Kamis, 22 Februari 2018

Perspektif Utuh

Ada banyak tafsir yang merasa lebih tahu
dari sesuatu yang ditafsirkan. Karena itulah dibutuhkan
kemampuan memahami dan mendengarkan.
@noffret


Jalaluddin Rumi, penyair sufi terkenal, menulis aforisma tentang gajah di dalam gelap. Seekor gajah dimasukkan ke dalam ruang gelap tanpa cahaya, dan sekelompok orang diminta menyebutkan ciri-ciri makhluk tersebut. Orang-orang—yang sama sekali belum pernah melihat gajah—masuk ke ruangan, meraba-raba bagian gajah yang kebetulan mereka temukan, mengira-ngira, lalu mengambil kesimpulan.

Orang yang kebetulan memegang telinga gajah, mengatakan gajah mirip kipas. Orang yang kebetulan meraba kaki gajah, menyebut gajah mirip tiang. Orang yang kebetulan menyentuh belalai gajah, meyakini gajah mirip ular. Di dalam gelap dan pengetahuan terbatas, perspektif bahkan keyakinan bisa sangat keliru. Bagaimana pun, gajah sama sekali tidak mirip kipas, tidak mirip tiang, juga tidak mirip ular. Ciri-ciri itu lahir dari ketidaktahuan akibat kegelapan.

Aforisma Rumi menjadi dongeng populer, yang diceritakan dari masa ke masa, dan tampaknya masih relevan untuk diceritakan dan diceritakan kembali. Karena kenyataannya masih banyak orang yang meyakini sesuatu di dalam gelap, masih banyak orang membangun perspektif bahkan keyakinan tanpa kesadaran dan pengetahuan utuh. Padahal perspektif tanpa pengetahuan akan memicu kekeliruan, keyakinan tanpa kesadaran akan merusak.

Masih terkait hewan, ada kasus nyata yang bisa dijadikan contoh, betapa keyakinan tanpa pengetahuan akan menimbulkan kekeliruan, bahkan kekeliruan massal. Mari kita lihat burung unta.

Burung unta kadang terlihat memasukkan kepala ke dalam pasir, karena hewan ini memang banyak hidup di padang pasir Afrika dan Timur Tengah. Banyak orang mengira bahkan meyakini burung unta memasukkan kepala ke dalam pasir karena ketakutan pada bahaya yang datang. Sebegitu populer keyakinan tersebut, hingga analogi “burung unta memasukkan kepala ke dalam pasir” sering digunakan untuk menyebut orang yang pengecut, atau takut pada risiko.

Padahal, anggapan atau keyakinan itu keliru. Burung unta memasukkan kepala ke dalam pasir, bukan karena ketakutan pada bahaya yang datang!

Sebelum melangkah lebih jauh, sekarang kita lihat profil burung unta. Burung unta memiliki berat hingga 150 kilogram, dengan tinggi mencapai 2,4 meter. Meski besar dan tinggi, burung unta memiliki kemampuan berlari hingga kecepatan 50 kilometer per jam. Kenyataan itu menunjukkan burung unta memiliki kaki yang kuat. Kaki yang kuat itu dilengkapi cakar tajam, yang bisa membelah musuh dengan mudah. Di atas semua itu, burung unta memiliki pendengaran yang sangat tajam.

Sekarang pikirkan, musuh macam apa yang membuat burung unta ketakutan? Kenyataannya, tidak ada hewan di sekitar padang pasir yang berani melawan burung unta! Burung raksasa itu memiliki kemampuan dan kekuatan yang sulit dikalahkan, sehingga hewan-hewan yang hidup di sekitarnya memilih jaga jarak. Di padang pasir Afrika, bisa dibilang burung unta adalah penguasa. Jadi, sangat aneh kalau kita menuduh burung unta memasukkan kepala ke dalam pasir karena ketakutan. Burung unta tidak sebodoh itu!

Tapi kenyataannya burung unta memasukkan kepala ke dalam pasir—untuk apa? Bukan untuk menghindari bahaya, melainkan untuk mendeteksi kemungkinan datangnya bahaya! Ingat, burung unta adalah penguasa di padang pasir, dan tidak ada hewan yang berani mengusiknya. Tetapi ada satu musuh nyata bagi burung unta... yaitu manusia.

Sejak berabad-abad lalu, burung unta telah menjadi buruan manusia. Untuk dipelihara, maupun untuk dimakan dagingnya. Karenanya, bahaya paling nyata bagi burung unta tidak datang dari sesama hewan, melainkan dari manusia. Bagaimana pun, burung unta sulit melawan manusia, karena manusia membawa senjata. Dari panah, tombak, sampai senapan. Itulah ancaman terbesar bagi burung unta.

Karenanya, sejak berabad-abad lalu, burung unta mengembangkan mekanisme pertahanan diri, dengan memasukkan kepala ke dalam pasir, untuk mendeteksi kemungkinan bahaya, yaitu kedatangan manusia. Burung unta memiliki pendengaran yang tajam. Sementara suara akan lebih cepat merambat melalui benda padat daripada melalui udara. Dengan memasukkan kepala ke dalam pasir, burung unta akan dapat mendeteksi dari mana kemungkinan bahaya (manusia) akan datang, sehingga bisa memutuskan untuk lari ke arah mana.

Satu-satunya bahaya yang ditakuti burung unta hanya manusia. Dan mereka memasukkan kepala ke dalam pasir untuk mendeteksi kemungkinan datangnya manusia, yang bisa menjadi bahaya baginya.

Setelah menentukan dari mana arah datangnya manusia, burung unta bisa menyelamatkan diri ke tempat yang lebih aman. Mungkin, kalau saja manusia tidak membawa senjata, burung unta akan berani bertarung melawan manusia mana pun, asal sama-sama tangan kosong. Dan hampir bisa dipastikan burung untalah yang akan menang!

Jadi, kita lihat, burung unta memasukkan kepala ke dalam pasir sama sekali bukan karena ketakutan. Itu mekanisme pertahanan diri bagi burung unta dalam mendeteksi bahaya yang ditimbulkan manusia. Artinya, menyebut burung unta sebagai “pengecut karena memasukkan kepala ke dalam pasir saat menghadapi bahaya” sama sekali tidak benar. Itu kesimpulan yang datang dari perspektif tidak utuh, pengetahuan yang tidak utuh.

Bahwa burung unta memasukkan kepala ke dalam pasir, ya. Tetapi bukan karena ketakutan, melainkan untuk mendeteksi datangnya bahaya. Itu dua hal yang berbeda. Dengan kata lain, umpama gajah datang untuk menyerang burung unta, hampir bisa dipastikan burung unta tidak akan memasukkan kepala ke dalam pasir. Kalau pun burung unta benar-benar takut melawan gajah, dia pasti akan memilih lari, karena gajah tidak akan mungkin bisa mengejarnya.

Pengetahuan adalah sesuatu yang baik. Tetapi pengetahuan yang tidak utuh bisa berbahaya. Keyakinan adalah sesuatu yang baik. Tetapi keyakinan yang tidak benar bisa merusak. Dalam contoh yang ringan, kita telah melihatnya pada burung unta. Akibat pengetahuan yang tidak utuh, kita menilai burung unta sebagai pengecut. Susahnya, pengetahuan itu diwariskan turun temurun, sehingga banyak orang memiliki keyakinan serupa. Padahal, kita tahu, itu keyakinan yang keliru.

Dalam contoh faktual, kita bisa melihat kasus yang belum lama terjadi. Di internet sempat beredar foto yang menunjukkan poster bergambar kucing. Poster dalam foto itu terdapat di sebuah pabrik makanan. Pada poster itu terdapat tulisan dengan huruf kapital, “KUCING MEMANG MENGGEMASKAN, TAPI DALAM INDUSTRI MAKANAN DIA ADALAH HAMA. STOP. JANGAN MEMBERI MAKAN KUCING. JANGAN MELEPASKAN KUCING. YANG TERTANGKAP, LAPORKAN.”


Seketika, poster bergambar kucing itu viral, dan perusahaan makanan yang memasang poster itu dihujat banyak orang, khususnya para pencinta kucing. Orang-orang menganggap perusahaan makanan itu telah berlaku kejam terhadap kucing, sebagian orang bahkan menyatakan akan memboikot dan tidak lagi membeli makanan yang diproduksi perusahaan tersebut.

Selama waktu-waktu itu, berbagai situs di internet memuat berita menyangkut hal tersebut, sementara media sosial ramai oleh poster kucing. Sebegitu ramai masalah yang muncul, hingga pihak perusahaan makanan itu pun merasa perlu melakukan klarifikasi dan menjelaskan isi poster tersebut, yang ternyata arti atau maknanya jauh berbeda dari yang dipahami kebanyakan orang.

Berdasarkan penjelasan dari pihak perusahaan, mereka memang menjauhkan kucing dari pabrik pengolah makanan. Bagaimana pun, mereka berusaha mengolah dan memproduksi makanan sebersih mungkin, benar-benar steril, sehingga menjauhkan apa pun yang bisa mengontaminasi produk makanan mereka. Bagaimana pun, mereka ingin konsumen benar-benar mendapatkan makanan yang bersih, steril, dan sehat.

Karena hal itu pula, mereka sengaja memasang poster tadi di sekitar pabrik, yang tujuannya untuk mengingatkan para karyawan agar menjauhkan kucing dari pabrik pengolah makanan. Bulu-bulu kucing mudah lepas, dan sulit dilihat karena sangat kecil. Jika bulu-bulu yang terlepas itu sampai masuk ke mesin pengolah makanan, maka terjadi kontaminasi. Jika kebetulan pada bulu itu terdapat bibit penyakit, maka hasilnya tentu bahaya.

Untuk itulah, dalam poster terdapat tulisan, “KUCING MEMANG MENGGEMASKAN, TAPI DALAM INDUSTRI MAKANAN DIA ADALAH HAMA.” Kenyataannya memang benar. Kucing dalam pabrik makanan mungkin tidak memakan makanan yang sedang diolah di sana. Tapi kucing bisa menimbulkan bahaya melalui bulu-bulu di tubuhnya. Karena itu, “STOP. JANGAN MEMBERI MAKAN KUCING. JANGAN MELEPASKAN KUCING.”

Imbauan agar “jangan memberi makan kucing” pada poster tidak dimaksudkan agar para karyawan di sana membiarkan kucing kelaparan dan mati, melainkan dengan tujuan lain. Jika kucing masuk pabrik pengolah makanan, lalu diberi makan, dia akan terus datang. Bukankah kucing memang begitu? Karenanya, untuk menghindari kucing datang kembali, pabrik itu pun mengimbau karyawan mereka agar tidak memberi makanan kepada kucing. Sebaliknya, “YANG TERTANGKAP, LAPORKAN.”

Laporkan ke mana? Laporkan ke satpam! Setelah itu, satpam akan mengambil kucing tersebut, dan melepaskannya di tempat lain, agar menjauh dari tempat pengolah makanan. Dengan aturan itu, produk makanan yang dibuat tetap steril, konsumen mendapat makanan yang bersih dan sehat, sementara kucing bisa hidup bebas tanpa menimbulkan masalah.

Setelah mendapat penjelasan itu, kita pun melihat bahwa pemahaman kita terhadap tulisan di poster bisa berbeda seratus delapan puluh derajat. Apa artinya itu? Yang kita lihat belum tentu sesuai kenyataan. Yang kita pahami belum tentu memang benar. Karena yang kita lihat hanya sebagian, yang kita pahami belum utuh. Meminjam istilah anak kampus, “belum komprehensif”. Persis seperti orang-orang yang meraba gajah di ruang gelap.

Karena itu, setiap kali mendapati sesuatu, tidak perlu buru-buru menyimpulkan lalu berkoar-koar. Pahami dulu, endapkan dulu, lakukan klarifikasi dan verifikasi, agar kita benar-benar tahu secara utuh, benar-benar memahami secara penuh. Sebab gajah tidak seperti kipas, tidak seperti tiang, juga tidak seperti ular. Berkoar-koar mengatakan gajah seperti itu bukan hanya keliru, tapi juga menyesatkan orang yang tidak tahu.

Pengetahuan bukan pengetahuan selama belum ada klarifikasi. Keyakinan bukan keyakinan sebelum ada verifikasi.

Karenanya, daripada buru-buru meributkan pengetahuan orang lain, klarifikasi terlebih dulu pengetahuan diri sendiri, karena bisa jadi pengetahuan kita yang keliru. Sebelum menyalahkan keyakinan orang lain, jauh lebih baik mempelajari keyakinan diri sendiri. Jika memang benar, kita bisa bertambah yakin; jika ternyata keliru, kita bisa memperbaiki diri. Dalam pengetahuan maupun keyakinan, itu jauh lebih baik.

Petuah Bocah

Sekelompok bocah bercakap-cakap dengan ekspresi serius sekali, seolah sedang membahas rencana kudeta terhadap pemerintah yang sah.

Setelah sempat bersitegang, seolah memperdebatkan kapan kudeta akan dilaksanakan, salah satu bocah mengatakan, “Aku wis ngomong, nang dunyo iki ora ono sing ngalahke mbakyuku.”

Bocah-bocah lain tampak bengong, seolah baru mendengar kebenaran paling mencerahkan di alam semesta.

Noffret’s Note: Sakit Kepala

Cuaca sepertinya sedang tidak bersahabat. Seperti kepalaku.

Gara-gara kepala sangat berat, semalam suntuk cuma menikmati lagu-lagu Uk's. Sambil meremas guling.

Kurindu sentuhanmu sehangat api
Kudamba belaianmu bagai salju
Selimutilah aku dengan kasih
Gelisah aku tanpamu


Ya Tuhan, ngefans banget sama suara Amir.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 9 Februari 2018.

Minggu, 18 Februari 2018

Steve Vai dan Imam Syafii

Setiap orang adalah murid, setiap orang adalah guru.
Kita belajar, dan mengajar, setiap waktu.
@noffret


Di antara Steve Vai dan Joe Satriani, siapakah yang lebih hebat?

Oh, jangan! Jangan jawab pertanyaan itu.

Ada banyak orang yang berantem bahkan bermusuhan, hanya karena memperdebatkan siapa yang lebih hebat antara Steve Vai dan Joe Satriani. Masing-masing superstar itu memiliki penggemar fanatik, nyaris menyerupai pemujaan dalam sekte, dan keyakinan mereka bisa terluka jika kita menunjukkan pendapat berbeda.

Penggemar Steve Vai bisa ngamuk kalau mendengarmu mengatakan Joe Satriani lebih hebat, sama halnya penggemar Joe Satriani bisa menggamparmu kalau kau mengatakan Steve Vai lebih hebat. Kapan pun orang bertanya kepadamu, manakah yang lebih hebat di antara dua orang itu, jawab saja semuanya hebat, dan usahakan jangan pernah memancing debat.

Seperti kita tahu, Steve Vai dan Joe Satriani adalah dua gitaris top dunia, di antara gitaris-gitaris hebat lain. Kalau kita mempelajari kehidupan pribadi mereka, Steve Vai maupun Joe Satriani bukan hanya hebat sebagai gitaris, namun juga sebagai individu. Atau, mari sebut, sebagai manusia.

Berdasarkan “garis silsilah” yang telah diakui sahih oleh siapa pun, Steve Vai adalah murid Joe Satriani. Istilah “murid” di sini dalam arti sebenarnya, bahwa Steve Vai memang berguru kepada Joe Satriani, khususnya dalam hal gitar. Steve Vai mengakui kenyataan itu, bahkan ia mengakuinya secara bangga. Di berbagai kesempatan, Steve Vai sering menyatakan, “Selama Joe Satriani masih ada, saya tidak akan kehilangan inspirasi.”

Kebanggaan serta kecintaan Steve Vai kepada Joe Satriani mencerminkan hubungan antara murid dan guru yang benar-benar istimewa. Meski telah dikenal sebagai superstar, Steve Vai tetap menempatkan gurunya di posisi yang layak, dan dia menunjukkan sikap hormatnya yang tulus sebagaimana seorang murid. Di sisi lain, Joe Satriani memperlakukan Steve Vai dengan sama layak, dengan sikap hormat yang sama, meski Steve Vai adalah muridnya.

Murid Joe Satriani lain, yang juga sangat menghormati sang guru, adalah Kirk Hammett, gitaris Metallica, yang mampu memasukkan melodi-melodi indah di tengah gebukan gila Lars Ulrich dan teriakan James Hetfield.

Dunia mengakui Kirk Hammett gitaris hebat. Fakta bahwa Metallica tumbuh besar bersamanya, menunjukkan dengan jelas bagaimana pengaruh Hammett di grup tersebut. Sama seperti Steve Vai, Kirk Hammett juga murid Joe Satriani. Dan sama seperti Steve Vai, Kirk Hammett sangat menghormati dan mencintai gurunya. Sebegitu cinta, sampai dia melukis wajah sang guru di badan gitarnya. Kapan pun kita menyaksikan Metallica, saat itu juga kita menyaksikan wajah Joe Satriani di gitar Hammett. Itu bentuk penghargaan seorang murid kepada gurunya.

Menyaksikan Steve Vai dan Kirk Hammett telah menjadi orang-orang hebat di dunia musik, apakah Joe Satriani menepuk dada, dan membanggakan dirinya karena telah menjadi guru mereka?

Tidak.

Setiap membicarakan Steve Vai, Kirk Hammett, atau murid-muridnya yang lain, Joe Satriani mengatakan, “Saya hanya membantu mengeluarkan potensi yang mereka miliki. Kehebatan mereka, tentu saja, milik mereka sendiri.”

Padahal, kalau ada orang yang berhak membanggakan diri, Joe Satriani pasti salah satunya. Dia telah menjadi guru para superstar yang dikagumi dunia! Siapa yang tidak bangga? Tapi Joe Satriani benar-benar guru yang sejati. Dia tidak mengklaim kehebatan murid-muridnya karena didikannya, melainkan karena murid-muridnya memang hebat, dan dia hanya sekadar “membantu sang murid mengenali kehebatannya sendiri”. Kalau saja Joe Satriani seorang sufi, mungkin orang-orang akan menyebutnya wali.

Kehebatan pribadi itu tampaknya juga menurun pada murid-murid Joe Satriani. Mereka sama-sama menjadi superstar yang rendah hati. Salah satu kisah tentang ini, yang asyik diceritakan, adalah kisah ketika Steve Vai bertemu superstar lain, yang menjadi penggemar beratnya.

Di Brasil, ada gitaris terkenal, bernama Patrick Souza. Tak jauh beda dengan Steve Vai, Patrick Souza juga memiliki banyak penggemar. Diam-diam, Steve Vai tahu, Patrick Souza sangat memuja dirinya. Sebegitu besar kekaguman Patrick Souza kepada Steve Vai, hingga gitaris Brasil itu sangat sering memainkan melodi Steve Vai saat manggung.

Di YouTube, khususnya sebelum terkenal, Patrick Souza pernah memiliki akun yang memamerkan kemahirannya bermain gitar, dan nama akun miliknya adalah... MrPatrickVai.

Suatu hari, Steve Vai datang ke Brasil untuk suatu acara workshop. Kedatangan Steve Vai ke Brasil tidak disia-siakan oleh Patrick Souza. Dia datang ke acara workshop, demi bisa melihat langsung sang legenda gitar tersebut. Di tengah acara, orang-orang meminta agar Steve Vai dan Patrick Souza duel di atas panggung. Tentu saja duel dalam bermain gitar.

Patrick Souza bersemangat, dan Steve Vai menyambutnya. Dua gitaris hebat itu pun mulai memainkan gitar di atas panggung, dengan disaksikan banyak orang.

Patrick Souza sangat berbakat dalam bermain gitar, dia bahkan salah satu gitaris paling berbakat di Brasil. Tapi Steve Vai tahu, permainan gitar Patrick Souza sangat terpengaruh permainannya, karena kenyataannya Patrick Souza penggemar berat Steve Vai. Ketika mereka berduel di atas panggung, Steve Vai seperti menghadapi dirinya sendiri dalam versi junior, dan dia bisa dengan mudah mengalahkan permainan Patrick Souza.

Tetapi, di situlah kehebatan Steve Vai terlihat.

Alih-alih menunjukkan kehebatan dirinya sendiri, dan mengalahkan Patrick Souza di depan orang banyak, Steve Vai justru “mengalah”. Dia membiarkan Patrick Souza tampak lebih hebat dan mempesona penonton di sana, bahkan membiarkan orang-orang mengira kalau dia kalah berduel dengan Patrick Souza.

Sama seperti gurunya yang rendah hati, Steve Vai lebih memilih menghormati penggemarnya, daripada mengalahkannya. Jadi, ketika orang-orang di sana bertepuk tangan meriah untuk Patrick Souza, Steve Vai tersenyum hangat dan ikut memuji permainan Patrick Souza.

....
....

Setiap kali menyaksikan Joe Satriani dan Steve Vai, saya selalu teringat pada Imam Malik dan Imam Syafii. Dua orang itu sama-sama hebat dan mengagumkan, bahkan menjadi imam mazhab tersendiri. Tetapi, kita tahu, Imam Malik adalah guru Imam Syafii. Sang guru sangat mengasihi muridnya, dan sang murid sangat menghormati gurunya. Keteladanan, sifat, dan kehidupan Imam Malik pun benar-benar menurun pada diri Imam Syafii.

Imam Malik tentu saja tidak pernah mengklaim bahwa kehebatan Imam Syafii karena hasil didikannya. Seperti Joe Satriani, Imam Malik menganggap posisinya sebagai guru hanyalah “membantu mengeluarkan potensi dan kehebatan sang murid”. Sementara Imam Syafii, yang sangat menghormati dan mencintai gurunya, menyadari betapa besar pengaruh sang guru dalam dirinya, hingga ia ingin selalu berdekatan dengan sang guru, sampai Imam Malik akhirnya wafat.

Dunia membutuhkan sosok-sosok guru seperti Imam Malik atau Joe Satriani, yang mendidik murid-muridnya dengan cinta kasih, yang menyadari bahwa murid-muridnya menyimpan kehebatan tersendiri, yang memahami bahwa tugasnya sebagai guru hanyalah “membantu mengeluarkan potensi dan kehebatan sang murid”.

Dunia juga membutuhkan sosok-sosok murid seperti Imam Syafii atau Steve Vai, yang mengikuti guru-guru mereka dengan sepenuh cinta dan kepercayaan, yang meneladani hal-hal baik dari sang guru—dalam kehebatan maupun kepribadian—dan yang mengasihi serta menghormati sang guru sebagai teladan sepanjang hayat.

Dari São Paulo ke Jakarta

Munculnya helikopter sebagai sarana transportasi baru di Jakarta mungkin terkesan hebat. Tapi sebenarnya juga mengkhawatirkan. Karena bisa jadi Jakarta akan jauh lebih buruk dibanding sekarang, baik dalam kemacetan maupun kekacauan. Kisah ini persis dengan São Paulo di Brasil.

Yang pernah ke São Paulo tentu tahu bagaimana kacaunya kota itu. Kekacauan tidak hanya terjadi di jalan darat, tapi juga di udara. Di darat, kemacetan terjadi sangat parah. Di udara, helikopter memenuhi langit. Dan itu terjadi setiap hari. Awal mulanya persis seperti Jakarta.

São Paulo terkenal sebagai kota terbesar, termaju, dan paling modern di Brasil. Tapi São Paulo juga terkenal sebagai Kota Paling Umbrus di Dunia. Bayangkan kekacauan sepuluh Jakarta digabung jadi satu, dan itulah São Paulo. Macet parah sepanjang 150 KM adalah hal biasa di sana.

Mengapa São Paulo bisa sedemikian kacau? Tata kota yang buruk. Orang-orang kaya dibawa ke pusat kota, orang-orang miskin dan menengah dipinggirkan. Padahal, kalangan miskin dan menengah bekerja di pusat kota. Hasilnya, setiap pagi dan sore adalah kemacetan parah. Persis Jakarta.

Saat ini, São Paulo memiliki armada pesawat helikopter terbanyak per kapita. Hebat, huh? Tidak! Karena bahkan di udara pun, helikopter-helikopter itu terjebak macet, persis di jalan darat! Kehebatan macam apa yang membuat orang ditikam stres setiap hari, dan tak bisa apa-apa?


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 6 Desember 2017.

Noffret’s Note: RUUKUHP

Sebuah petisi di http://change.org mengungkap bahwa yang berpotensi
dikriminalisasi KUHP baru bukan hanya kelompok LGBT, tapi juga perempuan, 
korban perkosaan, anak, pasangan adat, pasangan nikah siri, poligami, dan
masyarakat pada umumnya. http://bbc.in/2BDLpRR
@BBCIndonesia


 Orang-orang yang ngotot mengusulkan RUUKUHP itu apa tidak pernah memikirkan bahwa keluarga mereka, atau bahkan diri mereka sendiri, bisa menjadi korban?

Musuh kebenaran memang bukan dosa atau kesalahan, tapi kedangkalan pikiran dan keangkuhan menganggap diri pasti benar.

....

Orang bodoh bisa diberi tahu, orang tersesat bisa disadarkan. Tapi orang yang pikirannya dangkal dan merasa paling benar, itulah sesungguhnya kebodohan yang paling sesat.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 30 Januari 2018.
 
Rabu, 14 Februari 2018

Cinta yang Dewasa

Jatuh cinta adalah pertarungan hati dan logika.
@noffret 


Apa perbedaan cinta pada remaja, dan cinta pada orang dewasa? Atau, lebih spesifik, apa perbedaan jatuh cinta pada remaja, dan jatuh cinta pada orang dewasa?

Bagi saya, setidaknya, cinta pada remaja adalah cinta yang tak terkendali, karena pada masa remaja semuanya masih “blur”—ketika pikiran belum matang, akal belum seratus persen waras, dan hati masih sangat menguasai. Itulah kenapa, cinta pada remaja disebut cinta monyet. Yaitu cinta yang belum matang, karena akal belum berkembang.

Berbeda dengan orang dewasa. Ketika jatuh cinta, orang dewasa—khususnya orang dewasa yang waras—bisa menakar dengan akal sehat, apakah cinta yang ia rasakan masuk akal atau tidak. Setelah itu, orang dewasa bisa memutuskan langkah selanjutnya dengan pertimbangan matang, karena dia tidak hanya bisa mengendalikan hatinya sendiri, namun juga bisa menggunakan akalnya.

Jika narasi di atas masih membingungkan, mari gunakan contoh nyata.

Di Twitter, saya pernah mendapati seorang cowok yang tampaknya cinta mati pada Melody JKT48. Setiap kali Melody menulis tweet, cowok itu akan menyambar dengan tumpukan mention yang berisi curahan hatinya. Tidak main-main, cowok itu bahkan mengatakan secara jujur dan blak-blakan, bahwa dia sangat jatuh cinta pada Melody, ingin melamarnya, ingin menjadikan Melody sebagai istrinya, dan lain-lain.

Cowok itu tidak bermaksud bercanda, dia benar-benar serius!

Bagi orang dewasa, yang dilakukan cowok itu mungkin tampak konyol. Tapi apakah cowok itu sadar bahwa perbuatannya konyol? Tidak!

Kenapa cowok itu tidak sadar kalau perbuatannya konyol? Karena memang begitulah remaja! Akalnya belum seratus persen waras, dan dia masih sangat dikuasai hati atau perasaannya sendiri. Dalam kalimat yang mudah, logikanya belum berkembang. Dia belum bisa menakar secara logis, apakah Melody akan jatuh cinta kepadanya sebagaimana dia jatuh cinta pada Melody. Yang ia tahu hanyalah jatuh cinta pada Melody, dan persetan dengan akal sehat!

Diakui atau tidak, kita pun dulu (mungkin) pernah mengalami hal semacam itu, ketika masih remaja. Ketika kita menganggap dan menilai diri secara tidak realistis, lalu jatuh cinta dengan sama tidak realistis. Tidak apa-apa, namanya juga masih remaja. Setelah usia bertambah, akal semakin waras, logika mulai jalan, orang akan lebih mampu menatap kehidupan—dan hal-hal di luar dirinya—secara lebih baik.

Saat orang makin dewasa, cara dia jatuh cinta akan mulai berubah. Biasanya, semakin dewasa seseorang, semakin berubah pula caranya jatuh cinta.

Di masa lalu, misalnya, saya mungkin akan tertantang kalau jatuh cinta pada seorang perempuan, dan dia tampak jinak-jinak keparat merpati. Dia mungkin bermaksud agar saya mengejar-ngejarnya. Setelah saya lelah dan hampir mampus mengejar-ngejar, dia baru akan menerima saya.

Di masa lalu, saya mungkin memang akan tertantang, dan benar-benar akan mengejarnya. Sekarang... saya akan bilang persetan dengannya!

Itu contoh ekstrem bagaimana berubahnya cara seseorang saat jatuh cinta, dan dalam menghadapi perasaan cintanya.

Kenapa bisa ada perubahan semacam itu? Jawabannya itu tadi, pikiran dan hati. Ketika masih remaja, pikiran kita belum banyak berkembang. Hasilnya, hati yang lebih banyak berbicara. Karena pikiran belum berkembang baik, hati pun mendominasi. Akibatnya, ketika melakukan sesuatu, kita lebih terdorong oleh hati. Saat ditantang untuk mengejar-ngejar, kita pun mengejar-ngejar. Karena pikiran belum berperan.

Seiring bertambah usia, dan nalar makin berkembang, kita pun mulai bisa menyeimbangkan hati dan pikiran. Ketika jatuh cinta, kita tidak lagi hanya terdorong oleh hati, tapi juga menakarnya dengan akal sehat. Karena itu pula, kisah cinta remaja dalam film jauh berbeda dengan kisah cinta orang-orang dewasa.

Ada banyak film yang mempertontonkan cowok mengejar-ngejar cewek di sekolahnya. Dan kita senang menyaksikan, karena kisah itu diperankan oleh remaja. Tapi jika film semacam itu diperankan orang dewasa, dengan kehidupan orang-orang dewasa, kita akan menganggapnya konyol. Apa artinya itu? Kita sadar, bahwa cara jatuh cinta antara remaja dan dewasa memang berbeda.

Karenanya pula, kalau kita sudah dewasa, tapi masih berharap menjalani “cinta-cintaan” sebagaimana remaja, artinya nalar dan akal sehat kita tidak/belum berkembang. Dan itu masalah serius, kau tahu. Karena kau bisa saja jatuh cinta pada seseorang yang jelas-jelas tidak akan jatuh cinta kepadamu, lalu kau mengejar-ngejar dia seolah dia akan luluh hanya karena kau mengejar-ngejar. Tolol, juga konyol!

Kini, saat dewasa, akal sehat kita (seharusnya) seimbang dengan perasaan, atau bahkan lebih baik lagi. Ketika jatuh cinta, kita bisa menakar, apakah perasaan kita masuk akal atau tidak? Apakah jatuh cinta yang kita rasakan bisa diteruskan, atau tidak? Itulah fungsi akal sehat, yakni membantu kita berpikir waras, sehingga tidak terjebak dalam hal-hal konyol.

Kalau kalimat itu masih membingungkan, mari gunakan contoh.

Jika saya jatuh cinta pada seorang wanita, hal pertama yang akan saya pikirkan adalah, “Apakah sekiranya dia juga akan jatuh cinta kepadaku, atau tidak?”

Saya akan menilai diri secara objektif, dan menakar kemungkinan secara objektif pula. Jika wanita itu memiliki kemungkinan untuk juga jatuh cinta kepada saya, maka saya akan melanjutkan keinginan, yaitu jatuh cinta kepadanya. Namun, jika jawabannya negatif (wanita itu tidak mungkin jatuh cinta kepada saya), maka saya akan berhenti. Karena melanjutkan usaha juga sia-sia.

Beberapa keparat, yang otaknya di dengkul, mungkin akan berkata, “Ah, cemen lo!”

Mari saya beritahu. Saya pernah jatuh cinta pada Titi Kamal. Iya, Titi Kamal yang itu. Pada masa itu, Titi Kamal belum menikah, jadi saya pikir sah-sah saja kalau jatuh cinta kepadanya. Tetapi, saya juga berpikir, “Apakah mungkin Titi Kamal akan jatuh cinta kepadaku?” Dan akal sehat saya menjawab, “Tidak!” Maka saya pun berhenti, bukan malah mengejar-ngejar Titi Kamal.

Sudah paham yang saya maksudkan? Itulah guna akal sehat!

Kenyataan itu jelas berbeda dengan cowok yang jatuh cinta pada Melody JKT48, yang saya ceritakan di atas. Dia belum mampu berpikir secara dewasa, sehingga dia melakukan sesuatu yang berbeda dengan yang saya lakukan. Dia masih dikuasai hatinya, sementara saya sudah mampu menggunakan akal sehat secara (lebih) baik.

Jadi, itulah hal pertama yang saya pikirkan, ketika jatuh cinta. Yaitu menanyakan pada diri sendiri, “Apakah dia mungkin akan jatuh cinta kepadaku?” Lalu saya akan membiarkan akal sehat (bukan hati) untuk menjawab. Setelah itu, saya akan mengikuti jawaban akal sehat.

Cinta memang berawal dari hati. Tapi kita membutuhkan akal sehat untuk mengelola perasaan cinta yang kita rasa, agar tidak berakhir kecewa dan patah hati.

Andaikan jawaban yang saya terima dari akal sehat mengatakan, bahwa wanita yang membuat saya jatuh cinta juga punya kemungkinan untuk juga jatuh cinta kepada saya, maka saya pun akan melakukan pendekatan. Sampai di sini, juga ada perbedaan antara pendekatan ala remaja dan pendekatan ala dewasa.

Masa remaja adalah “masa pengangguran”, dalam arti mereka belum punya banyak beban, pekerjaan, dan aneka hal yang memberati pikiran. Karena itulah, mereka memiliki banyak waktu luang untuk melakukan perbuatan sia-sia atau hal-hal konyol, semisal mengejar-ngejar sosok pujaan. Atau membuang-buang waktu untuk melamun, membayangkan hal-hal indah tentang cintah.

Tapi orang dewasa tidak bisa lagi melakukan hal-hal semacam itu. Di tengah pekerjaan yang menumpuk, beban pikiran yang menggunung, aneka tagihan yang menjerit setiap bulan, persetan dengan mengejar-ngejar pujaan!

Karenanya, ketika melakukan pendekatan, saya tidak sudi membuang waktu untuk hal-hal sia-sia, semisal harus mengejar-ngejar wanita yang membuat jatuh cinta. Sedikit saja saya merasa dipersulit, saya akan berhenti, dan dia boleh pergi ke neraka.

Wanita kerap berpikir pria adalah makhluk rumit. Tidak! Sebaliknya, pria adalah makhluk yang simpel dan sederhana. Yang menjadikan wanita berpikir pria makhluk rumit, karena wanita sendiri yang terbiasa berpikir rumit!

Ketika saya jatuh cinta pada seorang wanita, misalnya, dan saya pikir dia juga mungkin akan jatuh cinta kepada saya, maka saya akan berpikir, “Aku tertarik kepadamu. Kalau kau juga tertarik kepadaku, mari buat urusan ini menjadi mudah.”

Did you see this? Mudah, simpel, sederhana.

Tapi apakah wanita menyadari betapa mudahnya memahami dan menghadapi pria? Tidak! Alih-alih berpikir sebagaimana pria yang berpikir sederhana, wanita justru berpikir rumit. Alih-alih “membuat urusan menjadi mudah”, mereka justru “membuat urusan menjadi sulit”.

Saya tidak tahu apa yang dipikirkan pria lain, ketika mereka dipersulit wanita yang membuat jatuh cinta. Tetapi, jika saya merasa dipersulit, saya akan berhenti, dan tidak akan buang-buang waktu. Atau, jika saya merasa ditantang (misal ditantang untuk mengejar-ngejar), saya akan balik menantangnya... dengan cara TIDAK MENGEJAR-NGEJARNYA.

Saya seorang bocah, dan saya tidak suka ditantang! Kalau kau mengulurkan tanganmu, saya akan meraihmu. Tapi kalau kau menantang saya, maka saya akan balik menantangmu... dengan cara MELAKUKAN HAL SEBALIKNYA.

Cinta, dalam pikiran remaja, adalah hal-hal tolol yang rumit. Tapi cinta, dalam pikiran orang dewasa, adalah hal-hal sederhana.

Wasiat Churchill

Winston Churchill memimpin Inggris ketika negara itu terjebak dalam krisis dan petaka. Dia hanya tidur 2 jam setiap hari, menghabiskan banyak minuman keras dan merokok puluhan batang per hari. Tidak pernah olahraga, dan setiap hari harus memikirkan keputusan-keputusan penting.

Dengan gaya hidup yang sangat buruk semacam itu, Winston Churchill selalu bugar, tidak pernah sakit, bahkan berumur panjang. Ia meninggal dunia dalam usia 91 tahun. Ketika ditanya apa resep sehat dan panjang umurnya, Churchill menjawab, "Nikmati hidup, dan cintai pekerjaanmu."


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 18 Januari 2018.
 

Rencana Besar

Rencana besar membuatku tenteram.

Sabtu, 10 Februari 2018

Bulu Vagina dan Bulu Lainnya

Satu kata dalam KBBI yang kutahu benar,
tapi tidak pernah kugunakan: Jembut.
@noffret


Saya termasuk generasi yang terdoktrinasi media untuk meyakini bahwa wanita adalah makhluk yang terlahir mulus tanpa bulu. Sejak puber sampai cukup dewasa, saya benar-benar yakin bahwa mulusnya kulit wanita memang “sudah dari sononya”. Bahwa wanita tidak punya bulu kaki atau bulu ketiak, sebagaimana mereka tidak punya kumis dan jenggot.

Di lembar-lembar majalah, kita pasti sering mendapati foto-foto wanita yang begitu mulus, dari ujung rambut sampai ujung kaki. Begitu pula penampilan para wanita di film atau sinetron, atau di acara-acara televisi. Lebih jelas lagi di film bokep. Di film-film JAV, misalnya, kita menyaksikan tubuh wanita seutuhnya, dan, well... mulus. Tidak ada bulu apa pun di tubuh mereka, selain bulu vagina.

Jadi, saya terdoktrin untuk meyakini bahwa seperti itulah wanita. Mulus, bersih, tanpa bulu. Doktrin itu secara tak langsung memberitahu bahwa wanita adalah makhluk yang mulus. Saat dewasa, satu-satunya bulu yang mereka miliki hanya bulu vagina. “Doktrin” itu, sebagaimana umumnya doktrin lain, merasuk ke bawah sadar saya.

Belakangan, seiring pengetahuan makin bertambah, saya mulai tahu bahwa wanita ternyata memiliki bulu kaki, dan mereka harus mencabutnya—menghilangkan bulu-bulu itu—dengan cara yang kadang menyakitkan. Sampai di situ, saya memang terkejut. Tetapi, setidaknya, reaksi saya hanya membatin, “Ooh, ternyata wanita juga punya bulu kaki.”

Yang agak mengerikan, ketika saya tahu bahwa wanita juga punya bulu ketiak. Di suatu majalah, tanpa sengaja, saya mendapati foto-foto wanita yang memamerkan ketiak dengan bulu-bulu lebat. Itu pertama kali saya menyaksikan wanita dengan bulu ketiak. And you know what...? Saya shock, dan tidak doyan makan sampai beberapa hari!

Keterkejutan saya waktu itu sedemikian besar, karena sama sekali tidak tahu, dan tidak menduga. Bahwa wanita punya bulu kaki, saya pikir it’s okay. Tapi bulu ketiak...? Itu sesuatu yang sepertinya sulit diterima akal sehat, akibat doktrinasi yang selama itu saya yakini. Kenyataan bahwa wanita ternyata punya bulu ketiak, seperti realitas yang menampar kesadaran saya dari lena doktrinasi.

Dan itu mengerikan, setidaknya bagi saya.

Butuh waktu lama bagi saya untuk menyadarkan diri sendiri, bahwa ternyata wanita “tidak semulus” seperti yang saya yakini selama ini. Bahwa mereka punya bulu kaki, dan harus mencabutnya. Bahwa mereka juga punya bulu ketiak, dan harus membersihkannya.

Meski kesadaran itu akhirnya hinggap, saya tetap terdoktrin bahwa wanita “seharusnya” mulus. Saya tidak ingin—dan merasa tidak mampu—melihat wanita yang punya bulu kaki, apalagi bulu ketiak. Kapan pun saya tanpa sengaja melihat wanita berbulu ketiak—misal di lembar majalah atau media lain—saya akan spontan memalingkan muka, dan tidak ingin melihat. Karena merasa “tidak mampu” menyaksikan.

Mungkin akan beda cerita, kalau sejak dulu saya telah diberi tahu bahwa wanita tidak semulus seperti yang didoktrinasikan. Bahwa wanita juga punya bulu-bulu tubuh tertentu, dan mereka harus menghilangkannya, demi terlihat mulus. Dengan pengetahuan itu—meski belum pernah melihatnya—mungkin saya tidak akan terlalu shock, saat benar-benar melihat.

Sayangnya, saya telanjur terdoktrinasi, dan ternyata doktrinasi itu keliru. Ketika akhirnya melihat kenyataan sesungguhnya, saya benar-benar shock, sampai tidak doyan makan.

Berkebalikan dengan bulu ketiak—atau bulu kaki—saya juga terdoktrin untuk meyakini bahwa wanita dewasa memiliki bulu vagina. Doktrin itu sedemikian menancap dalam bawah sadar, hingga saya sulit menerima kenyataan wanita dewasa yang vaginanya bersih, tanpa bulu. Omong-omong, KBBI menyebut bulu vagina dengan istilah “jembut”. Yeah, itu maksud saya.

Di film JAV, kita tahu, kadang pemain wanita mencukur habis bulu vaginanya, hingga terlihat mulus dan bersih. Ketika kebetulan menemukan hal itu, saya akan skip bagian tersebut, atau tidak menontonnya. Dalam bayangan saya, vagina yang bersih tanpa bulu adalah vagina anak-anak, dan saya merasa... well, tidak bermoral kalau sampai nafsu pada anak-anak. Bagaimana pun, saya sudah terdoktrin untuk meyakini vagina wanita dewasa punya bulu!

Betapa mengerikan pengaruh doktrin, kalau dipikir-pikir. Padahal, doktrinasi yang saya terima—khususnya terkait bulu di tubuh wanita—hanyalah doktrin yang tersebar lewat media. Majalah, koran, televisi, atau hal lain. Selama bertahun-tahun, sejak kecil sampai cukup dewasa, saya terus menerus dihadapkan pada kenyataan bahwa wanita adalah makhluk yang bersih dan mulus. Tanpa saya sadari, “kenyataan” itu meresap menjadi doktrinasi, hingga saya meyakini sesuatu yang sebenarnya keliru.

Sejujurnya, saya tidak tahu apakah semua wanita pasti memiliki bulu kaki, atau juga bulu ketiak. Maksud saya, bisa jadi hanya sebagian wanita yang “dikaruniai” bulu kaki dan bulu ketiak, dan mereka harus membabatnya sampai bersih, sementara sebagian wanita lain memang murni tidak memiliki bulu di kaki maupun ketiak. Saya tidak tahu pasti soal ini, karena saya bukan wanita.

Yang jelas, akibat doktrinasi yang saya terima selama ini, bagaimana pun saya sulit menerima kenyataan saat melihat wanita berbulu kaki atau berbulu ketiak. Sama halnya saya sulit menerima kenyataan wanita dewasa yang tidak memiliki bulu vagina.

Mungkin yang mengalami “fenomena” semacam ini hanya saya, tapi bisa jadi ada cowok-cowok lain yang juga telanjur terdoktrinasi hal sama. Bagaimana pun, kita sama-sama generasi yang tumbuh dan dibesarkan oleh media. Televisi yang ditonton sejak kecil, koran dan majalah yang dibaca, sampai—belakangan—internet yang memborbardir kehidupan kita. Media-media itulah yang selama ini memberitahu kita tentang hal-hal yang tidak pernah dijelaskan guru di sekolah, atau orang tua kita di rumah.

Kenapa selama ini tidak ada yang pernah memberitahu saya, “Hei, bocah, ketahuilah bahwa sesungguhnya wanita-wanita di sekelilingmu tidak seperti yang kaubayangkan. Tubuh mereka tidak semulus yang didoktrinkan media. Selain memiliki bulu vagina, kaki mereka juga kadang ditumbuhi bulu, begitu pula ketiak mereka. Jadi, kapan pun kau melihat kenyataan itu, jangan terkejut.”

Tidak ada yang memberitahu saya begitu! Padahal itu kenyataan penting. Coba bayangkan kalau misal saya menikah, dan benar-benar belum sadar bahwa wanita punya bulu kaki atau bulu ketiak. Lalu, suatu hari, saya mendapati wanita yang menjadi istri saya sedang membersihkan bulu kaki atau bulu ketiaknya. Kira-kira bagaimana perasaan atau reaksi saya waktu itu?

Saya tidak sanggup membayangkan, karena rasanya terlalu mengerikan. Wong melihat foto wanita di majalah dengan bulu ketiak saja, sudah membuat saya tidak doyan makan.

Berdasarkan uraian yang saya ceritakan, meski parsial, kita melihat bahwa sebenarnya pengetahuan atau pendidikan seks memang penting, dan perlu diajarkan. Tetapi, sayang, setiap kali mendengar “pendidikan seks” sebagian orang langsung mengasumsikan urusan senggama. Padahal, arti “seks” itu “kelamin atau jenis kelamin”, dan bukan “senggama”.

Dengan kata lain, “pendidikan seks” artinya “pendidikan terkait kelamin”, dan bukan “pendidikan tentang senggama”. Kalau gurumu mengajarkan pendidikan seks, dia sedang mendidikmu untuk mengenali dirimu sendiri dan lawan jenismu, dan bukan sedang mengajarimu cara bersenggama! Sialnya, sesuatu yang jelas dan gamblang ini masih sulit dipahami sebagian orang, yang mungkin otaknya cuma berisi urusan senggama.

Jadi, kalau saya ditanya apakah pendidikan seks perlu diajarkan di sekolah? Saya akan menjawab, “Ya, perlu.” Karena saya menyadari bahwa pendidikan seks artinya pendidikan yang mengajarkan hal-hal terkait tubuh kita dan tubuh lawan jenis, untuk lebih mengenali dan memahami. Pendidikan seks bukan berarti mengajari cara berhubungan seks! Kenapa orang-orang dewasa yang suka ngotot itu tidak juga paham?

Anak laki-laki perlu tahu bahwa tubuh lawan jenis tidak semulus seperti yang mungkin mereka bayangkan, agar tidak shock seperti saya. Mungkin itu pengetahuan remeh, sepele, khususnya bagi orang-orang dewasa. Tapi bagi saya, atau bocah-bocah lelaki lain, pengetahuan itu jauh lebih penting daripada mengetahui kapan Columbus melayari samudera. Persetan dengan Columbus! Ngapain juga sekolah bertahun-tahun cuma untuk kenal Columbus?

Karena guru-guru di sekolah tidak mengajarkan hal-hal penting terkait lawan jenis, saya pun mendapatkan pengetahuan tentang itu dari luar sekolah. Lewat majalah yang saya baca, lewat televisi yang saya tonton, juga lewat film yang saya saksikan. Dan sekarang saya memahami, pengetahuan yang saya peroleh dari media-media itu ternyata keliru, sementara saya telanjur meyakini.

Saya telanjur meyakini bahwa wanita tidak punya bulu kaki. Ketika menyadari kenyataan sebaliknya, saya merasa geli. Saya telanjur meyakini wanita tidak punya bulu ketiak. Ketika menyadari realitas sebenarnya, saya tidak doyan makan. Saya telanjur meyakini wanita dewasa memiliki bulu vagina. Ketika menyadari ada wanita yang sengaja menghilangkan bulu vagina mereka, saya tidak bernafsu.

Did you see that...?

Contoh-contoh yang saya paparkan tentu sepele, dan masih tergolong ringan, karena hanya sebatas tampilan luar fisik. Padahal, wanita—dan tentu juga pria—tidak hanya terdiri dari fisik yang tampak, tapi juga psikis yang tak tampak. Jadi, persetan, apa sebenarnya yang kita pelajari di sekolah bertahun-tahun, kalau tentang lawan jenis saja ternyata kita masih tolol?

Anggaran Hidup Sia-sia

Sudah lama aku mengenal istilah atau singkatan AD/ART (anggaran dasar, anggaran rumah tangga). Tetapi, selama waktu-waktu itu, aku tidak punya ketertarikan khusus, karena kupikir itu hal biasa.

Belakangan, ketika mendapati istilah itu entah di mana—aku sudah lupa—tiba-tiba aku tertarik dan punya perhatian khusus. Sepertinya AD/ART adalah sesuatu yang keren, pikirku tiba-tiba.

Sejak itu pula, aku ingin punya AD/ART.

Aku berkata pada diri sendiri, “Kau harus punya AD/ART, karena hidup ini sungguh sia-sia jika kita tidak punya AD/ART.”

....
....

Aku tidak ingin hidupku sia-sia.

“Masih di Bawah Umur”

Masih di bawah umur tapi kawin.

Pecah ndasku.

Senin, 05 Februari 2018

Budak dan Majikan

Aku tidak mau tersenyum karena menjadi raja sehari,
lalu menangis karena menjadi budak sampai mati.
@noffret


Kadang-kadang, kalau pikiran lagi nganggur, saya kepikiran untuk menikah. Biasanya, pikiran semacam itu muncul saat saya punya waktu untuk duduk santai di sofa sambil merokok, dan tidak melakukan apa pun. Karena pikiran sedang menganggur, isinya pun melantur.

Otak atau pikiran kita tidak jauh beda dengan fisik atau tubuh—menyukai hal-hal menyenangkan. Makan enak apalagi banyak itu menyenangkan, tidur atau malas-malasan itu menyenangkan, dan tubuh kita menyukai. Sebaliknya, puasa atau jarang makan jelas tidak menyenangkan, olah raga juga tidak menyenangkan, dan tubuh kita tidak suka. Padahal, yang disukai tubuh bisa merusak, dan yang dibenci tubuh justru menyehatkan.

Begitu pula otak dan pikiran kita. Membayangkan punya pasangan itu menyenangkan, dan pikiran kita suka. Membayangkan menikah itu menyenangkan, dan pikiran kita suka. Sebaliknya, membayangkan visi hidup itu taik kucing dan tampak buram. Sementara memilih melajang adalah pilihan absurd orang tak waras yang mendatangkan gunjingan. Dan sama seperti tubuh, yang disukai pikiran kadang merusak, dan yang dibenci pikiran bisa menyehatkan.

Saya telah menyadari kenyataan itu sejak lama sekali, meski—sebelum ini—tidak pernah mengatakannya kepada siapa pun. Karena percuma, dan bisa jadi orang akan menganggap saya gila.

Kita sangat suka makan, dan tubuh kita juga sangat suka. Apalagi makan enak, dalam jumlah banyak. Semua orang suka makan! Padahal, banyak makan adalah cara cepat untuk mati. Sebaliknya, cara terbaik untuk menjaga kesehatan sekaligus berumur panjang adalah dengan mengurangi makan. Semakin sedikit yang kita makan, semakin baik tubuh kita.

Ini serius! Di dunia ini, jauh lebih banyak orang sakit dan mati karena kebanyakan makan, daripada yang kurang makan. Kenyataan ini bahkan salah satu pengetahuan kuno yang telah ditulis Hippocrates di lembar papirus, sekian ribu tahun yang lalu, dan kebenarannya tetap abadi hingga hari ini.

Ada banyak orang mati karena kelaparan, tapi jauh lebih banyak orang mati karena terlalu banyak makan. Tanyakan pada ahli kesehatan mana pun, dan mereka akan membenarkan kenyataan itu!

Begitu pula banyak tidur dan malas-malasan. Kita suka, dan tubuh kita juga suka. Tetapi, kita tahu, itu bukan hal baik untuk dibiasakan. Karena meski tampak menyenangkan, tapi sebenarnya merusak. Karenanya, kita perlu bersikap keras pada tubuh kita sendiri, agar tubuh tidak memperbudak kita untuk terus makan, terus tidur, dan terus malas-malasan.

Nah, pikiran kita tidak jauh beda dengan itu. Pikiran menyukai hal-hal menyenangkan—pacaran, punya pasangan, dan semacamnya. Sebaliknya, pikiran kita membenci aktivitas belajar, karena berat. Pikiran kita membenci untuk fokus dan konsentrasi pada hal-hal serius, karena membosankan. Pikiran kita juga membenci memikirkan hal-hal berat, karena bikin pusing. Sama seperti olah raga atau puasa yang dibenci tubuh kita, pikiran juga membenci hal-hal berat.

Tetapi, jika kita tidak mau mengendalikan pikiran, maka kitalah yang akan dikendalikannya. Sama seperti tubuh. Kalau kita tidak mau bangkit dari tempat tidur, tubuh ingin tetap tidur dan malas-malasan.

Karenanya, di dunia ini ada orang-orang yang menjadi budak pikirannya, dan ada orang-orang yang menjadi majikan pikirannya. Yang menjadi budak pikiran akan terus melayani apa yang diinginkan pikiran. Sedangkan yang menjadi majikan pikiran akan menggunakan pikiran untuk mewujudkan keinginannya.

Sekali lagi, sama seperti tubuh. Kita bisa bersikap keras pada tubuh, hingga tubuh kita memiliki kemampuan untuk mewujudkan keinginan kita—bekerja keras, tidak malas-malasan, dan terus aktif. Sebaliknya, kalau kita tidak bersikap keras, kita yang menjadi budak tubuh—maunya cuma tidur, malas-malasan, lalu makan enak. Hasilnya, tubuh mengalami obesitas, malas bergerak, dan rentan penyakit.

Kalau saya mau tunduk dan mengikuti pikiran, mungkin sejak dulu sudah menikah. Karena pikiran saya—sebagaimana umumnya pikiran orang lain—juga senang membayangkan hal-hal yang tampak indah seperti menikah, punya pasangan, dan semacamnya. Tetapi, lalu saya menyadari, bukan saya yang harus mengikuti keinginan pikiran, tapi pikiranlah yang harus mengikuti keinginan saya!

Jika saya mengalah dan mengikuti apa mau pikiran, saya menjadi budaknya. Sebaliknya, jika saya bersikap keras, pikiranlah yang menjadi budak saya. Karena dia budak saya, dia harus mewujudkan apa pun yang saya inginkan, bukan saya yang harus repot-repot memenuhi keinginannya. Dan, kau tahu, saya senang menjadi majikan pikiran saya. Oh, well, pikiran adalah budak yang baik!

Pikiran adalah budak yang baik, tetapi majikan yang buruk. Sebegitu penting kenyataan ini, hingga saya ingin mengulangi dengan cetakan tebal. Pikiran adalah budak yang baik, tetapi majikan yang buruk.

Jika kita membiarkan pikiran berkuasa, dan menjadi majikan, kita akan menjadi budaknya. Dan pikiran adalah majikan yang buruk, bahkan kejam. Dia tidak peduli nasib kita. Meski kita harus terseret-seret menjalani hidup, pikiran yang telah menjadi majikan tidak peduli. Sampai kita mati. Karena kita telah menjadi budaknya, dia punya kuasa penuh atas diri kita.

Saya bisa memberi contoh nyata mengenai hal ini, yang sangat dekat dan jelas dalam kehidupan kita. Tetapi, terus terang, saya segan. Karena contoh menyangkut hal ini bisa menyinggung atau bahkan melukai perasaan banyak orang.

Di sekeliling kita, ada banyak orang yang menjadi budak pikirannya sendiri. Tapi mereka tak menyadari. Mereka mengira sedang menjalani hidup sebagaimana mestinya, meski sebenarnya mereka telah menjadi budak pikirannya sendiri. Dan mereka akan terus menjadi budak... sampai mati.

Karena pikiran adalah majikan yang buruk, sekaligus kejam.

Sebaliknya, pikiran adalah budak yang baik. Karenanya, satu-satunya cara aman menjalani hidup bersama pikiran adalah menjadikannya sebagai budak, bukan menjadikannya sebagai majikan. Dan cara untuk menjadikan pikiran sebagai budak adalah dengan bersikap tegas dan keras kepadanya. Sekali dia menjadi budak kita, selamanya dia akan patuh... dan membantu mewujudkan apa pun yang kita inginkan. Begitu pula sebaliknya.

Tentu saja hal semacam itu membutuhkan proses—yang bisa bertahun-tahun—dan jelas tidak mudah. Kalau mudah, siapa pun bisa! Dan karena tidak mudah pula, banyak orang yang tidak mau melakukan.

Saat orang-orang lain tidur lelap, dan kita masih terjaga—belajar, atau bekerja—tentu sangat berat. Kalau mau menuruti pikiran, kita tentu juga ingin tidur. Membayangkan meringkuk di spingbed sambil mendekap guling rasanya indah sekali.

Saat teman-teman asyik nongkrong di kafe, dan kita masih sibuk belajar atau bekerja, tentu sangat berat. Kalau mau menuruti pikiran, kita tentu ingin ikut nongkrong di kafe. Membayangkan capuccino rasanya menyegarkan sekali.

Saat orang-orang khusyuk menonton televisi, dan kita sibuk belajar atau bekerja, tentu sangat berat. Kalau mau menuruti pikiran, kita tentu ingin ikut memelototi televisi. Sambil ngemil dan menyelonjorkan kaki. Oh, well, nikmat sekali.

Begitulah cara pikiran menggoda kita, agar mau menjadi budaknya. Perlahan-lahan... sejengkal demi sejengkal, sehasta demi sehasta, hingga kita kemudian terperangkap menjadi budaknya, dan tak bisa lagi keluar. Setelah itu terjadi, disadari atau tidak, kita akan terus diperbudak.

Sebaliknya, jika kita mau bersikap tegas dan keras, pikiran akan tunduk.

Saat pikiran menggoda untuk bermalas-malasan, kita menolak, dan tetap belajar. Saat pikiran menggoda untuk nongkrong tanpa manfaat, kita menolak, dan terus bekerja. Saat pikiran menggoda untuk menonton televisi, kita menolak, dan tetap melanjutkan aktivitas yang lebih produktif. Lama-lama, pikiran akan tunduk pada kemauan kita, persis seperti kita yang lama-lama bisa tunduk pada kemauan pikiran.

Jika pikiran telah tunduk pada kemauan kita, dia akan menjadi budak kita. Dan, setelah itu terjadi, dia yang akan bekerja keras mewujudkan keinginan kita, bukan kita yang harus menuruti keinginannya. Karena pikiran adalah budak yang baik, tapi majikan yang buruk. Sekarang, kita mulai paham, kenapa di dunia ini ada pemenang dan ada pecundang.

Kisah klasik tentang Thomas Edison mungkin terdengar membosankan kalau kembali diceritakan. Tapi kita masih bisa belajar kepadanya. Saat berusaha menciptakan lampu pijar, Thomas Edison harus mengalami kegagalan sampai seribu kali. Jika dia mengikuti pikirannya, dia pasti sudah berhenti. Dan dunia tidak akan menyalahkannya. Wong sudah gagal seribu kali. Wajar kalau dia berhenti, dan itu sangat manusiawi.

Tapi Edison tidak mau diperbudak pikirannya. Alih-alih mengikuti pikirannya untuk berhenti, dia bersikap tegas—melanjutkan penelitian. Hasilnya, dia berhasil menemukan yang ia cari, dan dunia terang benderang oleh lampu pijar. Karena Edison tidak mau kalah oleh pikirannya, maka pikirannya yang kalah. Karena Edison tidak mau menjadi budak pikirannya, maka pikirannya yang menjadi budak. Setelah pikiran menjadi budak, dia membantu Edison.

Sekali lagi, kita mulai paham, kenapa di dunia ini ada pemenang dan ada pecundang.

Para pemenang tidak mengalahkan siapa pun, karena yang ia kalahkan adalah dirinya sendiri. Begitu pula, para pecundang tidak dikalahkan siapa pun, karena ia dikalahkan dirinya sendiri. Para pemenang adalah majikan pikirannya, sementara para pecundang adalah budak pikirannya. Saat pikiran menjadi majikan, dia kejam kepada kita. Sebaliknya, saat pikiran menjadi budak, dia akan membantu kita.

Setiap orang diberi hak untuk memilih. Menjadi majikan bagi pikirannya, atau menjadi budak pikirannya. Menjadi pemenang, atau menjadi pecundang. Karena hidup, kenyataannya, adalah soal pilihan.

Soliloquy

“Kalau aku bisa sepertimu, aku pasti sudah menikah.”

“Kalau kau bisa sepertiku, kau akan punya banyak hal untuk dipikirkan dan dilakukan selain menikah.”

Kadang-kadang Aku Ingin Kawin

Killing is like marriage, fun at first
until you realize what you've done.
Zodiac Killer


Kadang-kadang aku ingin kawin, lalu menyesal diam-diam, tapi sok bahagia. Biar seperti orang-orang normal.

Kadang-kadang aku ingin kawin, lalu cengengesan sambil mengejek orang-orang lain yang belum kawin. Biar seperti orang-orang normal.

Kadang-kadang aku ingin kawin, lalu merasa tertipu, tapi sok pamer seolah aku sangat bahagia karena kawin. Biar seperti orang-orang normal.


*) Ditranskrip dari timeline‏ @noffret, 2 April 2016

Kamis, 01 Februari 2018

Tak Henti, Meski Tertatih

Bagi diri setiap orang, hidup adalah putaran nasib.
Bagi kehidupan yang luas, hidup adalah putaran sejarah.
@noffret


“Ini akan menjadi saat yang sangat penting,” ujar Jim Redmond kepada anaknya, Derek Redmond. Mereka ada di Barcelona, dan Derek Redmond akan mengikuti lomba lari dalam Olimpiade.

Waktu itu, Derek Redmond berusia 27, dan dikenal sebagai atlet lari asal Inggris. Ia pemegang rekor nasional Inggris untuk lari 400 meter, memenangkan medali emas untuk lari estafet 4x400 meter pada Kejuaraan Dunia, Kejuaraan Eropa, dan Pekan Olahraga Antarnegara Commonwealth. Pada Olimpiade Barcelona 1992, dia pun diyakini banyak orang sebagai kandidat juara lari 400 meter.

Bersama ayahnya, Derek Redmond pergi ke Barcelona, seperti yang biasa mereka lakukan. Sang ayah selalu menemani anaknya, setiap kali sang anak terjun ke berbagai kompetisi. Mereka partner yang hebat, dan Derek Redmond menganggap kehadiran ayahnya sebagai penyemangat.

Karier Derek Redmond di bidang olahraga sudah tampak menonjol sejak berusia 19. Pada usia itu, ia telah memecahkan rekor 400 meter dalam lomba lari di Eropa, dengan waktu 44,50 detik. Untuk mencapai prestasi itu, Derek Redmond harus melaluinya dengan berbagai latihan keras, hingga cedera serius berkali-kali. Tetapi, yang jelas, prestasinya menjadikan ia sulit dikalahkan siapa pun.

Sebelumnya, pada 1988, Derek Redmond telah mengikuti Olimpiade, yang waktu itu diadakan di Korea. Namun, sebelum sempat bertanding, dia mengalami cedera parah, sehingga tidak bisa turun ke lapangan. Karenanya, ketika akhirnya bisa datang ke Olimpiade di Barcelona, Derek Redmond bertekad untuk mewujudkan impiannya mendapatkan medali Olimpiade.

Bersama tujuh pelari lain, Derek Redmond telah bersiap di garis start. Waktu itu, stadion sangat penuh, dengan 65.000 orang yang bersiap menyaksikan pertandingan. Diam-diam, Derek Redmond membatin, “Tak peduli seburuk apa pun perlombaan ini, aku akan menyelesaikannya sampai garis finish.”

Suara pistol meletus, menandai lomba dimulai, dan delapan pelari melesat meninggalkan garis start. Mereka beradu cepat demi membuktikan siapa yang terbaik di lari cepat 400 meter Olimpiade Barcelona 1992. Derek Redmond berada di lintasan ke lima. Para pengamat dan sebagian besar penonton menjagokannya.

Latihan keras yang dijalani sebelumnya menjadikan Derek Redmond mampu mengungguli lawan-lawannya dengan mudah. Dengan cepat, dia sudah memimpin di depan, hingga mencapai garis 225 meter. Tinggal 175 meter lagi, dan dia akan mencapai garis finish untuk menjadi juara, dan medali Olimpiade akan ada di tangannya.

Tetapi... tepat saat bayangan indah tentang medali itu hinggap di angannya, Derek Redmond merasakan kaki kirinya sakit luar biasa. Sebagai atlet, dia tahu kakinya mengalami cedera, dan larinya pun melambat, hingga kemudian terjatuh. Tubuhnya rebah ke tanah, saat satu kakinya tak mampu lagi menopang. Dia memegangi kakinya dengan raut wajah kesakitan.

Para penonton di stadion terdiam, tercekam. Tim medis segera turun, mendekati Derek Redmond. Beberapa saat, Derek tampak memegangi paha belakangnya, sembari menahan sakit. Penonton memastikan Derek Redmond gagal menyelesaikan lomba.

Tim medis menyiapkan tandu, bersiap membawa Derek Redmond dari sana, untuk mendapatkan pertolongan medis. Tetapi, tiba-tiba, Derek Redmond bangkit dan berkata, “Aku akan meneruskan lomba.”

Melihat penderitaan yang tampak pada Derek Redmond, tim medis mencoba menghalangi, tapi atlet itu tak bisa dihentikan. Dengan susah payah, terpincang-pincang, dia mencoba melanjutkan lari, menuju garis finish. Kali ini, sebenarnya, dia bukan berlari, tapi melompat dengan satu kaki, karena kaki kirinya tak mampu lagi menopang tubuhnya.

Penonton di stadion terpana.

Tiba-tiba, dari arah tribun penonton, seorang lelaki melompat meninggalkan kursinya. Ia berlari memasuki lintasan lomba, dan mendekati Derek Redmond. Para petugas keamanan mencoba menghalangi, tapi lelaki itu tak bisa dihentikan. “Itu anakku, dan aku akan menolongnya!” teriak Jim, ayah Derek Redmond, kepada orang-orang yang menghalanginya.

Jim Redmond masuk ke lapangan, mendekati anaknya yang masih tertatih-tatih. Derek Redmond, yang mendapati ayahnya di lapangan, segera memeluk pundak sang ayah, dan menangis, menyesali yang telah terjadi, cedera yang ia alami.

“Kau tak bisa meneruskan lomba ini,” ujar Jim pada anaknya.

“Ya,” ujar Derek Redmond, “aku akan meneruskan lomba ini.”

Melihat tekad di mata anaknya, Jim akhirnya berkata, “Kalau begitu, mari kita lakukan bersama.”

Jim merangkul dan memapah anaknya yang terpincang-pincang, dan mereka berdua melangkah tertatih menuju ke garis finish. Sepanjang 150 meter mereka berangkulan—ayah dan anak—tertatih di lintasan lomba lari Olimpiade Barcelona.

Penonton di stadion terdiam.

Akhirnya, ketika garis finish tinggal beberapa langkah lagi, Jim melepaskan anaknya, dan berbisik, “Kau harus menyelesaikannya sendiri.”

Derek Redmond melanjutkan langkahnya, sendirian, tertatih, terluka, kesakitan, tapi tak bisa dihentikan.

Seluruh stadion tercekam, hening.

Akhirnya, setelah detik-detik paling menegangkan lewat, Derek Redmond sampai di garis finish. Seusai dia menyelesaikan lomba itu, tubuhnya terhuyung, tak mampu lagi berdiri, tapi sang ayah segera merengkuhnya.

Enam puluh lima ribu penonton di stadion Barcelona berdiri, dan bersorak, bertepuk panjang... sangat panjang, bersama isak tangis sebagian dari mereka. Itu pemandangan paling memukau yang pernah terjadi di stadion Barcelona, dan kelak menjadi salah satu peristiwa yang tak pernah dilupakan. Adegan ayah dan anak itu kini seolah lebih penting daripada siapa pemenang lomba lari waktu itu.

Derek Redmond tidak mendapatkan medali Olimpiade, tentu saja, bahkan dia didiskualifikasi dari perlombaan. Tetapi, ayahnya berkata, “Aku ayah paling bangga sedunia! Aku lebih bangga kepadanya sekarang, daripada jika dia mendapatkan medali emas.”

Dua tahun usai Olimpiade Barcelona, dokter bedah yang merawat Derek Redmond menyatakan bahwa Derek tidak akan bisa lagi mewakili negaranya dalam perlombaan olahraga.

Tapi Derek Redmond tampaknya tak bisa dihentikan. Setelah tak bisa lagi aktif dalam lomba lari, dia menekuni dunia basket, hingga menjadi bagian dari timnas basket Inggris Raya. Sejak itu, dunia mengenal Derek Redmond sebagai pebasket Inggris. Dan seperti sebelumnya, Derek Redmond tak bisa dihentikan... karena dia memang tak ingin berhenti, meski tertatih.

Pacaran itu Mainstream

Seorang lelaki berjenggot bertanya kepada saya, “Apakah Anda setuju konsep pacaran?”

“Tentu saja tidak!” jawab saya mantap. “Bagaimana bisa kita menyetujui konsep pacaran?”

Dia tampak berbinar. “Ah, sepertinya kita punya pikiran yang sama. Kalau boleh tahu, kenapa Anda tidak setuju konsep pacaran?”

“Karena pacaran itu mainstream—oh, well, terlalu mainstream.”

Sambil mengerutkan kening, lelaki berjenggot menanyakan, “Uhm... maksudnya mainstream bagaimana?”

“Anda tahu, orang-orang punya pacar—itu biasa, karena mereka orang-orang biasa. Orang-orang juga pacaran—itu biasa, karena mereka orang-orang biasa. Karenanya saya bilang, punya pacar itu mainstream. Sebagaimana pacaran juga mainstream. Saya tidak berminat punya pacar, sebagaimana saya tidak berminat pacaran.”

Dia kembali bertanya, “Jadi, apa yang Anda minati? Uhm... konsep bagaimana yang Anda inginkan?”

“Yang saya minati bukan pacar, tapi mbakyu! Karenanya, aktivitas kami tidak disebut pacaran... tapi mbakyuan. Karena itulah, saya tidak setuju konsep pacaran!”

Lelaki berjenggot mimisan.
 

Noffret’s Note: Wanita Terpuji

Wanita yang bisa menanak nasi secara tradisional, bukan dengan rice cooker tapi menggunakan dandang dan panci, sungguh dia wanita terpuji.

Mencuci baju bisa diganti mesin, tapi menanak nasi... tidak! Sampai kapan pun aku hanya mau makan nasi yang dibuat dengan dandang dan panci.

Robot dan mesin-mesin terus menggantikan keluhuran tangan manusia. Kita butuh kearifan untuk dapat memilah dan memilih agar tetap manusia.

Aku tidak peduli apa pun yang digantikan mesin. Tapi nasi yang masuk ke tubuhku... aku harus memastikan benar-benar dibuat tangan manusia.

Aku bisa membedakan nasi yang dibuat rice cooker dan nasi yang dibuat dandang dan panci, seperti aku bisa membedakan orang hidup dan mati.

Ada ratusan warung dan rumah makan di sekitarku. Tapi aku hanya mendatangi warung makan yang membuat nasi dengan dandang dan panci.

Saat kau melihat seorang wanita mengangkat dandang nasi dari atas kompor yang menyala, maka ketahuilah kau sedang menyaksikan wanita mulia.

Istri yang menenteramkan, dalam pikiranku, adalah wanita yang bisa memasak, dan biasa menanak nasi secara tradisional. Itu saja sudah cukup.

Orang-orang bertanya kenapa aku memuja Ren Mukai. Oh, bukan karena dia cantik, tapi karena dia salihah di atas ranjang, dan hobi memasak!

Kepada calon istriku, kelak jangan masukkan rice cooker ke dalam rumah kita. Tetaplah buat nasi yang terpuji, dengan dandang dan panci.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 28 Februari 2017.
 
 
;