Rabu, 01 Juni 2022

Novel Paling Lucu yang Pernah Saya Baca

Yang langsung terlintas dalam pikiranku adalah
buku lawas karya Christopher Buckley,
No Way to Treat a First Lady. Itu novel satir yang lucunya
luar biasa. Aku udah baca lebih dari 3 kali,
dan masih cekikikan tiap membacanya.
@noffret


“No Way To Threat A First Lady” adalah novel karya Christopher Buckley. Sejauh ini, novel itulah yang saya anggap paling lucu, yang pernah saya baca. Sebegitu lucu, hingga saya dapat terus cekikikan setiap kali membacanya. Sampai saat ini, saya telah mengulang baca novel itu beberapa kali, dan terus mampu membuat saya guling-guling dengan perut kaku.

Kirkus Review menyebut novel itu, “Lucu luar biasa dari awal sampai akhir. Kecuali bagi mantan presiden.”

Ungkapan itu mungkin terdengar berlebihan. Tapi nyatanya, bagi saya, “No Way To Threat A First Lady” memang lucu luar biasa, hingga saya tanpa ragu menempatkannya sebagai novel paling lucu yang pernah saya baca.

Omong-omong, novel ini telah diterjemahkan ke bahasa Indonesia, dengan judul “Jangan Main-Main dengan Ibu Negara”, dan diterbitkan oleh Gramedia Pustaka Utama (GPU).

Novel itu mengisahkan kasus kematian Presiden Amerika, yang diperkirakan sebagai pembunuhan, dan tersangka utamanya adalah istri sang presiden, Ibu Negara Elizabeth Tyler MacMann. 

Presiden Amerika Serikat, Kenneth MacMann, diketahui doyan selingkuh, dan istrinya kemungkinan tahu hal tersebut. Selama waktu-waktu itu, demi menjaga stabilitas Gedung Putih, urusan selingkuh Presiden AS diredam diam-diam. Suatu pagi, Sang Presiden ditemukan tewas dengan memar di kepala, yang menunjukkan bahwa dia telah dipukul dengan spittoon (wadah tempat meludah, terbuat dari perak).

Seperti yang disebut tadi, istri sang presiden—Elizabeth Tyler MacMann—menjadi tersangka utama. Terkait hal itu, Elizabeth meminta bantuan pengacara terhebat di Amerika, yang juga mantan tunangannya, Boyce Baylor.

Bertolak dari kisah itulah, rangkaian cerita dalam “No Way To Threat A First Lady” mengocok perut pembaca dengan sangat gila. Christopher Buckley, penulis novel ini, benar-benar “kurang ajar” dalam mengerjai pembacanya dengan narasi-narasi yang luar biasa sinting. Karenanya, seperti yang disebut tadi, saya masih ngakak guling-guling meski telah membacanya beberapa kali. Bayangkan saja John Grisham berduet menulis dengan Mark Twain, novel inilah kira-kira hasilnya.

Jadi, kalau ditanya novel apa yang paling lucu, yang pernah saya baca, saya akan langsung menyebut “No Way To Threat A First Lady”. Sejauh ini, saya belum menemukan novel lain yang lebih lucu, atau yang mampu memberi “efek guling-guling” seperti yang dilakukan novel tersebut pada saya.

Terkait humor atau hal-hal lucu, biasanya kadar humor akan turun tensinya, jika kita mencoba mengulang. Misal, kita baru membaca suatu buku atau novel, dan menganggapnya lucu luar biasa. 

Tetapi, saat kita membaca kali kedua, atau kali ketiga, kadar lucu dalam novel itu akan terasa turun. Meski awalnya kita menganggap “lucu luar biasa”, tensinya turun menjadi hanya “lucu”. Jika awalnya kita sampai guling-guling, pengulangan kedua atau ketiga mungkin hanya mampu membuat kita tertawa. Saat hal lucu itu kembali diulang, kita mungkin hanya akan tersenyum simpul.

Kebanyakan humor, selucu apa pun, sering kali mengalami penurunan tensi kelucuan, ketika kita mengulangnya. Meski begitu, ada humor yang tetap memiliki “efek lucu”, tak peduli sesering apa pun kita mengulang—sejenis humor yang mungkin dirancang dengan sangat matang, hingga mau tak mau akan menggelitik impuls tawa kita, meski kita mengulangnya.

Humor “magis” semacam itulah yang saya dapati dalam “No Way To Threat A First Lady”. Tak peduli saya mengulangi dan membaca lagi, tetap saja kelucuan-kelucuan di dalamnya membuat saya guling-guling cekikikan.

Namun, sebelum kalian mungkin tergoda mencari novel tersebut, ada yang juga perlu saya katakan.

Meski bagi saya “No Way To Threat A First Lady” lucu luar biasa—dan hal itu ditegaskan oleh pembaca lain, khususnya oleh Kirkus Review—namun bukan berarti semua orang pasti akan cocok dengan humor dalam novel tersebut. 

Omong-omong, ada teman saya yang pernah meminjam novel itu. Mula-mula dia penasaran, karena melihat saya cekikikan sendiri selama membaca. Saya pun meminjamkan untuk dia baca. Belakangan, setelah selesai, dia mengembalikan novel itu dan mengatakan, “Aku tidak paham di mana lucunya.”

Waktu itu pula, saya menyadari bahwa ternyata humor [kadang] tidak bersifat universal. Yang sangat lucu bagi saya—dan bagi sebagian orang—bisa jadi sama sekali tidak lucu bagi sebagian lain, termasuk teman saya. Alih-alih ikut cekikikan seperti saya, dia malah kebingungan di mana letak lucunya, dan sama sekali tidak tertawa selama membaca.

Jadi, seperti apa humor dalam “No Way To Threat A First Lady”?

Agak sulit bagi saya untuk mendeskripsikan “humor seperti apa” dalam novel tersebut. Karenanya, coba lihat paragraf berikut, yang saya kutip utuh dari novel tersebut, dan apakah kita bisa sepakat bahwa paragraf ini sangat lucu.

Wiggins, yang baru saja memastikan namanya tercatat dalam sejarah hukum Amerika Serikat dengan opini tertulis yang dianggap sebagai keputusan hukum paling besar pengaruhnya sejak Maimonides, memelototi Beth bagaikan burung hantu mengincar tikus. Pengadilan Agung Wiggins merasa mempunyai yurisdiksi atas segala hal, termasuk mengenai jam berapa matahari dibolehkan terbit.

Bagi saya, paragraf itu sangat lucu, dan membuat saya cekikikan. Bagaimana menurut kalian? Apakah juga sepakat, atau setidaknya bisa melihat di mana letak lucunya?

Sebagian orang mungkin sepakat bahwa paragraf itu sangat lucu, sementara sebagian lain masih bingung. (Kata kunci yang jadi pemicu kelucuan pada paragraf tadi adalah Maimonides—sila googling kalau belum tahu siapa dia.)

Kelucuan-kelucuan semacam itulah yang menghiasi “No Way To Threat A First Lady”. Christopher Buckley menulis novelnya dengan narasi-narasi yang sarkastis sekaligus ironis, tapi lucu—jenis humor yang, menurut saya, mampu menerbitkan tawa abadi, meski kita membacanya berulang kali.

 
;