Sabtu, 24 Agustus 2013

Posting Keseribu

“Dan cermin pun retak,” kata Lady of Shallot, “dari sisi ke sisi.”
“Dan hidup pun berdetak,” kataku, “dari sunyi ke sunyi.”
@noffret


Catatan yang sedang kalian baca adalah posting keseribu di blog ini. Rasanya baru kemarin saya membuat blog, dan tanpa terasa tahun-tahun berganti, hingga catatan yang terkumpul di sini telah mencapai seribu. Ngeblog, kalau dipikir-pikir, tak jauh beda dengan menabung di celengan. Setiap hari kita masukkan keping demi keping uang tanpa terasa, dan tiba-tiba celengan itu berat karena penuh terisi.

Selama lima tahun menulis di blog ini, saya telah menulis cukup banyak hal, khususnya hal-hal yang saya minati, atau yang saya pikir dan rasakan. Sebagian mungkin penting, sebagian mungkin tidak. Sebagian mungkin bagus, sebagian mungkin tidak. Tak jauh beda dengan menulis di buku diary, kadang catatan yang kita tulis di dalamnya ada yang menyenangkan dan ada yang tidak.

Berkaitan dengan isi tulisan, ada kalanya sebuah catatan saya tulis dengan hati senang, namun ada pula yang saya tulis dengan sedih. Ada yang saya tulis dengan sangat serius, ada pula yang saya buat dengan main-main. Hanya di blog saya bisa mengeksplorasi gaya menulis sebebas-bebasnya, hingga seribu catatan yang terposting di sini pun memiliki gaya berbeda-beda, meski tetap membawa karakter khas saya.

Untuk memperingati posting keseribu, saya memilih 10 catatan yang memiliki kesan tersendiri bagi saya ketika menulisnya. Berdasarkan uraian berikut, kalian mungkin akan memahami apa yang ada di dalam pikiran dan hati saya ketika menulis catatan-catatan ini.


Sang Mistikus

Banyak yang mengira Sang Mistikus adalah personifikasi diri saya. Tidak, saya bukan Sang Mistikus dalam catatan itu, meski saya ingin menjadi dirinya. Di tengah-tengah hidup yang serba sibuk dan bising ini, saya sangat merindukan sosok seperti Sang Mistikus—orang yang menjalani hidup dengan tenang dan hening, tanpa usaha unjuk diri, dan menjalani hidup dalam sunyi.

Gaya hidup manusia zaman kita adalah gaya hidup yang kacau. Masuknya dunia maya (internet) ke dalam dunia nyata menjadikan kita terombang-ambing di antara dua dunia—disadari atau tidak. Dunia maya pula yang mengajari kita untuk eksis dan unjuk diri, ingin dikenal atau terkenal, karena dunia maya menawarkan berbagai cara mudah untuk bisa terkenal.

Keinginan untuk unjuk diri itu pula yang kemudian—disadari atau tidak—kadang menjauhkan kita dari diri sendiri. Kita sibuk menjalin hubungan dan mati-matian memoles diri di dunia maya, namun sering lupa bahwa kita tinggal di dunia nyata. Kita tahu ada orang di Twitter yang mati kecelakaan, tapi bisa jadi kita tidak tahu ada tetangga sekampung yang meninggal dunia.

Upaya berlebihan untuk unjuk diri, bagi saya adalah penyakit yang menghinggapi banyak orang di zaman kita. Karena ingin terkenal, banyak orang melakukan segala cara—bahkan yang paling konyol dan tak masuk akal—di dunia maya ataupun di dunia nyata. Sepertinya, keinginan hidup banyak manusia di zaman ini adalah menjadi terkenal.

Dan itulah paradoks manusia zaman sekarang. Keinginan untuk menjadi terkenal membuat kita sibuk melakukan apa saja demi membuka mata orang lain, membuka mata dunia, padahal mata pertama yang harus terbuka untuk melihat diri kita adalah mata kita sendiri.

Sekali lagi, itulah paradoks manusia di zaman kita. Terlalu sibuk mengurusi mata orang lain dan mati-matian berusaha membuka mata dunia agar melihat kita, namun mata kita sendiri tertutup. Kita tidak mengenal diri sendiri, karena terlalu sibuk unjuk diri, sibuk pamer, sibuk memanggil-manggil dunia agar melihat ke arah kita. Upaya untuk dikenal orang lain sering menjadikan kita tidak mengenal diri sendiri.

Karena itulah saya merindukan sosok seperti Sang Mistikus. Saya yakin orang semacam itu masih ada di zaman ini—orang yang bisa hidup tenang dan tenteram tanpa ambisi menjadi terkenal, orang yang menjalani hidup dengan baik dalam keheningan yang khusyuk, orang yang mengenali diri sendiri seutuhnya dan tak peduli jika orang lain tak mengenalnya. Kapan pun saya menemukan orang semacam itu, saya akan merundukkan kepala untuk mencium tangannya.


Petuah Filsuf Gila

Catatan tentang Filsuf Gila mendatangkan banyak sekali komentar di e-mail saya, dan sebagian mereka meminta agar saya kembali menulis tentang Filsuf Gila. Saya berharap di waktu-waktu mendatang akan bisa memenuhi permintaan itu, dan kembali menulis tentang sosok nyentrik sang Filsuf Gila.

Dalam bayangan saya ketika menulisnya, Filsuf Gila tak jauh beda dengan Sang Mistikus, yang tak peduli popularitas. Bedanya, kalau Sang Mistikus menjalani hidup hanya di rumahnya tanpa pernah keluar, Filsuf Gila menikmati hari-harinya dengan keluyuran di jalan-jalan (kelak akan saya tuliskan lebih detail deskripsinya). Selain itu, Sang Mistikus punya sifat lembut, sedang Filsuf Gila berwatak keras. (Coba perhatikan perbedaan gaya bicara keduanya dalam catatan-catatan itu).

Saya juga mencintai sosok Filsuf Gila, seperti saya mencintai sosok Sang Mistikus. Mereka adalah orang-orang tercerahkan—tangan-tangan yang membawa obor dalam genggaman. Dan siapa pun yang membawa obor menyala di tangannya dapat menerangi siapa saja tanpa membuat dirinya kehilangan cahaya.

Sang Mistikus maupun Filsuf Gila adalah sosok-sosok yang saya rindukan, orang-orang yang ingin saya temui. Karena saya tidak bisa menemukannya, maka saya pun menciptakan sosok mereka dalam tulisan. Saya senang ketika menulisnya, saya senang ketika menciptakan sosok mereka, dan saya senang ketika mengetahui banyak orang yang juga menyukai tulisan-tulisan tentang mereka.


Rembulan Luka

Ini catatan yang saya tulis untuk Shirley Ardell Mason, wanita pertama di dunia yang diidentifikasi mengidap kepribadian ganda, akibat disiksa orangtuanya. Bagi yang mungkin belum mengenalnya, dan ingin tahu tentangnya, silakan kunjungi Wikipedia. Situs ensiklopedia itu memiliki artikel yang cukup lengkap mengenai kisah hidup Shirley Ardell Mason.

Sampai hari ini, para psikolog dan psikiater masih belum sepakat tentang kepribadian ganda. Sebagian dari mereka menerima bahwa kepribadian ganda memang ada, sedang sebagian lagi menolak dan menyatakan kepribadian ganda sebenarnya tidak ada. Saya ada di kubu yang percaya kepribadian ganda memang ada, dan Shirley Ardell Mason memang mengidap hal itu.

Bagi saya, Shirley Ardell Mason adalah potret kebodohan serta kebrengsekan para orangtua. Bayi-bayi yang terlahir ke dunia ini karena diinginkan orangtuanya. Anak-anak yang hidup di dunia ini tidak memaksa keluar dari rahim ibunya, tapi karena kehendak orangtuanya. Karenanya pula, memperlakukan anak dengan baik adalah kewajiban setiap orangtua, dan seharusnya orangtua yang menganiaya anaknya dihukum penjara.

Ada kalanya, cara mendidik yang dianggap baik bagi orangtua sebenarnya justru cara mendidik yang buruk. Tetapi, sayangnya, orangtua sering menganggap diri lebih benar bahkan pasti benar, khususnya di hadapan anak-anak mereka.

Dunia sudah lelah mendengar tangis derita anak-anak seperti Shirley Ardell Mason. Kita tidak ingin melahirkan Shirley Ardell Mason yang lain. Karenanya, jangan pernah memiliki anak, jika kita belum mampu mendidik dan membesarkan mereka dengan baik. Dan penuh kasih.


Senandung Gerimis

Setiap lelaki memiliki sosok perempuan yang sangat dicintai, seorang kekasih yang sangat berarti dalam hidup. Saya juga memiliki sosok semacam itu, seorang perempuan yang pernah menjadi kekasih, pasangan yang membuat tenteram saat ada di dekatnya. Dia makhluk terindah yang pernah saya miliki, cinta terbesar yang pernah saya kenali.

Suatu waktu, bertahun lalu, alam semesta mempertemukan saya dengan seorang perempuan yang sangat indah... dan saya jatuh cinta kepadanya. Dia bukan cinta pertama, tapi mungkin cinta terbesar.

Kami saling jatuh cinta, saling mabuk kepayang, dan kami pun menjalani hari-hari indah sebagai sepasang kekasih. Waktu itu saya pikir kami akan saling memiliki selamanya, dan saya merasa hidup telah lengkap. Tapi kemudian takdir merenggutnya, dan sejak itu saya menjalani hari-hari dengan tangis kehilangan. Dan penyesalan. Dan kepedihan.

Seseorang meninggalkan jejak di hati kita, dan jejak itu begitu dalam di sana. Ketika dia pergi, hidup kita pun tak pernah sama lagi.

Saya malu mengakui, saya masih sering mengingatnya. Kadang-kadang, saat melewati jalan atau tempat-tempat yang pernah kami kunjungi, saya merasa hati menghangat, dan mata membasah. Senandung Gerimis adalah salah satu catatan yang saya tulis di tempat kami pernah bergandeng tangan sebagai sepasang kekasih, saat langit menurunkan gerimis, saat saya masih bisa mendengar suara dan tawanya yang indah.


Pembodohan Massal Bernama Isu Pemanasan Global

Di antara yang lain, catatan mengenai pemanasan global menjadi posting paling panjang di blog ini. Semula, posting panjang itu makalah yang saya tulis untuk keperluan presentasi. Dua tahun setelah mempresentasikannya, saya posting di blog ini dengan menghilangkan istilah-istilah dan penjelasan rumit yang mungkin sulit dipahami orang awam.

Mungkin tidak kita sadari, saat ini kita sedang berada di tengah kancah peperangan. Perang itu terjadi di mana-mana, di sekeliling kita, bahkan mungkin kita ikut terlibat di dalamnya. Perang di sekeliling kita tidak menggunakan pasukan tentara dan bom atau rudal-rudal kasatmata, melainkan perang pemikiran. Ini adalah perang tingkat tinggi, tempat otak dan kata-kata menjadi senjata paling mematikan. Dan sama seperti perang kasatmata yang membutuhkan biaya besar, perang pemikiran di sekeliling kita juga melibatkan biaya milyaran dollar.

Isu pemanasan global adalah salah satu perang terkenal di zaman kita. Perang ini tidak melibatkan pasukan tentara dan senjata-senjata besar, tapi melibatkan para pemikir dan ilmuwan, serta back-up uang dalam jumlah yang sangat besar. Ada banyak pihak yang terlibat dalam perang ini—dari para birokrat, ilmuwan, pemikir, jurnalis, sampai para konglomerat—dan korban-korban telah berjatuhan di banyak tempat, tanpa kita sadari.

Setiap kali kita mendukung atau menolak suatu isu, maka saat itu pula kita telah berpihak pada satu kubu yang tengah berperang. Dan itu mengandung implikasi sangat besar, karena ikut menentukan siapa yang akan menjadi pemenang perang. Dan pemenang perang, kita tahu, adalah para penulis sejarah. Kita hari ini ikut menentukan sejarah macam apa yang kelak akan dibaca anak cucu kita di masa depan. Tergantung siapa yang menang dalam peperangan hari ini, dialah yang akan menulis sejarah. Kita tentu tidak ingin sejarah ditulis dengan kebohongan.

Karena itu, saya sengaja memposting catatan panjang mengenai isu pemanasan global di blog ini, untuk mengajak siapa pun agar tidak buru-buru mendukung suatu isu yang tengah beredar. Tak peduli sebesar dan seterkenal apa pun suatu isu, tidak menjamin isu itu memang benar. Isu yang paling tolol dan konyol pun bisa sangat terkenal jika dibiayai milyaran dollar. Dan itulah yang terjadi dengan isu pemanasan global.

Saya tidak bermaksud konklusif, karenanya saya mempersilakan siapa pun untuk mematahkan semua argumentasi yang saya paparkan dalam catatan itu. Jika ada yang bisa mematahkan argumentasi yang saya paparkan, saya terbuka untuk meralat kesimpulan. Namun, selama tidak ada yang bisa mematahkan argumentasi yang saya paparkan—dan sampai hari ini memang belum ada yang bisa mematahkannya—maka saya tetap berpegang pada keyakinan bahwa isu pemanasan global hanyalah sebentuk pembodohan massal.


Gurat Natijah

“Natijah” adalah istilah bahasa Arab yang berarti “simpulan”. Istilah itu cukup populer di Malaysia, namun sepertinya masih asing di Indonesia. Gurat Natijah adalah catatan yang saya tulis sebagai hadiah ulang tahun untuk wanita yang saya kagumi, Ayu Utami.

Bagi saya, Ayu Utami adalah sosok seorang mbakyu, wanita yang tidak hanya memiliki kasih dan kelembutan, namun juga kecerdasan dan kebijaksanaan. Mencari wanita cantik itu mudah—oh, well, sangat mudah—tapi menemukan wanita cantik yang cerdas dan bijaksana, sama sulitnya menemukan sehelai rambut di antara jerami kusut.

Saya mengagumi Ayu Utami, bukan hanya karya-karyanya, namun juga idealisme yang dimilikinya. Pernah, saya mendapati foto-foto Ayu Utami yang sedang bersama Djenar Maesa Ayu ketika mereka masih belia, dan tampak “binal”. Tapi itu tidak mengurangi kekaguman dan rasa hormat saya kepadanya.

Saya tertawa ketika menyaksikan foto-foto itu, dan membayangkan bahwa perjalanan hidup seorang manusia, khususnya seorang wanita, memang bisa unik dan tak terbayang. Seorang wanita yang binal di masa mudanya bisa berubah menjadi pemikir yang arif, sama halnya seorang wanita yang tampak alim dan lembut di masa mudanya bisa berubah menjadi nenek sihir yang jahat.

Wanita mengagumkan di dunia adalah wanita yang menyadari bahwa dia memiliki pilihan, dan tidak ada satu orang pun yang berhak merenggut pilihan itu darinya. Kedengarannya remeh, eh? Tapi ada banyak wanita yang tidak sadar dia memiliki pilihan, kemudian hanyut dalam gelombang masyarakat dan tuntutan sosial. Mereka sibuk mencari pacar ketika banyak wanita lain punya pacar, mereka buru-buru menikah setelah banyak wanita lain menikah. Mereka tidak punya pilihan, hidup mereka ditentukan oleh lingkungan, kultur, dan masyarakatnya.

Ayu Utami berani menunjukkan sikap yang menjadi pilihan dan idealismenya. Dia seperti Alice dalam kisah Alice in Wonderland, yang menyadari bahwa takdir setiap orang—setiap wanita—ada dalam pilihannya, bukan ditentukan oleh kultur masyarakat. Itu menjadi alasan saya mengaguminya. Satu-satunya hal yang saya sayangkan menyangkut Ayu Utami hanyalah... dia akhirnya menikah.

Tetapi, well, itu pun pilihannya.


Hukum Semesta

Catatan ini cukup singkat, tapi saya harus memikirkan dan mengendapkannya bertahun-tahun sebelum menuliskannya.

Selama bertahun-tahun, saya mengamati, mempelajari, dan meneliti, bahwa ada satu hal yang tak pernah berubah dalam hidup. Sebuah hukum yang berjalan tanpa undang-undang tertulis, tapi kekuatannya jauh lebih mengerikan dari semua hukum yang tertulis. Sebuah aturan tak kasatmata yang berlaku bagi semua orang, di semua tempat, dari semua golongan. Saya menyebutnya Hukum Semesta.

Bertahun-tahun lalu, ketika masih remaja, saya menyaksikan seorang lelaki salih yang dihormati masyarakatnya. Dia pengusaha yang cukup kaya, taat beribadah, baik pada tetangga, ringan tangan pada sesama, pendeknya sosok yang dianggap sempurna oleh masyarakat. Tapi lelaki ini menjalani hidup yang ironis—ia memiliki empat anak yang semuanya tidak beres.

Anak pertama, lelaki, sudah menikah, dan berkali-kali dilaporkan istrinya sendiri ke polisi akibat kasus KDRT yang mengerikan. Akhir kisah, mereka bercerai, dan kasus itu pun mencoreng nama baik ayahnya yang salih. Anak kedua, juga lelaki, menjadi penjahat yang keluar masuk penjara. Anak ketiga, perempuan, hamil di luar nikah, menggugurkan kandungannya, lalu menjalani kehidupan yang liar. Anak terakhir, lelaki, tertangkap polisi karena menjadi pecandu narkoba.

Bagaimana bisa “cobaan” semacam itu menimpa lelaki salih yang taat pada Tuhan dan sangat baik pada sesama? Dulu, ketika masih remaja, saya percaya ucapan masyarakat bahwa kenakalan anak-anak si lelaki salih itu adalah “ujian atau cobaan Tuhan”. Ketika saya dewasa, didorong rasa penasaran, saya menelusuri dan meriset kehidupan lelaki salih itu hingga ke akar-akarnya. Dan hasilnya cukup mengejutkan.

Dari penelusuran, saya mendapati kehidupan lelaki salih itu relatif lurus. Tapi ada satu fakta penting yang tak bisa dibilang kecil, yaitu dia pernah merenggut hak milik orang lain. (Kisah selengkapnya tidak bisa saya jelaskan di sini, karena menyangkut privasi orang). Si lelaki salih mungkin lupa pada perbuatannya, tapi orang yang haknya telah ia rampas masih sakit hati atas perbuatan jahatnya. Sebegitu sakit hati, hingga orang itu tidak sudi melayat ketika si lelaki salih meninggal dunia.

Kisah lelaki salih itu hanya satu di antara banyak kisah lain yang pernah saya telusuri dengan tekun selama bertahun-tahun. Petaka dalam bentuk apa pun yang menimpa seseorang—jika ditelusuri sampai ke akar-akarnya—akan membawa kita pada fakta yang nyaris sama; orang itu pernah merampas hak milik orang lain, dan korban yang dirampasnya sakit hati.

Mungkin jarak antara petaka yang menimpa dan perbuatan jahatnya sangat lama, sampai bertahun-tahun, tapi entah bagaimana caranya hukuman itu pasti datang, dalam bentuk apa pun. Aturannya sederhana; kau merampas kebahagiaan orang lain, maka alam semesta akan merampas kebahagiaanmu. Karena itulah saya sangat percaya pada ajaran yang menyatakan bahwa, “Doa paling mustajab adalah doa orang teraniaya.”

Keadilan adalah keseimbangan. Itu semacam bandul yang jika kita gerakkan ke kanan akan memantul ke kiri, sebentuk hukum alam yang tak bisa diganggu gugat.

Kalau kita menebang satu batang pohon, maka jumlah oksigen di atmosfer akan berkurang. Semakin banyak pohon ditebang, jumlah oksigen semakin berkurang. Kita mungkin tidak merasakan atau menyadari, tapi itulah yang terjadi. Berkurangnya oksigen di atmosfer adalah bentuk keadilan akibat kita menebang pohon. Begitu pula yang terjadi jika kita “menebang” hak milik orang lain. Keadilan adalah keseimbangan.

Jika saya merampas milikmu, kemudian kau membalas, masalahnya selesai. Perbuatan jahat saya sudah terbalas oleh perbuatan jahatmu. Seimbang. Yang berbahaya adalah jika saya merampas milikmu, tapi kau tidak bisa membalas. Ketika itu terjadi, artinya ada pihak yang teraniaya. Maka alam semesta yang kemudian mengambil alih, dan membalas perbuatan saya. Jika alam semesta yang membalas, oh well... bahkan bersembunyi ke ujung neraka pun akan tetap dikejar.

Sekali lagi, keadilan adalah keseimbangan. Yesus menyatakan, “Orang yang menabur kecurangan akan menuai bencana.” Sedang Rasulullah Muhammad menyatakan, “I’mal maa syi’ta kamaa tadiinu tudaanu—lakukan apa saja yang ingin kaulakukan, tapi ingatlah kau akan mendapat balasan sebagaimana yang kaulakukan.”

Kita tidak bisa menanam biji pepaya dan berharap tumbuh pohon durian, karena itu melanggar hukum alam. Kita pun tak bisa berharap hidup tenang, jika ada orang lain teraniaya akibat perbuatan yang kita lakukan. Keadilan adalah keseimbangan.

Itulah satu hal penting yang saya pelajari selama bertahun-tahun tentang hidup. Bahwa dosa paling berbahaya adalah merampas milik orang lain, karena dosa itu akan menuntut pembayaran—kapan pun, dalam bentuk apa pun—tak peduli kita masih ingat atau sudah lupa.

Dosa kepada Tuhan mungkin bisa diurus di akhirat—jika kita memang percaya keberadaan Tuhan dan akhirat. Tapi dosa kepada manusia sering kali harus dibereskan di dunia. Jika manusia pelakunya tidak mau membereskannya, maka Hukum Semesta yang akan mengambil alih dan “membereskannya”, agar kehidupan tetap seimbang.

Ehmm... salah satu ajaran agama yang penting namun terkesan sepele adalah ini, “Jangan sampai tetesan air dari genteng rumahmu jatuh di tanah milik tetanggamu.” Itu terdengar sangat sepele, sebegitu sepele hingga banyak orang tidak menghiraukan. Tetapi ajaran itu mengandung implikasi yang besar, karena menyangkut hak orang lain. Jika air hujan dari genteng kita jatuh di tanah tetangga, maka kita telah melanggar hak orang lain.

Sekarang pikirkan. Jika tetesan air saja tidak boleh sampai melanggar hak orang lain, apalagi hal-hal lain yang lebih besar? Jika tetesan air saja tidak boleh sampai menetes di tanah orang lain, bayangkanlah dosa macam apa—dan petaka mengerikan macam apa yang akan terjadi—jika kita sampai merampas tanah milik orang lain.

Keadilan adalah keseimbangan. Para penganut ajaran Dharma menyebutnya, “Hukum Karma”. Orang kejawen menyebutnya, “Molo”. Para intelektual di kampus menyebutnya, “Hukum Kausalitas”. Orang barat menyebutnya, “Serendipity”. Saya menyebutnya, “Hukum Semesta”.


The History of Love

Mendapatkan komentar pembaca blog di e-mail sudah saya anggap biasa, karena blog ini tidak menyediakan kolom komentar. Beberapa pembaca yang “gatal” ingin berkomentar biasanya mengirimkan komentarnya via e-mail. Dan posting The History of Love mendatangkan komentar paling banyak. Tidak lama setelah rangkaian catatan itu saya posting di blog, inbox e-mail saya segera “banjir”. Rata-rata, isi komentar hanya berkisar, “Itu pasti kisahmu!” dan, “Lanjutin kisah itu!”

Ketika menulis The History of Love, yang ada dalam pikiran hanyalah ingin mengabadikan salah satu keping dalam kehidupan saya, dan tidak ada rencana untuk menjadikannya kisah bersambung. Tapi rupanya banyak pembaca yang mengira catatan itu masih akan berlanjut, dan mereka menunggu-nunggu kelanjutannya. Setelah lama saya tidak menulis lanjutan kisah itu, banyak yang menagih agar saya membuat sambungannya. Inbox saya di Formspring juga banyak menerima permintaan sama, “Lanjutkan The History of Love!”

Terus terang saya bingung, karena sedari awal tidak berniat menjadikan catatan itu sebagai cerita bersambung. Kisah itu selesai sampai di situ, kelanjutannya hanya ada di pikiran saya, dan tidak ada rencana menuliskannya.

Setelah mengendapkan hal ini cukup lama, akhirnya saya pikir mungkin akan lebih baik kalau saya melanjutkan kisah The History of Love. Tapi tidak di blog. Mungkin akan saya tulis dalam sebuah novel utuh, sehingga kisahnya tidak harus nyata seratus persen. Tapi saya tidak bisa menjanjikan kapan waktunya. Nanti, kalau waktu saya sudah luang, mungkin saya akan mulai menulis novel itu. Dan, kalau sudah terbit, kalian harus membelinya!


Nyanyian Bumi

Kehidupan manusia adalah kumpulan paradoks, itu yang ada dalam pikiran saya. Dulu, ketika masih bodoh, masih purba, manusia dapat menjalani hidup dengan baik tanpa merusak Bumi. Seiring bergantinya abad, manusia semakin cerdas dan berkeadaban, tapi perilaku mereka bukannya makin baik tapi justru makin buruk. Dan makin serakah.

Manusia purba membunuh hewan sekadarnya untuk keperluan makan, manusia modern memburu dan membunuh hewan sebanyak-banyaknya untuk kesenangan dan perdagangan. Manusia purba menebang pohon untuk membangun rumah mereka, manusia modern mengguduli hutan untuk rumah, pemukiman, hingga swalayan. Manusia purba mengenal kata cukup dalam kesederhanaan, manusia modern tidak mengenal kata cukup—bahkan jika hartanya tidak habis dimakan tujuh turunan.

Kita mungkin bisa menyatakan, “Yeah, populasi zaman sekarang jauh lebih banyak dibanding masa dulu, dan populasi yang makin padat menjadikan manusia kian kompetitif. Persaingan itu menjadikan manusia modern terkesan serakah, karena ingin tetap bertahan hidup.”

Benar, itulah masalahnya. Dan itulah masalah kita, hari ini.

Manusia terus beranak pinak tanpa henti, dan populasinya terus mengalami ledakan. Akibatnya, persaingan hidup kian kompetitif. Dalam kompetisi mempertahankan hidup, manusia modern pun melakukan apa saja agar tetap bertahan hidup. Ironisnya, di tengah-tengah kenyataan semacam itu pun, manusia tidak juga sadar bahwa salah satu inti masalah kita hari ini adalah populasi.

Kalau ada orang masih lajang, mereka “disiksa” dengan pertanyaan “kapan kawin?” Setelah mereka kawin atau menikah, mereka kembali disiksa dengan pertanyaan “kapan punya anak?” Setelah mereka punya satu anak, mereka masih terus disiksa dengan pertanyaan, “kapan nambah anak?” Mungkin ilustrasi ini terkesan sepele, atau bahkan berlebihan, tapi yang jelas populasi manusia terus bertambah. Dan setan-setan di sekeliling kita masih terus bergentanyangan mengajukan pertanyaan sialan berbunyi, “Kapan kawin? Kapan punya anak? Kapan nambah anak?”

Populasi manusia sulit, bahkan tak bisa, dihentikan. Bahkan setelah program Keluarga Berencana dikampanyekan di banyak negara. Manusia terus bereproduksi, makin hari makin banyak, dan hal itu menjadikan kehidupan di Bumi makin semrawut, persaingan kian panas, dan akhirnya... akan tiba suatu masa ketika persediaan hasil Bumi tidak lagi mencukupi untuk jumlah manusia yang ada. Pernahkah kita memikirkan kenyataan itu?

Untuk bertahan hidup, manusia memakan hasil Bumi, hewan dan tumbuhan. Hewan dan tumbuhan membutuhkan lahan—hutan, sawah, dan ladang. Kian hari, karena jumlah manusia kian banyak, sawah dan ladang diubah menjadi rumah dan pemukiman, sementara hutan disulap menjadi swalayan. Artinya, bersama makin banyaknya manusia, hasil Bumi kian sedikit, dan kian menipis. Karena jumlah manusia dan hasil Bumi makin tak seimbang, maka akan tiba suatu masa ketika manusia harus kelaparan karena tidak ada lagi yang bisa dimakan.

Sekali lagi, pernahkah kita memikirkan kenyataan itu?

Di dunia ini memang ada orang-orang yang telah memikirkan kemungkinan itu. Mereka tahu populasi manusia tidak bisa dihentikan, karena reproduksi terus berjalan. Karena program KB sulit dijalankan, maka mereka pun mencari dan menggunakan cara lain untuk menekan jumlah populasi. Maka virus-virus berbahaya pun dibuat, penyakit-penyakit baru diciptakan, dan berbagai skenario perang dimunculkan. Tujuannya satu; mengurangi jumlah penduduk Bumi, menekan populasi manusia. (Kelak, topik ini akan saya jelaskan secara tuntas di catatan lain).

Charles Darwin sudah mengingatkan berabad lalu, bahwa kompetisi akan mengantar pemenang untuk bertahan. Ironisnya, kita bukan berusaha memahami maksud Darwin, tapi malah sibuk menyalah-nyalahkannya.

Evolusi masih terus terjadi—diakui atau tidak. Dari tahun ke tahun, manusia masih terus berevolusi. Tidak lagi secara fisik, tapi secara psikis. Kalau dulu manusia mengenal keramahan, sekarang manusia mulai asing satu sama lain. Kalau dulu manusia mengenal ketulusan, sekarang semuanya serba pamrih. Kalau dulu manusia ringan tangan pada sesama, sekarang sudah terlalu sibuk dengan diri sendiri. Dan semua itu terjadi karena adanya kompetisi. Kompetisi melahirkan evolusi.

Masalah kita hari ini adalah masalah populasi. Semakin banyak jumlah manusia, Bumi yang kita tinggali makin rusak binasa. Itu fakta yang tak bisa dibantah. Karenanya pula, saya sampai menulis bahwa satu-satunya kepunahan yang bermanfaat bagi Bumi hanyalah kepunahan manusia. Jika pohon dan hewan punah, Bumi akan berubah menjadi neraka. Tapi jika manusia yang punah, maka Bumi akan menjelma surga.

Dan para perusak Bumi bukan hanya mereka yang menebang pohon serta menggunduli hutan, bukan hanya mereka yang membangun pabrik-pabrik dengan cerobong asap yang mengotori udara, tapi juga mereka yang terus bertanya-tanya “kapan kawin?” pada sesamanya. Orang-orang nyinyir itu juga termasuk para perusak Bumi, karena pertanyaan sialan mereka terus mendorong naiknya jumlah populasi.

Akan tiba suatu masa ketika umat manusia menyadari bahwa mereka bukan pemimpin di muka Bumi, dan bahwa setan yang mereka perangi sebenarnya bersemayam di dalam diri mereka sendiri.


Jalan Sunyi Sang Pencari

Di dunia yang semrawut dan bising oleh hiruk-pikuk manusia yang sibuk unjuk diri, selalu ada orang-orang yang menyisih ke tepi, dan menjalani hidup dalam sunyi. Hanya bersama buku, hanya bersama ilmu, dan kesadaran bahwa hidup adalah jalan pembelajaran.

Jalan Sunyi Sang Pencari adalah catatan yang saya tulis untuk orang yang saya cintai dengan sepenuh hormat dan kekaguman, seorang pembelajar sejati, Imam As-Syafi’i. Dia benar-benar manusia langka, dalam arti sebenarnya.

Karena kemiskinannya, Imam Syafi’i harus kesana kemari mengumpulkan kertas-kertas bekas untuk menulis ilmu dan pengetahuan yang didapatkannya. Ketika kertas-kertas bekas sulit diperoleh, ia mengumpulkan tulang belulang demi bisa terus menulis.

Sampai suatu hari, kamarnya penuh tulang hingga ia tak punya tempat lagi. Pada waktu itulah ia memutuskan untuk menghafal semua pengetahuan yang diperolehnya, sehingga tak perlu repot-repot menulis. Keputusan itu kemudian menjadikannya penghafal ilmu yang luar biasa.

Ketika kemudian ia telah terkenal sebagai guru sekaligus pembelajar hebat, orang-orang bertanya, “Bagaimana cara Anda belajar?”

Imam Syafi’i menjelaskan, “Setiap kali aku mendengarkan orang menyampaikan ilmu, aku akan mendengarkannya seolah-olah belum pernah mendengarnya, dan aku mengerahkan seluruh anggota tubuhku untuk menyimak. Aku mengumpulkan pengetahuan seperti orang kelaparan mencari makan, kemudian menikmatinya dengan rasa syukur. Aku mencari ilmu pengetahuan baru seperti ibu yang kehilangan anak satu-satunya, dan tak memiliki apa pun selain itu.”

Jelas, Imam Syafi’i bukan orang sok pintar yang mudah menyalah-nyalahkan orang lain hanya karena beda pemikiran. Ia juga bukan orang sok suci yang menganggap dirinya paling benar sendiri dan kemudian mengafirkan orang lain hanya karena beda keyakinan. Ia sosok guru sejati, yang menjauh dari kedangkalan, dan khusyuk menyelami kedalaman.

Saya mencintai semangat belajarnya, saya mengagumi keagungan pribadinya, dan saya tidak malu mengakui bahwa saya ingin meneladani jalan hidupnya.

Percakapan Entah

Seseorang berkata, “Hei, Hoeda, aku sudah membaca semua tulisanmu, dan rasanya aku telah mengenalmu seutuhnya.”

Saya takjub. “Sungguh...?”

“Ya,” jawabnya yakin, “kamu menulis dengan gaya ngablak yang asyik, jadi aku sangat menikmatinya. Rasanya aku jadi sangat mengenalmu.”

“Uh, kalau begitu kamu orang hebat.”

Dia menatap saya bingung. “Kenapa aku yang hebat?”

“Iya, soalnya kamu sangat mengenalku, padahal aku sendiri belum kenal siapa aku.”

Like

Satu orang menyukai blog ini.

Pemiliknya sendiri.

Itu lebih dari cukup.

Seseorang Membeli Minyak Tanah

Seharusnya ini menjadi tulisan panjang, tapi saya tidak tahu bagaimana menulisnya.

Rabu, 14 Agustus 2013

Cara Takdir Bermain

Takdir hidup kita kadang-kadang sangat jelas.
Sebegitu jelasnya, sampai-sampai kita tidak paham.
@noffret


Jonah, sohib saya, suka membaca blog Belajar Sampai Mati. Baginya, membaca blog itu seperti menikmati “camilan” yang bergizi bagi otak. Ringan, renyah, tapi menambah wawasan dan pengetahuan. Kadang-kadang, kalau kami ketemu, dia juga suka menggoda saya dengan bertanya-tanya sesuatu.

Minggu lalu, saya datang ke rumahnya, dan kebetulan dia sedang asyik surfing internet di komputer tablet. Kami ngobrol-ngobrol di rumahnya, dan dia kembali menggoda saya seperti biasa. “Da’,” katanya, “siapa penemu korek api?”

Saya tertawa. “Bukannya itu udah kutulis di blog, ya?” Lalu saya mengambil tablet miliknya, dan menunjukkan, “Kamu bisa membacanya di sini.”

Jonah patuh. Dia membaca artikel yang saya tulis di blog tersebut, kemudian manggut-manggut. Lalu dia bertanya lagi sambil senyum-senyum, “Nah, kalau begitu, siapa orang pertama yang membeli korek api?”

Saya kembali tertawa. Untuk mengulur waktu, saya menyulut rokok. Setelah membuat Jonah mengira saya tidak bisa menjawab, saya berkata perlahan-lahan, “Orang pertama yang membeli korek api adalah Robert Nixon. Dia seorang pengumpul sumbangan atau derma masyarakat.”

“Kamu pasti ngarang!” sergah Jonah spontan.

Saya ngakak. “Kamu lagi pegang tablet, Jo, dan kamu termasuk hamba Google yang taat. Kenapa nggak dicek aja lewat Google?”

Jonah pun segera mengeceknya lewat Google. Tidak lama kemudian dia misuh-misuh. “Kamu memang setan!”

Saya benar-benar ngakak tanpa bisa ditahan.

Ehmm... Kisah penemuan korek api mungkin salah satu cermin tentang cara takdir bermain. Pada tahun 1826, John Walker sedang serius meneliti sesuatu dengan obat-obatan kimia. Waktu itu ia mencampurkan potas dan antimon ke dalam suatu wadah, kemudian mengaduk-aduknya dengan sebuah tongkat.

Setelah pekerjaannya selesai, sebagian tongkat yang ia gunakan untuk mengaduk itu dilekati zat kimia tadi. Karena cukup lama didiamkan, zat kimia yang melekat pada tongkat itu pun telah mengering. Dengan maksud ingin membersihkan, John Walker menggesek-gesekkan tongkat yang ternoda ke lantai batu laboratoriumnya. Noda kimia pada tongkat itu bukannya terlepas seperti yang diinginkan John Walker, tapi justru keajaiban yang terjadi. Ujung tongkat itu menyala!

Tongkat di tangan John Walker memunculkan api, dan sungguh ajaib untuk zaman itu, ketika orang masih susah payah untuk bisa membuat api. Sebagai kimiawan, John Walker menyadari bahwa api pada tongkatnya bukanlah mukjizat sebagaimana yang terjadi pada tongkat Musa, melainkan karena adanya campuran zat kimia yang melekat pada ujungnya. Pemikiran itu pun melahirkan gagasan cemerlang pada John Walker, yang kemudian melahirkan ide pembuatan korek api. Peristiwa itu terjadi pada 31 Desember 1826.

Ketika pertama kali dibuat, korek api yang menggunakan kayu masih berukuran besar—kira-kira dua kali ukuran korek api yang kita kenal sekarang. John Walker mengemas korek api buatannya dalam kaleng, dan menjual di tokonya. Pada hari pertama ia menjual korek api, kebetulan Robert Nixon datang untuk mengumpulkan sumbangan. Nixon tertarik pada korek api buatan John Walker, dan ia pun membelinya. Karena itulah, Robert Nixon menjadi orang pertama yang membeli korek api di planet ini, dan pembelian itu terjadi pada 7 April 1827

Sejak itu, korek api mulai dikenal masyarakat secara luas, dan orang-orang lain ikut membuat serta menjualnya. Orang selalu membutuhkan api untuk kebutuhan sehari-hari—dari memasak, sampai menyalakan perapian ketika musim dingin tiba. John Walker sengaja tidak mematenkan korek api temuannya, sehingga siapa pun bisa memproduksi dan menjual korek api. Pada 1855, korek api mengalami revolusi, hingga bentuknya kecil seperti yang kita kenal sekarang... dan selanjutnya adalah sejarah.

John Walker, lebih dari yang kita tahu, telah mempengaruhi peradaban dunia, serta memberikan sumbangan besar untuk umat manusia.

Ketika menengok sejarah penemuannya, orang yang sinis mungkin bisa menyatakan, “Ah, kalau begitu John Walker menemukan korek api tanpa sengaja. Kalau ceritanya seperti itu, siapa pun bisa melakukannya, karena bisa dibilang ia menemukan korek api karena takdir.”

Mungkin memang benar.

Mungkin memang benar bahwa John Walker menemukan korek api karena takdir semata-mata, karena dia tidak sengaja menemukannya. Tapi mungkinkah takdir semacam itu mendatangi John Walker kalau ia hanya malas-malasan dan ongkang-ongkang kaki? Mungkinkah takdir yang merupakan keberuntungan itu datang kepada John Walker jika dia tidak sibuk bekerja dengan zat-zat kimia dalam penelitiannya?

Mungkin penemuan korek api memang karena takdir. Ia ditemukan tanpa sengaja, menjadi semacam keberuntungan tak terduga. Tapi takdir itu muncul semata-mata karena John Walker sibuk bekerja.

Jika korek api menjadi salah satu penemuan penting dalam peradaban manusia, penemuan penisilin menjadi salah satu tonggak penting dalam dunia medis. Dan sama seperti penemuan korek api, penemuan penisilin juga terjadi tanpa sengaja. Orang boleh menyebutnya takdir. Atau keberuntungan.

Penisilin ditemukan oleh seorang dokter bernama Alexander Fleming. Ketika Perang Dunia I meletus, Fleming bergabung dengan tim medis dan membangun rumah sakit bagi korban perang. Pada waktu itu ia menyaksikan akibat ganas infeksi terhadap luka-luka yang dialami prajurit. Banyak di antara korban tersebut yang mati, meski infeksi yang diderita tergolong ringan. Kenyataan itu pun membuat Fleming berpikir keras untuk bisa menemukan bahan yang bisa digunakannya memerangi bakteri.

Pada 1920, Fleming menenggelamkan diri dalam penelitian di laboratorium Rumah Sakit Santa Maria, London, dan menemukan bahwa enzim yang dihasilkan cairan tubuh—seperti air mata—memiliki efek antibakteri yang alami. Namun, antibakteri alami itu tidak berdaya menghadapi kuman penginfeksi yang kuat. Dari situ, Fleming mencoba menggunakan kultur bakteri Staphylococcus demi bisa menemukan materi yang diinginkannya, yang bisa melawan bakteri berbahaya.

Selama berbulan-bulan Fleming terus mengurung dirinya di laboratorium, mencoba dan meneliti aneka macam bahan, sementara cawan-cawan dan bejana laboratorium tersebar dan bertumpuk di sana-sini. Akibat penelitian yang berat itu, Fleming pun stres. Ketika otaknya sudah macet tak bisa digunakan lagi, Fleming pun memutuskan untuk rehat sejenak. Ia pergi liburan selama dua minggu.

Sepulang liburan, Fleming kembali masuk laboratoriumnya, dan bermaksud membereskan peralatan serta cawan-cawan yang tersebar tak karuan. Pada waktu akan membersihkan cawan-cawan itulah, Fleming mendapati cawan petri yang berisi kultur bakteri Staphylococcus telah ditumbuhi jamur. Rupanya, saat ditinggalkan terbuka di laboratorium, sehelai jamur terbang dan hinggap di cawan itu, kemudian berkembang.

Fleming memperhatikan hal itu. Ia juga memperhatikan bahwa jamur yang hinggap di cawan itu  mengeluarkan lapisan bening, berbentuk seperti cincin. Anehnya, di sekitar lapisan itu tidak terdapat satu pun bakteri Staphylococcus. Detik itu ia tahu, sesuatu yang dicari-carinya telah tertemukan tanpa sengaja. Jamur itu telah membuka matanya tentang cara melawan bakteri berbahaya.

Jamur yang nyaris seperti mukjizat itu bernama Penicilium notatum. Fleming menyimpulkan bahwa bakteri pada cawan petri telah dimusnahkan oleh zat yang dihasilkan koloni jamur itu, yang kemudian ia namakan penisilin... dan selanjutnya adalah sejarah.

Penisilin yang ditemukan pada September 1928 itu kemudian menandai abad baru dalam dunia antibiotik modern. Ketika Perang Dunia II pecah, penisilin berjasa dalam menekan jumlah kematian akibat infeksi yang disebabkan luka terbuka yang tak mendapat perawatan, yang dalam situasi serupa dapat menimbulkan gangren bahkan kematian. Secara konklusif, penisilin dipercaya telah menyelamatkan 12-15 persen nyawa korban perang.

Kita lihat, penemuan penisilin juga bisa disebut takdir, sebuah keberuntungan yang tak disengaja, yang bahkan tak pernah dibayangkan penemunya. Tapi mungkinkah takdir semacam itu menghinggapi Alexander Fleming kalau saja dia santai dan tak bekerja? Mungkinkah keberuntungan semacam itu akan mendatangi jika Fleming hanya asyik menghabiskan waktu menonton televisi dan ongkang-ongkang kaki?

Mungkin di dunia ini memang ada nasib baik—sebentuk keberuntungan yang digerakkan oleh takdir. Tetapi nasib baik atau keberuntungan itu hanya datang kepada orang-orang yang telah bekerja keras. Takdir atau nasib baik bukan lotere yang bisa ditunggu tanpa usaha dan jerih payah. Ia hanya datang ketika kita bergerak mendatanginya. Dan cara paling mudah mendatangi takdir atau nasib baik adalah bekerja keras, bukan hanya duduk santai menunggunya.

Takdir memang kadang bermain, dan nasib baik kadang-kadang memang datang. Tapi ia hanya bekerja dan datang kepada orang yang siap menyambutnya. Dan orang yang paling siap menyambut nasib baik adalah orang-orang yang bekerja dengan baik. Karenanya, tugas kita bukan menunggu datangnya takdir atau nasib baik, melainkan menyiapkan kedatangannya. Saat kita bekerja dengan baik, tangan-tangan takdir menggerakkan nasib baik.

Di Balik Topeng

I love you, Spiderman. Tuhan memberkatimu.
@noffret


Yang kupelajari dari Batman, Superman, dan Spiderman, adalah pelajaran penting ini: Di balik topeng, para pahlawan melakukan hal-hal besar. Namun, dalam keseharian, mereka tetap orang-orang biasa tak dikenal yang menjalani hidup seperti umumnya orang lain.

Bagiku, merekalah pahlawan sesungguhnya—orang-orang yang berbuat baik tanpa ingin dikenal, orang-orang yang melakukan hal-hal besar tanpa berharap tanda jasa, orang-orang yang dicintai banyak orang namun kadang hidup dalam kesepian.

Aku mencintai mereka.

Demi Tuhan, aku mencintai mereka.

Tadi Ketemu Mbak Linda di Toko Benang. Oh, Senangnya...!

Ya, ya, saya tahu kalian belum tentu mengenal siapa Mbak Linda, karena kenyataannya Mbak Linda memang bukan artis atau orang terkenal. Saya bahkan tidak yakin siapa Mbak Linda. Yang jelas, dia orang biasa, seperti saya. Karena itulah saya senang sekali bertemu dengannya.

Kenapa saya harus senang ketemu Mbak Linda? Karena dia orang biasa! Kau tahu, tidak setiap orang bisa merasa senang ketika bertemu orang biasa, karena itulah saya senang sekali karena bisa merasakan hal semacam itu. Saya senang ketemu Mbak Linda, sebegitu senangnya sampai saya merasa perlu menuliskannya di blog ini. Saya senang ketemu Mbak Linda, saya senang bertemu orang biasa seperti dirinya.

Dan kenapa harus di toko benang? Karena kenyataannya memang begitu! Kami memang bertemu di toko benang—saya perlu membeli benang untuk suatu keperluan, dan Mbak Linda kebetulan sedang membeli jarum jahit di toko itu. Kami bertemu di toko benang. Saya tidak mungkin menyebut kami ketemu di Sevel atau di mall, kalau kenyataannya kami ketemu di toko benang. Dan, memangnya kenapa kalau kami ketemu di toko benang...?

Jadi, saya tadi ketemu Mbak Linda di toko benang. Dan saya senang sekali. Sebegitu senangnya, sampai saya berpikir dunia harus tahu, semua orang harus tahu! Saya akan menuliskan peristiwa penting itu di blog, di Twitter, di Facebook, dan di mana pun yang memungkinkan, agar semua orang bisa mengetahuinya.

Jadi, Lady Gaga harus tahu bahwa saya senang sekali ketemu Mbak Linda, meski Lady Gaga mungkin tidak tahu siapa Mbak Linda.

Justin Bieber juga harus tahu. Juga Klause Meine, Rudolf Schenker, Amy Lee, Lars Ulrich, Manohara, Ian Kasela, Deddy Dores, Britney Spears, Agnes Monica, Nia Daniaty, Nafa Urbach—semua harus tahu! Para presiden di dunia—dari presiden Amerika sampai presiden Timbuktu—juga harus tahu, saya senang sekali karena tadi ketemu Mbak Linda di toko benang.

Oh, Mbak Linda. Senang sekali bertemu dengannya!

Terpujilah para pemilik toko benang.

Rabu, 07 Agustus 2013

Mimpi Dalam Mimpi (2)

Posting ini lanjutan post sebelumnya. Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik, sebaiknya bacalah post sebelumnya terlebih dulu.

***

Kemudian, di salah satu jendela yang tak jauh dari tempat lelaki nekat itu berdiri, muncul sesosok polisi yang mencoba berbicara dengannya. Saya tidak bisa mendengar yang dikatakan polisi itu, tetapi tampaknya ia berbicara perlahan-lahan, dengan sikap ingin menunjukkan empati. Beberapa saat polisi itu berbicara, dan si lelaki nekat hanya diam sambil terus berdiri dan memegangi tonjolan dinding dengan kedua tangannya.

Tiba-tiba, lelaki nekat itu berteriak, “Tidak! Pokoknya aku ingin mati! Hidup hanyalah sekumpulan kisah keparat yang dijejalkan takdir untuk kauhadapi! Aku mau mati sekarang!”

Suara itu pasti keras sekali, karena saya yang ada di tiga lantai di bawahnya cukup bisa mendengarnya. Orang-orang yang ada di sana juga pasti mendengar teriakan itu, karena suasana seketika sunyi senyap, sementara beberapa perempuan menutup mulutnya, beberapa yang lain terisak, sementara ibu si lelaki nekat kini tampak histeris.

Yang saya saksikan waktu itu mirip adegan film. Dan saya masih berdiri di sana, menyaksikan polisi di atas yang kini kembali mencoba berbicara pada si lelaki nekat—entah apa yang dikatakannya. Polisi itu pastilah seorang negosiator, yang memang memiliki keahlian membujuk. Biasanya, negosiator semacam itu akan menangani kasus penculikan saat bernegosiasi dengan si penculik, atau membujuk seseorang yang berencana bunuh diri seperti si lelaki nekat sekarang ini.

Suasana masih sunyi, ketika lelaki nekat itu kembali berteriak, “Aku sudah bosan! Aku muak menghadapi hidup yang gelap ini! Aku ingin mati!”

Suasana makin sunyi. Makin mencekam. Beberapa perempuan semakin keras isakannya. Ibu si lelaki nekat makin histeris. Saya makin merasa sedang menonton film. Di atas, si lelaki nekat tampak makin keras berteriak-teriak menyatakan ingin mati.

Tiba-tiba, tepat seperti adegan film dramatis, muncul seseorang dari belakang kerumunan orang-orang yang ada di tempat itu. Kehadiran orang itu segera menarik perhatian kami semua, karena si lelaki nekat di atas tiba-tiba terdiam, tampak terkesima, lalu menatap ke arahnya. Seketika, kami semua ikut menengok ke arah orang yang baru datang itu.

Mengikuti tatapan si lelaki nekat, kami semua melihat sesosok perempuan yang sedang berdiri sendirian. Tampaknya ia memang baru datang. Mendapati dirinya menjadi pusat perhatian, perempuan itu kelihatan salah tingkah, dan kebingungan. Ia tampak ingin pergi, tapi bingung. Lalu terdengar suara keras si lelaki nekat, namun kali ini ia berbicara dalam bahasa Yunani.

Anehnya, orang-orang yang ada di sana tampaknya bisa memahami bahasa Yunani. Karena seketika suasana menjadi sunyi setelah si lelaki menyatakan sesuatu, sehubungan dengan kehadiran perempuan tadi.

Di tengah kesunyian itu saya masih berdiri.

Seperti adegan slow motion dalam film, orang-orang di sana tampak bergerak lambat. Sebagian menengok kawan di sampingnya dalam adegan lambat, bercakap-cakap dalam nada lambat. Polisi-polisi bergerak mendekati si perempuan dalam adegan lambat. Sementara polisi yang bertugas membujuk lelaki di atas juga tampak berbicara dalam adegan lambat. Ibu si lelaki nekat tampak melangkah ke arah perempuan dalam adegan lambat—saya bahkan merasa mampu melihat air matanya yang jatuh dan menetes dalam gerakan lambat.

Sunyi.

Lalu adegan lambat itu kembali beralih ke adegan normal ketika terdengar lagi suara teriakan si lelaki nekat, masih dalam bahasa Yunani.

Kini para polwan berbicara dengan si perempuan yang baru datang tadi, di sela-sela tangis ibu si lelaki nekat yang juga tampak mengatakan sesuatu pada si perempuan dengan wajah memelas. Saya tidak bisa mendengar yang mereka katakan, karena jarak kami cukup jauh. Pasti mereka sedang membujuk perempuan itu agar mau berkata sesuatu pada si lelaki nekat untuk membatalkan niatnya bunuh diri.

Lalu saya menyaksikan perempuan itu mengangguk, meski ragu-ragu. Saya simpulkan, perempuan itu bersedia menuruti yang dikatakan kepadanya. Dan perempuan itu pun menyatakan sesuatu, dalam bahasa Yunani. Si lelaki nekat melihatnya, dan mulai tersenyum.

Adegan ini sekali lagi mengingatkan saya pada adegan film, meski kali ini mungkin klise. Tetapi, yang jelas, saya masih berdiri di sana ketika menyaksikan perempuan itu digandeng beberapa polwan maju mendekat, sementara si laki-laki nekat tampak dituntun oleh polisi di atas, untuk kembali masuk ke dalam swalayan. Dia telah membatalkan niatnya bunuh diri. Sepertinya kisah ini akan berakhir happy ending.

Tiba-tiba, terdengar suara musik. Sesaat, saya kebingungan, dan berpikir, apakah suara musik itu memang soundtrack untuk adegan ini?

Makin lama, saya makin sadar itu alunan musik yang saya kenal. Musik yang sekarang terdengar adalah raungan gitar Yngwie Malmsteen, dan lagu yang sedang mengalun adalah Evil Eye—itu musik favorit saya. Mengapa musik itu sekarang menjadi soundtrack adegan ini, pikir saya. Makin lama, suara musik itu terdengar makin keras… makin keras… makin keras… dan… anjrit!

Ternyata itu suara ponsel saya!

Begitu sadar ponsel di dekat saya berdering, saat itu pula saya terbangun dari tidur, dan mimpi tadi pun terputus. Sambil misuh-misuh saya mengambil ponsel, dan mendapati nama seseorang di layar. Saya menerima telepon itu sesopan mungkin, dan beberapa menit kemudian percakapan kami terputus. Saya kembali meletakkan ponsel di tempatnya semula. Kemudian bengong.

Mimpi apa tadi itu…?

Sambil duduk menyandar pada bantal, saya masih bisa membayangkan dan mengingat kembali adegan-adegan dalam mimpi itu. Dan, saat berusaha kembali mengingat semua yang saya saksikan dalam mimpi tadi, tiba-tiba saya menyadari bahwa saya mengenali swalayan yang menjadi lokasi peristiwa itu. Bentuk tempat parkirnya, warna dinding swalayan, jendela kacanya… well, saya tahu swalayan itu!

Dan sekarang saya ketakutan—benar-benar ketakutan! Semakin saya berusaha mengingat semua kisah dalam mimpi tadi, saya makin menyadari bahwa saya mengenali orang-orang yang terlibat dalam peristiwa itu. Polisi yang bernegosiasi… wanita setengah baya yang menangis… saya mengenali wajah-wajah mereka. Bahkan saya pun mengenali wajah perempuan yang membuat si lelaki batal bunuh diri. Saya mengenali mereka—saya mengenali mereka semua!

Yang paling mengerikan di atas semua itu, saya juga mengenali wajah si lelaki nekat dalam mimpi tersebut. Itu wajah saya sendiri.

….
….

Tiba-tiba saya merasa terlempar ke Limbo.

Mimpi Dalam Mimpi (1)

Memaafkan diri sendiri kadang-kadang
jauh lebih sulit dibanding memaafkan orang lain.
Pun meminta maaf pada diri sendiri.
@noffret 


Suatu hari saya bermimpi, yang bagi saya aneh sekali. Waktu itu saya tidur jam enam pagi, setelah semalaman tidak tidur, dan langsung terlelap karena sangat lelah. Dalam tidur itulah saya bermimpi menyaksikan adegan-adegan yang sangat aneh.

Saya sedang berdiri di tempat parkir swalayan, begitu kisah dalam mimpi tersebut, dan kemudian tampak orang-orang berjalan bergegas-gegas sambil ribut. Beberapa di antara mereka ada yang menunjuk-nunjuk ke suatu arah. Karena penasaran, saya pun bertanya pada seorang lelaki yang juga sedang berjalan cepat-cepat di sana. Lelaki itu menjawab dengan buru-buru, “Ada orang mau bunuh diri!”

Ada orang bunuh diri? Rasa penasaran saya makin meningkat. Maka saya pun kemudian ikut bersama orang-orang di sana yang berjalan cepat-cepat menuju tempat kejadian.

Di bagian lain tempat parkir swalayan itu, tampak ratusan orang berjejal-jejal sambil menunjuk-nunjuk ke atas. Ketika saya menengadahkan wajah, saya menyaksikan seorang lelaki—mungkin usianya 25 atau 26—sedang berdiri di atas balkon lantai tiga swalayan. Penampilan lelaki itu tampak biasa—dalam arti tidak terlihat seperti orang gila atau gelandangan. Ia mengenakan celana jins warna biru, serta kemaja yang bersih.

Dan lelaki itu sekarang sedang berniat bunuh diri.

Di sisi luar dinding swalayan terdapat balkon kecil, tepat di bawah jendela kaca. Rupanya, lelaki itu memecahkan kaca jendela swalayan, lalu keluar, dan sekarang berdiri di atas balkon yang amat kecil itu, sementara dua tangannya berpegangan pada tonjolan dinding. Sedikit saja lelaki itu melepaskan pegangannya, bisa dipastikan dia akan jatuh membentur tanah keras di bawahnya… dan mati.

Suara-suara orang terdengar ribut—sebagian berteriak meminta lelaki itu agar tidak bunuh diri, sementara sebagian lain berbisik dan berkata-kata tidak jelas. Kabar keributan di belakang swalayan itu pasti telah sampai ke kantor kepolisian, dan beberapa mobil polisi dengan sirine meraung-raung tampak berdatangan ke sana, lalu puluhan polisi berlari ke sana kemari untuk melakukan evakuasi, sementara orang-orang di sana semakin ribut.

Saya berada di tengah-tengah kekacauan itu, sambil berpikir, apa yang akan terjadi selanjutnya?

Kemudian, beberapa polisi wanita datang bersama wanita setengah baya, dan kedatangan mereka menyeruak kepadatan orang-orang yang sedang berkumpul di sana. Rupanya, wanita setengah baya itu ibu si laki-laki yang akan bunuh diri, dan ia telah dijemput beberapa polwan—mungkin ia diharapkan mampu meluluhkan hati putranya yang akan bunuh diri.

Wanita setengah baya itu menangis, dan memanggil-manggil nama anaknya. Dan memintanya agar mengurungkan niatnya bunuh diri. Dan menanyakan apa yang membuatnya berbuat senekat itu. Dan menyebutkan hal-hal yang ia pikir dapat membuat hati anaknya luluh. Dan lain-lain. Dan sebagainya.

Saya tidak yakin lelaki yang akan bunuh diri itu dapat mendengar suara ibunya. Ia ada di lantai tiga, sementara ibunya ada di bawah dan berbicara sambil terisak. Tetapi, meski begitu, saya yakin lelaki itu bisa menyaksikan raut muka ibunya, tangis kesedihannya.

Lanjut ke sini.

Lagi Galau

Gimana ya, biar aku bisa punya Mbakyu?

Noffret’s Note: Subjektivitas

Sikap dan ucapan sama, bisa jauh beda artinya
jika dilihat dari benci atau ditatap dengan cinta.
Subjektivitas memang sifat manusia.
—Twitter, 13 Juli 2012

Benci dan cinta itu kacamata. Cara kita melihat
segalanya. Bahkan cara menilai, menafsir,
serta menggunakan prasangka.
—Twitter, 13 Juli 2012

Kita memang makhluk subjektif. Meski kehidupan
memiliki banyak sisi, namun kita cenderung
hanya menilai dari satu sisi.
—Twitter, 13 Juli 2012

Keadilan adalah kenyataan yang kita harapkan.
Jika tak sesuai harapan, kita menyebutnya ketidakadilan.
—Twitter, 13 Juli 2012

Objektif adalah penilaian yang menyenangkan hati kita.
Jika menjengkelkan, kita menyebutnya subjektif.
—Twitter, 13 Juli 2012

Lucu adalah perbuatan tolol yang dilakukan orang terkenal.
Jika hal sama dilakukan orang biasa, kita menyebutnya norak.
—Twitter, 13 Juli 2012

“Cinta adalah keindahan,” kata orang baru menikah.
“Cinta adalah kekeliruan,” kata orang baru bercerai.
—Twitter, 13 Juli 2012

Genius adalah pujian yang diberikan pada orang
yang kita puja. Jika hal sama dilakukan orang
yang dibenci, kita menyebutnya sinting.
—Twitter, 13 Juli 2012

Pengalaman adalah kekeliruan yang kita lakukan sendiri.
Jika dilakukan orang lain, kita menyebutnya kebodohan.
—Twitter, 13 Juli 2012

“Takdir memang adil,” kata orang bahagia.
Takdir memang kejam,” kata orang menderita.
—Twitter, 13 Juli 2012

Kecantikan adalah sosok yang membuat kita senang.
Jika membuat jengkel, kita menyebutnya keburukan.
—Twitter, 13 Juli 2012

Kejujuran adalah sesuatu yang enak didengar telinga kita.
Jika menyakitkan, kita menyebutnya fitnah.
—Twitter, 13 Juli 2012

Tragedi adalah penderitaan yang menimpa diri sendiri.
Ketika menimpa orang lain,
penderitaan kadang (di)jadi(kan) komedi.
—Twitter, 13 Juli 2012

Setiap orang menyukai sesuatu yang ia anggap baik
bagi dirinya. Subjektivitas milik kita semua.
—Twitter, 6 Juli 2012


*) Ditranskrip dari timeline @noffret

Kamis, 01 Agustus 2013

Tegang di YouTube

Si Iwan ini kalau nyanyi fasiiiiih banget.
Dia pasti menguasai tajwid, hingga bisa membedakan
idghom bighunah dan idghom bilaghunah.
@noffret


Di Malaysia ada penyanyi bernama Iwan, dan salah satu lagunya yang populer berjudul “Wulan”. Saya sukaaaaaaaaa banget lagu itu. Selain easy listening, lirik lagu itu mudah dihafalkan. Dulu, si Iwan ini pernah bikin geger dunia waktu dia mengumpulkan cewek-cewek dari berbagai negara—termasuk India dan Indonesia—untuk bikin album keroyokan dengannya. 

Meski musik awalnya tidak ber-genre dangdut, album keroyokan bersama cewek-cewek itu menggunakan konsep dangdut, sehingga menjadikan nama Iwan dikenal sebagai “raja dangdut” di Malaysia. Setelah sukses dengan album dangdut keroyokan itu, Iwan kemudian menyanyikan ulang lagu-lagu Rhoma Irama, dan hasilnya juga tidak mengecewakan.

Nama lengkapnya Iwan Syahman (kadang ditulis Iwan Salman). Penampilannya mirip cowok-cowok yang biasa nyangkruk di depan gang komplek saya. Meski secara fisik mungkin dia tak bisa dibilang istimewa, tapi Iwan memiliki suara yang sangat bagus ketika menyanyi. Selain itu, dia juga hebat dalam mencipta lagu dan mengaransemen musik. Karenanya tidak heran kalau dia menjadi salah satu penyanyi top Malaysia.

Nah, belum lama, saya mendengar kalau si Iwan telah “bertaubat”. Maksud saya, dia tidak lagi menyanyi dangdut dan berjoget dengan cewek-cewek, tapi telah beralih menjadi pencipta dan penyanyi lagu-lagu islami. Kabar itu membuat saya sangat penasaran. Sebagai penggemar lagunya, saya tentu ingin tahu seperti apa penampilannya sekarang, dan sebagus apa dia menyanyikan lagu-lagu islami.

Maka saya pun dolan ke YouTube, dan searching semua video tentang Iwan. Dalam sebuah video, Iwan diwawancarai stasiun televisi Malaysia, dan menyatakan dia memang telah “bertaubat”. Dalam bahasa Melayu khas Malaysia, Iwan menjelaskan bahwa dia “lebih tentang, hatinya lebih tenteram, setelah menyanyikan lagu-lagu yang mengingatkannya pada Tuhan.” Penampilannya sekarang pun tampak lebih kalem, dengan rambut tercukur rapi, serta sikap yang lebih tenang.

Saya ikut senang dengan pilihan Iwan. Lebih senang lagi ketika saya mulai menikmati lagu-lagunya yang sekarang. Terus terang, saya bukan penyuka lagu-lagu nasyid. Tapi saya langsung jatuh cinta ketika mendengar lagu-lagu islami yang dinyanyikan Iwan. Lagu-lagu islami ala Iwan mungkin tidak bisa disebut nasyid, tapi alunan musik dan lirik lagunya luar biasa menyentuh hati saya. Hal itu tentu karena ditunjang suara Iwan yang sejak awal telah saya sukai.

Salah satu lagu yang sangaaaaaaaaaat saya suka berjudul “Nasihah”. Lagu ini mengisahkan tentang kesendirian orang di alam kubur, ketika tidak ada siapa pun yang dapat dimintai tolong, ketika anak, istri, dan harta milik tak bisa membantu, ketika orang harus bertanggung jawab atas perbuatannya selama hidup di dunia. Isi lagunya sangat menyentuh. Dan ketika dinyanyikan oleh Iwan yang suaranya sangat magic itu, hasilnya mampu membuat saya menangis.

Jadi saya pun terisak sambil menyaksikan video klip lagu itu di YouTube, menikmati alunan suara Iwan yang lembut namun menggedor kesadaran, membuat saya tiba-tiba merisaukan betapa banyaknya dosa dan kesalahan yang mungkin telah saya lakukan. Lagu itu membuat saya ingin segera bertaubat, rajin beribadah, bahkan saya sempat membayangkan untuk segera mencari istri yang salihah, untuk membangun keluarga yang sakinah, mawaddah warrahmah, dan memiliki anak-anak salih yang kelak akan mendoakan orang tuanya.

Alam kubur, kau tahu, adalah cara paling ampuh untuk mengingatkan manusia agar bertaubat. Bahwa manusia tidak hidup selamanya. Bahwa sepanjang apa pun usia, seseorang akhirnya akan sampai pada kematian. Bahwa sebanyak apa pun harta yang dimiliki di dunia, setiap orang akan terbaring dalam kegelapan tanah yang sempit. Bahwa sebanyak apa pun keluarga dan teman, setiap kita akan terbujur dalam kegelapan, sendirian.   

Dan Iwan menyanyikan lagu tentang alam kubur itu dengan kefasihan setingkat tajwid. Efeknya sangat menyentuh. Sampai akhirnya lagu itu berakhir, saya masih terisak, membayangkan alam kubur, siksa kubur, dan kesendirian di alam kubur. Sementara layar YouTube menawarkan beberapa video lain, saya mengambil tisu untuk mengusap air mata di wajah.

Lalu saya membuat teh hangat. Dan merokok. Saya perlu menenangkan diri.

Duduk di depan layar monitor sambil mengembuskan asap rokok, saya mulai menggerakkan mouse, dan meng-klik beberapa video yang ditawarkan YouTube. Beberapa video kelihatan tidak menarik, dan saya terus mencari video yang bagus. Sampai kemudian, entah bagaimana asal-usulnya, pencarian saya sampai pada video Mella Anjani alias Mella Barbie.

Para pecinta dangdut pasti kenal Mella Barbie. Wanita ini dulunya penyanyi panggung dari kampung ke kampung, sampai kemudian ada produser yang membawanya ke layar televisi, karena mungkin dinilai memiliki daya jual. Kisahnya tak jauh beda dengan Inul Daratista yang dulu pernah membuat heboh itu. Sama seperti Inul, Mella Barbie juga punya goyangan maut, bahkan lebih “hot” dibanding Inul. Penampilannya di televisi sudah “diperhalus”, penampilannya di panggung jauh lebih panas.

Nah, di YouTube, saya sampai pada video-video yang menampilkan konser Mella Barbie di berbagai tempat. Tanpa sadar, saya pun menikmatinya. Wanita ini memang berbeda dibanding penyanyi-penyanyi panggung lain. Ketika menyanyi dan bergoyang di atas panggung, Mella Barbie tampak percaya diri, sangat yakin bahwa dirinya memang layak dilihat dan diperhatikan. Kenyataannya memang begitu.

Jika kita jeli, kita pasti akan melihat perbedaan mencolok antara Mella Barbie dengan penyanyi panggung lain yang sama-sama wanita. Kebanyakan penyanyi lain tampak tidak yakin dengan penampilannya sendiri. Hal itu dibuktikan dengan seringnya mereka membenahi rambut, menyentuh rambut, atau semacamnya. Mella Barbie tidak melakukan itu. Ia percaya diri, ia benar-benar yakin penampilannya sudah cantik, dan ia pun menyanyi serta bergoyang dengan enjoy.

Dan goyangannya itu... omigod, benar-benar memanjakan mata penontonnya. Ditunjang fisik yang menggoda serta wajah yang innocent, goyangan panas Mella Barbie benar-benar membuat saya terlena. Maka tanpa sadar saya pun meng-klik video demi video yang menyajikan aksi panas Mella Barbie di atas panggung. Dan diam-diam saya tidak ingat lagi pada alam kubur, siksa kubur, atau pun hal-hal lain seputar kubur. Yang ada, celana saya makin terasa sempit.

Betapa besar pengaruh video di YouTube, pikir saya. Sebuah video bisa membawa penontonnya untuk mengingat alam kubur dan segera bertaubat, video lain bisa melenakan penontonnya untuk menikmati goyangan pantat. Sebuah video bisa membuat orang menangis, sementara video lain membuat orang merasakan celana menyempit.

Dan ada jutaan video di YouTube. Setiap hari, ada banyak orang mengunggah aneka macam video ke situs itu, dengan berbagai macam isi, dengan beragam motivasi. Dari yang sekadar ingin berbagi, sampai tujuan-tujuan lain tersembunyi. Dari yang ingin terkenal, sampai ingin membuat penontonnya tegang. Dan kita menontonnya, hari demi hari, menikmati semua yang ada di sana, melumat tontonan apa saja yang tersedia.

Meski YouTube kadang memberikan warning untuk video-video tertentu, tapi mereka bukan lembaga sensor. Artinya, YouTube percaya bahwa penontonnya bertanggung jawab pada dirinya sendiri, dan setiap orang yang mengakses situs tersebut dianggap telah memahami hal itu. Mau memilih video yang bagus atau yang buruk, pilihannya ada di tangan setiap penonton. Mau menonton bokep atau menikmati lantunan ayat suci, semua orang bebas di sini.

Dan sekarang, saya membayangkan bertahun-tahun mendatang, ketika saya telah memiliki anak-anak. Di rumah, mungkin saya—sebagai orang tua—bisa mengontrol tontonan mereka, memilihkan mana yang layak dan mana yang tidak, bahkan membatasi waktu mereka menonton televisi.

Tapi di internet, di YouTube, siapa yang akan melakukan itu? Siapa yang kelak akan menjaga dan melindungi anak-anak saya ketika mereka mulai membuka laptop atau ponselnya, lalu mengakses YouTube dan menyaksikan segala isinya...?

Teknologi selalu memiliki dua mata pedang, kata orang-orang. Mereka benar. Dan, bagi saya, dua mata pedang itu mengingatkan pada alam kubur, satunya lagi membuat kita lupa alam kubur.

Wasiat Antar Abad

Dua puluh abad yang lalu, seorang lelaki duduk di atas bukit, dikelilingi murid-muridnya. Mereka memanggilnya Sang Guru. Hari itu, Sang Guru—seperti hari-hari sebelumnya—memberikan pelajaran-pelajaran penting yang didengarkan murid-muridnya dengan khusyuk. Beberapa ada yang menuliskannya di daun lontar, sebagian menghafalkannya, untuk disampaikan kepada yang lain.

“Memburuk-burukkan seseorang di depannya adalah perbuatan tercela,” kata Sang Guru. “Tetapi memburuk-burukkan seseorang di belakangnya jauh lebih tercela.”

Keheningan menggantung di langit.

Seorang murid memberanikan diri bertanya, “Kenapa, Guru?”

Sang Guru menjelaskan, “Kalau kau memburuk-burukkan seseorang di depannya, itu perbuatan tercela—tapi dia setidaknya bisa membela diri, dan menjawab tuduhan-tuduhanmu yang mungkin keliru. Tetapi, jika kau memburuk-burukkan seseorang di belakangnya, itu jauh lebih tercela—karena dia tidak bisa membela diri untuk mengoreksi kesalahanmu.”

....
....

Lima abad setelah itu, seorang lelaki lain berdiri di atas padang pasir, dikelilingi sahabat-sahabatnya. Mereka menyebutnya Sang Rasul. Hari itu, Sang Rasul—seperti hari-hari sebelumnya—menyampaikan pelajaran-pelajaran penting yang didengarkan sahabat-sahabatnya dengan hening. Beberapa ada yang menuliskannya di pelepah kurma, sebagian menghafalkannya, untuk disampaikan kepada yang lain.

Sang Rasul berkata, “Adakah yang mau memakan bangkai saudaramu sendiri?”

Keheningan menggantung di langit.

Seorang sahabat menjawab dengan santun, “Tentu saja kami tidak mau.”

Sang Rasul melanjutkan, “Tetapi ada orang yang suka melakukannya. Ialah dia yang membicarakan keburukan orang lain di belakang punggungnya. Itu sama menjijikkan dengan memakan bangkai saudaranya.”

....
....

Lima belas abad kemudian, seorang lelaki tak dikenal menuliskan wasiat-wasiat itu dalam catatannya, untuk dibaca teman-temannya.

Sepertinya Ini Penting

Informasi yang datang dari seseorang atau satu pihak kadang-kadang bisa keliru, atau bahkan berbahaya, karena tidak tertutup kemungkinan adanya manipulasi, atau dibelokkan untuk menguntungkan diri sendiri. Karena itulah kita selalu memerlukan klarifikasi.

Noffret’s Note: Cangkang

Apa beda anak ayam di dalam dan di luar telur?
Benar, yang satu masih dalam cangkang.
—Twitter, 8 Juli 2012

Cangkang telur tidak hanya berarti tempat hidup
yang sempit, tetapi juga paradigma yang picik.
—Twitter, 8 Juli 2012

Siapa pun yang hidup dalam cangkang
akan menganggap dirinya paling besar, paling hebat,
bahkan paling suci, tak terkalahkan.
—Twitter, 8 Juli 2012

Dalam cangkang, orang hanya melihat dirinya sendiri, sibuk
dengan hidupnya sendiri, bahkan terobsesi dirinya sendiri.
—Twitter, 8 Juli 2012

Di dalam cangkang dengan cakrawala terbatas,
ruang hidup begitu sempit hingga siapa pun
mudah sampai di titik puas.
—Twitter, 8 Juli 2012

Dalam cangkang tidak ada pencarian.
Apa yang harus dicari bagi seseorang
yang merasa dirinya paling besar?
—Twitter, 8 Juli 2012

Sempitnya cangkang juga menjauhkan kita
dari kesadaran, bahwa di dunia ini kita tidak sendirian.
—Twitter, 8 Juli 2012

Cangkang adalah cermin pribadi dengan kesadaran terbatas,
karena tak pernah mengenal arti hidup secara luas.
—Twitter, 8 Juli 2012

Jadi, penghuni cangkang biasanya punya sifat
dan sikap serupa: Angkuh, merasa paling besar
dan hebat, memuja diri sendiri.
—Twitter, 8 Juli 2012

Ketika akhirnya cangkang itu pecah,
dan kenyataan sesunguhnya tampak oleh mata,
kesadaran pun berdarah-darah.
—Twitter, 8 Juli 2012

“Menggeliatlah dalam matimu,” kata Sunan Kalijaga.
Kematian adalah cangkang, yang mematikan kesadaran,
menghentikan pencarian.
—Twitter, 8 Juli 2012

Hidup dimulai setelah kita keluar dari cangkang.
Kehidupan dimulai saat kita melangkah dengan kesadaran.
—Twitter, 8 Juli 2012

Pertanyaan yang paling menggelisahkan,
“Kapan kita akan keluar dari cangkang?” Atau
jangan-jangan kita tak sadar hidup dalam cangkang?
—Twitter, 8 Juli 2012

Riset terbaru psikologi: Narsis adalah kelainan mental.
Bagiku, narsis hanyalah cerminan pribadi dalam cangkang.
—Twitter, 8 Juli 2012

Banyaknya masalah hidup kita, sebenarnya, karena
sebagian orang masih hidup dalam sempitnya cangkang.
—Twitter, 8 Juli 2012

Dalam cangkang, orang kadang tidak hanya
narsis secara fisik, tapi juga narsis psikis:
Merasa paling benar dan paling suci.
—Twitter, 8 Juli 2012

Cangkang membentuk kita menjadi autistik
yang narsistik. Terobsesi diri sendiri,
dan menganggap diri sebagai pusat bumi.
—Twitter, 8 Juli 2012

Dalam cangkang, kita akan marah jika mendengar orang
menyatakan dunia ini luas, dan alam semesta tak berbatas.
—Twitter, 8 Juli 2012

Selama terkurung cangkang, kita juga sulit menerima
jika ada yang lebih besar dari kita.
—Twitter, 8 Juli 2012

Semua buku psikologi, motivasi, inspirasional,
bahkan filsafat, dapat dirangkum dalam kalimat ini:
Keluarlah dari cangkang.
—Twitter, 8 Juli 2012


*) Ditranskrip dari timeline @noffret

 
;