

Salam persahabatan buat anda dan segenap keluarga. Terima kasih yang tulus atas perhatiannya.

Jakarta, 9 Juni 2014
 

Prabowo Subianto


Sebagai awam, saya tidak tahu apakah yang dilakukan Prabowo melanggar aturan pemilu atau tidak, jadi biarlah para ahli yang menilai. Yang saya tahu, perilaku mengirim “pesan” secara pribadi kepada orang per orang tidak hanya dilakukan oleh Prabowo. Jauh-jauh hari sebelum Prabowo mengirim surat-surat pribadinya kepada banyak orang, saya pernah mendapat e-mail dari pihak yang mengatasnamakan diri Komunitas Relawan DukungGW. “GW” yang dimaksud adalah Gita Wirjawan.

Pada waktu itu, wacana pencapresan Gita Wirjawan sedang santer diberitakan, dan foto-foto wajahnya bertebaran di hampir semua web populer di internet. Tentu saja itu hak Gita Wirjawan, toh dia sendiri yang membiayai promosi wajahnya. Jika kemudian ada orang-orang yang sampai bosan karena setiap saat melihat fotonya di mana-mana, well... itu urusan lain.

Yang membuat kesal, saya menerima e-mail yang tidak saya inginkan, sehubungan dengan Gita Wirjawan. E-mail itu dikirim oleh Komunitas Relawan DukungGW yang beralamat di info@dukunggw.com. Berikut isi e-mail tersebut, saya transkrip sesuai aslinya.


Sahabat,

Kamu pernah mengunjungi http://www.politicawave.com/konvensi ? Di laman itu kamu bisa lihat bahwa ternyata ada sebuah kompetisi di media sosial. Kompetisi seru untuk menemukan siapa sesungguhnya figur Indonesia yang paling layak memimpin negeri hebat ini.
 

Berbeda dengan pertandingan-pertandingan biasa yang boros biaya dan tenaga, kamu sudah bisa langsung ikut berkompetisi di media sosial ini hanya dengan mengandalkan gadget kamu. Now sit back, relax, and enjoy the next three steps!

Sahabat,

    Mention nama "Gita Wirjawan"‎ dalam tweet kita setiap hari. Misalnya,"Selamat pagi Pak @GWirjawan. Sukses selalu melayani masyarakat Pak Gita Wirjawan."
    Retweet apapun yang di-tweet oleh akun @GWirjawan‎ dengan komentar positif. Misalnya "Setuju Pak! RT @GWirjawan: Indonesia adalah bangsa hebat dengan anak muda dahsyat."
    Follow akun relawan @DukungGW dan lakukan retweet dengan komentar positif. Ketika ada berita tentang pak Gita di tweet oleh akun tersebut, lakukan retweet dengan menambah kata positif, misalnya "Nah ini -->" atau "Capres pilihan kita nih" atau "GW gue banget!!" dst.

Dengan tiga langkah sesederhana itu, kita ikut aktif bersama pak Gita menyebarluaskan gagasan-gagasan tentang bagaimana mengasihi Indonesia lebih baik lagi. Hanya dengan mengandalkan jemari, kita langsung menjadi aktivis politik, pegiat demokrasi modern, seperti yang marak dipraktekkan di negara-negara maju semisal Amerika Serikat dan Australia. Masing-masing dari kita juga bisa berlomba agar menjadi pemuncak pada daftar Top 10 di PoliticaWave (http://www.politicawave.com)

Sahabat,

Mungkin di antara kita bertanya mengapa kita sepatutnya mendukung pak Gita. Sederhana saja jawabannya. Dalam usianya yang masih belia, pak Gita sudah mempunyai rekam jejak luar biasa. Ia terlahir dari keluarga yang majemuk dan menjadikan kerja keras sebagai etos hidup. Pak Gita aktif menjadi pengurus berbagai macam organisasi yang punya catatan prestasi. Yakin akan potensi bangsa dan keandalan generasi muda, pak Gita gencar menggalakkan aksi-aksi lokal bervisi global dengan anak-anak muda sebagai motornya.


Penggemar olahraga dan pecinta seni, tak aneh pak Gita bertubuh sehat, berpenampilan sederhana namun atraktif, dan terlihat lebih muda dari usia yang sebenarnya. Satu lagi: meski sudah melanglang buana, pak Gita tetap menghayati nilai ketimuran dengan bercinta-cita menjadi suami sekaligus ayah kebanggaan keluarga. Hm, laksana ponsel, sosok Gita punya fitur lengkap, sinyal tajam, desain keren, dan pilihan favorit orang-orang berjiwa belia!

Nah, dengan menjadi bagian dari Tim Dukung GW yang aktif di media sosial, kita—generasi kebanggaan Indonesia—punya ruang dan energi tanpa batas untuk membuat dunia tahu bahwa negeri kita ini pantas dipimpin oleh figur yang mau menggenggam semua tangan demi mewujudkan “Indonesia BERANI, Indonesia LEBIH BAIK”.

Kalau kamu punya pertanyaan, kamu bisa langsung berkomunikasi dengan kami dengan membalas email ini di info@DukungGW.com atau lihat web http://www.DukungGW.com untuk informasi lebih lengkap.

Salam,
Komunitas Relawan Dukung GW



Berbeda dengan surat Prabowo yang isinya santun dan tidak melakukan perintah apa pun secara eksplisit, isi e-mail Gita Wirjawan secara terang-terangan menyuruh penerimanya untuk melakukan sesuatu (perhatikan paragraf ketiga isi e-mail tersebut). Jika e-mail itu memang ditujukan untuk kampanye, maka itu benar-benar kesalahan, karena tidak empatik dan kurang persuasif.

Pertama, Gita Wirjawan (melalui Relawan DukungGW) telah melanggar privasi saya dengan seenaknya sendiri mengirim e-mail, padahal saya tidak tahu siapa mereka, dan tidak menginginkan atau meminta kiriman e-mail dari mereka. Kedua, mereka dengan seenaknya sendiri menyuruh-nyuruh saya melakukan sesuatu yang belum tentu saya inginkan. E-mail semacam itu, kita tahu, bisa digolongkan sebagai spam. Dan siapa pun tidak menginginkan spam, apalagi spam berisi kampanye!

Dua bulan setelah menerima e-mail Gita Wirjawan, giliran ponsel saya yang dikirimi SMS kampanye. Kali ini datang dari Irman Gusman, dengan nomor pengirim 082311600201. Berikut isi SMS tersebut, saya transkrip sesuai aslinya.


Pilih IRMAN GUSMAN, Ketua Dewan Perwakilan Daerah RI dalam survey/cawapres konvensi Partai Demokrat sudah Berpengalaman, Bersih & Terpercaya.


Lagi-lagi hak privasi saya dilanggar, lagi-lagi datang pesan yang tidak saya inginkan. Irman Gusman, siapa pun dia, tentu tidak tahu nomor ponsel saya, sebagaimana saya juga tidak tahu nomor ponsel miliknya. Fakta bahwa dia (atau tim suksesnya) bisa mendapatkan nomor ponsel saya, bukan berarti kami pasti saling kenal. Dan kalau dua orang tidak saling kenal, maka sungguh tidak sopan kalau main perintah seenaknya sendiri.

Oh, well, Bapak-Bapak yang terhormat, tampaknya kita perlu lebih banyak belajar tentang empati dan sikap persuasif. Untuk menyadari bahwa dua orang asing tetaplah asing sebelum senyuman terkembang di bibir masing-masing, bahwa orang yang tak saling kenal tidak berhak dan tidak layak main perintah-perintahan, bahwa mengirim pesan kampanye atau ajakan melalui e-mail atau SMS sama saja melanggar hak privat seseorang.

Tentu saja kampanye di tempat umum atau terbuka merupakan hak siapa pun yang ingin jadi caleg, capres, cawapres, atau ca-ca lainnya. Tidak masalah. Kita berdatangan ke lapangan untuk mendengarkan calon dambaan kita berpidato panjang lebar—itu keinginan kita sendiri. Sekali lagi tidak masalah, karena tidak ada hak siapa pun yang dilanggar. Tetapi berkampanye secara pribadi melalui surat, e-mail, atau SMS, telah melanggar hak privat orang per orang, karena dikirim oleh pihak yang belum tentu dikenal atau diinginkan.

Hampir setiap hari, inbox e-mail dan SMS saya dikirimi iklan obat kuat, layanan phonesex, dan setumpuk sampah lainnya. Saya ingin menghormati pemimpin dan calon pemimpin negeri ini, dan tidak ingin menyamakan mereka dengan penjual obat kuat atau layanan phonesex. Karenanya, tolong (sekali lagi, tolong) bertindaklah secara arif, dengan tidak melanggar hak privat orang lain, dan berkampanyelah secara persuasif serta dengan sikap yang empatik.

Noffret’s Note: Psikologi 101

Sekali-sekali mau kultwit pakai nomor ah,
biar kayak orang-orang normal.
—Twitter, 3 Juni 2014

(1) Kalau kita ingin orang lain mau menuruti
keinginan kita, caranya sangat mudah. Tunjukkan saja
apa manfaat hal itu baginya. #Psikologi101
—Twitter, 3 Juni 2014

(2) Manusia adalah makhluk egois, diakui atau tidak.
Mereka hanya akan mau melakukan sesuatu
jika melihat manfaat baginya. #Psikologi101
—Twitter, 3 Juni 2014

(3) Orang tidak akan tergerak melakukan sesuatu,
apalagi yang berat dan sulit, jika tidak melihat
keutungan apa pun untuknya. #Psikologi101
—Twitter, 3 Juni 2014

(4) Murid mau rajin belajar karena adanya nilai tinggi.
Mahasiswa mau mengerjakan skripsi karena
adanya gelar dan wisuda. #Psikologi101
—Twitter, 3 Juni 2014

(5) Karyawan mau bekerja keras karena adanya gaji.
Mayoritas manusia bahkan mau beribadah
karena iming-iming pahala dan surga. #Psikologi101
—Twitter, 3 Juni 2014

(6) Orang mau melakukan apa pun karena adanya
manfaat/keuntungan yang bisa diperolehnya.
Itu hukum dasar psikologi manusia. #Psikologi101
—Twitter, 3 Juni 2014

(7) Memang ada orang-orang yang melakukan sesuatu
tanpa iming-iming apa pun. Tapi mereka
melakukannya atas keinginan sendiri. #Psikologi101
—Twitter, 3 Juni 2014

(8) Jika seseorang melakukan sesuatu atas keinginan
orang lain, mereka akan cenderung melihat manfaat
atau keuntungan baginya. #Psikologi101
—Twitter, 3 Juni 2014

(9) Jadi, sebelum terlalu berharap orang lain mau
mengikuti keinginanmu, tanyakan lebih dulu;
apa manfaatnya bagi orang itu. #Psikologi101
—Twitter, 3 Juni 2014

(10) Orang lain menuruti keinginan kita
adalah keuntungan kita. Tapi apa keuntungan baginya
hingga mau menuruti keinginan kita? #Psikologi101
—Twitter, 3 Juni 2014


*) Ditranskrip dari timeline @noffret.

Nyala Suluh Dalam Tangisku

Malam itu, saat keluar dari rumah, tiba-tiba aku tertegun. Salah satu bagian memoriku seperti terbuka seketika, dan beberapa hal di dalamnya menghambur keluar seperti kelelawar menyambut gelap.

Lalu aku teringat....

Lalu aku teringat, suatu waktu, bertahun lalu, ada anak-anak yang tak kukenal datang ke rumahku, mengetuk pintu, dan menemuiku dengan ragu. Seseorang telah mengirim mereka—anak-anak tak kukenal itu—menyampaikan sesuatu yang sangat kubutuhkan, menyelamatkanku dari kebingungan, meski sejenak... meski sesaat... tapi membuatku nyaris menangis karena rasa syukur.

Bertahun kemudian, setelah itu, aku tak pernah ingat lagi pada mereka, aku bahkan telah lupa wajah anak-anak itu. Anak-anak yang tak kukenal, anak-anak yang tak kubayangkan akan datang, anak-anak yang bahkan tidak kutahu namanya. Anak-anak yang telah menyelamatkanku dari keputusasaan, tangan-tangan kecil yang menyalakan suluh saat aku terjatuh dalam kegelapan.

Kini aku kembali teringat....

Kini aku kembali teringat, saat keluar dari rumah, dan sesaat berdiri di depan pintu, lalu bayangan anak-anak itu seolah menghambur ke depanku.

Aku tak pernah tahu siapa mereka, aku tak tahu nama-nama mereka, aku tak tahu di mana sekarang mereka berada, aku bahkan telah lupa wajah-wajah mereka.

Malam itu, saat tertegun di depan pintu, dan tiba-tiba teringat pada mereka, aku berharap, dan berdoa, semoga keselamatan dan kesejahteraan selalu dilimpahkan untuk mereka, semoga tangan-tangan agung tak terlihat senantiasa menjaga hidup mereka, semoga takdir menuntunku agar bisa membalas budi baik mereka... kapan pun waktunya, bagaimana pun caranya.
 
 
;