Senin, 20 Juni 2022

Dua Sisi

Bersikap adil harus dimulai dari pikiran, kata Pram.
Tapi ketidakadilan, sayangnya,
kadang dimulai sejak kita dilahirkan.
@noffret


Haiti dan Republik Dominika adalah dua negara bertetangga. Wilayah mereka saling menempel, hanya dibatasi patok negara, persis Indonesia dan Malaysia. Meski bertetangga dan wilayah mereka saling menempel, nasib Haiti dan Republik Dominika jauh berbeda, bagai langit dan bumi. 

Di Haiti, berbagai bencana datang silih berganti, dari wabah penyakit sampai bencana alam seperti banjir dan tanah longsor. Sementara di Republik Dominika, hampir tidak pernah ada bencana, dan masyarakatnya hidup dengan aman tenteram. Bagaimana bisa terjadi, padahal dua negara itu berdiri di atas wilayah berdekatan, bahkan bersisian?

Jawabannya mungkin terdengar pahit. 

Haiti adalah negara miskin. Sebegitu miskin, hingga rakyat Haiti harus menebang pohon untuk memasak. Mereka tidak mampu membeli gas. Jadi mereka menebangi pohon untuk dijadikan kayu bakar. Hal itu berlangsung dari waktu ke waktu, tahun demi tahun, hingga pohon-pohon di Haiti terus berkurang, bahkan nyaris habis. 

Akibatnya mengerikan. Semakin banyak pohon ditebangi, semakin banyak bencana berdatangan. Di mana pun, pohon berfungsi menjaga kestabilan tanah, menyerap air hujan, sekaligus membersihkan udara. 

Rakyat Haiti menebangi pohon-pohon di wilayah mereka karena butuh kayu bakar. Akibatnya, ketika hujan turun dan air sungai meluap, tak ada lagi pohon yang menyerap. Akibatnya, banjir melanda kapan saja. Tapi rakyat Haiti masih terus menebangi pohon-pohon, karena bagaimana pun mereka butuh masak dan butuh kayu bakar. Hasilnya, tanah-tanah rentan longsor karena tidak ada lagi pohon yang menahan, dan itulah yang lalu terjadi. 

Selain banjir dan tanah longsor, Haiti juga menghadapi bencana berupa penyakit. Tidak mengherankan, karena udara di sana sangat kotor, akibat tidak ada pohon-pohon yang memurnikan udara. Seperti kita tahu, pohon menyerap karbondioksida dan mengubahnya jadi oksigen, yang kemudian digunakan manusia untuk bernapas. Ketika pohon-pohon ditebangi, tidak ada lagi yang mengubah karbondioksida jadi oksigen, dan berbagai penyakit mudah datang.

Hal berbeda terjadi di Republik Dominika, yang jadi tetangga Haiti. Di Republik Dominika, rakyatnya hidup sejahtera. Pemerintah negara itu juga menerapkan aturan tegas terkait pemeliharaan alam, yang salah satunya larangan menebang pohon sembarangan. Ekosistem hutan mereka terjaga, jauh berbeda dengan hutan-hutan di Haiti yang gundul.

Masyarakat Republik Dominika mematuhi aturan itu—tidak menebangi pohon sembarangan—karena hidup mereka sejahtera. Sementara di Haiti, larangan menebangi pohon tidak dipatuhi, karena rakyat yang lapar hanya butuh makan, dan persetan dengan aturan! 

Dari Haiti dan Republik Dominika, sekarang kita terbang ke Jakarta.

Di Jakarta, ada kompleks perumahan yang unik, yaitu dua kompleks perumahan yang saling menempel, tapi memiliki pemandangan berbeda. Satu perumahan ditujukan untuk kalangan menengah ke atas, satu lagi ditujukan untuk kalangan menengah ke bawah. Perumahan yang ditujukan untuk menengah ke atas—sebut saja Perumahan A—berbentuk cluster. Sementara perumahan untuk kalangan menengah ke bawah—sebut saja Perumahan B—berbentuk perumahan biasa.

Rumah-rumah di Perumahan A terlihat bagus-bagus, sekaligus luas, khas perumahan kalangan menengah ke atas. Sementara rumah-rumah di Perumahan B terlihat mungil-mungil dan tampak biasa, khas perumahan kalangan menengah ke bawah. Sebenarnya itu hal biasa, dan tidak masalah. Yang tidak biasa adalah... Perumahan A bebas banjir, sementara Perumahan B sering dilanda banjir!

Bagaimana keanehan semacam itu bisa terjadi?

Dua perumahan itu sama-sama ada di Jakarta, di wilayah yang sama-sama kerap dilanda banjir, dan kedua perumahan itu berdekatan, saling menempel. Tapi kenapa Perumahan A bisa terbebas dari banjir, sementara Perumahan B kerap dilanda banjir? 

Jawabannya mungkin terdengar pahit.

Developer yang membangun kompleks Perumahan A, yang ditujukan untuk kalangan menengah ke atas, benar-benar memikirkan tata bangunan hingga saluran air dengan sangat cermat, untuk memastikan kompleks perumahan itu terbebas dari banjir. Hasilnya, ketika hujan turun, air langsung meresap ke tanah dan masuk ke saluran air yang telah disiapkan. Bahkan ketika air meluap, saluran air di Perumahan A dapat menampung luapan air, hingga kompleks perumahan itu benar-benar terbebas dari banjir.

Mengapa developer Perumahan A memikirkan tata bangunan hingga saluran air secermat itu? Jawabannya sederhana, karena rumah di kompleks itu dijual dengan harga mahal, hingga developer memastikan pembeli rumah benar-benar puas tinggal di sana. 

Hal berbeda terjadi pada kompleks Perumahan B, yang ditujukan untuk kalangan menengah ke bawah. Sejak awal membangunnya, developer sudah menyadari bahwa perumahan itu akan dijual dengan harga relatif murah. 

Dengan harga rumah yang murah, pihak developer tidak bisa berbuat banyak. Bahan-bahan bangunan dipilih yang murah, sementara tata perumahan dan saluran air tidak terlalu dipedulikan. Bagaimana pun, developer juga tidak ingin merugi. Jadi mereka membangun kompleks perumahan yang sekiranya bisa dijual dengan harga murah, dan tetap menghasilkan untung.

Dan itulah yang kemudian terjadi. Ketika hujan turun lebat, Perumahan B rentan banjir, karena tata bangunan di kompleks yang tidak maksimal, sementara saluran air tidak memadai. Hasilnya, ketika air meluap, Perumahan B digenangi banjir.

Dua kompleks perumahan yang saya ceritakan ini pernah viral, dan foto-fotonya ramai dibicarakan di Twitter maupun Instagram. Waktu itu Jakarta sedang dilanda banjir, dan penduduk di Perumahan A maupun Perumahan B sama-sama mengunggah foto kompleks perumahan mereka. 

Penduduk Perumahan A mengunggah foto sedang berbaring santai di sisi kolam renang pribadinya, dan lahan luas di sekelilingnya tampak kering, sama sekali tidak banjir. Sementara penduduk Perumahan B mengunggah foto sedang berdiri di depan rumahnya, dengan kaki terbenam air, dan seluruh kompleks perumahan itu tampak digenangi banjir. 

Benar-benar pemandangan yang kontras, dan luar biasa!

Yang terjadi di Haiti dan Republik Dominika tentu tidak bisa dibilang simetris dengan yang terjadi pada dua perumahan di Jakarta, karena keduanya memiliki latar belakang berbeda. Tetapi, setidaknya, kita melihat sesuatu di sini, bahwa dunia ini mengandung dua sisi, dan bahwa keadilan—atau ketidakadilan—kadang tidak dimulai dari pikiran... tapi dimulai sejak kita dilahirkan.

Paling Pahit di Bawah Langit

Ingin sekali menulis soal ibu yang membunuh anaknya, di Brebes, tapi aku merasa amarahku pasti akan ikut mengalir dalam tulisan.

Membunuh anak tentu kejahatan, meski dilakukan ibunya sendiri. Tapi ada yang lebih jahat; kekacauan sistem sosial yang disembah masyarakat.

Masyarakat kita menyembah berhala yang disebut "harus sama". Semua orang harus sama, tidak boleh ada yang berbeda. Karena masyarakat kawin, kamu harus kawin. Karena masyarakat beranak pinak, kamu harus beranak pinak. Kalau tidak, kamu akan dianggap "berbeda" atau bahkan "salah".

Di bawah tirani berhala semacam itu, ada banyak orang yang melakukan hal-hal penting dalam hidupnya—khususnya menikah dan beranak pinak—bukan dengan persiapan dan kesadaran, melainkan karena "keterpaksaan sosial", entah mereka sadar atau tidak. Dianggap "berbeda" bisa menakutkan.

Masyarakat akan gusar kalau kamu sudah dewasa tapi tidak/belum menikah. Dan setelah kamu menikah, mereka masih gusar kalau kamu dan pasanganmu tidak/belum juga punya anak. Bahkan setelah kalian punya anak, masyarakat masih gusar... dan memintamu nambah anak-anak.

Fakta paling pahit di bawah langit: Masyarakat lebih senang melihatmu sengsara tapi menikah dan beranak pinak, daripada melihatmu bahagia tapi lajang. Karena mereka menuntut siapa pun untuk "sama". Kalau kamu melajang, kamu akan dianggap berbeda, dan "kebenaran" mereka terancam.

Ibu yang membunuh anaknya, yang kini jadi berita, hanyalah ekses kecil yang timbul akibat penyembahan berhala masyarakat. Di luar kasus itu, ada tak terhitung banyaknya kasus lain, yang, jika ditelusuri, akan sampai pada doktrinasi masyarakat yang menuntut semua orang harus sama.

Kisah klasik tentang ini, yang entah kenapa begitu dirahasiakan, adalah kisah seorang pemuda yang tak sengaja masuk ke sebuah perkampungan yang tersembunyi di hutan. Di sana, pemuda itu mendapati seorang perempuan, dan jatuh cinta, dan ingin menikahinya. Tapi ada satu syarat...

Tetua kampung di sana berkata pada si pemuda, "Kamu boleh menikahi perempuan itu, Nak, tapi kami harus mencongkel kedua matamu."

Si pemuda kaget, "Kenapa?"

"Karena begitu kamu menikah, kamu akan jadi bagian masyarakat kami. Dan karena kami semua buta, kamu juga harus buta."


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 23 Maret 2022.

Teman Ngobrol yang Menyenangkan

Memang menyenangkan ngobrol dengan orang berpikiran terbuka, karena ia bisa memahami yang kita katakan sepenuhnya, dengan empati, tanpa keinginan menghakimi. Orang berpikiran terbuka tidak harus pintar, tapi yang jelas mereka biasanya bukan orang tolol yang pikirannya sempit.

Rata-rata kita tidak butuh teman bicara yang mengerti astronomi, fisika, matematika, kimia, biologi, apalagi ilmu gaib. Rata-rata kita hanya butuh teman bicara yang tahu kapan mendengarkan dan kapan bicara, punya selera humor yang nyambung, dan tahu berempati tanpa menghakimi.

Kedengarannya mudah memiliki teman bicara semacam itu, dan kamu sungguh beruntung kalau memilikinya, meski hanya satu. Karena, sayangnya, tidak semua kita beruntung memilikinya. 

Ada banyak orang di sekitar kita yang sangat tahu cara berbicara, tapi tidak tahu cara mendengarkan.

Ada banyak orang di sekitar kita yang tahu cara menghakimi, tapi tidak tahu cara berempati.

Ada banyak orang di sekitar kita yang merasa hanya dirinya yang benar, dan akan menganggap salah orang lain jika tidak sama dengan dirinya.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 8 Mei 2022.

Sambil Nunggu Udud Habis

Sambil nunggu udud habis...

Salah satu kesenangan kecil dalam keseharianku adalah saat membuat cokelat hangat di dapur, menikmatinya, lalu menyulut udud. Setelah itu membuka Twitter, dan melihat-lihat kabar terbaru hari ini. Kegiatan sederhana, tapi cukup menyenangkan. Ya, itu selalu pukul 22.00.

Kenapa harus pukul 22.00? Sebenarnya, itu waktuku selesai kerja. Jadi, aku baru membuka Twitter setelah urusan yang penting selesai, dan—sesuai jadwal yang kubuat sendiri—pukul 22.00. Itu pun cuma “sebat” (batas waktuku di Twitter cuma sampai sebatang rokok habis).

Aku tidak bisa lama-lama mantengin Twitter, karena memang tidak ada waktu. Bahkan “jadwal” masuk Twitter pukul 22.00 pun kadang tak bisa kulakukan, karena adanya hal-hal lain yang lebih penting dan mendesak. Misal meneruskan kerja, atau ada tamu, atau ada kegiatan lain.

Seperti kemarin malam, misalnya. Aku asyik ngobrol dengan seseorang sampai larut malam, jadi tidak ingat Twitter. Ya tidak apa-apa. Karena nyatanya toh masuk Twitter atau tidak, juga tidak ada bedanya bagiku. Wong ini cuma sekadar nunggu udud habis—apa pentingnya?

Kadang-kadang pula, aku nemu buku baru yang bagus—atau ingin kembali membaca buku lama yang pernah kubaca—jadi aku memilih untuk membaca buku daripada masuk Twitter. Dan ada berbagai hal lain (di dunia nyata) yang lebih penting, yang bisa jadi membuatku tak bisa masuk Twitter.

Di Twitter, kadang aku ngoceh, kadang hanya me-retweet twit-twit yang [kuanggap] penting. Kalau sudah me-retweet banyak twit, aku sengaja tidak ngoceh, apalagi sampai panjang lebar, karena aku khawatir mengganggu TL orang-orang lain dan membuat mereka tidak nyaman.

Sekadar catatan. Seperti umumnya di tempat kerja lain, menjelang akhir tahun biasanya waktu yang sangat sibuk—kalian yang punya usaha pasti tahu, lah. Begitu pula yang kualami. Jadi ada kemungkinan besok-besok aku akan jarang masuk Twitter, karena sibuk di dunia nyata.

Aku tidak punya kebutuhan menjaga popularitas, karena memang tidak punya dan tidak butuh. Aku ngoceh di Twitter hanya untuk senang-senang, di kala senggang—bukan kewajiban. So, aku masuk Twitter atau tidak, itu hal yang biasa-biasa saja, sama seperti orang-orang lain.

Ocehan ini, kalau kulanjutkan, masih panjang sekali, dan mungkin baru selesai tahun 3633, tapi ududku habis. Dan aku masih punya kegiatan lain yang lebih penting untuk dilakukan. Tidur, misalnya.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 22 Oktober 2021.

Buku-buku Tebal

Jiwa bocahku bergetar setiap melihat tumpukan buku-buku tebal.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 21 Maret 2022.

Jumat, 10 Juni 2022

Chemistry

Clear communication is so attractive.

Unclear communication is manipulation.
Clear communication is giving respect to the persons feelings.


Pukul 9.00 pagi menjelang siang, saya baru bersiap memulai kerja. Saat sedang menyulut rokok, ponsel bergetar. Di layar muncul sederet nomor asing. Saya selalu malas menerima telepon dari orang tak dikenal. Tapi waktu itu pikiran saya masih segar, dan tak ada urusan mendesak yang harus segera dilakukan.

Jadi, saya menerima panggilan itu, dan menyapa, “Halo.”

Suara seorang wanita terdengar di ponsel. “Dengan Hoeda?”

“Ya,” saya menyahut. “Dengan siapa ini?”

“Febri.” Nadanya sangat percaya diri. “Febriana.”

Pikiran saya langsung bekerja, mengingat-ingat nama Febriana yang mungkin saya kenal. Tapi dalam beberapa detik itu tidak ada satu pun nama Febri atau Febriana yang saya ingat. Jadi, saya pun berkata, “Maaf, apakah kita saling kenal?”

Dia menyahut, “Aku teman Livia. Livia Renatha, temanmu.”

“Oh.” 

“Aku mendapat nomor ponselmu dari Livia,” dia kembali berkata, “dan aku memberanikan diri meneleponmu sekarang, karena kupikir kita bisa bertemu.”

Saya mengisap rokok, lalu menyahut, “Maaf, kenapa kamu berpikir aku mau menemuimu?”

“Aku punya sesuatu yang pasti akan kamu suka.”

“Oh, really?”

“Ya. Mutasi biologi.”

“Sorry?”

“Aku tahu kamu sangat serius mempelajari mutasi biologi. Livia menceritakan, kamu sudah menghabiskan waktu bertahun-tahun, mencari semua hal tentang mutasi biologi. Aku memiliki beberapa referensi penting, yang kuyakin belum kamu temukan.”

Saya menegakkan duduk. “Kenapa kamu tertarik pada subjek itu?”

“Aku kuliah sains, jurusan biologi, di Belanda, dan sedang menggarap tesis soal itu. Tesisku hampir selesai, tapi masih banyak ‘lubang’ yang tidak kupahami. Aku butuh seseorang yang memahami topik ini, untuk brainstorming, untuk menutup lubang-lubang teoritis pada tesisku. Kalau kamu mau menemuiku, kita bisa mendiskusikannya, dan akan kuberikan semua referensi yang kupunya. Omong-omong, referensi yang kumiliki berbahasa Belanda, dan semuanya telah kuterjemahkan untukmu.” 

Saya terdiam sesaat, kemudian bertanya, “Kamu tinggal di mana, Febri?”

“Jakarta.” Kemudian, karena mungkin menyadari saya ragu-ragu, dia melanjutkan, “Maaf, mungkin aku terlalu lancang memintamu menemuiku, padahal kita belum kenal. Tapi aku memintamu menemuiku bukan tanpa alasan. Aku punya laboratorium kecil yang ingin kutunjukkan kepadamu, berkaitan dengan tesis yang kutulis. Dan kalau kamu meragukanku, kamu bisa minta pendapat Livia.” 

Saya berkata ragu-ragu, “Menemuimu, artinya aku harus menempuh perjalanan sejauh ratusan kilometer.”

“Dan aku janji kamu tidak akan kecewa. Aku tahu kamu sangat sibuk, dan aku tidak akan memintamu, kalau tidak benar-benar yakin.” Setelah terdiam sesaat, dia melanjutkan, “Kalau kita bertemu, aku tidak akan mengajakmu jalan-jalan atau keluyuran ke mana pun, kecuali kamu yang meminta. Kita hanya akan duduk-duduk tenang, bercakap-cakap... dan aku tidak akan mengajakmu foto-foto, atau melakukan hal-hal lain yang membuatmu tidak nyaman.”

“Kalau aku bersedia menemuimu, berapa hari yang kamu butuhkan?”

“Mungkin tiga hari?” dia menyahut. “Kamu bisa berangkat hari Jumat, dan pulang Minggu atau Senin. Kita hanya akan bertemu selama itu. Kamu bisa membawa pulang hasil terjemahan referensi yang kumiliki. Tidak ada ruginya bagimu. Dan selama kamu di sini, aku bisa menjanjikan, aku teman bicara yang menyenangkan. Aku akan berbicara dengan jelas, lugas, gamblang, tanpa kode-kode tolol yang akan membuatmu bosan.”

Saya tersenyum. “Kedengarannya kamu telah merisetku.”

Dia tertawa kecil. “Aku tidak akan menghubungi seseorang dan meminta sesuatu, jika tidak yakin siapa dirimu. Ya, aku memang telah merisetmu, hingga benar-benar yakin kamu orang yang tepat. Aku juga telah lama membaca blogmu, jadi sangat memahami kepribadianmu. Livia juga berkali-kali mengingatkan, agar aku tidak bertele-tele saat berbicara denganmu, karena akan membuatmu bosan. Jadi, aku sengaja langsung menyatakan maksudku sejelas yang aku bisa.” 

Saya terdiam sesaat, kemudian berujar, “Kamu pasti wanita yang mengagumkan.”

Dia memperdengarkan tawa renyah. “Seperti yang kubilang tadi, aku sangat memahamimu.” Dia terdiam sejenak. “So, kamu bersedia menemuiku?”

“Aku menyukai wanita yang bisa berbicara dengan jelas, tidak berbelit-belit, dan tidak pakai drama macam-macam. Aku menghargai keterusteranganmu. Dan, ya, aku bersedia menemuimu.”

Setelah itu, kami bercakap-cakap beberapa saat, dan Febriana memberikan alamat lengkapnya.

Saya berkata, “Omong-omong, Livia pernah menceritakan seperti apa aku?”

“Menurut Livia, kamu sosok sederhana yang sulit dilupakan.” Kemudian dia berkata dengan ringan, “So, kapan kira-kira kamu bisa meluangkan waktu?”

“Jumat depan aku berangkat ke tempatmu.”

“Bagus. Aku janji kamu tidak akan kecewa.”

“Kedengarannya menyenangkan.”

....
....

Jakarta, suatu pagi.

Turun dari travel, dengan menyandang tas di punggung, saya melangkah ke depan sebuah rumah. 

Pintu rumah terbuka, dan seorang wanita muncul, dengan ciri-ciri yang telah saya ingat.

Saya menyapa, “Febri?” 

Dia mengangguk, dan tersenyum hangat. “Kamu benar-benar datang!”

Saya membalas senyumnya, “Semoga aku tidak merusak bayanganmu.”

Dia tertawa. “Kamu tepat seperti bayanganku. Sosok yang sederhana.”

“Dan tak mudah dilupakan?”

Tawanya masih terdengar. “Itu masih perlu pembuktian.”

....
....

Cerita dimulai.

Pelajaran Komunikasi Terbaik di Bawah Langit

Buku psikologi komunikasi terbaik yang pernah kubaca.

Buku ini, "How to Win Friends and Influence People" mungkin tidak sangat tepat jika disebut "psikologi komunikasi", tapi aku tidak punya sebutan lain yang lebih baik. Isinya membahas cara-cara komunikasi yang sangat efektif, sekaligus praktis. Aku bersyukur membacanya.

Salah satu formula sangat penting dalam buku itu, yang selalu kuingat adalah (ini kalimatku), "Kita bisa menodongkan senjata ke kepala seseorang agar menuruti yang kita inginkan... tapi ada cara yang lebih baik dari itu." Dan itulah yang diajarkan Dale Carnegie dalam buku tadi.

Jika seseorang mau melakukan yang kita inginkan, hanya ada 2 alasan. Pertama, karena terpaksa, apa pun alasannya. Kedua, karena dia memang ingin melakukannya.

Pertanyaannya, tentu saja, bagaimana agar  orang lain mau melakukan yang kita inginkan, dan dia senang melakukannya?

Caranya sederhana: Berikan yang dia inginkan, dan dia akan melakukan yang kita inginkan!

Itulah yang dilakukan orang bijak ketika ingin orang lain melakukan yang ia inginkan. Tidak mengancam, tidak memanipulasi, tapi memberikan yang diinginkan orang lain hingga mau melakukan.

Salah satu kisah mengesankan yang membuktikan formula itu adalah ketika aku menemani seorang pria makan malam, dan dia mengatakan, "Aku akan meminta Z menemuiku di sini. Apakah menurutmu dia akan datang?"

Aku menggeleng. Aku tahu siapa Z—tipe orang yang "tidak bisa diperintah".

Pria di depanku tersenyum, dan membuka ponselnya. Dia aktifkan loudspeaker, agar aku bisa ikut mendengar percakapan. Lalu dia letakkan ponsel di meja, bersama amplop cokelat.

Dia menelepon Z, dan berkata, "Aku sedang bersama seseorang di RMP (nama restoran tempat kami makan). Di depanku ada uang cash sepuluh juta, yang kusiapkan untukmu."

Terdengar suara di ponsel—suara Z, "Dan apa yang harus kulakukan?"

"Yang perlu kamu lakukan, Nak, hanyalah menemuiku di sini, dan kita akan bercakap-cakap. Aku sedang mengerjakan sesuatu, dan aku butuh bantuanmu."

Sekali lagi terdengar suara Z di ponsel, "Aku datang."

Dia benar-benar datang!

Pria di depanku tidak mengancam, tidak memanipulasi. Dia menawarkan sesuatu yang menarik kepada Z, dan Z tertarik. Ketika Z akhirnya datang, dia datang dengan senang hati. Sesederhana itu caranya!

Jadi, inilah pelajaran komunikasi terbaik yang pernah tertulis di bawah langit, dan akan tetap relevan sampai akhir zaman:

Jika kita ingin orang lain melakukan yang kita inginkan, berikan yang dia inginkan... dan dia akan melakukan yang kita inginkan dengan senang hati.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 30 April 2022.

Orang Sederhana

Memang benar, ya. Sebagian orang menyukai petualangan dan perubahan, sementara sebagian lain menyukai ketenangan dan stabilitas. 

Tidak ada yang benar dan salah dalam hal ini, wong itu kecenderungan manusiawi orang per orang, karena nyatanya kita semua memang berbeda.

Orang yang menyukai petualangan dan perubahan biasanya menikmati aktivitas di luar ruang—mendaki gunung, menjelajah alam, diving, snorkeling, traveling ke luar kota atau luar negeri, dan semacamnya. Mereka juga biasanya orang-orang ekstrover yang senang bersosialisasi.

Sebaliknya, orang yang menyukai ketenangan dan stabilitas biasanya lebih menikmati aktivitas di dalam ruang—membaca buku, bercakap-cakap dengan teman dekat, mempelajari sesuatu secara intens, dan semacamnya. Mereka biasanya orang-orang introver yang lebih suka sendirian.

Aku termasuk yang kedua; orang introver yang menikmati kesendirian, dan lebih menyukai ketenangan serta aktivitas di dalam ruang. Bagiku, duduk sendirian sambil membaca buku, atau khusyuk berpikir saat mempelajari sesuatu, itu sangat menenangkan dan menyenangkan.

Umpama ditawari traveling ke luar negeri atau staycation di dalam negeri, aku akan memilih yang kedua. Aku tidak suka keluyuran, jika tidak sangat-sangat terpaksa. Sebagai orang rumahan, aku lebih suka berdiam di tempat yang tenang, hening, jauh dari hiruk pikuk dan keramaian.

Sebagai orang sederhana, “mainanku” juga sederhana; membaca buku, mempelajari pengetahuan baru yang menarik, mengerjakan hal-hal yang disukai, meriset sesuatu yang kuanggap penting. Cukup menikmati hal-hal itu saja, aku sudah senang, dan tak tergoda ingin keluyuran ke mana pun.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 5 April 2022.

Tak Bisa Lebih Baik Lagi

people abuse the soft spot you have for them and calls you the bad person for distancing yourself from the disrespect.

Aku tidak bisa mengatakannya lebih baik lagi.
—@noffret


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 10 Mei 2022.

Prinsip Bocahisme

Boleh percaya boleh tidak, dari dulu aku seperti ini. Kalau disodori minuman dalam botol, aku akan mencari gelas untuk menuangnya. Jika terpaksa tidak ada gelas, aku cari sedotan. Bahkan untuk minuman dalam kaleng pun, aku tetap mencari gelas atau sedotan. Itu prinsip bocahisme.

Well, sepertinya aku termasuk bocahly. Appeuuh.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 4 Mei 2022.

Rabu, 01 Juni 2022

Novel Paling Lucu yang Pernah Saya Baca

Yang langsung terlintas dalam pikiranku adalah
buku lawas karya Christopher Buckley,
No Way to Treat a First Lady. Itu novel satir yang lucunya
luar biasa. Aku udah baca lebih dari 3 kali,
dan masih cekikikan tiap membacanya.
@noffret


“No Way To Threat A First Lady” adalah novel karya Christopher Buckley. Sejauh ini, novel itulah yang saya anggap paling lucu, yang pernah saya baca. Sebegitu lucu, hingga saya dapat terus cekikikan setiap kali membacanya. Sampai saat ini, saya telah mengulang baca novel itu beberapa kali, dan terus mampu membuat saya guling-guling dengan perut kaku.

Kirkus Review menyebut novel itu, “Lucu luar biasa dari awal sampai akhir. Kecuali bagi mantan presiden.”

Ungkapan itu mungkin terdengar berlebihan. Tapi nyatanya, bagi saya, “No Way To Threat A First Lady” memang lucu luar biasa, hingga saya tanpa ragu menempatkannya sebagai novel paling lucu yang pernah saya baca.

Omong-omong, novel ini telah diterjemahkan ke bahasa Indonesia, dengan judul “Jangan Main-Main dengan Ibu Negara”, dan diterbitkan oleh Gramedia Pustaka Utama (GPU).

Novel itu mengisahkan kasus kematian Presiden Amerika, yang diperkirakan sebagai pembunuhan, dan tersangka utamanya adalah istri sang presiden, Ibu Negara Elizabeth Tyler MacMann. 

Presiden Amerika Serikat, Kenneth MacMann, diketahui doyan selingkuh, dan istrinya kemungkinan tahu hal tersebut. Selama waktu-waktu itu, demi menjaga stabilitas Gedung Putih, urusan selingkuh Presiden AS diredam diam-diam. Suatu pagi, Sang Presiden ditemukan tewas dengan memar di kepala, yang menunjukkan bahwa dia telah dipukul dengan spittoon (wadah tempat meludah, terbuat dari perak).

Seperti yang disebut tadi, istri sang presiden—Elizabeth Tyler MacMann—menjadi tersangka utama. Terkait hal itu, Elizabeth meminta bantuan pengacara terhebat di Amerika, yang juga mantan tunangannya, Boyce Baylor.

Bertolak dari kisah itulah, rangkaian cerita dalam “No Way To Threat A First Lady” mengocok perut pembaca dengan sangat gila. Christopher Buckley, penulis novel ini, benar-benar “kurang ajar” dalam mengerjai pembacanya dengan narasi-narasi yang luar biasa sinting. Karenanya, seperti yang disebut tadi, saya masih ngakak guling-guling meski telah membacanya beberapa kali. Bayangkan saja John Grisham berduet menulis dengan Mark Twain, novel inilah kira-kira hasilnya.

Jadi, kalau ditanya novel apa yang paling lucu, yang pernah saya baca, saya akan langsung menyebut “No Way To Threat A First Lady”. Sejauh ini, saya belum menemukan novel lain yang lebih lucu, atau yang mampu memberi “efek guling-guling” seperti yang dilakukan novel tersebut pada saya.

Terkait humor atau hal-hal lucu, biasanya kadar humor akan turun tensinya, jika kita mencoba mengulang. Misal, kita baru membaca suatu buku atau novel, dan menganggapnya lucu luar biasa. 

Tetapi, saat kita membaca kali kedua, atau kali ketiga, kadar lucu dalam novel itu akan terasa turun. Meski awalnya kita menganggap “lucu luar biasa”, tensinya turun menjadi hanya “lucu”. Jika awalnya kita sampai guling-guling, pengulangan kedua atau ketiga mungkin hanya mampu membuat kita tertawa. Saat hal lucu itu kembali diulang, kita mungkin hanya akan tersenyum simpul.

Kebanyakan humor, selucu apa pun, sering kali mengalami penurunan tensi kelucuan, ketika kita mengulangnya. Meski begitu, ada humor yang tetap memiliki “efek lucu”, tak peduli sesering apa pun kita mengulang—sejenis humor yang mungkin dirancang dengan sangat matang, hingga mau tak mau akan menggelitik impuls tawa kita, meski kita mengulangnya.

Humor “magis” semacam itulah yang saya dapati dalam “No Way To Threat A First Lady”. Tak peduli saya mengulangi dan membaca lagi, tetap saja kelucuan-kelucuan di dalamnya membuat saya guling-guling cekikikan.

Namun, sebelum kalian mungkin tergoda mencari novel tersebut, ada yang juga perlu saya katakan.

Meski bagi saya “No Way To Threat A First Lady” lucu luar biasa—dan hal itu ditegaskan oleh pembaca lain, khususnya oleh Kirkus Review—namun bukan berarti semua orang pasti akan cocok dengan humor dalam novel tersebut. 

Omong-omong, ada teman saya yang pernah meminjam novel itu. Mula-mula dia penasaran, karena melihat saya cekikikan sendiri selama membaca. Saya pun meminjamkan untuk dia baca. Belakangan, setelah selesai, dia mengembalikan novel itu dan mengatakan, “Aku tidak paham di mana lucunya.”

Waktu itu pula, saya menyadari bahwa ternyata humor [kadang] tidak bersifat universal. Yang sangat lucu bagi saya—dan bagi sebagian orang—bisa jadi sama sekali tidak lucu bagi sebagian lain, termasuk teman saya. Alih-alih ikut cekikikan seperti saya, dia malah kebingungan di mana letak lucunya, dan sama sekali tidak tertawa selama membaca.

Jadi, seperti apa humor dalam “No Way To Threat A First Lady”?

Agak sulit bagi saya untuk mendeskripsikan “humor seperti apa” dalam novel tersebut. Karenanya, coba lihat paragraf berikut, yang saya kutip utuh dari novel tersebut, dan apakah kita bisa sepakat bahwa paragraf ini sangat lucu.

Wiggins, yang baru saja memastikan namanya tercatat dalam sejarah hukum Amerika Serikat dengan opini tertulis yang dianggap sebagai keputusan hukum paling besar pengaruhnya sejak Maimonides, memelototi Beth bagaikan burung hantu mengincar tikus. Pengadilan Agung Wiggins merasa mempunyai yurisdiksi atas segala hal, termasuk mengenai jam berapa matahari dibolehkan terbit.

Bagi saya, paragraf itu sangat lucu, dan membuat saya cekikikan. Bagaimana menurut kalian? Apakah juga sepakat, atau setidaknya bisa melihat di mana letak lucunya?

Sebagian orang mungkin sepakat bahwa paragraf itu sangat lucu, sementara sebagian lain masih bingung. (Kata kunci yang jadi pemicu kelucuan pada paragraf tadi adalah Maimonides—sila googling kalau belum tahu siapa dia.)

Kelucuan-kelucuan semacam itulah yang menghiasi “No Way To Threat A First Lady”. Christopher Buckley menulis novelnya dengan narasi-narasi yang sarkastis sekaligus ironis, tapi lucu—jenis humor yang, menurut saya, mampu menerbitkan tawa abadi, meski kita membacanya berulang kali.

Buku Bagus

Ada yang perlu kusetubuhi malam ini: Tumpukan buku bagus di sisi lemari.

Buku yang bagus serupa teman. Ia tahu membuatmu tersenyum, dan seiring dengan itu membukakan pengetahuan dan kesadaran. Pun kadang kearifan.

Selalu ada hal baru yang kita dapatkan ketika membaca buku yang bagus. Bahkan meski kita membacanya berulang-ulang.

Yang aneh dari buku bagus adalah... ia jarang dikenal.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 8 September 2012.

Merindukan Rini

Rasanya selalu “aneh” saat jauh dari rumah, lalu tanpa sengaja ketemu seseorang yang kita kenal (misal karena kuliah atau bekerja di sana). Seperti tadi yang kualami, saat makan siang. Agak kaget saat ketemu Daniel, teman zaman SMA, dan kami bercakap-cakap seperti bertahun lalu.

Setiap kali bertemu teman SMA (teman seangkatan, kakak kelas, atau adik kelas), aku selalu bertanya, “Kamu tahu kabar Rini?” 

Dan selama ini tidak ada yang tahu. Padahal, dulu, di SMA, semua orang di sekolah kenal Rini—dia sangat populer di kalangan siswa maupun para guru.

Daniel bercerita, dia sudah dua kali menghadiri reuni SMA, tapi tidak pernah melihat Rini. Aku juga pernah menghadiri acara yang sama, dan tidak bertemu Rini. Pada teman-teman yang datang, waktu itu, aku bertanya apakah ada yang tahu kabar Rini, dan mereka semua tidak tahu.

Selama bertahun-tahun, aku melacak keberadaan Rini di dunia nyata maupun di dunia maya, tapi pencarianku seperti membentur jalan buntu. Dia seperti lenyap ditelan bumi. Google juga tidak bisa membantu. Tidak ada link yang terhubung namanya, tidak ada foto, tidak ada apa pun.

Ini sebenarnya agak aneh, karena teman-temanku zaman SMA—bahkan zaman SMP—bisa dilacak dan ditemukan dengan cukup mudah, misal melalui rantai satu teman ke teman lain, yang akhirnya terhubung dengan teman yang dituju. 

Tapi Rini... tidak ada yang tahu kabarnya.

Aku sangat ingin bertemu Rini, dan ini mungkin terdengar sentimentil. Karena kerinduan. Sejak lulus SMA bertahun lalu, belum pernah sekali pun bertemu dengannya. Dia salah satu wanita yang memiliki pengaruh sangat besar dalam kehidupanku, dan aku ingin melihat dia yang sekarang.

Kalau Rini mungkin—entah bagaimana—membaca ocehan ini, aku ingin dia tahu... aku sangat merindukannya.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 16 Agustus 2021.

Edebilirim

Kariyeriniz Inanin Bir Kaç Satira Bakar
—@ardawiax

Türkçe konusan bildigimden emin olmadigim 
bir Türk'ü nasil takip edebilirim.
—@noffret


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 8 Desember 2020.

Kurang Ndusel, Lalu Meriang

Kalau pergantian musim gini, aku sering meriang. Kata teman, itu karena kurang asupan vitamin. Gak tahu bener atau gak. Kalau menurutku sih kurang ndusel aja. Apppeeeeuuuhh...


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 28 Oktober 2021.

 
;