Selasa, 20 Februari 2024

Bayi-bayi Perempuan di Zaman Jahiliyah

Di Twitter, beberapa kali saya mendapati lontaran pertanyaan dan perdebatan mengenai “bayi-bayi perempuan dikubur hidup-hidup di zaman jahiliyah”. Kisah itu terkenal, bahkan menjadi bagian sejarah [pra]-Islam. Para ustaz atau penceramah, misalnya, kerap menceritakan bahwa seperti itulah kengerian peradaban jahiliyah, sebelum kedatangan Islam.

Yang jadi masalah, kisah itu menimbulkan tanda tanya... dan catatan ini akan menjawab pertanyaan mereka.

Kisah tentang “mengubur bayi perempuan hidup-hidup di masa jahiliyah” tampaknya membingungkan bagi sebagian orang, karena memang terkesan kontradiktif dengan kenyataan. Mudahnya, kalau bayi-bayi perempuan di zaman itu dibunuh, lalu bagaimana regenerasi mereka berkembang? Kasarnya, bagaimana mereka bisa beranak pinak, kalau para perempuannya dikubur hidup-hidup sejak masih bayi?

Sebenarnya, kisah itu tidak “sekolosal” yang mungkin kita bayangkan. Praktik membunuh bayi perempuan pada masa jahiliyah itu sebenarnya tak jauh beda dengan praktik kriminal pada anak/bayi di masa sekarang—ada orang yang melakukan, tapi tidak berarti semua melakukan. 

Bedanya, kalau membunuh anak di masa sekarang dianggap kejahatan dan dihukum, pelaku pembunuhan anak di masa jahiliyah tidak dituntut hukuman apa pun, karena praktik itu terkait dengan tradisi kabilah/suku setempat. Ini poin pentingnya: Praktik itu dilakukan secara eksklusif. Dengan kata lain, tidak semua orang di zaman itu mengubur bayi perempuan mereka hidup-hidup!

Bangsa Arab terdiri dari suku-suku atau kabilah, dan—khususnya di masa jahiliyah—masing-masing kabilah punya adat, tradisi, serta kebiasaan sendiri-sendiri. Ada kabilah yang kaya, ada pula kabilah yang miskin. Perbedaan ekonomi itu mempengaruhi tradisi dan kebiasaan mereka.

Kabilah yang kaya, misalnya, tidak terlalu masalah membiayai dan membesarkan anak, laki-laki ataupun perempuan. Tapi kabilah yang miskin sering kesulitan membesarkan anak, karena faktor ekonomi. Ditambah adat jahiliyah, mereka pun akhirnya main “hitung-hitungan primitif”.

Hitung-hitungan primitif itu sederhana: Kalau anakmu laki-laki, dia bisa membantumu bekerja mencari nafkah, untuk memperbaiki ekonomi keluarga. Tapi kalau anakmu perempuan, dia tidak bisa apa-apa, dan hanya makin membebanimu. (Ingat, ini pola pikir orang miskin jahiliyah.)

Berawal dari pola pikir semacam itulah, lalu muncul adat mengubur bayi perempuan hidup-hidup. Praktik ini lebih banyak dilakukan kabilah-kabilah miskin, karena alasan tadi. 

Selain alasan ekonomi, ada pula kabilah yang berpikir bahwa punya anak perempuan adalah aib.

Mengapa sampai muncul pemikiran bahwa anak perempuan adalah aib? Jawabannya sangat panjang, tapi dapat disingkat dengan meminjam istilah zaman sekarang: Stockholm syndrome. 

Pada masa jahiliyah, sering terjadi perang antarkabilah. Kabilah yang menang akan merampas harta benda kabilah yang kalah, dan menawan para wanitanya. Tawanan-tawanan wanita itu akan dibebaskan, jika ada tebusan dari pihak kabilah yang kalah, dan si tawanan bersedia.

Kalau kabilahmu kalah dalam perang jahiliyah, dan adik perempuanmu ditawan kabilah yang menang, misalnya, kamu bisa menebus adik perempuanmu untuk membawanya pulang—dengan catatan; uang tebusanmu cukup, dan adik perempuanmu bersedia diajak pulang. 

Dalam proses itu, ada kalanya tawanan-tawanan perempuan tidak mau diajak pulang, meski pihak keluarga/kabilahnya telah menyiapkan uang tebusan. Itulah yang disebut Stockholm syndrome, yaitu fenomena ketika pihak yang disandera justru bersimpati (tertarik, atau bahkan jatuh cinta) kepada pihak yang menyandera.

Fenomena itu pula yang lalu memunculkan adat “mengubur bayi perempuan karena alasan malu atau aib”. Pikir mereka, waktu itu, daripada perempuan-perempuan itu kelak menimbulkan aib—karena ditawan musuh tapi tak mau diajak pulang—jauh lebih baik dibunuh sejak bayi. Tradisi ini muncul, khususnya, pada kabilah-kabilah yang lemah atau yang memiliki anggota sedikit, sehingga rentan kalah dalam perang antarkabilah.

Berlatar fenomena itu pula, Qais bin ‘Ashim [yang kelak jadi sahabat Nabi] sampai membunuh 8 anak perempuannya di masa jahiliyah. Karena dia pernah dipermalukan oleh keponakan perempuannya, ketika si keponakan ditawan musuh, dan mengalami Stockholm syndrome.

Kisahnya, waktu itu, kabilah al-Misymaraj al-Yasykari menyerang kabilah Bani Sa’ad (kabilah Qais bin ‘Ashim), lalu merampas harta Bani Sa’ad dan menawan para wanitanya. Salah satu wanita yang ditawan kabilah al-Misymaraj adalah keponakan perempuan Qais bin ‘Ashim.

Setelah berdamai, Qais bin ‘Ashim mendatangi kabilah al-Misymaraj untuk mengambil pulang keponakannya, dengan sejumlah tebusan. Pada waktu itu, ternyata, keponakan Qais bin ‘Ashim telah—sebut saja—pacaran dengan ‘Amr bin Misymaraj. Ending-nya sangat tidak enak.

Qais bin ‘Ashim meminta ‘Amr bin Misymaraj agar menyerahkan keponakannya. ‘Amr bin Misymaraj mengatakan, “Aku serahkan urusan itu pada dia sendiri. Jika dia memilihmu, ambillah.” Tapi keponakan Qais bin ‘Ashim lebih memilih bersama ‘Amr bin Misymaraj.

Peristiwa itu membuat Qais bin ‘Ashim sangat marah sekaligus malu. Dia segera pulang ke kabilahnya, dan—dengan amarah yang masih membara—dia mengubur setiap anak perempuan dari kabilahnya, termasuk anak-anak perempuannya sendiri. 

Inilah asal usul tradisi mengerikan itu.

Sejak itu, tiap ada keluarga dari kabilah Bani Sa’ad punya anak perempuan, mereka akan menguburnya hidup-hidup, karena khawatir akan menimbulkan aib dan malu—merujuk pada kisah keponakan Qais bin ‘Ashim tadi. Kebiasaan itu lalu ditiru beberapa kabilah lain, dengan alasan serupa.

Jadi, praktik mengubur bayi perempuan itu memang ada di zaman jahiliyah, tapi bukan berarti semua orang di masa itu melakukannya. Ada banyak anak perempuan yang lahir di kabilah kaya, dan tumbuh besar hingga dewasa, bahkan juga kaya—yang paling terkenal, misalnya, Khadijah, yang belakangan jadi istri Nabi Muhammad.

Yang menjadikan kisah “mengubur bayi perempuan hidup-hidup di masa jahiliyah” sangat terkenal, sebenarnya, karena kisah itu disematkan pada Umar bin Khattab, yang belakangan menjadi salah satu khalifah. Ironisnya, kisah itu justru keliru, bahkan menjurus fitnah. 

Lebih ironis lagi, banyak orang Islam tidak tahu sejarah ini, dan ikut keliru—bahkan menelan mentah-mentah—sejarah yang ditulis secara keliru. Ada banyak guru/ustaz yang kerap mengisahkan Umar mengubur anak perempuannya, untuk mengilustrasikan zaman jahiliyah, padahal keliru.

Sedikit meluruskan soal ini. Ketika Muhammad menjadi Nabi, usia Umar bin Khattab waktu itu 27 tahun. Dia telah menikah, waktu itu, dan punya 3 anak, yaitu Hafsah, Abdullah, dan Abdurrahman. Dan semuanya masih hidup! Jadi, anak mana yang dibunuh Umar? 

[Hafsah, anak perempuan Umar, bahkan belakangan menjadi salah satu istri Nabi Muhammad. Padahal, ketika Hafsah masih bayi hingga beranjak remaja, ia dan keluarganya hidup di zaman jahiliyah—fakta tak terbantah bahwa Umar bin Khattab tidak membunuh anak perempuannya.]

Lebih lanjut soal ini. Umar bin Khattab berasal dari kabilah Bani ‘Ady, yang tidak punya tradisi mengubur anak. Umar juga memiliki hubungan sepupu dengan seorang aktivis penyelamat bayi, bernama Sha’sha’ah bin Najiyah Al-Tamim—dia semacam aktivis HAM di masa sekarang. 

Sha’sha’ah adalah pemimpin kabilah Bani Tamim yang kaya. Dia menggunakan hartanya untuk menebus bayi-bayi yang akan dibunuh orang tuanya. Satu bayi ditukar dengan dua unta. Kenapa dia mau melakukannya? Karena dia menentang pembunuhan bayi, dan itulah yang bisa dia lakukan. 

Dari masa jahiliyah sampai kemudian Islam datang, Sha’sha’ah telah menyelamatkan 300-an bayi yang nyaris dibunuh orang tuanya sendiri. Dan dia adalah sepupu Umar bin Khattab! Jadi sangat aneh dan tak masuk akal kalau Umar justru disebut membunuh anak perempuannya sendiri!

Lalu bagaimana bisa muncul kisah mengenai Umar bin Khattab mengubur bayi perempuannya? Berdasarkan sejarah, setidaknya ada dua hal yang menjadi kemungkinan mengapa kisah “Umar mengubur bayi perempuannya” sangat terkenal, bahkan sampai sekarang. Kemungkinan pertama adalah gara-gara salah dengar yang menimbulkan salah paham.

Jadi, ketika Umar telah masuk Islam, Nabi Muhammad suatu ketika menyampaikan QS. At-Takwir: 8-9, “Dan apabila bayi-bayi perempuan yang dikubur hidup-hidup ditanya, karena dosa apa mereka dibunuh...”

Mendengar ayat itu, Umar mengatakan, “Dulu, Qais bin Ashim pernah datang kepada Rasulullah dan berkata, ‘Aku telah mengubur 8 putriku hidup-hidup di zaman jahiliyah.’ Nabi lalu bersabda, ‘Merdekakanlah seorang budak perempuan untuk setiap orang dari mereka.’ Qais bin Ashim menyahut, ‘Aku hanya seorang peternak unta (tidak punya budak).’ Nabi menjawab, ‘Kalau begitu, sembelihlah seekor unta untuk masing-masing dari mereka’.” 

Kisah itu diriwayatkan Ath-Thabarani dalam al-Kabir, Al-Bazzar dalam al-Bahru az-Zakkhar, dan Al-Baihaqi dalam al-Kubra. 

Bisa jadi, ketika Umar mengisahkan cerita tadi, ada orang-orang yang salah dengar, lalu salah paham, dan mengira bahwa Umar dulu pernah mengubur bayi perempuannya di zaman jahiliyah. Padahal, yang dimaksud Umar dalam cerita itu adalah Qais bin Ashim. Sayangnya, orang-orang yang salah dengar dan salah paham tadi tidak melakukan verifikasi, lalu menyebarkannya ke orang-orang lain, sampai belakangan kisah keliru itu terwariskan ke zaman kita.

Kemungkinan kedua yang menyebabkan kisah “Umar mengubur bayi perempuanya” sangat terkenal, karena kisah itu sengaja dimunculkan sebagian pihak, terkait intrik politik ketika Umar akan diangkat menjadi Khalifah. Karenanya, semua kisah terkait hal itu tidak ada yang memiliki sanad jelas.

Akhirnya, kesimpulannya, praktik membunuh bayi perempuan di masa jahiliyah benar-benar ada, tapi bukan berarti semua orang di masa itu melakukannya. Karenanya, regenerasi tetap terjadi, bahkan dari zaman itu, karena populasi perempuan juga masih banyak.


Postscript:

Jika ingin mempelajari topik ini lebih lanjut, silakan lihat kisah Fatkhu Makkah. Sementara catatan ini merujuk pada: 
  • Al Mu’jamu Al Kabir (Ath Thabarani)
  • Al Mufashshal fi Târîkh Arab Qabla al Islâm (Jawad Ali)
  • Al Qabasu Al Waddha’ (Mohd Tayyib An Najjar)
  • Ar Rasul Shallallahu Alaihi Wassalam (Syeikh Said Hawa bin Muhammad Hawwa)
  • Al-Tahrir wa Al-Tanwir (Muhammad Al-Tahir bin Asyur)
  • Shahih Bukhari
  • Shahih Muslim
  • Tafsir Al Misbah (Prof. M. Quraish Shihab)
  • The Meccan Crucible (Zakaria Bashier)

Transfer 100 Juta, dan Aku Akan Menemuimu

Transfer 100 Juta, dan Aku Akan Menemuimu

Postscript-nya ketinggalan:

Transfer 100 juta, dan aku akan duduk di depanmu, membicarakan apa pun yang kamu mau.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 23 Januari 2023.

Yang Mengagumkan

Yang mengagumkan dari yang paling mengagumkan adalah hati yang tak pernah tua.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 17 Mei 2014.

Orang Paling Merdeka

Orang paling merdeka di dunia adalah yang bukan siapa-siapa. Tak perlu merendah kepada siapa pun, tak perlu berharap ditinggikan siapa pun.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 2 Juni 2014.

Cara Terbaik Jatuh Cinta

Cara terbaik jatuh cinta kepada bunga adalah membiarkannya tumbuh mekar.

Memetik bunga dengan alasan tertarik kepadanya adalah tindakan keliru. Begitu dipetik, bunga segera layu.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 19 Mei 2014.

Tidak Ada

Tidak ada satu obat untuk semua penyakit, tidak ada satu jawaban untuk semua pertanyaan. 

Hal Tersulit di Dunia

Hal tersulit di dunia ini adalah tetap menjadi dirimu sendiri, sementara seluruh dunia berusaha mengubahmu menjadi orang lain.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 12 April 2012.

Keyakinan Konyol

Satu dekade yang lalu, ada semacam keyakinan bahwa perut buncit—khususnya pada laki-laki—adalah tanda kemakmuran. Mungkin karena banyak orang kaya yang perutnya buncit. Keyakinan itu benar-benar diyakini banyak orang, hingga mereka senang atau bangga dengan perutnya yang membuncit.

Sampai kemudian, sekian tahun lalu, para pakar kesehatan mulai memberitahu bahwa perut buncit bisa berbahaya bagi kesehatan, karena orang berperut buncit rentan terkena aneka penyakit, dari kolesterol, diabetes, penyakit jantung, sampai kanker. Perut buncit bisa jadi sumber penyakit.

Sayangnya, woro-woro dari para pakar kesehatan itu tidak sampai ke segenap lapisan masyarakat. Akibatnya, masih banyak orang yang meyakini kalau punya perut buncit itu hebat. Sampai-sampai mereka terkesan ingin memamerkan perut buncitnya, agar dianggap orang kaya.

Tidak Doyan Gorengan Adem

Aku tidak doyan gorengan adem.

Kamu bisa menembak kepalaku, dan persetan denganmu.

Iya

Capek banget.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 8 Juni 2019.

Jongos Sutarto Impoten

Jongos Sutarto menderita impotensi, dan hal itu membuat hidupnya hampa. Tampaknya, latar belakang itu menjadikan dia melakukan hal-hal tertentu yang mungkin bisa membuatnya punya gairah hidup, meski jahat dan merugikan orang lain. Beberapa kali dia ketahuan mengirimkan virus dan trojan ke komputer orang-orang lain, khususnya orang-orang yang ia kenal di dunia maya. 

Bagi yang ingin tahu siapa Jongos Sutarto, silakan DM saya di Twitter.

Semuh

Oooh...

Sabtu, 10 Februari 2024

Bocah Terluka

Zaman SMA dulu, saya biasa ke sekolah naik sepeda. Jarak sekolah dari rumah lumayan jauh. Tapi yang jadi masalah bukan jaraknya, melainkan ketika hujan turun. Kalau saya tetap bersepeda ke sekolah, tubuh akan basah kuyup kena hujan. Tak peduli secepat apa pun melaju.

Suatu pagi, hujan turun cukup lebat. Saya tidak mungkin menerobos hujan selebat itu dengan naik sepeda. Jadi, saya terpikir untuk naik becak saja, agar terlindung dari hujan. Ketika mencoba minta uang ke ibu untuk naik becak, dia marah, “Tidak usah bertingkah seperti orang kaya!”

Akhirnya saya berangkat ke sekolah dengan jalan kaki, agar bisa “meripit” (lewat pinggir-pinggir jalan yang terlindung atap), hingga tidak terlalu kena air hujan—meski nyatanya tubuh saya tetap basah. Tapi “meripit” lebih baik daripada nekat naik sepeda di bawah hujan.

Seperti yang saya bilang tadi, jarak rumah ke sekolah lumayan jauh. Dengan sepeda, kira-kira butuh seperempat jam. Dengan jalan kaki—apalagi dengan cara meripit seperti tadi—saya butuh waktu lebih lama. Dan tentu saja saya terlambat masuk sekolah. Gerbang telah tutup.

Di SMA saya dulu, kalau kamu datang terlambat, kamu tidak boleh masuk. Untungnya, saya punya “privilese”. Semua guru mengenali saya sebagai murid berprestasi, dan saya mengumpulkan banyak piala untuk sekolah. Jadi, mereka selalu “punya maaf untuk kesalahan yang saya lakukan”.

Sekarang bayangkan, andai saya dibelit kemiskinan—sebegitu miskin, hingga “tidak usah bertingkah seperti orang kaya!”—dan saya tidak punya prestasi apa pun di sekolah. Di rumah, saya mendapati kepahitan. Sementara masuk sekolah, saya akan diusir karena terlambat.

Dan itulah yang terjadi pada jutaan anak miskin di negara ini, juga di negara-negara lain. Kemiskinan tidak hanya melemparkan mereka dalam kepahitan, tapi juga melukai jiwa mereka; sebentuk luka yang mungkin tak pernah mereka katakan, karena dunia tak pernah memahami.

Karenanya, saya setuju saat seseorang mengatakan, “Dalam kemiskinan struktural, para orang tua tidak berani menyuruh anaknya untuk bermimpi setinggi langit.” 

Yang terjadi pada saya, tepat seperti itu. Tiap kali saya mengatakan impian atau cita-cita saya, orang tua akan mematahkannya.

Kemiskinan struktural bisa merusak manusia—bahkan kemanusiaan—hingga begitu parah. Karena kemiskinan struktural tidak hanya memiskinkan orang secara ekonomi, tapi juga sampai tataran ideologi. 

....
....

Sudah saatnya kita sudahi segala macam omong kosong berbau romantisasi, karena nyatanya kemiskinan tidak romantis sama sekali. Dan tak perlu mengglorifikasi kemiskinan—yang hanya membohongi diri sendiri—karena nyatanya hanya berisi trauma, luka, dan air mata.

Kemiskinan struktural hanya akan melahirkan tiga kemungkinan: Satu, orang miskin lain. Dua, sosok yang mungkin terlihat sukses [secara sosial] tapi sebenarnya menyimpan bekas keperihan. Dan tiga, bocah terluka yang berambisi meruntuhkan peradaban. 

Jongos Sutarto Menawar-nawarkan Istrinya

Jongos Sutarto adalah penjahat licik sekaligus menjijikkan. Dia berteman dengan orang-orang di internet—khususnya para blogger yang dulu aktif—tapi diam-diam mengirim virus dan trojan ke e-mail teman-temannya sendiri. Saya termasuk yang dikirimi trojan oleh Jongos Sutarto.

Dalam upaya memperdaya orang-orang yang ia kirimi virus/trojan, Jongos Sutarto menggunakan istrinya sebagai umpan. Jadi, di badan e-mail, dia menawarkan istrinya sendiri untuk “dipakai” orang-orang. 

Bagaimana bisa ada orang sebejat itu? Ceritanya cukup panjang. Dari potongan-potongan catatan yang telah saya tulis—dan yang akan saya tulis—seputar Jongos Sutarto di blog ini, kalian bisa merangkainya sendiri hingga menjadi sebuah kisah yang utuh. 

Bagi yang ingin tahu siapa Jongos Sutarto, dan ingin tahu seperti apa orangnya, silakan DM saya di Twitter.

Dianggap Baik Si Pemberi, tapi Dianggap Buruk Si Penerima

Dalam pergaulan sehari-hari, mungkin ada teman kita yang terkenal "suka menasihati", dan biasanya kita pun menjauh dari orang semacam itu. Masalahnya bukan nasihatnya yang salah, tapi karena dia membuat kita tidak nyaman (khususnya dalam berteman).

Ada temanku yang semula suka jajan siomay yang lewat di depan rumahnya. Tapi belakangan dia bersumpah tidak akan pernah membeli siomay orang itu lagi. Alasannya, penjual siomay itu suka nyinyir menanyakan kapan menikah, kenapa belum menikah, dan semacamnya.

Aku pernah mendapati seorang anak yang marah pada ibunya karena terus diingatkan. Mungkin niat si ibu memang baik (mengingatkan anaknya), tapi si anak juga punya hak untuk hidup tenteram tanpa terus menerus mendengar nyinyiran ibunya.

Kebiasaan "mengingatkan", "menasihati" (dalam hal ini yang dilakukan secara langsung pada orang per orang, apalagi berulang-ulang), sering dianggap sebagai hal baik oleh si pelaku (pemberi nasihat), tapi dianggap hal buruk oleh si penerima nasihat.

Dulu ada kasus viral, mengenai orang yang mendatangi warnet-warnet, lalu berceramah pada orang-orang di warnet. Mungkin maksudnya baik. Yang dia lupa, apakah orang-orang di warnet memang butuh ceramahnya? Alih-alih senang, orang-orang di warnet malah muak.

Salah satu temanku bernama Adit. Orang tua Adit pernah berkata kepadaku, "Tolong sering nasihati Adit. Dia lebih mendengarkanmu daripada mendengarkan kami."

Aku menjawab, "Justru karena dia lebih mendengarkanku, aku tidak akan pernah menasihatinya, kecuali dia yang meminta."

Temanku yang lain pernah berkata, "Kadang aku berpikir hidup ini sungguh terkutuk! Aku menyesal telah lahir ke dunia ini."

Aku bilang kepadanya, "Tentu saja kamu berhak berpikir seperti itu."

Dia kaget. "Kenapa kamu malah ngomong begitu?"

"Aku temanmu, bukan orang tuamu."

Hubungan yang paling erat sekali pun bisa rusak dan merenggang, ketika ada salah satu pihak yang punya hobi "mengingatkan" atau suka nyinyir "menceramahi". Dari hubungan keluarga, persaudaraan, suami istri, sampai hubungan pertemanan. 

Jangan menasihati jika tidak diminta!

Bahkan perasaan cinta pun bisa pudar, dan berganti kemuakan, ketika orang yang membuat kita jatuh cinta ternyata suka "mengingatkan" atau doyan "menceramahi", hingga membuat kita tidak nyaman. Jika tidak percaya, sila buktikan. Dan "I love you" bisa berubah menjadi "Fuck you!"


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 27 Oktober 2019.

Tidak Suka Konten

Sukanya kontan.

Survival dan Kemiskinan

Kemiskinan bisa disebabkan berbagai hal, dari sistem yang rusak, SDM yang rendah, sampai takdir, dan lain-lain. Dalam hal ini, aku percaya kemiskinan adalah hasil kombinasi dari sistem yang rusak dan SDM yang rendah. 

Terlepas bagaimana asal usul kemiskinan, orang per orang menghadapi kemiskinan dengan cara berbeda. Ada yang sadar dirinya miskin, dan tidak buru-buru menikah, karena sadar diri, “Wong aku menghidupi diri sendiri saja masih susah, apalagi menghidupi keluarga?”

Sebaliknya, ada orang menghadapi kemiskinan dengan pola pikir sebaliknya, yaitu dengan segera menikah, lalu punya anak-anak, yang ia harapkan jadi semacam “upaya survival” menghadapi kehidupan yang miskin. 

Srok, Usrok

Ooh, namanya Usrok.

Pamer yang Diterima

Mengapa banyak orang memamerkan barang-barang yang bersifat materi, seperti mobil, tas, sepatu, bahkan rumah? 

Karena rata-rata kita, kenyataannya, lebih bisa menerima orang yang pamer benda-benda materiil, bahkan jika benda-benda yang dipamerkan itu “tak masuk akal”.

Ada orang yang pamer mobil sport miliknya, yang jumlahnya “tak masuk akal”—misalnya selusin. Itu tak masuk akal, karena selusin mobil sport butuh uang puluhan/ratusan miliar, yang tak terjangkau kebanyakan kita. Tapi rata-rata kita bisa menerima pameran semacam itu.

Sekarang andaikan ada orang pamer sesuatu yang tidak bersifat materi (kebendaan). Misalnya ada orang mirip Magneto, yang bisa memanipulasi logam dengan kekuatan pikirannya. Kira-kira, apa reaksi kita? Mungkin tak percaya, mungkin ketakutan, atau mungkin pula membencinya. Itu jenis pamer yang tidak bisa kita terima.

Pemilu Kemarin

Hidup adalah soal pilihan. Pemilu kemarin aku tidak memilih apa pun atau siapa pun. Kupikir, itu pilihan terbaik yang bisa kulakukan.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 12 April 2012.

Tau

Iya.

Memilih

Memilih adalah soal pilihan. Memilih untuk tidak memilih juga termasuk pilihan. Aku tidak akan memilih, karena aku punya pilihan.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 3 April 2012.

Kamis, 01 Februari 2024

Orang Tidak Pernah Berubah

“Mungkin dia telah berubah.” Itu salah satu kalimat populer yang kerap kita dengar, bahkan mungkin sering kita ucapkan. Saya telah belajar bahwa itu kalimat yang bisa berbahaya bagi kita... karena, nyatanya, orang tidak pernah berubah.

Di suatu waktu, kita mungkin mengenal seseorang, percaya kepadanya, lalu dia berkhianat, dan kita terluka, kehilangan kepercayaan kepadanya. Kita pun menjauh darinya. Lalu, di suatu waktu kemudian, kita kembali dekat, dan berpikir, “Mungkin dia telah berubah.”

Sekali lagi, saya telah belajar kenyataan pahit ini: Faktanya, [kebanyakan] orang tidak pernah berubah! Sekali seseorang berkhianat kepadamu, selalu ada kemungkinan dia akan kembali mengkhianatimu. Kamu pikir kenapa para mafia tidak punya maaf untuk para pengkhianat?

Kepribadian kita umumnya terpahat dari kecil, lingkungan, pengalaman, dan itulah yang membentuk kita. Ada orang yang mudah memaafkan, misalnya, ada pula yang tidak. Ada yang pendendam, ada pula yang tidak. Semua itu terkait kepribadian orang per orang. 

Dan hal-hal yang terkait dengan watak dasar, biasanya sulit—atau bahkan tidak pernah—berubah. Karenanya, di dunia perkawinan, sebagian psikolog sampai mengatakan, “Sekali seseorang berselingkuh, selalu ada kemungkinan dia akan kembali selingkuh.” 

Jadi, saya tidak percaya dengan kalimat manis ini, “Mungkin dia telah berubah.” Karena faktanya orang tidak pernah berubah. Kamu, saya, kita semua, sebenarnya masih orang yang sama seperti kita sepuluh atau dua puluh tahun lalu. Cuma fisik kita yang berubah.

Kalau kamu orang yang mudah memaafkan, misalnya, sampai saat ini pun kamu tetap mudah memaafkan, bahkan umpama kamu telah dilukai sampai sakit hati. Sebaliknya, kalau kamu orang pendendam, saya juga berani bertaruh; sampai saat ini pun kamu masih pendendam. 

Itu pula alasan saya menjauh dari orang-orang manipulatif. Manipulatif, sama seperti kepribadian lain, biasanya tidak [akan] pernah berubah. 

“Mungkin dia telah berubah.” Tidak. Dia masih orang yang sama. Pikiran memang bisa berubah. Tapi kepribadian... tidak.

Sudahlah Jongos Sutarto, Obati Saja Impotenmu

Sudahlah, Jongos Sutarto. Kamu mau klak-klik artikel apapun di blogku, mau pakai VPN dari negara mana pun, sudah ketahuan kamulah pelakunya, kamulah penjahatnya. Bahkan aku tahu kamulah yang mengutak-atik akunku di X atau Twitter. Kamu pikir tidak akan ketahuan?

Guys, inilah orang yang mengutak-atik akunku di X. Namanya Jongos Sutarto. Jika ingin tahu siapa dia dan seperti apa orangnya, silakan DM ke akunku.

Yang mengutak-atik akunku di X bukan kubu 01 atau kubu 02, tapi seorang penjahat internet bernama Jongos Sutarto. Selama ini dia sangat khawatir karena aku terus membongkar kejahatannya di internet, khususnya kejahatannya mengirim virus/trojan ke email orang-orang. Hanya nasib baik yang membuatnya saat ini belum masuk penjara.

Aku sudah sangat mengenali taktik liciknya yang suka adu domba. Jadi, Jongos Sutarto sengaja mengutak-atik akunku di X, agar aku mencurigai kubu 01 atau kubu 02. Busuk sekali ya, orang ini? Kalian akan muntah kalau tahu seperti apa orangnya.

Jadi, sudahlah Jongos Sutarto. Masalah hidupmu adalah penismu yang impoten. Kamu akan terus stres sebelum membereskan masalah penismu. Daripada buang-buang waktu klak-klik artikel di blogku atau mengutak-atik akunku untuk tujuan adu domba, lebih baik temui dokter untuk mengobati impotenmu. Setidaknya, sebelum kamu masuk penjara.

Kejahatan Paling Menyakitkan

Segala macam kesalahan selalu bisa dimaafkan, tapi ada satu yang sulit dimaafkan, bahkan sering kali tidak bisa dimaafkan; pengkhianatan. Karena itu kejahatan paling menyakitkan, sekaligus paling berbahaya, karena merusak kepercayaan sekaligus kedamaian hidup antarmanusia.

Kita percaya pada seseorang, dan dia berkhianat. Itu bukan hanya menyakitkan bagi pihak yang dikhianati kepercayaannya, tapi juga merusak kepercayaan orang secara luas. Karena jika orang mengkhianati seseorang, selalu ada kemungkinan dia akan mengkhianati orang-orang lainnya.

Berurusan dengan pengkhianat artinya berurusan dengan orang yang tak bisa dipercaya. Dan jika kita berurusan dengan orang yang tak bisa dipercaya, sebaiknya tidak usah berurusan dengannya sama sekali. Jauh lebih baik sendirian, daripada berteman/berurusan dengan pengkhianat.

Beda

Tiba-tiba teringat ucapan teman, "Aku telah lama mengenalnya, dan aku tahu dia beda." 

Oh, berarti dia belum lama mengenalnya.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 17 September 2012.

Lama Gak Berteman dengan Cewek

Sudah bertahun-tahun aku gak berteman dengan cewek. Jangankan berteman, wong sekadar berinteraksi saja sangat, sangat jarang. Sampai kadang aku khawatir kalau-kalau aku “lupa” gimana cara berinteraksi dengan cewek.

Belum lama, aku menghadiri pertemuan, dan harus berinteraksi cukup lama dengan seorang cewek. Aku bilang kepadanya, “Mungkin ini aneh. Tapi kalau ada sikapku yang bikin kamu nggak nyaman, tolong tegur. Aku udah lama sekali nggak berinteraksi dengan perempuan.”

Dia menatapku dengan bingung. Lalu, mungkin karena terpikir ingin menguji apakah aku jujur, dia bertanya, “Kamu punya FB?” 

Aku menggeleng. 

“IG?” 

Aku kembali menggeleng. 

“Twitter?” 

Aku mengangguk, dan membuka ponsel untuk menunjukkan akunku di Twitter.

Beberapa saat dia memperhatikan layar ponsel yang memperlihatkan akunku di Twitter, lalu tersenyum dan menatapku, “Oke, aku percaya.” 

Aku benar-benar ingin tahu bagaimana dia bisa percaya begitu saja hanya dengan melihat akunku. Tapi aku tidak tahu bagaimana caranya.

Stalking

Yang stalking hati-hati, jangan sampai kepencet favorit. #Euh


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 30 Maret 2012.

Seperti Kupu-kupu

Keheningan seperti kupu-kupu. Mengepakkan sayap dalam diam, menebarkan keindahan tanpa teriakan.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 16 April 2012.

Kegalauan di Sudut Hati

Segelas kopi, sebatang rokok, dan setumpuk kebingungan hari ini. Juga sedikit kegalauan di sudut hati.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 13 April 2012.

Pengetahuan yang Ternyata Bukan Pengetahuan

Siapa orang terkaya di dunia? 

Elon Musk? Salah. 

Bill Gates? Salah. 

Jack Ma? Apalagi itu! 

Orang terkaya di dunia adalah Vladimir Putin. Kekayaan Elon Musk, atau Bill Gates, yang saat ini menduduki peringkat atas Forbes, tidak ada apa-apanya dibanding kekayaan Putin.

Kalau memang orang terkaya di dunia adalah Vladimir Putin, kenapa dia tidak pernah muncul di daftar orang terkaya versi Forbes? 

Pertanyaan bagus! Dan itu menarik untuk dipikirkan, eh? 

Apakah Forbes tidak tahu? Jelas tahu! Wong aku aja tahu, mosok Forbes tidak tahu?

Inilah yang menjadikan dunia, dan manusia di dalamnya, sangat “menarik”. Orang-orang merasa mendapat pengetahuan, yang mereka yakini sebagai pengetahuan, tapi ternyata tidak lengkap. Ada pengetahuan yang sengaja dibuka, dan ada pengetahuan yang tersimpan atau tertutup.

Dan jika pengetahuan saja ternyata bisa jadi bukan pengetahuan, apalagi yang lain? Keyakinan, misalnya. 

“Hidup yang tidak diperiksa,” kata Socrates, “adalah hidup yang tidak layak dijalani.” 

Sekarang ganti “hidup” dengan yang kita yakini.

Hidup Tak Sebatas Cangkangmu

Sebagian orang dilahirkan oleh orang tua yang baik, dan mereka sungguh anak-anak beruntung. Karena mereka dibesarkan dengan baik, dididik dengan baik, hingga percaya orang tuanya sangat baik. Yang kadang jadi masalah, mereka mengira semua orang tua sama seperti orang tuanya.

Banyak orang yang hidup di dalam cangkangnya sendiri, mengira semua orang seperti dirinya, percaya kehidupan semua orang sama seperti hidupnya. Sering kali, mereka juga memaksakan nilai-nilai dan kepercayaan pada orang lain, hanya karena berpikir orang-orang lain sama seperti dirinya.

Ood

Iyo.

Ora Ndolor

Wis tuwo, tapi gaweane gemboran.

 
;