"Hey, Mary Jane," ucap Peter Parker berkali-kali, saat sendirian,
membayangkan melakukannya. Tapi, kita mengerti, itu tak pernah terjadi.
—@noffret
membayangkan melakukannya. Tapi, kita mengerti, itu tak pernah terjadi.
—@noffret
Kenapa saya suka menyebut diri sebagai bocah? Itu salah satu pertanyaan yang paling banyak ditanyakan para pembaca blog ini. Jadi, catatan ini saya tulis untuk menjawab pertanyaan tersebut.
....
....
Dulu, sekitar 300 meter dari rumah saya ada sebuah tempat berkumpul para mahasiswa, bernama MSC (Moslem Student Center). MSC didirikan para senior saya di kampus, dan tempat itu lalu berkembang menjadi tempat kost, tempat diskusi, tempat belajar, dan tempat kumpul-kumpul para mahasiswa. Saya juga kadang dolan ke sana, kalau pas ada acara asyik, atau kangen ngumpul bareng teman-teman.
Secara rutin, ada acara-acara pembelajaran di MSC yang diikuti para mahasiswa. Biasanya ada dosen yang diundang untuk berbicara, atau ahli-ahli tertentu untuk mengajarkan pengetahuan mereka. Saya juga beberapa kali diminta mengisi acara di sana, dan hal tersebut masih berlangsung meski saya sudah drop out (bukan mahasiswa lagi). Peserta acara-acara di MSC bisa dibilang general, lintas semester, dari berbagai jurusan kuliah.
Suatu siang menjelang sore, saya merasakan kepala sangat sakit. Itu hal rutin yang saya alami setiap hari. Biasanya, saya membeli obat sakit kepala 1 dus di apotek untuk kebutuhan sehari-hari. Sial, hari itu obat sakit kepala di rumah kebetulan habis. Untung, obat sakit kepala yang saya konsumsi banyak dijual di warung atau toko kelontong. Siang itu saya ingat, di depan MSC ada warung cukup besar, dan saya pun terpikir untuk membeli obat sakit kepala di sana.
Jadi, sambil menahan kepala yang sakit, saya pun pergi ke sana. Ketika sedang berdiri di depan warung untuk membeli obat, saya didatangi Eni yang muncul dari kantor MSC. Eni adalah mahasiswi yunior yang akrab dengan saya.
Seperti orang yang terselamatkan dari bencana, Eni langsung berkata bahwa saat itu di MSC sedang ada acara, tapi pembicara yang diundang kebetulan tidak bisa datang karena urusan mendadak. Padahal, para mahasiswa sudah berkumpul dan siap di MSC. Jadi, Eni meminta saya untuk menggantikan pembicara yang tidak datang, daripada mengecewakan banyak mahasiswa yang sudah berkumpul. Waktu itu, saya lihat halaman MSC memang penuh sepeda motor para mahasiswa.
Saya bengong. “Aku ke sini untuk beli obat sakit kepala, En. Bukan untuk ngisi materi.”
Tapi Eni memaksa, dan tampangnya seperti orang putus asa. Jadi, saya pun akhirnya berkata, “Baiklah. Tapi tolong belikan teh hangat, buat minum obat.”
Eni langsung pergi untuk mencarikan teh seperti yang saya minta.
Di MSC, saya duduk minum obat, lalu meminum teh hangat yang dibawakan Eni. Kemudian menyulut rokok, dan merasakan denyut sakit kepala yang mulai mereda. Setelah kepala mulai nyaman, saya pun masuk ke tempat acara, menghadapi 50-an mahasiswa yang telah berkumpul.
Dengan santai, saya berkata pada mereka, “Saya ke sini, sebenarnya untuk membeli obat sakit kepala, bukan untuk ngoceh di depan kalian. Tapi Eni meminta saya untuk mengisi acara ini, karena pemateri yang diundang ada keperluan mendadak, hingga tidak bisa datang. So, saya tidak tahu apa yang harus saya bicarakan di sini. Ada usul, kalian ingin saya ngomongin apa?”
Para mahasiswa pun mengajukan usul, dari yang ilmiah sampai yang absurd. Tentu saja saya memilih usul yang absurd, yang tidak mungkin dibahas pemateri lain. Mereka para mahasiswa yang rajin belajar, dan saya menghargai semangat mereka.
Setelah disepakati topik yang akan dibahas, saya pun mulai ngoceh panjang lebar tentang topik itu—tanpa panduan atau catatan—dan mereka khusyuk menyimak, berjam-jam, penuh canda dan saling cengengesan. Bahkan, para mahasiswa yang masih ada di kampus saat itu berdatangan ke MSC, begitu tahu saya yang mengisi acara hari itu.
Siapa pun yang mengenal saya di kampus, pasti tahu hal tersebut—bahwa saya bisa berbicara di depan forum tentang apa saja, dengan cara yang tidak hanya menyenangkan, tapi juga membuat tawa dan cekikikan. Dalam hal itu, jujur saja, kadang saya kagum pada diri sendiri. Kemampuan berbicara di depan umum, apalagi secara mendadak dan tanpa persiapan, bukanlah kemampuan yang dimiliki setiap orang. Karenanya, dalam hal itu, saya merasa hebat.
Tetapi....
Tetapi, saya benar-benar idiot dalam urusan interaksi di luar forum. Saat diminta menyapa orang lain, misalnya, saya sering kebingungan. Jangankan menyapa orang lain yang relatif asing, bahkan menyapa tetangga depan rumah pun saya sering kebingungan. Sering kali, saat akan keluar rumah, saya sampai menunggu depan rumah sepi lebih dulu, agar saya bisa keluar rumah tanpa harus menyapa tetangga yang kebetulan sedang berkumpul.
Untungnya, tetangga saya orang-orang baik, setidaknya mereka bisa memaklumi tingkah saya yang aneh dan tidak umum. Bahkan, mereka seperti takjub saat melihat saya datang menghadiri acara pertemuan RT, misalnya, karena saya sudah terkenal sebagai “orang aneh” yang suka menyendiri. Sangat jarang saya berinteraksi dengan orang-orang di komplek—bukan karena saya tidak bersedia, tapi karena kebingungan saat harus berbasa-basi dengan mereka.
Sedari kecil, saya telah menyadari hal itu. Saya benar-benar tidak tahu bagaimana menghadapi orang lain—tetangga, famili, atau orang asing. Dengan teman-teman yang sudah akrab memang tidak mengalami masalah—saya bisa asyik menyapa atau mengobrol dengan mereka. Tetapi jika berinteraksi dengan orang yang tak terlalu kenal—termasuk dengan tetangga atau famili—saya kebingungan.
Kecenderungan itu pun menjadikan saya sangat pendiam sejak kecil, karena memang tidak tahu yang harus diucapkan ketika bertemu seseorang. Ketika mulai dewasa, saya telah berusaha mati-matian memperbaiki kekurangan itu, meski saya masih kaku dan tidak bisa melakukannya secara luwes sebagaimana orang-orang “normal”.
Bahkan saat dewasa kini, saya masih sering kebingungan jika harus berinteraksi dengan orang lain. Saat saya datang ke rumah orangtua, kadang nyokap meminta saya mengirimkan sesuatu, atau menyuruh saya menanyakan sesuatu, pada seorang famili. Biasanya, saya akan berkata pada nyokap, “Ini ntar aku ngomongnya gimana?”
Lalu nyokap akan mengajari—apa yang harus saya ucapkan—dan saya menghafalkan. Ketika sampai di rumah famili yang dituju, saya pun mengulangi ucapan nyokap tadi, dengan sedikit improvisasi sebisanya.
Coba lihat, bahkan dengan famili sendiri, saya kadang masih kebingungan. Bisakah kalian membayangkan bagaimana bingungnya saya ketika harus berinteraksi dengan orang yang benar-benar asing? Memang, saya bisa menyahut atau menjawab dengan baik jika seorang asing menyapa, menegur, atau bertanya. Tetapi saya benar-benar tidak bisa—tidak tahu caranya—jika sayalah yang harus membuka komunikasi.
Jadi, kemampuan sosial saya sangat rendah, mungkin setara bocah SD atau SMP—masih sering gugup ketika harus menyapa seseorang, masih kebingungan ketika harus membuka komunikasi, bahkan masih sering malu atau kaku jika harus berbasa-basi dengan orang lain. Dalam urusan sosial—berhubungan dengan orang lain—saya benar-benar seorang bocah.
Tidak jarang, orang menganggap atau bahkan menuduh saya angkuh, karena jarang terlihat menyapa orang lain. Padahal, saya tidak menyapa karena memang tidak bisa melakukannya—oh, sialan, saya bahkan tidak tahu caranya! Meski begitu, saya selalu berusaha membalas atau menjawab dengan baik jika disapa, ditegur, atau ditanya.
Sekali lagi, saya tidak terlalu mengalami masalah komunikasi dengan orang lain yang telah saya kenal—misal teman kuliah atau teman bermain. Saya bahkan tidak mengalami masalah jika harus berbicara dengan topik yang jelas, dengan siapa pun, meski tidak kenal. Tapi saya benar-benar kesulitan ketika harus berbasa-basi dengan orang lain. Berbasa-basi, bagi saya, jauh lebih sulit dibandingkan mengerjakan setumpuk soal ujian. Hal itu tidak hanya saya alami di dunia nyata, tapi juga di dunia maya.
Jujur saja. Jika harus menyapa seseorang yang belum saya kenal, atau yang tidak terlalu saya kenal, saya harus menyiapkan diri sampai cukup lama. Ini serius. Karenanya, kadang saya sampai patah hati hanya karena sapaan saya tidak dibalas atau direspons. Dia tidak tahu bagaimana sulitnya saya mempersiapkan diri hanya untuk menyapanya!
Karena itu pula, saat ingin menyapa orang yang belum terlalu kenal, saya harus memastikan diri terlebih dulu bahwa dia orang yang ramah. Jika ada kemungkinan dia tidak akan menjawab sapaan saya, maka saya lebih memilih mati daripada menyapanya!
Jadi, dalam urusan interaksi sosial, saya benar-benar minus—kemampuan saya cuma setara bocah SD atau SMP. Oh, well, mereka bahkan mungkin lebih dewasa dibandingkan saya!
Saya masih ingat, dulu, saat jatuh cinta pada perempuan ini, saya sering kebingungan setengah mati saat harus memulai percakapan. Untungnya, waktu itu, kami satu kampus, sehingga sering bertemu, dan moment percakapan lebih mudah diciptakan. Lebih dari itu, dia juga tahu cara menghadapi saya. Selama bercakap dengannya, sering kali saya membatin, “Teruslah... teruslah bicara... buat aku terus menjawab... usahakan komunikasi ini terus berlangsung...”
Karena, begitu dia menjawab dengan kata-kata pendek atau semacamnya, dan saya kebingungan menjawab atau melanjutkan percakapan, maka komunikasi pun terputus dan selesai. Setelah itu, saya harus kembali mempersiapkan diri hingga sangat lama hanya untuk kembali menyapanya.
Latar belakang itu pulalah yang membuat saya sangat-sangat-sangat membenci sikap atau perilaku sok jaim. Kalian tahu bagaimana rata-rata perempuan menunjukkan sikap sok jaim—suatu perilaku yang membuat lelaki serbasalah. Setiap kali menghadapi perempuan sok jaim, saya seperti melihat tanda verboden di jidatnya—langsung membuat saya balik arah dan menyingkir. Mungkin dia memaksudkan sok jaimnya hanya untuk sekadar sok jaim, dan berharap saya maju terus. Tapi persetan, saya tidak tahu caranya!
Sekarang kalian mulai paham, kenapa saya suka menyebut diri sebagai “bocah”, karena saya memang bocah. Meski secara fisik dan biologis mungkin saya telah cukup dewasa, tapi kemampuan saya dalam hal-hal sosial sangat rendah, persis seperti bocah. Karenanya, penyebutan diri sebagai bocah adalah bentuk kejujuran pada diri sendiri. Saya bukan orang dewasa apalagi orang tua. Saya adalah bocah.
Karena itu pulalah, saya punya kecenderungan khusus kepada wanita dewasa yang sering saya sebut mbakyu. Saya tertarik kepada wanita dewasa yang ramah dan bijaksana, karena saya pikir mereka lebih tahu cara menghadapi seorang bocah seperti saya. Sebaliknya, saya tidak tertarik pada cewek-cewek ABG atau wanita dewasa yang jaimnya selangit, karena terus terang saya tidak tahu cara menghadapi mereka.
Di dunia nyata maupun di dunia maya, saya sering iri saat melihat orang-orang lain bisa asyik menyapa siapa pun yang belum kenal, seolah itu hal biasa bagi mereka. Saya ingin sekali bisa seperti itu, tapi sulitnya luar biasa. Karenanya pula, saya sering membenci diri sendiri, karena menyadari betapa rendahnya kemampuan sosial saya.
Seorang teman pernah bertanya, “Kalau umpama suatu hari kamu ketemu wanita yang membuatmu jatuh cinta, apa yang akan kamu lakukan?”
Dengan perasaan ngeri, saya menjawab, “Sejujurnya, aku tidak tahu apa yang harus kulakukan. Kalau dia tidak punya inisiatif untuk membuka interaksi dan menjaga komunikasi, mungkin aku akan terus memendam perasaan diam-diam... entah sampai kapan.”