Jumat, 26 Juli 2019

Meludahi Dunia di Gurun Nevada

Ketika massa mengatur, manusia diperintah oleh ketidaktahuan;
ketika doktrin mengatur, manusia diperintah oleh takhayul;
dan ketika negara mengatur, manusia diperintah oleh rasa takut.
Manly P. Hall


Gurun pasir Nevada, Amerika Serikat, adalah salah satu tempat yang tidak ramah di bumi. Saat siang, panasnya ngujubilah setan. Sementara malam hari, dinginnya menggigit tulang. Karena kondisi semacam itu, tidak ada orang yang berminat tinggal di sana, dan gurun Nevada pun menjadi tempat yang luas sekaligus sunyi.

Tetapi, setiap tahun, puluhan ribu orang akan berdatangan ke sana, dan berkumpul selama seminggu penuh, untuk merayakan sesuatu yang disebut Burning Man. (Tahun ini, Burning Man akan digelar pada 26 Agustus 2019 sampai 2 September 2019).

Ketika acara Burning Man digelar, gurun Nevada yang semula sunyi berubah menjadi kota—dalam arti sesungguhnya. Kota yang tiba-tiba tumbuh di gurun gersang dan dihuni puluhan ribu orang selama seminggu itu, disebut Black Rock City.

Siapa pun boleh datang ke Black Rock City, dan mengikuti acara Burning Man. Dari anak-anak, remaja, orang dewasa, pria, wanita, semuanya berkumpul jadi satu, seperti keluarga besar. Acara itu berlangsung setiap tahun, dan telah diadakan lebih dari 30 tahun terakhir.

Meski sering disebut festival, Burning Man sebenarnya bukan festival—lebih tepat jika disebut pertemuan dan perkumpulan orang-orang yang ingin menjalani kehidupan setara. Sponsor dan merek produk apa pun dilarang masuk ke sana, jadi kita tidak akan menemukan baliho atau papan-papan sponsor yang biasa ada di festival. Kebersamaan dan kesetaraan adalah prinsip utama yang dikedepankan Burning Man.

Sekadar informasi, bocah-bocah hebat dari Silicon Valley selalu datang ke acara ini, termasuk Elon Musk, Zuckerberg, Larry Page, dan lain-lain, karena biasanya di sanalah mereka bisa menemukan bocah-bocah hebat lain yang sulit ditemukan di “dunia normal”, karena tak pernah terungkap publisitas.

Black Rock City terbuka pada siapa pun yang mau datang, tapi kota ini memiliki tiga prinsip utama yang harus dipatuhi. Pertama adalah bersikap mandiri, kedua adalah menghormati kebebasan berekspresi, dan ketiga adalah kesediaan memberi. Tiga prinsip itulah yang lalu menyatukan puluhan ribu orang, dan pertemuan serta aktivitas mereka selama di sana disebut Burning Man.

Apa tujuan Burning Man? Mungkin terdengar utopis, yaitu membangun komunitas yang menolak aturan hukum dasar masyarakat modern.

Seperti yang disebut tadi, gurun Nevada adalah tempat yang sunyi. Karenanya, di sana tidak ada layanan telepon seluler. Kalau kau masuk ke sana, ponselmu tidak bisa digunakan. Praktis, puluhan ribu orang yang berkumpul di sana benar-benar terputus dari dunia luar. (Mulai tahun kemarin, sinyal ponsel sudah ada, tapi masih buruk, hingga sulit digunakan—entah tahun ini. Tapi kalau pun sinyal ponsel sudah bisa digunakan, kita akan diminta untuk TIDAK menggunakannya, selama di sana.)

Jadi, di sana, orang-orang bercakap dengan sesama tanpa diganggu dering atau notifikasi seperti yang dialami orang-orang modern. Mereka bisa bercengkerama, bercanda, dan tertawa, tanpa disela kesibukan mengecek media sosial atau tetek bengek semacamnya. Anak-anak bermain gembira, para remaja mengayuh sepeda, sementara orang-orang dewasa membangun persahabatan dengan orang-orang baru.

Selain tidak ada layanan seluler, di sana juga tidak ada uang! Tidak ada penjual, tidak ada pembeli—uang tidak berlaku di Black Rock City! Ingat salah satu prinsip di acara itu; kesediaan memberi!

Puluhan ribu orang yang berdatangan ke sana membawa aneka makanan dan minuman dari rumah, dan mereka saling memberi dan menerima. Kau membagikan makananmu pada orang lain, dan orang lain membagikan makanannya untukmu, dan begitu seterusnya. Meski tidak ada transaksi jual beli, orang tidak akan kelaparan selama di Black Rock City.

Selain berbagi makanan dan minuman, aktivitas saling memberi dan menerima di sana juga mencakup hal lain.

Acara Burning Man berlangsung selama seminggu penuh. Karenanya, banyak orang datang ke sana dengan membawa aneka barang, dari sepeda sampai papan catur, sampai freezer dan panci, dan lain-lain. Kalau kebetulan sepedamu mengalami kerusakan, misalnya, orang-orang di sana akan bantu membetulkan. Saling memberi dan menerima, termasuk berbagi kemampuan yang dimiliki.

Tapi ingat prinsip pertama; bersikap mandiri. Karenanya, sebisa mungkin kita harus berusaha membereskan semua masalah kita sendiri, sebelum terpaksa meminta bantuan orang lain. Intinya, tidak saling menyusahkan.

Kemudian, prinsip satunya lagi; kebebasan berekspresi. Di Black Rock City, orang bebas mengekspresikan diri seperti apa pun, selama tidak mengganggu orang lain.

Jadi, di sana, orang bisa memakai baju model apa pun, atau mengenakan bikini, atau bahkan telanjang—kalau mau. Selama orang lain tidak mempermasalahkan, bebas! Tidak ada aturan atau hukum yang harus dipatuhi. Selama orang lain tetap nyaman dan tak terganggu, kau boleh melakukan apa pun sesukamu.

Setidaknya ada 70 ribu orang yang setiap tahun berkumpul di gurun Nevada untuk merayakan kehidupan bebas dan bahagia, yang disebut Burning Man. Di sana, tidak ada tetangga rese yang akan ngoceh dan mengomentarimu, tidak ada aturan atau norma sosial yang membelenggu, tidak ada keparat-keparat kurang kerjaan yang nyinyir kapan kawin atau kapan punya anak, bahkan tidak ada sistem kapitalisme yang membelenggu kehidupan.

Di Black Rock City, uang tidak berlaku, tapi orang-orang tetap bisa menjalani kehidupan dengan baik, dengan ceria, dengan kebebasan. Setiap hari, seminggu penuh di sana, mereka tidak harus berangkat kerja pagi dan pulang malam, tapi tetap bisa makan dan minum dan udud.

Di antara mereka tidak ada transaksi untung rugi, karena semua orang saling percaya, saling memberi dan menerima. Di sana juga tidak ada ponsel, tidak ada media sosial, tapi mereka bisa menjalani hari-hari dengan bahagia.

Black Rock City adalah tempat orang-orang bisa meludahi dunia dan sistem-sistem di dalamnya. Semua hukum dan aturan dan norma dan budaya yang ada di dunia—sebagaimana yang kita kenal selama ini—tidak berlaku di sana. Uang yang dikejar setiap hari, demi membangun status sosial, seperti dicampakkan ke tempat sampah. Puluhan ribu orang di sana membuktikan bahwa mereka bisa hidup tanpa uang.

Begitu pula sistem sosial atau norma masyarakat—adat dan budaya ketimuran, adat dan budaya kebaratan... oh, well, apa itu?

Itu ironis, kalau dipikir-pikir. Pemerintah negara-negara dunia, atas nama tatanan masyarakat, membangun aturan dan hukum, tapi yang muncul adalah belenggu. Masyarakat, atas nama ketertiban lingkungan dan kemaslahatan bersama, membangun norma sosial, tapi yang muncul adalah perbudakan.

Wakil rakyat dibentuk untuk mewakili rakyat, tapi malah menyusahkan rakyat. Hukum dan keadilan ditegakkan, tapi kapitalisme menempatkan pemodal sebagai raksasa, dan para pekerja sebagai semut yang terinjak. Sementara mayoritas bisa sewenang-wenang terhadap minoritas.

Sopan santun diteriakkan, tapi terus nyinyir mengurus selangkangan orang. Panji-panji agama dikumandangkan, tapi kejujuran dan ketulusan antarmanusia semakin hilang. Memaksa orang-orang percaya kepada Tuhan, tapi bahkan pada tetangga pun hilang kepercayaan. Memperjuangkan kemanusiaan, tapi memberhalakan status sosial. Meneriakkan kesetaraan, tapi diam-diam merasa lebih tinggi dari orang lain.

Adat ketimuran, katanya... oh, well, adat ketimuran. Budaya barat, katanya... oh, well, budaya barat. Bagi orang-orang di Black Rock City, semua itu cuma sampah!

Ada jutaan orang di dunia yang telah muak menyaksikan semua kebrengsekan itu. Ada jutaan orang di negara mana pun yang telah mual menghadapi kenyataan hidup yang isinya hanya sistem-sistem yang terdengar indah seperti angin surga, tapi mencampakkan manusia ke liang neraka.

Di bawah sistem tirani masyarakat, manusia bahkan lebih rendah dari binatang. Setidaknya, binatang tidak perlu menjadi budak kapitalisme untuk bisa makan dan meneruskan hidup. Binatang tidak perlu membangun status sosial untuk dianggap ada. Binatang tidak perlu mendengar orang-orang nyinyir yang merasa paling pintar dan paling benar, padahal ujung-ujungnya hanya ingin semua orang sama.

Kemuakan-kemuakan itulah yang lalu mengumpulkan puluhan ribu orang setiap tahun di gurun Nevada, dan mereka membangun kota sendiri bernama Black Rock City—kota yang terbebas dari aturan pemerintah, komunitas yang terbebas dari belenggu sistem masyarakat, kumpulan orang yang bisa meludahi dunia dan semua kebrengsekan di dalamnya.

Tak peduli berapa banyak uangmu, semua yang kaumiliki tidak berlaku di Black Rock City, karena di sana uang tidak laku! Kau tidak bisa membanggakan kekayaanmu, atau jabatanmu, atau status sosialmu, atau moyangmu, atau profesimu, atau jumlah follower-mu, karena semua itu tidak ada artinya di sana. Di Black Rock City, semua manusia sama!

Di bawah kesadaran semacam itu, mereka saling memberi dan menerima, saling membantu dan saling percaya, dan menyadari bahwa hidup lebih mudah dijalani ketika tidak ada sistem-sistem terkutuk yang dibangun masyarakat.

Menikmati Burning Man selama seminggu di gurun Nevada bukan hanya memberi banyak pengalaman, karena bisa bertemu ribuan orang baru yang satu visi, tapi juga memberi kesadaran baru mengenai cara menjalani hidup.

Bahwa hidup ini sebenarnya mudah, tapi dipersulit oleh sistem-sistem. Bahwa hidup ini ringan, tapi diperberat oleh sistem-sistem. Bahwa hidup ini indah, tapi dirusak oleh sistem-sistem. Bahwa hidup ini menyenangkan, tapi diperkosa oleh sistem-sistem. Bahwa hidup berarti tumbuh, tapi kita dibunuh perlahan oleh sistem-sistem.

Dan ketika sistem-fucking-sistem itu diruntuhkan... kita pun tahu arti sejati kehidupan.

Noffret’s Note: Rengginan

Setahuku, nama yang benar adalah rengginan, bukan rengginang. Tambahan "ng" itu berasal dari sebagian orang yang terbiasa "mendengungkan" kata, khususnya yang berakhiran "an"—banyak orang Jawa yang punya kebiasaan-tak-sadar semacam itu.

Di Jawa, khususnya di lingkunganku, banyak akad nikah yang terpaksa diulang karena tidak sah, gara-gara kebiasaan mendengungkan kata. Dalam akad nikah, ada kata "wan nikakhaha", tapi diucapkan "wan ningkakhaha". Itu contoh kebiasaan-tak-sadar orang Jawa dalam mendengungkan kata.

Tapi kenapa "rengginang" lebih populer daripada "rengginan"?

Well, kenapa heran? Bukankah hidup kita memang begitu? Ada banyak kesalahan yang kita anggap benar, dan terus melakukannya dengan keyakinan bahwa itulah yang benar. Saat ada yang mengingatkan, kita tak terima.

Menganggap Ramadan sebagai bulan suci itu keliru, tapi kita menganggapnya benar. Padahal bahkan ajaran Islam sendiri sudah menegaskan bahwa Ramadan bukan bulan suci. Sesuatu yang sering dikoar-koarkan BUKAN BERARTI pasti kebenaran. » Ramadan Bukan Bulan Suci

Menyatakan Idulfitri sebagai "kembali suci" itu salah, tapi kita menganggapnya benar, karena membayangkan diri "kembali suci" terasa menyenangkan. Jadi kita pun menerimanya sebagai kebenaran, karena memuaskan ego (ketololan) kita. » Idulfitri adalah Hari Raya Biasa

Jadi, persoalan rengginan yang menjadi rengginang pasti sama sekali bukan masalah bagi kita, karena bahkan hal-hal yang lebih substansial saja kita abaikan. Kebenaran versi kita adalah "kebenaran kerumunan"—hanya benar jika diucapkan dan diyakini banyak orang.

Sebagian orang mungkin ingin berkata, "Lhah, paling rengginan saja dipersoalkan!"

Ya, benar sekali, dan itulah yang dilakukan masyarakat umum—oh, well, umum—aku benci menyebut istilah ini.

Hal-hal besar dibangun di atas hal-hal kecil. Kebenaran dibangun di atas detail.

Kalau kita mau jujur pada diri sendiri, kita akan melihat dan menyadari bahwa sebenarnya banyak hal yang kita yakini sebagai kebenaran, semata-mata karena sering dikoar-koarkan atau diyakini banyak orang.

Persoalannya, fellas, kebenaran tidak bekerja dengan cara semacam itu.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 7 Juni 2019.

Wawancara yang Gagal

Dengan antusias, reporter bertanya, “Bisa ceritakan perjalanan intelektual Anda?”

“Tidak bisa,” saya menjawab.

Dia bengong. “Kenapa tidak bisa?”

“Karena saya bukan intelektual. Saya bocah! Saya tidak punya perjalanan intelektual apa pun. Saya hanya sering pusing!”

Selasa, 23 Juli 2019

Arswendo, dan Kenangan yang Saya Ingat

Sangat berduka cita. Selamat jalan, Om Wendo.
@noffret


Indonesia kehilangan salah satu seniman terbesarnya, saat Arswendo Atmowiloto meninggal dunia, pada 19 Juli kemarin. Arswendo, sebagaimana kita tahu, telah melahirkan banyak karya, yang sebagian bahkan dikenang abadi.

Ada teman saya yang sempat mengira Arswendo sebagai tokoh fiksi. Dia suka membaca novel serial Lupus karya Hilman, dan di dalam serial itu nama Arswendo sempat disebut beberapa kali—sebagai “Redaktur HAI”—dan berperan sebagai atasan/mentor Lupus. Teman saya mengira Arswendo termasuk nama/tokoh fiksi, sebagaimana Lupus, Gusur, Boim, Fifi Alone, dan sebagainya.

Belakangan dia kaget, ketika mendapati Arswendo Atmowiloto ternyata nama asli, dan orang itu benar-benar ada di dunia nyata!

Ingatan saya pada Arswendo bukan hanya pada namanya yang muncul dalam serial Lupus, tapi juga kontroversi dan “kegegeran nasional” yang pernah ia timbulkan. Pada era 1990-an, Arswendo memimpin Monitor, salah satu tabloid populer di zamannya.

Untuk menutup tahun 1990, Monitor bikin polling berhadiah untuk pembaca. Polling-nya sederhana. Pembaca dipersilakan memilih satu tokoh idola, siapa pun—dari dalam maupun luar negeri—dan menuliskan nama si tokoh pada selembar kartu pos. Nantinya, nama-nama yang masuk akan diurutkan dalam daftar khusus, sesuai pilihan pembaca/pengirim kartu pos. Nama tokoh yang paling banyak disebut, tentu saja, akan menempati peringkat teratas.

Di era ’90-an, polling semacam itu menarik minat banyak orang Indonesia, tak jauh beda dengan acara kontes-kontesan di televisi yang meminta atensi pemirsa untuk mengirim SMS, dalam mendukung salah satu jagoan yang diidolakan. Bedanya, acara kontes di televisi menyediakan tokoh pilihan secara terbatas. Sementara polling yang diadakan Monitor tidak membatasi jumlah tokoh yang dipilih. Akibatnya, siapa pun bisa memilih siapa pun.

Belakangan, itu menjadi kesalahan tak terbayangkan, dan Arswendo sangat menyesalinya.

Ketika para pembaca Monitor mendapati polling itu, mereka pun segera antusias membeli kartu pos, menempelkan prangko, lalu menuliskan nama tokoh yang diidolakan. Motivasi utama dalam hal itu, selain mungkin memang ingin idolanya menempati peringkat teratas, juga karena mengharapkan hadiah dari polling tersebut.

Lalu ribuan kartu pos dari penjuru Indonesia berdatangan ke kantor redaksi Monitor. Seperti yang diminta dalam polling, masing-masing kartu pos berisi satu nama tokoh yang diidolakan si pengirim. Ketika ribuan kartu pos itu mulai didata untuk mengecek nama-nama tokoh, untuk kemudian diurutkan dalam daftar/peringkat, sesuatu yang tak terbayangkan terjadi.

Total kartu pos yang masuk waktu itu hampir mencapai 34.000 lembar. Artinya, ada kemungkinan ribuan nama tercantum di lembar-lembar kartu pos itu. Bahkan menggunakan rumus probabilitas paling skeptis sekali pun, selalu ada kemungkinan nama-entah-siapa muncul di lembar kartu pos. Dalam contoh mudah, Si A bisa saja mengidolakan Ketua RT di kampungnya, dan Si A menuliskan nama Pak RT tersebut di kartu pos yang ia kirimkan! Wong ia mengidolakannya, kok!

Ini benar-benar polling dengan “kekhilafan” paling berbahaya sepanjang sejarah Indonesia! Dan Arswendo, sayangnya, baru menyadari kenyataan itu setelah ribuan kartu pos menggunung di kantornya.

Mestinya, pikir Arswendo waktu itu, mereka membatasi jumlah tokoh, atau membatasi hanya tokoh di bidang tertentu, atau setidaknya membatasi hanya tokoh yang ada di Indonesia. Dengan adanya pembatasan, pilihan peserta polling akan lebih terarah dan tidak “liar” ke mana-mana hingga bebas menyebut nama siapa saja. Sayangnya, kesadaran itu sudah terlambat.

Nama-nama yang tercantum di kartu pos itu pun lalu didata, sebagaimana harusnya polling dijalankan. Seperti yang disebut tadi, ada ribuan nama yang terdata waktu itu, meski sebagian besar dari mereka terdiskualifikasi karena pemilihnya sedikit. Monitor hanya akan memilih 50 nama tokoh yang mendapat pilihan terbanyak. Dan hasilnya bikin awak Monitor pusing.

Pada 15 Oktober 1990, Monitor terbit dengan menampilkan hasil jajak pendapat, bertajuk “50 Tokoh yang Dikagumi Pembaca”. Di peringkat teratas, bertengger nama Presiden Soeharto, dengan 5.003 suara dari kartu pos kiriman pembaca. Peringkat di bawahnya ditempati B.J. Habibie, lalu Ir. Sukarno, Iwan Fals, Zainudin MZ, Try Sutrisno, Saddam Hussein, Siti Hardiyanti Rukmana (putri Soeharto), dan Arswendo Atmowiloto sendiri.

Sampai di situ mungkin tidak ada masalah. Masalahnya baru muncul pada posisi ke-11. Di posisi itu tercantum nama Nabi Muhammad, dengan jumlah pemilih sebanyak 616 kartu pos! Di Indonesia, setidaknya di masa itu, rupanya ada lebih banyak orang yang mengidolakan Soeharto, Iwan Fals, hingga Arswendo Atmowiloto, daripada mengidolakan Nabi Muhammad. Polling Monitor, setidaknya, telah membuktikan.

Inilah kekhilafan Arswendo, yang sayangnya terlambat disadari. Dalam kata-katanya sendiri, waktu itu Arswendo mengatakan, “Tanpa ada yang memberi tahu pun, harusnya saya sudah tahu. Nyatanya saya bego, sangat bego!”

Ketika nama-nama “tokoh idola” itu terdata dan tersusun sebagaimana hasil polling, Arswendo sudah menyadari sesuatu yang bermasalah. Dia cukup waras untuk memahami bahwa menempatkan Nabi Muhammad di bawah nama-nama orang lain—termasuk namanya sendiri—pasti akan menimbulkan masalah. Tapi nasi sudah menjadi bubur. Ketika kesadaran itu muncul, Arswendo berhadapan dengan etika dan kejujurannya sendiri—bukan hanya sebagai manusia, tapi juga sebagai jurnalis.

Dia sadar, jika hasil polling itu diterbitkan, tabloid yang dipimpinnya akan menuai masalah. Tetapi, jika dia tidak menerbitkan hasil polling itu, dia akan mengkhianati para pembacanya. “Jalan tengah” mungkin bisa dilakukan, yakni dengan “mengacak” nama-nama itu dan menempatkan siapa di tempat mana. Tapi Arswendo terlalu jujur untuk melakukannya. Dia tidak ingin melukai integritasnya, sebagaimana tidak ingin mengkhianati pembacanya.

Akhirnya, sebagaimana yang disebut tadi, polling itu benar-benar diterbitkan sebagaimana adanya, sesuai pilihan para pembaca Monitor, dan nama-nama yang tercantum dalam “50 Tokoh yang Dikagumi Pembaca” adalah murni hasil pilihan peserta polling.

Akibatnya bisa ditebak. Umat Islam di Indonesia ngamuk. Mereka tidak terima Nabi junjungan yang dihormati umat muslim sedunia ditempatkan di bawah Soeharto, di bawah Iwan Fals, di bawah Siti Hardiyanti Rukmana, bahkan di bawah Arswendo Atmowiloto!

Waktu itu, nyaris semua tokoh Islam sama-sama mencerca Monitor dan Arswendo atas polling yang mereka terbitkan. Bahkan Cak Nur (Nurcholis Madjid) yang terkenal sebagai cendekiawan muslim moderat pun ikut marah. Cak Nun (Emha Ainun Nadjib) yang sebelumnya terkenal mampu meredam amarah umat Islam, waktu itu memilih diam. KH. Hasan Basri, Ketua MUI waktu itu, ikut marah. Zainuddin MZ, ustaz berjuta umat, juga marah. Amien Rais? Sudah jelas dia marah!

Satu-satunya tokoh Islam yang waktu itu berani “membela” Arswendo, dan berupaya meredam kemarahan umat Islam, hanya Gus Dur (Abdurrahman Wahid), yang waktu itu menjabat Ketua Umum PBNU. “Wibawa Nabi Muhammad tidak akan berkurang,” kata Gus Dur, “hanya karena kasus Monitor.”

Sayangnya, tidak semua orang Islam berpikir seperti Gus Dur. Lebih dari itu, tidak semua orang menyadari apa yang sebenarnya waktu itu terjadi.

Kalau mau, sebenarnya, Arswendo bisa saja tidak menerbitkan hasil polling, dan dia bisa mengarang dalih apa pun untuk mengatasi kekecewaan peserta/pembacanya. Kalau mau, Arswendo bisa saja mengacak dan mengubah susunan daftar hasil polling, demi memuaskan semua orang, dan para peserta polling tidak akan tahu.

Tapi dia tidak melakukannya. Dia tidak ingin melukai integritasnya sendiri, sebagaimana dia tidak ingin mengkhianati kepercayaan pembacanya. Dan dia pula yang menanggung risikonya. Tabloid Monitor yang dipimpinnya akhirnya dibredel, sementara Arswendo menyatakan permintaan maaf secara terbuka, menjalani pengadilan, dan divonis 5 tahun penjara. Dia menjalani hukumannya dengan patuh, sampai kemudian bebas.

Kini, orang berintegritas itu telah tiada. Dia tidak hanya mewariskan karya-karyanya untuk dunia, tapi juga meninggalkan kisah tentang seseorang yang tetap memilih jujur... meski harus dihukum karena kejujurannya.

Cinta Tak Kenal Hari Libur

Ingin kaya, tapi malas kerja.
Ingin banyak uang, tapi suka hari libur.
Ingin sukses, tapi senang malas-malasan.

Tidak masuk akal, tapi dilakukan.

"Orang hanya bisa menjadi sesuatu yang ia sukai." Itu hal penting yang tidak pernah diajarkan di sekolah, tapi berlaku sampai mati.

Orang hanya bisa menjadi sesuatu yang ia sukai. Sebaliknya, orang tidak akan bisa menjadi sesuatu yang ia benci.

Orang-orang sukses (dan kaya dari pekerjaannya) adalah orang-orang yang menyukai pekerjaannya. Sebegitu suka, hingga mereka ingin terus bekerja dan benci hari libur.

Kalau kau menyukai pekerjaanmu, hingga ingin terus melakukannya tanpa henti, kau bisa yakin pekerjaan itu akan membawa kesuksesan, kapan pun waktunya. Tetapi kalau kau membenci pekerjaanmu, sampai mati pun pekerjaan itu tidak akan memberi apa-apa, meski kau sangat kelelahan.

Tidak ada satu pun orang sukses dan kaya-raya dari pekerjaannya yang membenci pekerjaannya. Itu hukum abadi di balik setiap pencapaian di dunia. Karenanya, satu-satunya cara untuk bisa mencapai kesuksesan terkait pekerjaan adalah dengan mematuhi hukum itu. Cintai yang kaulakukan.

Cara mudah untuk tahu apakah kita mencintai pekerjaan kita atau tidak, cukup dengan melihat datangnya hari libur, khususnya liburan panjang. Kalau kita senang dengan datangnya hari libur (apalagi liburan panjang), artinya kita tidak mencintai pekerjaan yang kita lakukan.

Kata Kahlil Gibran, "Pekerjaan adalah cinta yang terlihat."

Dan cinta tak mengenal hari libur. Orang-orang yang mencintai pekerjaannya adalah mereka yang ingin terus bekerja. Karena dalam bekerjalah mereka menikmati kebahagiaan, kepuasan hati, senyum, dan pencapaian hidup.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 17 Agustus 2018.

Bocah yang Suka Gemes

Akuh.

Jumat, 19 Juli 2019

Filosofi Sambal Terasi

Dari tadi malas keluar, karena pede gak lapar.
Sekarang, di hadapan nasi, lalap, dan sambal,
baru sadar perut sangat keroncongan.
@noffret


Sebagian orang menyukai sambal terasi, sebagian lain tidak suka, sementara yang lain lagi menganggap sambal terasi biasa-biasa saja. Dalam hal ini, saya termasuk yang menyukai. Sebenarnya, saya bahkan penggila sambal terasi.

Perkenalan saya dengan sambal terasi dimulai dari warung ini. Bertahun lalu, saya makan di sana, dan menikmati pecel lele dengan sambal terasi. Seketika saya terpesona. Seumur-umur, belum pernah saya makan senikmat waktu itu. Sebegitu nikmat, hingga saya makan banyak sekali. Padahal sangat jarang saya makan banyak.

Nasi yang disajikan di warung itu memenuhi kualifikasi saya—ditanak dengan baik, butiran-butiran nasinya saling terlepas, empuk, tapi tidak lengket. Nasi yang sempurna semacam itu dipadukan dengan pecel lele yang masih panas, dan sambal terasi hitam. Ya Tuhan... rasanya tak bisa dijelaskan kata-kata. Setiap kali makan di sana, tentu dengan sambal terasi, saya merasa sedang menikmati hidangan surga.

Jika saya termasuk penggila sambal terasi, ada pula orang-orang yang justru tidak doyan sama sekali. Mungkin karena mengetahui proses pembuatan terasi yang membuat mereka kehilangan selera. Atau mungkin karena hal lain—saya tidak tahu pasti. Kemudian, ada pula orang-orang yang menganggap sambal terasi “biasa-biasa saja”. Dibilang enak ya bisa, dibilang tidak enak ya bisa.

Terkait sambal terasi, bisa jadi masalahnya cuma selera. Atau karena latar belakang tertentu. Itu hal biasa. Dalam hal ini, untungnya, kita bisa memahami, dan tidak saling menyalahkan hanya karena berbeda selera dan pilihan.

Meski teman-teman saya ada yang tidak doyan sambal terasi, mereka tidak pernah menyalah-nyalahkan saya karena suka sambal terasi. Sebaliknya, saya juga tidak pernah membuang-buang waktu untuk merayu atau memprovokasi mereka agar suka sambal terasi. Karena, meski mungkin nikmat luar biasa bagi saya, belum tentu begitu pula bagi orang lain.

Dalam hal bumbu makanan, semisal sambal terasi, kita bersedia memahami bahwa selera orang bisa berbeda, kita bisa saling bertoleransi bahwa masing-masing kita bisa berbeda. Ada yang suka pedas, ada yang tidak. Ada yang suka kecap, ada yang tidak. Ada yang suka asin, ada yang tidak. Begitu pula, ada yang suka sambal terasi, ada pula yang tidak.

Semua itu hanya bumbu makanan, yang ditujukan untuk menyedapkan makanan pokok yang kita konsumsi. Intinya adalah makanan pokok, sementara asin, manis, pedas, hingga sambal terasi, semua hanya bumbu, atau pelengkap. Karena sifatnya hanya bumbu atau pelengkap, kita bahkan boleh menggunakan atau tidak! Sebab intinya adalah makan, menjaga tubuh senatiasa sehat, agar dapat melanjutkan kehidupan dengan baik. Hanya itu. Soal rasa, itu selera.

Omong-omong soal kehidupan, nasi dan bumbunya bisa menjadi ibarat yang baik untuk kehidupan yang kita jalani. Masing-masing orang memiliki kehidupan sendiri, dan itulah pokok yang dimiliki setiap orang. Tetapi, terkait bumbu, setiap orang bisa berbeda.

Ada banyak bumbu kehidupan, sebagaimana ada banyak bumbu makanan. Kesukaan atau ketidaksukaan, kecocokan atau ketidakcocokan, itu sebenarnya hal biasa dalam kehidupan manusia.

Sebagai misal, ada orang yang sangat suka traveling. Sebegitu suka, sampai mereka rela menabung demi bisa jalan-jalan ke luar kota atau luar negeri. Mereka benar-benar suka, dan menikmati aktivitas traveling, dan menganggap sebagai hal penting dalam hidup. Apakah itu salah? Tentu saja tidak! Wong itu hanya bumbu kehidupan. Intinya adalah hidup. Soal bagaimana orang menjalani hidup, itu urusan mereka.

Sebaliknya, ada orang yang justru senang tinggal di rumah, damai meringkuk di sofa, sambil membaca buku. Sebegitu suka, sampai mereka tidak ingin keluar rumah, kalau saja tidak ada kepentingan atau keperluan. Mereka menganggap rumah adalah surga, dan bahagia di dalamnya. Apakah itu salah? Tentu saja tidak! Wong itu hanya bumbu kehidupan. Intinya adalah hidup. Soal bagaimana orang menjalani hidup, itu urusan mereka.

Lalu soal musik, film, bacaan favorit, jenis pakaian, makanan dan minuman kesukaan... daftarnya masih panjang. Semua itu bumbu kehidupan. Ada yang suka film komedi, ada pula yang suka film action. Sama-sama tidak salah, karena hanya soal selera. Ada yang suka novel detektif, ada yang suka novel drama. Sama-sama sah, meski berbeda.

Bahkan, dengan cara bagaimana kita menjalani kehidupan, itu juga hanya bumbu. Misal, ada yang menjadi dokter. Ada yang menjadi pilot. Ada yang menjadi penulis. Ada yang menjadi polisi. Ada yang menjadi pelukis. Daftarnya masih panjang. Dan kita bersyukur karena orang-orang memiliki profesi berbeda, sehingga saling membutuhkan dan saling melengkapi.

Apakah kita pernah menganggap orang lain salah, hanya karena ia memilih menjadi dokter? Apakah kita pernah menyalahkan orang lain, hanya karena ia memilih menjadi pilot? Tentu saja tidak, karena kita menyadari setiap orang memang bisa berbeda cita-cita, berbeda pilihan, dan setiap pilihan adalah hasil panjang latar belakang orang bersangkutan.

Ada orang yang lahir dan tumbuh di keluarga dokter. Ayah ibunya dokter. Kakek neneknya dokter. Bahkan famili-familinya pun dokter. Karena sejak kecil hidup di lingkungan dokter, kemungkinan besar dia pun terpengaruh untuk juga menjadi dokter. Itu sesuatu yang wajar dan alamiah. Ketika akhirnya dewasa, dia pun masuk Fakultas Kedokteran, lalu menjadi dokter. Dia telah memilih hidupnya, yaitu menjadi dokter. Dalam hal ini, pilihan tersebut dilatari oleh lingkungan keluarga.

Tetapi, kadang-kadang, tidak harus begitu yang terjadi.

Misal, ada orang yang lahir dan tumbuh di keluarga dokter. Ayah ibunya dokter. Kakek neneknya dokter. Bahkan famili-familinya pun dokter. Suatu hari, dia melihat seorang pelukis yang membuatnya terpesona. Lalu tertarik pada lukisan. Ketertarikan itu bahkan berlangsung bertahun-tahun, sampai dewasa. Ketika akhirnya dewasa, ia tahu panggilan hatinya pada seni lukis, dan ingin menjadi pelukis. Dia menyadari, dia tumbuh di keluarga dokter. Tapi dia juga menyadari, ingin menjadi pelukis. Maka dia pun mengejar impian itu, hingga benar-benar menjadi pelukis yang menikmati pekerjaannya.

Dua ilustrasi di atas tentu saja berbeda. Yang satu mengikuti lingkungan, sementara yang satu berbeda dengan lingkungan. Tetapi, dua-duanya tidak ada yang salah!

Karena intinya adalah hidup. Soal bagaimana orang menjalani kehidupan, itu tergantung pada pilihan masing-masing. Selama orang berbahagia menjalani pekerjaannya—entah menjadi dokter, pelukis, polisi, pilot, atau yang lain—kita tidak bisa menyalahkan. Karena itu pilihan mereka, karena itu hanya bumbu kehidupan. Sama seperti saya tidak bisa menyalahkan orang lain karena tidak doyan sambal terasi, padahal bagi saya rasanya nikmat sekali!

Sambal terasi hanya bumbu. Intinya adalah makanan pokok. Pilihan dalam menjalani kehidupan hanya bumbu. Intinya adalah hidup!

Makanan, pakaian, musik, film, buku bacaan, sampai profesi atau pekerjaan yang ditekuni, semuanya adalah pilihan yang diambil masing-masing orang sesuai panggilan jiwa—sesuatu yang membuat bahagia. Omong-omong, bukankah itu sebenarnya inti kehidupan? Hanya memenuhi panggilan jiwa, dan menikmati hidup dengan hati bahagia.

Intinya adalah hidup. Soal bagaimana menjalani kehidupan, tergantung pilihan setiap orang.

Jika dalam makanan, pakaian, musik, film, buku bacaan, hingga profesi dan lain-lain, kita bisa legowo menerima perbedaan orang per orang, kenapa kita masih berusaha menyalahkan orang lain, hanya karena mereka memiliki pilihan yang berbeda dengan kita?

Seperti perkawinan, misalnya. Perkawinan, sebenarnya, tidak jauh beda dengan sambal terasi. Bagi sebagian orang, mungkin nikmatnya luar biasa. Tetapi, sebagian lain menganggap biasa-biasa saja. Bahkan, ada pula orang yang mencoba sambal terasi, lalu muntah, dan tidak pernah mencoba lagi selamanya. Karena, menurut mereka, rasanya aneh dan mengerikan.

Perkawinan, sebagaimana hal lain, hanya bumbu kehidupan. Dan sebagaimana bumbu, ada yang cocok, ada pula yang tidak. Intinya adalah hidup. Soal bagaimana orang menjalani kehidupan, itu tergantung pilihan.

Jika seseorang memilih menikah, karena berpikir pernikahan akan menambah kebahagiaan hidupnya, lalu dia menikah dan berkeluarga, apakah salah? Tentu saja tidak! Karena perkawinan hanyalah bumbu. Cara orang meraih dan menikmati kebahagiaan, bisa berbeda orang per orang.

Begitu pula, jika seseorang memilih tidak menikah—atau setidaknya menunda menikah—karena berpikir hidup sendirian membuatnya lebih tenteram dan bahagia, lalu memutuskan tidak buru-buru menikah, apakah salah? Jawabannya sama, tentu saja tidak! Karena menikah atau tidak hanyalah bumbu. Cara orang meraih dan menikmati kebahagiaan, bisa berbeda orang per orang.

Sebagai penikmat sambal terasi, saya tidak pernah menyalahkan orang lain yang tidak doyan sambal terasi. Saya juga tidak pernah merayu apalagi memprovokasi orang-orang lain agar suka sambal terasi. Karena, yang nikmat bagi saya belum tentu nikmat bagi orang lain. Dan saya bersyukur, mereka juga tidak pernah menyalahkan saya karena menyukai sambal terasi.

Kasus JIS, Sekali Lagi

Lagi googling sesuatu, dan tanpa sengaja nemu berita lama terkait kasus DUGAAN pelecehan seksual di JIS, beberapa tahun lalu. Dan sekarang aku gatal ingin ngoceh. Sebelumnya, berikut ini artikel yang kutemukan. Tertanggal 30 Oktober 2017. » Kasus Pencabulan JIS dan Buruk Muka Pengadilan Indonesia.

Artikel semacam itu (dari media mana pun) bagus dan memiliki kekuatan, jika—dan hanya jika—ditulis dan diterbitkan ketika kasus sedang bergulir, atau sebelum kasusnya berakhir. Sayangnya, artikel bagus itu muncul setelah semuanya dianggap sudah selesai. Hasilnya cuma mubazir.

Awak media bahkan seperti pura-pura lupa bagaimana reaktifnya mereka dulu, ketika kasus JIS mulai muncul. Mereka tiba-tiba berubah menjadi burung-burung nasar yang haus darah, dan melupakan investigasi, klarifikasi, dan verifikasi. Oh, tidak usah marah, itu mudah dibuktikan.

Jika kita membongkar arsip-arsip lama di banyak media di Indonesia, khususnya terkait kasus JIS, kita akan menemukan setumpuk “kegilaan luar biasa” yang telah dilakukan awak media di Indonesia. Mereka menulis apa pun terkait kasus JIS dengan membabi-buta, seolah hari esok tiada.

Ketika kasus JIS bergulir, tiba-tiba semua orang merasa perlu unjuk diri, dan ngoceh apa saja terkait JIS. Prasangka dan emosi bercampur, hingga menciptakan kekeruhan luar biasa. Awak media yang mestinya menjernihkan justru memperkeruh dengan berita-berita yang ditulis seenaknya.

Hasil dari semua kegilaan itu kemudian melahirkan dampak mengerikan. Orang-orang yang belum tentu bersalah dijatuhi hukuman berat untuk kesalahan yang belum tentu mereka lakukan. Dan, omong-omong, sementara kita cekikikan tanpa dosa hari ini, mereka masih mendekam di penjara.

Kasus JIS—dan kasus-kasus lain serupa—mestinya memberi kita pelajaran. Kepada awak media; hindari prasangka dan kedepankan investigasi. Sementara kepada kita semua; tahanlah emosi dan tidak usah sok tahu bahwa pihak tertuduh pasti salah. Karena ulah kita bisa sangat berbahaya.

Terkait kasus-kasus besar semacam kasus JIS, ada baiknya kita menahan diri untuk tidak ngomong sembarangan. Ada nyawa dan kehidupan orang-orang yang dipertaruhkan, dan mereka belum tentu bersalah. Omongan (baca: tekanan) kita bisa memenjarakan orang yang belum tentu bersalah.

Tanpa bermaksud apa pun, ini catatanku terkait kasus JIS, ketika kasus itu baru bergulir, ketika seluruh Indonesia sangat yakin bahwa para tertuduh memang bersalah. Omong-omong, aku bahkan dituduh dibayar karena menulis ini:

Kasus JIS: Sebuah Catatan » http://bit.ly/16LtOaJ


Catatan detail itu kutulis tanpa meninggalkan tempat duduk. Jika aku yang hanya duduk saja bisa melihat banyaknya ketidakberesan terkait kasus itu, mestinya awak media—yang turun ke lapangan dan mewawancarai banyak orang—bisa lebih tahu dariku. Jadi, apa yang kalian lakukan?


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 29 September 2018.

Siapah

Seorang bocah melangkah sendirian. Ketika langkahnya sampai di sebuah batu besar hitam berlumut, dia berhenti sejenak, dan menepuk batu itu sambil berkata, “Kamu siapah?”

Lalu dia meneruskan langkah.

Melihat itu, saya tertarik menirunya. Ketika langkah saya sampai pada batu besar hitam berlumut, saya berhenti sejenak, dan menepuk batu itu sambil berkata, “Kamu siapah?”

Entah kenapa, rasanya menyenangkan.

Minggu, 14 Juli 2019

Orang Tuamu Bukan Orang Tuaku

Tentu banyak anak yang bahagia dengan hidupnya,
mensyukuri kelahirannya, dan sangat mencintai orang tuanya.
Mungkin kau termasuk di antara mereka—dan kau orang beruntung.
Sayangnya, tidak semua anak seberuntung dirimu.
@noffret


Ada orang-orang yang memuja orang tuanya, dengan berbagai sebab dan alasan; ada pula orang-orang yang membenci orang tuanya, dengan berbagai sebab dan alasan. Karena meski sama-sama orang tua, mereka tetap manusia. Dan manusia selalu memiliki perbedaan—dalam cara berpikir, cara bersikap, kebaikan, dan keburukan. Dalam hal itu, si anak menjadi pihak yang paling tahu seperti apa orang tuanya, karena si anak yang menghabiskan sebagian besar hidupnya dengan si orang tua.

Karenanya, saya sering merasa “kesandung” setiap kali mendengar orang mengatakan puja-puji pada orang tua, sembari menyuruh-nyuruh orang lain agar melakukan hal yang sama. Yang jadi persoalan di sini, orang tua Si A mungkin memang baik. Tapi tidak semua orang tua di muka bumi sebaik orang tua Si A. Bisa jadi, Si B atau Si C justru sangat membenci orang tuanya, karena perilaku si orang tua yang memang buruk.

Meyakini bahwa setiap orang tua pasti baik itu namanya generalisasi, dan manusia—termasuk orang tua—tidak bisa digeneralisasi. Tolong berhentilah menipu diri sendiri dengan mengatakan semua orang tua pasti baik, dan tidak ada orang tua yang ingin menjerumuskan anaknya. Karena doktrin itu sudah terbukti basi. Realitas sudah menunjukkan dengan sangat jelas bahwa di dunia ini ada banyak orang tua yang buruk, juga banyak orang tua yang menjerumuskan anaknya sendiri.

Orang tua yang tidak bertanggung jawab pada anaknya, dan membiarkan anak-anaknya telantar dan terlunta-lunta—apa namanya jika bukan orang tua yang buruk? Orang tua yang melakukan kekerasan dan penganiayaan terhadap anaknya, dan menjadikan hal itu sebagai kepuasan diri sendiri sebagai orang tua—apa namanya jika bukan orang tua yang buruk? Ayah yang memperkosa putrinya, atau ibu yang menjual anaknya ke pelacuran—apa namanya jika bukan orang tua yang buruk?

Sebagian orang yang masih ngotot mungkin ingin mengatakan, “Ah, itu kan hal-hal yang terlihat mata kita. Siapa tahu orang tua melakukan hal-hal itu sebenarnya dengan niat baik?”

Jika ada yang ingin mengatakan dalih semacam itu, ini jawabannya: Niat seseorang adalah urusan hati, dan itu urusannya pribadi. Yang dilihat orang lain adalah hasil dari niat itu—ketika diwujudkan dalam perbuatan—dan itulah yang dinilai, karena memang hanya itulah yang bisa dinilai. Niat adalah urusan dengan Tuhan, karena manusia lain hanya bisa melihat perbuatan.

Seorang ayah yang memperkosa putrinya mungkin punya niat baik—oh, well, niat baik! Tapi apakah kemudian kita bisa membenarkan perilakunya (memperkosa putrinya) hanya dengan berdalih bahwa dia punya niat baik?

Seorang ibu yang menjual anaknya ke pelacuran mungkin punya niat baik—oh, well, niat baik! Tapi apakah kemudian kita bisa membenarkan perilakunya (menjual anak ke pelacuran) hanya dengan berdalih bahwa dia punya niat baik?

Begitu pula dengan perilaku dan perbuatan lain yang dilakukan orang tua kepada anak-anaknya. Yang bisa kita nilai adalah perbuatannya, terlepas apa pun niatnya. Orang tua yang menganiaya anak mungkin punya niat baik—sebelas dua belas dengan orang tua yang memperkosa anaknya atau menjual anaknya ke pelacuran. Tapi bukan berarti kemudian kita bisa membenarkan perilakunya hanya dengan berdalih “orang tua pasti berniat baik”. Sudah saatnya kita sadar dari mabuk doktrin yang merusak!

Sekali lagi, di dunia ini memang ada orang tua yang baik—sebegitu baik, hingga anak-anaknya memuja dan ingin meneladani mereka. Ada anak-anak yang berkata, “Kelak, setelah menjadi orang tua, aku ingin seperti ayahku.” Ada pula yang mengatakan, “Kelak, setelah berumah tangga, aku ingin seperti ibuku.”

Anak-anak itu termasuk orang-orang beruntung, karena memiliki orang tua baik yang mampu memberikan contoh dan teladan baik. Sebegitu baik, sampai anak-anaknya ingin meniru dan meneladani! Bahkan para malaikat di surga pun akan sepakat orang tua semacam itu pasti baik.

Tetapi, sayang, tidak semua orang tua pasti begitu. Di antara banyak orang tua yang baik, dunia ini juga penuh orang tua yang buruk. Sebegitu buruk, sampai anak-anaknya tidak ingin meniru apalagi meneladani! Dalam hal ini, saya termasuk di antaranya.

Ayah saya mungkin orang baik, dan siapa pun yang mengenalnya akan bersaksi bahwa dia memang orang baik. Tetapi, sebagai anaknya, saya tahu dia bukan ayah yang baik. Selain cara mendidiknya yang sangat salah, ayah saya juga kurang memiliki tanggung jawab—yang belakangan melahirkan petaka dalam hidup saya.

Dulu, waktu saya masih anak-anak, saya kerap mendapati ayah menganggur dan terlihat santai di rumah, padahal waktu itu kami dalam kondisi miskin dan kekurangan. Ayah tidak tampak berusaha mencari kerja, atau berupaya mendapat penghasilan agar bisa menghidupi keluarganya. Kalau ada panggilan kerja, dia berangkat kerja. Kalau tidak ada pekerjaan, dia santai-santai saja, seolah malaikat akan turun dari langit membawakan makanan untuk kami.

Saya tentu tidak tahu apa yang ada dalam pikiran ayah waktu itu—mungkin niatnya baik, persis seperti dalih orang tua lain. Jadi, meski saban hari dia menganggur dan kami sekeluarga dibelit kemiskinan yang mengerikan, niat ayah saya mungkin baik. Oh, well, niatnya baik! Tidak ada orang tua yang ingin menjerumuskan anaknya, eh?

Tapi saya tidak bisa melihat niat seseorang, meski itu ayah saya sendiri! Yang bisa saya lihat adalah hasilnya; bahwa dia menganggur, dan tampak tidak punya tanggung jawab, hingga keluarga kami dihimpit kesusahan!

Latar belakang itulah, yang kemudian sampai membuat saya berusaha mencari uang sendiri di jalanan, ketika saya masih kelas 5 SD! Karena orang tua saya bahkan tidak mampu memberi uang saku, hingga saya tidak pernah bisa jajan di sekolah!

Kebiasaan menganggur ayah saya terus berlanjut, ketika saya beranjak remaja, hingga terus tumbuh besar. Dia tidak berubah, tetap santai menjalani hidup, dan tampak tak punya tanggung jawab.

Di masa-masa itu, saya kerap membatin, “Daripada dia cuma duduk-duduk di rumah tanpa ada yang dikerjakan, mbok coba mencari pekerjaan di luar, atau berusaha melakukan sesuatu yang bermanfaat.”

Tapi saya tidak pernah mengatakannya, selain hanya menyimpannya dalam batin. Yang jelas, kenyataan itu belakangan membentuk saya menjadi sosok yang 180 derajat berbeda dengan ayah saya sendiri. Inilah latar belakang yang kemudian menjadikan saya sangat giat bekerja—sesuatu yang bahkan menjadi sifat terbesar saya sampai saat ini. Alasannya sederhana: Saya tidak ingin seperti ayah saya!

Manusia dibentuk oleh pengalamannya, masa lalunya, bahkan oleh luka dan trauma yang dialaminya. Bagaimana kau menilai orang tuamu, tak bisa dilepaskan dari bagaimana orang tuamu yang kaulihat sejak kecil. Bahkan apakah kau ingin meniru orang tuamu atau tidak, sepenuhnya tergantung pada bagaimana perlakuan orang tua kepadamu. Kalau orang tuamu buruk, bahkan iblis di neraka pun tahu, kau tidak ingin meniru mereka!

Sayangnya, ayah saya bukan hanya pemalas, tapi juga kurang punya tanggung jawab. Saya sengaja menggunakan istilah “kurang punya tanggung jawab”, karena dia mungkin punya tanggung jawab, tapi sangat minim. Yang membuat saya sangat marah, sifat “kurang tanggung jawab” itu, ternyata, menciptakan tumpukan masalah dan petaka ketika saya dewasa.

Sedari dulu, sejak saya masih kecil, ucapan yang biasa keluar dari mulut ayah saya adalah, “Ntar, gampang.” Dia terbiasa menggampangkan segala sesuatu, tanpa niat mengurus atau membereskan dengan tanggung jawab.

Di masa-masa itu, sejak saya masih kecil sampai besar, saya kadang mendapati ibu saya mengatakan sesuatu pada ayah, yang intinya meminta ayah untuk mengurus sesuatu. Tapi jawaban ayah selalu, “Ntar, gampang.”  

Dan “ntar”-nya itu tidak pernah terwujud, tidak pernah dia lakukan, kecuali jika ibu sampai marah hingga terjadi pertengkaran dan keributan.

Jadi, selama bertahun-tahun, kadang ada sesuatu yang seharusnya dibereskan, tapi ayah saya hanya menjawab, “Ntar, gampang.” Lalu satu masalah bertumpuk dengan masalah lain, dan terus bertumpuk karena tidak pernah diurus atau dibereskan. Tumpukan masalah itu mengendap diam-diam, selama bertahun-tahun. Semuanya terlihat biasa, hingga saya pun tidak tahu, atau tidak menyadari, bahwa kelak hal itu akan menjadi masalah besar.

Ketika kemudian ayah saya meninggal dunia, tumpukan masalah yang ditinggalkannya seperti menjelma monster yang mencabik-cabik kehidupan saya.

Setelah dia meninggal dunia itulah, saya baru tahu petaka apa yang dia tinggalkan sebagai warisan, dan saya harus bersusah-payah membereskannya. Saya tidak bisa menjelaskan persoalan itu secara detail di sini. Yang jelas, dampak yang timbul pada diri saya sangat merusak, hingga saya ditikam stres berkepanjangan, sampai mengalami masalah kesehatan seperti yang saya ceritakan di catatan ini.

Selama bertahun-tahun, hingga sampai saat ini, saya terus berkubang dalam masalah yang ditinggalkan ayah saya. Dia mati bukan meninggalkan harta warisan, tapi justru masalah yang harus dibereskan. Sampai saya menulis catatan ini, ada satu masalah yang masih menggantung di pengadilan, yang masih belum selesai meski telah berlangsung bertahun-tahun.

Dan saya harus membereskan semua petaka itu sendirian. Ibu saya terlalu bodoh untuk memahami masalah yang terjadi, sementara adik saya—yang terbesar—sudah sibuk dengan keluarga serta urusannya sendiri. Famili dan saudara pura-pura tak tahu, bahkan sebagian teman yang saya mintai tolong pun perlahan menjauh. 

Sekarang kalian paham kenapa dampak stres yang saya alami begitu mengerikan, seperti yang saya ceritakan di catatan kemarin, dan sekarang kalian paham kenapa saya mengatakan sudah muak dengan masalah! Saya menjauhi masalah seperti menjauhi lepra—atau ebola, atau AIDS, atau apa pun—karena hidup saya sudah penuh masalah!

Mungkin orang tuamu baik. Sayangnya, tidak semua orang tua sebaik orang tuamu. Mungkin keluargamu begitu indah. Sayangnya, tidak semua keluarga seindah keluargamu. Memaksakan cara hidupmu kepada orang lain adalah sebentuk kebodohan, kalau tak mau disebut kejahatan.

Dan jangan pernah menggampangkan masalah—apalagi masalah yang dialami orang lain—karena sekarang kau telah melihat dampak mengerikan yang ditimbulkan dari kebiasaan terkutuk itu. Ayah saya sangat tahu cara menggampangkan masalah, tapi dia tidak pernah tahu akibat yang ditimbulkannya.

Mengajak Hidup Keblangsak

Kalau orang tuamu mendidik serta membesarkanmu dengan penuh kasih, hingga kau tumbuh menjadi pribadi yang menatap hidup dengan indah, dan mereka mempersiapkan segalanya dengan baik sehingga kau tidak akan kebingungan jika ditinggal mereka mati, kau sungguh anak beruntung.

Yang paling malang di muka bumi adalah anak-anak yang dibesarkan dengan kekejaman hingga tumbuh menjadi pribadi yang menatap hidup dengan suram. Dan saat orang tua mati, mereka tidak meninggalkan warisan berharga, selain hanya tumpukan masalah yang harus diselesaikan anaknya.

Ada pepatah Jawa terkenal, "anak polah bapak kepradah", yang artinya kira-kira "kesalahan anak akan ditanggung orang tuanya." Sayangnya, dalam realitas, hal sebaliknya juga sering terjadi. Orang tua—karena kebodohan—melakukan kesalahan, dan si anak yang menanggung akibatnya.

Di dunia ini, ada anak-anak yang dilahirkan hanya untuk menghadapi luka dan petaka yang ditimbulkan orang tuanya. Mereka lahir tanpa meminta, mereka tumbuh bersama kekejaman orang tua, dan saat dewasa... mereka ditimbuni masalah demi masalah demi masalah yang dibuat orang tuanya.

Karenanya aku tidak heran, saat tempo hari ada yang menulis tweet, "Orang tua yang tidak mampu punya anak tapi memutuskan punya anak, mestinya dijerat pasal kekerasan anak. Karena itu sama saja mengajak anak untuk bersama-sama hidup keblangsak."

Itu setara kejahatan berencana.

Untuk menjadi dokter, orang perlu belajar bertahun-tahun. Untuk menjadi guru, orang perlu belajar bertahun-tahun. Untuk menjadi pilot, orang perlu belajar bertahun-tahun. Tapi untuk menjadi orang tua dan membesarkan anak, mereka sama sekali tidak belajar! Benar-benar mengerikan.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 15 April 2019.

Nyata dan Tampak Nyata

Ada hal-hal yang nyata dan tampak nyata. Kalau kau berpikir aku tidak bisa membedakan keduanya, mungkin kau yang justru tidak bisa membedakan keduanya.

Senin, 08 Juli 2019

Menjelang Kematian

"Takdir terbaik," kata Soe Hok Gie, "adalah tidak dilahirkan."
Dan dia beruntung, karena segera dijemput kematian.
Kalau saja bisa, aku ingin seperti dirinya.
@noffret


Orang bisa mati kapan pun, dan itulah yang terpikir di kepala saya, ketika sesuatu muncul tiba-tiba, dan saya sangat terkejut.

Saya sedang duduk di sofa sambil membaca buku, suatu malam, ketika tiba-tiba dada terasa sakit. Maksud saya, sangat... sangat sakit. Seperti ada sesuatu yang menghantam dada saya dengan keras, lalu menghimpitnya dengan sama keras.

Saya meletakkan buku di meja, membaringkan tubuh di sofa, dan meraba dada, mencoba memahami apa yang sedang terjadi. Saya merasakan detak jantung tak beraturan, di atas normal. “Ada yang tidak beres,” pikir saya.

Selama berbaring di sofa, sambil memegangi dada yang sakit, saya mencoba mengatur pernapasan yang waktu itu tiba-tiba sesak. Saya menarik napas panjang, lalu mengembuskan perlahan, berharap—entah bagaimana caranya—hal itu bisa mengurangi sakit di dada.

Beberapa menit kemudian, sakit itu hilang.

Saya bangkit dari sofa, pergi ke dapur, lalu membuat teh hangat, dan udud. Sambil udud, saya berpikir apa yang tadi saya alami. Kenapa tiba-tiba dada sangat sakit, padahal waktu itu saya sedang duduk santai di sofa?

Sempat ada pikiran “mengerikan”, terkait kemungkinan serangan jantung. Saya telah membaca banyak jurnal medis, dan saya cukup tahu soal serangan jantung. (Sebagian orang mungkin mengira serangan jantung hanya terjadi pada orang-orang lanjut usia. Keliru! Serangan jantung tidak memandang usia, dan bisa menyerang siapa pun, meski usiamu masih muda). Tetapi, seperti umumnya orang lain, saya berusaha mengenyahkan pikiran buruk itu, dan berharap sesuatu yang terjadi pada saya hanyalah “kebetulan biasa”.

Berusaha “ngadem-ngademi” diri sendiri, saya mencoba berpikir, “Mungkin tadi posisi dudukku tidak benar.” Meski mungkin tidak ilmiah, saya berusaha mempercayai bahwa itulah yang terjadi.

Malam itu berlalu, dan tidak ada kejadian apa-apa. Keesokan harinya, saya pun merasakan tubuh baik-baik saja, dan saya bisa beraktivitas dengan baik seperti biasa. Lalu malam kembali tiba.

Dan “sakit misterius” itu kembali datang.

Kali ini, saya sedang duduk di depan komputer, ketika tiba-tiba dada saya kembali sakit seperti malam sebelumnya. Saya pun segera bangkit dari depan komputer, masuk kamar, lalu membaringkan tubuh di tempat tidur. Sambil berbaring, saya memegangi dada yang sangat sakit, dan mulai menyadari sakit itu ada di bagian kiri, yang menyebar ke arah lain, hingga ke punggung.

Sambil merasakan detak jantung yang tak beraturan dan terasa sangat tak normal, saya mulai menyadari ada hal lain yang tidak beres. Kepala saya terasa pusing, sementara tangan kiri terasa pegal, seperti kehilangan daya. Semua tanda itu merujuk pada satu hal; serangan jantung!

Malam itu sudah larut, dan satu-satunya harapan saya hanyalah menunggu esok, agar saya bisa pergi ke dokter untuk mendapat pencerahan, dan—tentu saja—pertolongan.

Satu-satunya dokter yang buka praktik pagi adalah dokter umum. Tidak ada pilihan, saya pun datang ke tempat praktiknya, tepat pukul 6 pagi. Di sana, saya menjelaskan apa yang saya alami, dan singkat cerita didiagnosis menderita “gejala jantung”—apa pun artinya. Diagnosis itu seperti mengonfirmasi kecurigaan saya.

Dokter menulis resep, saya menebusnya di apotek, dan mulai meminum obat sesuai intruksi, sambil berharap datangnya keajaiban.

Kalau kau masih bocah, dan divonis kena masalah jantung—yang artinya kau akan cepat mati—mungkin yang ada dalam pikiranmu adalah, “Padahal aku belum menikah!”

Sayangnya, saya tidak punya pikiran seperti itu. Ketika diberitahu bahwa saya kena masalah jantung—yang artinya saya bisa mati kapan pun, khususnya dalam waktu dekat—yang ada dalam pikiran saya adalah, “Padahal aku belum selesai meruntuhkan peradaban!”

Sebagai bocah, saya tidak pernah takut mati. Dan kini, karena yakin kematian bisa datang sewaktu-waktu akibat serangan jantung, saya merasa lebih siap dibanding sebelumnya. Sekarang saya tahu dengan cara apa saya akan mati, dan kenyataan itu membuat saya tenang. Saya sudah muak dengan dunia yang terkutuk ini, dan kematian seperti panggilan yang membebaskan.

Malam hari, sambil berdebar dan harap-harap cemas, saya menunggu datangnya sakit yang muncul tiba-tiba seperti dua malam sebelumnya. Tetapi, ajaib, kali ini sakit itu tidak datang. Tampaknya, obat yang diresepkan dokter benar-benar manjur.

Obat yang diresepkan dokter tadi untuk keperluan lima hari. Sejak saya mengonsumsi obat-obat itu, sakit di dada tidak muncul. Sampai tiga hari. Setiap malam, saya harap-harap cemas, kalau-kalau sakit itu—serangan jantung—kembali datang, tapi dada saya baik-baik saja. Tidak pernah sakit lagi.

Setelah tiga hari (atau tiga malam) tidak terjadi apa-apa, saya pun berpikir sudah kembali sehat. Jatah obat tinggal untuk dua hari lagi, dan setelah itu saya akan bebas.

Tapi ternyata saya keliru. Meski saya tetap mengonsumsi obat untuk hari keempat, serangan itu datang kembali.

Malam keempat, dada saya kembali sakit, seperti sebelumnya, dan saya pun berbaring di tempat tidur sambil memegangi dada yang seperti terbakar, merasakan detak jantung tak beraturan, kepala pusing, dan lengan kiri tiba-tiba kehilangan daya.

“Jadi seperti ini rasanya serangan jantung,” pikir saya sambil merasakan sakit yang luar biasa. Saat itu, saya merasa benar-benar dekat dengan kematian, dan saya merasakan pikiran begitu gelap... tak ada apa pun.... 

Beberapa saat kemudian, ketika saya hampir pingsan, sakit itu perlahan-lahan menghilang. Dan saya bisa bernapas dengan baik kembali, seiring detak jantung kembali normal. Saya pun bangkit dari tempat tidur, ke dapur dan bikin teh hangat, lalu udud.

Sambil udud, saya memikirkan kejadian tadi. Apa sebenarnya yang saya alami? Apakah benar saya mengalami serangan jantung?

Berdasarkan yang pernah saya pelajari—yang semuanya masih nempel di ingatan—semua yang saya alami/rasakan memang mengarah pada hal itu, dan dokter yang memeriksa saya juga menyatakan hal yang sama. Malam itu, saya bahkan sempat mempelajari kembali jurnal-jurnal kesehatan, dan menemukan semua fakta yang tertulis di sana memang tepat seperti yang saya alami; itulah serangan jantung!

So, apa yang harus saya lakukan sekarang? Dokter telah memberikan obat, yang semula saya kira akan membereskan masalah, tapi ternyata tidak. Sakit itu kembali datang. Padahal masih ada jatah obat untuk satu hari lagi. Dan saya membayangkan... jika besok malam sakit itu kembali datang, mungkin saya akan benar-benar mati. Sakit yang datang tadi begitu menyiksa, jauh lebih sakit dibanding malam-malam yang dulu.

Lalu saya terpikir untuk tahu obat apa yang diberikan kepada saya. Maka saya pun searching nama obat yang saya konsumsi, dan menemukan bahwa obat yang diresepkan untuk saya berfungsi mengencerkan darah. (Secara mudah, serangan jantung terjadi, karena adanya darah yang tersumbat. Jika darah diencerkan, aliran darah akan lebih mudah mengalir di dalam tubuh, dan itulah fungsi obat yang saya konsumsi).

“Jadi obat ini tidak menyelesaikan masalah,” pikir saya kemudian.

Saya pun lalu terpikir untuk mendatangi dokter lain, yang spesialis penyakit dalam. Kita sebut saja Dokter X.

Keesokan harinya, saya mendatangi tempat praktik Dokter X, menjelaskan “dada saya sakit”—tanpa penjelasan lain apa pun, dengan maksud agar Dokter X bisa menilai kondisi saya secara objektif. Tubuh saya lalu diperiksa secara menyeluruh, termasuk diperiksa menggunakan ultrasonografi, yang hasilnya dicetak hingga saya bisa melihatnya sendiri.

Setelah semua pemeriksaan selesai, dan kami duduk berhadapan, Dokter X menyerahkan cetakan pemeriksaan tadi, yang memperlihatkan organ-organ dalam tubuh saya, serta memberikan penjelasan.

“Organ-organ dalam Anda baik-baik saja,” ujar Dokter X. Cetakan pemeriksaan itu memang dilengkapi keterangan bahwa semua organ saya dalam kondisi baik.

Saya bertanya agak khawatir, “Jadi, apa yang saya alami, Dok?”

Dan Dokter X mengeluarkan fatwa yang membuat saya hampir terjengkang.

“Anda cuma stres,” ujarnya.

“Cuma stres?” Saya terpesona. “Bukan kena serangan jantung?”

“Jantung Anda sehat,” jawab Dokter X. “Anda tidak punya masalah jantung.”

Saya berusaha memastikan, “Anda yakin saya tidak kena serangan jantung?”

Dokter X menatap saya, dan balik bertanya, “Apakah sebelum ini Anda sudah memeriksakan diri ke spesialis jantung?”

Saya menjawab tidak. Tapi saya menjelaskan bahwa sebelumnya saya sudah memeriksakan diri ke dokter umum, dan dinyatakan kena gejala jantung. Lebih dari itu, tanda-tanda yang saya alami memang persis seperti tanda-tanda serangan jantung.

“Jantung Anda sehat, dan baik-baik saja,” ujar Dokter X memastikan. “Seperti yang saya bilang tadi, Anda cuma stres.”

Saya tidak yakin apa yang saya rasakan waktu itu—antara bingung campur lega, karena ternyata saya tidak kena serangan jantung, dan “cuma stres”. Fuck, pikir saya, cuma stres! Padahal saya sudah siap mati!

Waktu itu, yang membuat saya agak tenang, ingatan saya membuka salah satu memori terkait artikel di situs tirto. Artikel itu telah saya baca setahun yang lalu, tapi isinya masih saya ingat. Dalam artikel itu, si penulis menceritakan pengalamannya yang mirip saya alami. Dia mengalami sesuatu yang serupa serangan jantung, tapi ternyata disebabkan stres. Kalian bisa membacanya langsung di sini: Jangan Sampai Stres dan Mengalami “Serangan Jantung”.

Ingatan pada isi artikel itu membantu saya untuk menerima diagnosis Dokter X, bahwa saya “cuma stres”. Bisa jadi, yang saya alami memang serupa dengan yang dialami reporter tirto—sama-sama mengira kena serangan jantung, padahal serangan itu disebabkan stres. (Sekarang kita tahu, stres bisa menimbulkan gejala penyakit yang benar-benar aneh dan tak terduga!)

Dokter X lalu menulis resep, dan mengatakan, “Resep ini untuk lima hari. Jika lima hari mendatang keluhan Anda masih muncul, Anda bisa membeli obat lagi dengan resep ini. Tapi kalau lima hari mendatang keluhan Anda sudah hilang, Anda tidak perlu membeli obat lagi. Selain itu, saran saya, kurangi stres.”

Saya mengonsumsi obat yang diresepkan Dokter X, dan sejak itu serangan sakit di dada tidak pernah datang lagi. Kemudian, mematuhi sarannya, saya pun berusaha mengurangi stres. Kalau beberapa hari kemarin kalian tidak melihat saya di dunia maya—di blog maupun Twitter—itu karena saya sedang beristirahat.

Sebenarnya, sampai saat ini pun saya masih stres, tapi setidaknya mulai bisa melanjutkan hidup kembali dengan baik, tanpa gangguan sakit apa pun. Semoga stres saya bisa terus berkurang, dan semoga selalu dikaruniai kesehatan.


PS:
Terima kasih untuk kalian yang telah mengirimkan e-mail. Meski saya belum sempat membaca semuanya, semoga perhatian dan doa-doa baik yang kalian tulis di dalamnya kembali menjadi doa dengan kebaikan serupa.

Dunia yang Terkutuk

Pertanyaan yang dari dulu menggelayuti pikiranku: Adakah orang yang tidak punya masalah dalam hidupnya? Berdasarkan pencarianku bertahun-tahun (dengan berinteraksi/tanya banyak orang, khususnya teman-teman dan mereka yang kukenal) jawabannya TIDAK ADA.

Semua orang punya masalah.

Ada berbagai macam masalah yang dihadapi orang di mana pun, dari masalah kecil sampai besar, dari yang ringan sampai berat, dari masalah hubungan sampai kesehatan, dari masalah paling ilmiah sampai yang absurd. Intinya, semua orang menghadapi masalah masing-masing dalam hidupnya.

Selama bertahun-tahun, aku memikirkan dan merenungkan kenyataan ini, dan mencari cara agar TERBEBAS DARI SEMUA MASALAH. Sekadar catatan, sedari kecil sampai dewasa, hidupku sudah penuh masalah. Jadi, aku sudah sangat terbiasa dengan masalah, sebegitu akrab seperti sahabat dekat.

Kedekatanku dengan masalah, setidaknya membantuku mengenali dan memetakan beragam masalah, sehingga (setidaknya pula) aku bisa menjauh dari sumber-sumber masalah. Belakangan, "perumusan"ku terkait hal ini sempat membantuku terbebas dari semua masalah manusia di dunia fana.

Berdasarkan pemetaan sederhana, setidaknya ada 3 sumber masalah utama dalam hidup: Uang, kesehatan, dan orang lain.

Menurutku, 3 hal itulah yang menjadi sumber segala masalah yang terjadi di muka bumi, yang membawa manusia pada kehidupan penuh masalah di dunia fana tanpa usai.

Karena telah menyadari sumber masalah, aku pun berusaha mengatasinya dengan caraku sendiri.

Masalah uang, aku mengatasinya dengan bekerja sangat keras, agar bisa memenuhi semua kebutuhan hidup tanpa harus berutang. Aku berhasil, dan setidaknya bisa terbebas dari masalah uang.

Masalah kesehatan, aku mengatasinya dengan menjalani sesuatu yang kusebut gaya hidup para filsuf. Aku percaya pada resep kesehatan dari zaman kuno: Semakin sedikit kau makan, semakin baik kesehatanmu. Dalam kalimat lain, "Makanlah jika lapar, dan berhentilah sebelum kenyang."

Selama bertahun-tahun, aku menjalani resep sederhana itu, dan selama bertahun-tahun pula—tolong maafkan jika terdengar pongah—aku tidak pernah sakit sama sekali!

Tubuhku senantiasa baik-baik saja, tanpa pernah bermasalah. (Kalau stres pikiran tentu saja ada, dan itu wajar).

Jadi, dua masalah terbesar dalam hidup manusia fana sudah bisa kuatasi: Uang dan kesehatan. Aku tidak bermasalah dengan keduanya.

Sekarang sumber masalah ketiga: Orang lain. Bagaimana cara mengatasi masalah yang datang dari orang lain? Bagiku mudah: Menjauhlah dari mereka!

Inilah asal usul kenapa aku memilih menjalani hidup dalam sunyi, sendirian, dan menjauh dari keramaian. Karena aku menyadari bahwa bersentuhan dengan masyarakat artinya bersentuhan dengan masalah. Aku memilih menjalani hidup sendiri dalam sunyi... dan yang ada hanya damai.

Jika ini terdengar "sok filsuf", ada cara mudah untuk membuktikan.

Sebulan saja, menjauhlah dari masyarakat, dan jangan bersentuhan dengan orang lain. Sebulan saja sendirian, jalani keseharian/kesibukanmu sendirian, dan kau akan merasakan kedamaian yang belum pernah kaurasakan.

Selama bertahun-tahun, aku menjalani gaya hidup semacam itu, dan aku benar-benar NYARIS tanpa masalah apa pun yang biasa dihadapi manusia fana di dunia yang terkutuk ini.

Aku bilang NYARIS, karena ternyata masalah datang dari sumber yang tak bisa kujauhi: Orang tuaku sendiri.

Jadi, sementara aku menjauhi keramaian dunia yang terkutuk ini, dan mulai bersyukur karena bisa menjalani kehidupan yang damai, tenteram, tanpa masalah... orang tuaku menimpakan masalah, dan hidupku kembali seperti umumnya manusia yang berlumpur masalah dan masalah dan masalah.

Karenanya, aku bertanya-tanya, adakah manusia yang tidak punya masalah? Karena bahkan aku yang telah menjauh dari masalah (dan nyaris berhasil) pun masih harus menghadapi masalah. Betapa terkutuknya dunia, kalau dipikir-pikir, dan betapa terkutuknya kehidupan kita yang fana ini.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 6 Maret 2019.

Kebodohan Abadi

"Kamu lajang dan hidup susah terus? Solusinya nikah, nanti rezeki akan lancar."

"Sudah nikah tapi hidup masih susah? Solusinya punya anak, karena anak membawa rezeki."

Lalu anak-anak dilahirkan, sementara orang tuanya tetap keblangsak. Begitulah kebodohan abadi di muka bumi.

Tidak ada yang lebih merusak manusia di dunia, selain orang-orang yang hobi menyuruh orang lain cepat kawin dan beranak-pinak, seperti binatang ternak.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 4 Maret 2019.

 
;