Selasa, 20 Desember 2022

Akar Busuk Kapitalisme

Mumpung ingat, mumpung selo, dan mumpung udud masih panjang, aku mau melanjutkan ocehan ini.


Mari kita mulai dengan artikel ilmiah ini.



The Conversation bertanya, mengapa rata-rata orang Indonesia menganggap kunci sukses adalah ikhtiar atau kerja keras, dan bukan latar kelas sosialnya?

Pertanyaan itu sering menghasilkan jawaban stereotipe, yaitu “kemiskinan sistemik”, “kemiskinan struktural”, dan semacamnya.

Sebagian (kecil?) orang Indonesia saat ini sudah mulai sadar bahwa masalah kemiskinan tidak sekadar karena takdir atau karena orang miskin bersangkutan kurang kerja keras. Penyebab kemiskinan mayoritas orang di Indonesia—atau bahkan di dunia—adalah sistem.

Mayoritas orang miskin dari lahir sampai mati, sering kali bukan karena kurang kerja keras, bahkan bukan karena takdir semata, melainkan karena sistem yang buruk, yang melemparkan miliaran orang terus berkejaran dengan aneka kekurangan dan hambatan dalam lingkaran setan.

Kenyataan itulah yang mendasari lahirnya istilah “kemiskinan sistemik” atau “kemiskinan struktural”, yaitu kemiskinan yang lahir karena sistem, kemiskinan yang tercipta karena hasil warisan. Ini benar, meski sebagian orang masih menyangkal, dan percaya dunia baik-baik saja.

Pertanyaannya, dan yang jadi masalah, sekarang... bagaimana sistem itu bisa tercipta, hingga kemudian menciptakan ketimpangan mengerikan—jurang dalam antara si kaya dan si miskin—hingga yang satu bergelimang kemewahan, sementara satu lagi terjebak dalam lingkaran setan?

Kapitalisme? Oh, well, tentu saja mudah menyalahkan kapitalisme, dan kenyataannya mereka memang salah. Kapitalisme bahkan tidak akan mengelak andai kita lempari mereka dengan segala sumpah serapah yang berasal dari neraka. Kapitalisme [ekstrem] sadar, mereka salah.

Karenanya, terlalu mudah kalau sekadar menyalahkan kapitalisme, dan itu jelas tidak akan menyelesaikan masalah. Sekadar mengutuk kapitalisme juga membuktikan kita hanya mau cari gampang, sambil merasa jadi Che Guevara abad 21. Lebih dari itu, kapitalisme tidak berdiri sendiri.

Bagaimana kemiskinan sistemik dan struktural bisa ada di dunia? Terlalu menggampangkan kalau kita menganggap dan menuduh kapitalisme sebagai satu-satunya penyebab. Dalam perspektifku, kapitalisme bukan akar—ia “hanyalah” pohon besar yang ditumbuhkan oleh akar.

Dan apa akarnya? "Kebodohan" sistemik dan struktural! Kenapa kita tidak pernah berpikir ke situ—atau pura-pura tak tahu?

Kapitalisme bisa saja ada, tapi ia akan goyah, bahkan mudah ditumbangkan, andai tidak disokong akar kuat bernama "kebodohan" sistemik dan struktural.

Sampai di sini, kita harus masuk wilayah mengerikan terkait keyakinan, dan ocehan ini—kalau kulanjutkan—bisa sangat berbahaya, karena akan menyentuh impuls-impuls paling peka terkait keyakinan manusia. Tapi setidaknya kau mulai paham apa yang kumaksudkan—kalau kau cukup peka.

Karenanya, ketika The Conversation bertanya, “mengapa rata-rata orang Indonesia menganggap kunci sukses adalah ikhtiar atau kerja keras, dan bukan latar kelas sosialnya”, aku ingin menangis sambil tertawa. Tentu saja mereka akan menganggap begitu, karena didoktrin begitu!

Jangankan melihat kausalitas antara kerja keras dan kesuksesan—yang secara “gamblang” tampak berkaitan—bahkan untuk hal-hal yang jelas tak berkaitan pun mereka percaya! Mereka percaya bahwa menikah akan melancarkan rezeki, misalnya, meski realitas menunjukkan sebaliknya.

“Banyak anak banyak rezeki”, atau “tiap anak memiliki rezeki sendiri”, sebenarnya bukan ajaran agama—itu ajaran kapitalisme!

Bagi kapitalisme, semakin banyak anak-anakmu (dan “mu” di sini merujuk pada orang-orang tak berprivilese) artinya semakin banyak tenaga yang bisa diperas.

Jadi kapitalisme sangat ingin kita (orang-orang tak berprivilese) cepat menikah dan beranak pinak, kalau bisa sebanyak-banyaknya. Karena anak-anak kita akan menjadi sapi perah mereka, dan menjadikan mereka semakin kaya-raya, sementara kita terus hidup keblangsak.

Sekarang pikirkan hal sederhana ini; apa yang membuat para kapitalis (khususnya kapitalisme ekstrem) jadi kaya dan semakin kaya? Hanya dua hal. Pertama adalah pekerja yang murah, dan kedua adalah pasar yang melimpah! Dan keduanya adalah... oh, well, benar sekali, populasi!

Itulah kenapa aku menulis ocehan ini, bahwa yang mendukung—bahkan pendukung utama—kapitalisme adalah overpopulasi. Dan akar overpopulasi adalah... doktrin perkawinan!

(Agar benar-benar paham, baca utas ini dari awal sampai akhir):



Tapi kita—rata-tata manusia—selalu tahu cara menghibur diri sendiri, ngadem-ngademi diri sendiri, karena salah satu keahlian manusia yang luar biasa adalah membohongi diri sendiri. Manusia tidak percaya pada realitas; mereka hanya percaya pada yang ingin mereka percaya.

Jadi, kalau kita bertanya bagaimana cara menghentikan ketimpangan serta kemiskinan struktural dan sistemik, jawabannya adalah meruntuhkan kapitalisme. Dan bagaimana cara meruntuhkan kapitalisme? Jawabannya sangat gamblang... kalau kau cukup punya nalar untuk memikirkannya.

PS: 

Ada banyak miliuner yang juga menjadi filantropis, terlepas apa pun motivasi filantropi mereka. Jika kita meriset aksi filantropi para miliuner itu, rata-rata fokus pada bidang pendidikan, kesehatan, dan hal-hal semacamnya. Sekilas tampak baik, tapi sebenarnya sangat aneh.

Para miliuner/filantropis itu bukan orang-orang tolol; mereka tahu apa yang mereka lakukan. Tapi mereka hanya sekadar “menutupi masalah”. Ada kemiskinan? Mereka tutup dengan bansos. Kebodohan? Mereka tutup dengan kampus. Penyakit? Mereka tutup dengan rumah sakit. Dan seterusnya.

Tidak ada dari mereka yang mau masuk ke akar masalah sebenarnya, yang saat ini terjadi di dunia—kemiskinan sistemik dan kebodohan struktural. Mereka pura-pura tak tahu. Kenapa? Jawabannya sederhana; karena punya kepentingan—mereka butuh anak-anakmu untuk menggerakkan industri!

Dalam bahasa yang blak-blakan, mereka justru ingin kemiskinan sistemik dan kebodohan struktural terus ada, karena itu menguntungkan mereka. 

Tapi yang diuntungkan oleh kemiskinan sistemik dan kebodohan struktural bukan hanya kapitalisme... tapi juga akarnya! You know what!

Jadi Jeff Bezos mengkhayal memindahkan sebagian orang ke luar angkasa, Elon Musk mengkhayal semua benda di muka bumi bersih dari polusi, sementara Bill Gates mengkhayal di dunia ini tidak ada penyakit. Tapi sebenarnya mereka tahu, inti masalahnya bukan itu!

Diakui atau tidak, Bezos butuh anak-anakmu, dan anak-anak dari anak-anakmu, karena anak-anak itulah yang menjadikan dia semakin kaya-raya. Begitu pula Musk, Gates, Jack Ma, sebut lainnya. Seiring dengan itu, kita terus didoktrin, “Menikah akan melancarkan rezeki.” Oh, well.

Ada cara mudah untuk memahami bagaimana “permainan” dunia ini dijalankan, hingga kita terjebak dan terperangkap di dalamnya. 

Belilah mainan Monopoli, dan bermainlah dengan teman-temanmu. Lemparkan dadu ke tengah mainan, lalu ingat kalimat Einstein, “Tuhan tidak bermain dadu.”

End note:

Di dunia yang fana ini, di tengah luka serta penderitaan umat manusia... hanya ada dua pihak yang mendapat keuntungan dari kemiskinan sistemik dan kebodohan struktural, hingga mereka berusaha melanggengkannya. Yang pertama adalah kapitalisme, yang kedua adalah akarnya.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 22 Agustus 2020.

Menatap Jiwa Terlelap

Di seberang trotoar tempatku makan tadi, seorang tukang becak bersiap untuk istirahat. Dia naikkan becaknya ke trotoar yang lengang, memasang rantai di roda belakang, lalu menggelar terpal di depan becaknya. Setelah itu dia mulai membaringkan diri di terpal, berselimut sarung.

Dari seberang jalan, sambil udud seusai makan, aku memandanginya dengan perasaan iri. Damai sekali hidupnya.

Iri yang kurasakan mungkin tak masuk akal, karena aku hanya melihatnya damai saat dia akan istirahat, dan tak tahu isi pikirannya, hatinya, juga bagaimana kehidupannya.

Bisa jadi dia menanggung beban yang amat berat, pikiran yang ruwet menanggung tuntutan hidup, dan terpisah jauh dari keluarganya (di kotaku ada cukup banyak tukang becak yang datang dari kota lain, dan mereka tidak punya tempat tinggal, selain hanya punya becak untuk bekerja).

Aku sering keluar rumah jam 3 atau 4 pagi untuk sarapan, dan pasti mendapati para tukang becak "tersebar" di banyak trotoar kota, sedang terlelap dalam istirahat, berselimut sarung. Mereka tampak begitu damai, dalam tidurnya, dalam mimpinya, meski dingin menusuk tulang.

Menatap makhluk hidup yang sedang terlelap selalu membuat hatiku menghangat. Mereka tampak begitu damai... kesempatan yang diberikan alam untuk istirahat sejenak dari segala kesemrawutan hidup, terlepas sesaat dari semua kekalutan, tekanan, mimpi-mimpi, dan ketidakpastian.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 13 Desember 2020.

Dikandani Bocah

Dikandani bocah ora percoyo.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 20 April 2020.

Cuaca yang Sempurna

Cuacanya benar-benar sempurna untuk—meminjam istilah Dominic Toretto—mengeluarkan monster dari sarangnya.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 1 April 2020.

Otw

Otw mengumpulkan Infinity Stones.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 12 Desember 2020.

Sabtu, 10 Desember 2022

Dibayar Receh untuk Jadi Korban

Dulu ada tweet berbayar. Rupanya sekarang ada retweet berbayar, favorit berbayar, sampai reply berbayar. Salah satu cirinya; tweet yang di-retweet, difavoritkan, atau di-reply dalam hal ini bukan tweet promosi, tapi tweet yang tampak biasa, namun ditunggangi kepentingan tertentu.

Contoh. Seseorang mengunggah foto di Twitter—foto biasa; entah foto makanan, foto dia dengan pasangan, etc. Lalu kamu diminta memfavoritkan tweet-foto tersebut, dan dibayar. Receh, tentu saja. Dan kamu mau, karena kamu pikir itu "hal biasa", wajar, dan tidak merugikan siapa pun.

Contoh lain. Seseorang menulis tweet biasa, dalam arti tidak ada promosi apa pun di dalamnya, dan kamu diminta memfavoritkan tweet itu. Lagi-lagi kamu mau, karena pikirmu itu hal biasa, dan tweet yang kamu favoritkan juga tampak biasa.

Sekarang akan kuberitahukan sesuatu.

Kalau kamu dihubungi seseorang untuk me-retweet, memfavoritkan, atau bahkan me-reply tweet-tweet tertentu, dan kamu dibayar untuk hal itu—terlepas dibayar dalam bentuk apa pun—kamu sedang mengundang bahaya (minimal kerugian) untuk dirimu sendiri, meski mungkin tidak kamu sadari.

Tweet-tweet itu—yang kamu diminta untuk me-retweet, memfavoritkan, atau me-reply—memang tampak biasa, wajar, dan baik-baik saja... dan memang masalahnya bukan pada tweet tersebut. Masalahnya adalah pihak yang menunggangi tweet itu. Siapa? Pihak yang "membayarmu", tentu saja.

Pihak yang menyuruhmu me-retweet, memfavoritkan, atau me-reply tweet-tweet tertentu, ingin agar tweet-tweet itu sampai pada TL seseorang (yang mem-follow akunmu). Kamu dimanfaatkan untuk suatu tujuan yang bahkan tidak kamu tahu, tapi kamu yang akan menanggung risiko/kerugiannya.

Apa risiko/kerugian yang bisa terjadi, kalau kamu mau melakukan hal tadi (me-retweet, memfavoritkan, atau me-reply tweet-tweet tertentu) yang tampak wajar itu? Kerugian terkecil adalah kehilangan minimal 1 follower. Coba saja lakukan hal itu kembali, dan lihat yang terjadi.

Dan apa risiko/kerugian terbesar? Mungkin kamu tidak ingin mendengarnya. Tapi kalau kamu penasaran, terus pantau TL-ku. Cepat atau lambat, aku akan menjelaskan soal ini, dan kamu akan tahu ada orang-orang yang telah kehilangan peluang besar hanya karena terlibat urusan tolol ini.

Jauh lebih aman bagimu jadi buzzer/influencer yang jelas dibayar untuk mempromosikan produk-produk tertentu, daripada terlibat dalam urusan yang tidak kamu pahami; misalnya disuruh me-retweet atau memfavoritkan tweet-tweet tertentu yang bahkan tidak kamu tahu tujuan di baliknya.

Sekadar footnote.

Ada beberapa orang di Twitter yang memiliki profesi/keahlian tertentu yang hampir mendapat peluang/pekerjaan/proyek besar, tapi nama mereka kemudian dicoret, karena terlibat dalam urusan ini.

Jangan mau disuruh melakukan sesuatu yang tidak kamu pahami.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 11 Desember 2020.

Insecure, Licik, dan Manipulatif

Ada orang ingin kenal Si A. Tetapi, bukannya langsung berinteraksi dengan Si A secara baik-baik, dengan sopan dan manusiawi, dia malah menghubungi Si B, C, D, E, F, G, H, I, dan seterusnya. Lha kok aneh? Dan ribet amat? Yang dituju 1 orang, yang dilibatkan banyak orang.

Lebih aneh lagi, ingin kenal Si A, tapi malah menyuruh Si B dan lainnya agar bikin masalah dengan Si A. Ketika hal itu ketahuan, dia menyuruh orang lain lagi untuk bikin masalah lain, dan begitu seterusnya. Kok ada orang semacam itu? Jawabannya sederhana; insecure dan manipulatif.

Guys, jangan ditiru hal semacam itu. Kalau kamu ingin kenal seseorang, berinteraksilah secara langsung dengan orang itu, secara sopan dan baik-baik, sebagaimana umumnya manusia. Itu menunjukkan kamu orang baik, dan memiliki itikad baik. Orang akan senang.

Sebaliknya, kalau kamu ingin kenal seseorang, tapi malah memanipulasi orang-orang lain untuk memuluskan tujuanmu, itu malah menunjukkan kamu punya itikad buruk, bahkan cenderung licik dan manipulatif. Orang yang kamu tuju justru akan jaga jarak, dan meragukan itikad baikmu.

Pada dasarnya, semua orang senang berteman, khususnya berteman dengan orang-orang baik. Karenanya, kalau kamu memang orang baik, dan punya itikad baik, lakukan interaksi dengan cara yang baik. Itu bukan hanya menghargai orang lain, tapi juga menghargai dirimu sendiri.

Klarifikasi

Sambil nunggu udud habis, aku jadi kepikiran ngoceh untuk... katakan saja, klarifikasi.

Beberapa waktu terakhir, aku unfollow cukup banyak akun Twitter yang semula aku follow. Alasannya bukan karena mereka nyampah atau menyuarakan hal-hal tertentu, semisal protes ke pemerintah atau menyerang oposisi—itu hak mereka, dan aku menghargai hal itu sebagai hak individu.

Alasan aku unfollow mereka adalah karena akun-akun itu dikontak suatu pihak (entah dibayar atau tidak) untuk ngetwit atau me-retweet hal-hal tertentu, agar sampai di TL-ku, dan lebih dari sekali. Sudah kubilang, aku akan tahu—jadi percuma mengujiku.

Aku bisa membedakan mana tweet dan interaksi yang tulus dari orang per orang, dan mana tweet dan interaksi yang digerakkan pihak lain. Jadi percuma kamu mencobanya. Bahkan, kalau kamu masih nekat mencoba, aku akan “menghabisimu” di sini—dan percayalah, aku tidak akan keliru!

Sekadar ilustrasi, ada suatu akun penjual buku yang tweet-nya saban hari hanya jualan buku. Aku senang sekali dengan akun tersebut, karena membantuku tahu buku-buku baru. Tapi akun itu lalu me-retweet sesuatu berdasarkan instruksi pihak tertentu, dan aku langsung unfollow.

Gus Ulil (Ulil Abshar Abdalla) adalah akun yang telah aku follow bertahun-tahun, dan aku menghormatinya. Tapi tempo hari dia ngetwit sesuatu berdasarkan instruksi pihak tertentu, dan aku unfollow akunnya. 

Jika Gus Ulil saja aku unfollow, apalagi orang lain yang tidak kukenal?

Kalau aku follow akunmu, aku tak peduli kamu ngetwit apa pun dan kapan pun, wong itu hakmu, dan aku menghormati hakmu. Tapi kalau kamu mau diminta pihak lain untuk menggangguku dengan cara ngetwit atau me-retweet sesuatu agar sampai di TL-ku, aku akan mengucap selamat tinggal.

Jika ada yang bertanya-tanya, siapa "pihak tertentu" yang kumaksud dalam ocehan ini, jawabannya adalah media online memuakkan yang pernah kuocehkan di sini. Rupanya mereka benar-benar memuakkan, bahkan lebih memuakkan dari yang kukira.


Sekadar mengingatkan, agar aku tak perlu unfollow akunmu—atau, lebih parah, aku akan membantaimu di sini sampai berdarah-darah:

Jika sewaktu-waktu ada “pihak ketiga” yang memintamu agar memancing interaksi/komunikasi denganku, apa pun alasannya, sebaiknya tolak saja—KECUALI KALAU KAMU DIBAYAR SANGAT BANYAK. Karena bisa jadi kamu akan menghadapi risiko yang tidak menyenangkan.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 6 November 2020.

Tidak Akan Tertarik

Orang tidak doyan pizza, ditawari pizza. Ya tidak akan tertarik.

Orang tidak minat pacaran, ditawari pacaran. Ya tidak akan tertarik.

Orang sangat sibuk, diajak nongkrong tanpa manfaat. Ya tidak akan tertarik.

Orang yang menikmati ketenangan dan keheningan, diajak keluyuran tidak jelas. Ya tidak akan tertarik.

Orang yang telah kecewa dengan pengkhianatan teman, ditawari berteman dengan orang beracun. Ya tidak akan tertarik.

Orang yang biasa dapat bayaran besar, ditawari bayaran receh. Ya tidak akan tertarik.

....
....

Orang kadang melakukan hal-hal tak masuk akal, tapi berpikir yang mereka lakukan akan mendapatkan hasil masuk akal. Einstein menyebutnya kegilaan. Aku menyebutnya kedunguan. 

Sesama Bocah

Seorang bocah berkata, “Sudah menghabiskan waktu, tidak ada manfaatnya. Ora kere!”

Sebagai sesama bocah, saya mendengarkannya.

Kamis, 01 Desember 2022

Melihat Fitnah Bekerja

Omong-omong soal fitnah...

Sambil nunggu udud habis.

Suatu malam, Si A ngetwit, “Capek banget badanku.” 

Kita tentu sepakat kalau itu tweet netral. Seseorang sedang sambat kalau badannya capek. Mungkin habis bersih-bersih rumah, atau habis jalan-jalan, apa pun. Dia tidak menyinggung siapa pun, selain hanya ingin sekadar sambat.

Tetapi, ada orang lain—sebut saja Si B—membaca tweet itu, lalu “memelintirnya”. 

Si B satu kantor dengan Si A. Besoknya, ketika di kantor, Si B menemui manajernya, dan ngadu, “Si A kayaknya nggak betah kerja di sini, tiap malam ngeluh terus di Twitter. Capek, lah. Bosan, lah.”

Si Manajer terpancing, dan sejak itu berprasangka buruk pada Si A, berpikir bahwa Si A tidak suka kerja di kantornya. Karena pikirannya sudah keliru, penilaiannya pada Si A juga keliru. Mungkin Si A pekerja yang baik dan rajin, tapi Si Manajer tidak bisa melihat kelebihan itu.

Dalam contoh tadi, itu bahkan omongan dari orang pertama (yang melihat langsung tweet Si A). Bayangkan akan seperti apa jadinya ketika omongan Si A melewati beberapa orang lain. 

Si B membaca tweet Si A, lalu cerita ke Si C—“eh, Si A nulis gini-gini di Twitter, loh.”

Lalu Si C cerita ke Si D, “menurut Si B, Si A nulis gini-gini di Twitter, gimana menurutmu?”

Si D terpengaruh, “Oooh, pantesan. Si A emang sukanya gitu.”

Lalu Si D cerita ke yang lain lagi.

Tiap kali omongan pindah dari orang ke orang, hampir selalu akan bertambah (ditambahi).

Ini mungkin terkesan sepele, tapi bisa berdampak besar pada orang lain. 

Seseorang ngetwit biasa, atau ngobrol biasa dengan temannya, lalu tweet atau omongannya dipelintir/ditambahi orang yang kebetulan nguping, dan digunakan untuk mengadu domba, atau untuk tujuan apa pun.

Ada orang berbicara dengan orang lain, dan kebetulan ada rokok terselip di bibirnya. Karena bibirnya sedang mengapit rokok, suara omongannya terdengar tidak jelas. Sebenarnya itu bukan masalah, karena dia sedang berbicara dengan temannya, dan si teman memahami ucapannya.

Tapi ada orang yang kebetulan melihat hal itu, mendengar suara yang tidak jelas (karena ada rokok terselip di bibir), lalu menuduh orang tadi sedang mabuk. 

“Oooh, dia pasti lagi mabuk, tuh. Suaranya aja gak jelas gitu.” Lalu tuduhan ngawur itu disebarkan ke orang-orang lain.

Itu mirip dengan kasus yang kuceritakan di sini. Aku memanggil temanku dengan sebutan “Mbah”—karena dia memang biasa dipanggil begitu—lalu ada orang lain mendengarnya, dan menyebarkan fitnah kalau itu dukun peliharaanku. Tidak tahu, tapi sok tahu.



Kasus lain. Ada dua orang sedang menghitung pergerakan nilai saham, lalu ada orang lain yang kebetulan mendengar, dan mengira sedang meramal angka togel. Sudah salah dengar, salah paham, sok pintar, lalu menyebar-nyebarkannya ke orang lain. Begitulah cara fitnah bekerja.

Sayangnya, ada orang-orang semacam itu di dunia ini; orang-orang yang sok tahu tentang orang lain hanya karena kebetulan membaca tweet-nya, atau karena nguping obrolannya. Lalu mereka salah paham, tapi merasa benar, dan menyebar-nyebarkannya ke orang lain.

“L'enfer, c'est les autres,” kata Jean Paul Sartre. 

Sering kali memang begitu.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 25 Maret 2022.

Orang Bermuka Banyak

Don't trust a person that gossips. 
The next subject will be about you.
—@PerfectGuide_


Itu benar sekali. Orang yang suka membicarakan keburukan orang lain di belakangnya adalah orang bermuka banyak. Ia bisa menjadi apa pun, membicarakan keburukan siapa pun, termasuk memburuk-burukkanmu.

Ketika seseorang memburuk-burukkan orang lain di depanmu—dengan bisik-bisik ala rahasia—jangan buru-buru berpikir kalau kamu “orang yang dipercaya” olehnya. Karena, suatu saat, apa pun alasan dan latar belakangnya, dia akan memburuk-burukkanmu di depan orang lain.

Aku pernah mengenal orang semacam itu, bahkan sempat berteman dengannya, dan telah bersumpah tidak akan pernah mengenalnya lagi. 

Dulu, ketika dia dekat denganku, dia suka memburuk-burukkan orang lain di depanku, seolah dia orang paling mulia dan tanpa keburukan sama sekali.

Bahkan waktu itu, aku sudah menyadari. Jika dia bisa memburuk-burukkan orang lain seenaknya di depanku, dia juga pasti bisa memburuk-burukkanku di depan orang lain. 

Dan faktanya memang itulah yang terjadi. Belakangan, aku memilih menjauh, karena jijik dengan kebusukannya.

Dan kamu tahu apa yang lalu terjadi? Tepat sekali! Dia memburuk-burukkanku di depan orang-orang lain. 

Itulah orang bermuka banyak. 

Saat di depanmu, dia menjadi temanmu, sekaligus musuh orang lain. Tetapi, saat di depan orang lain, dia berubah jadi musuhmu. Itu menjijikkan.

Orang “sakit jiwa” semacam itu ada di sekitar kita, biasanya punya penampilan meyakinkan, sebagian dari mereka bahkan kerap bertingkah sok alim—misal suka menyebut “astaghfirullah” dan semacamnya. Biasanya pula, bisa mempengaruhi orang lain hingga tertipu dan terpengaruh olehnya.

Orang-orang semacam itulah yang merusak kerukunan antarteman, mengacaukan hubungan antartetangga, sekaligus benalu dalam kehidupan manusia. 

Mereka jenis orang yang merasa dirinya paling baik dan paling mulia, sementara orang lain hina semua. Padahal dirinyalah yang paling hina.

Jangan pernah percaya pada orang yang suka memburuk-burukkan orang lain secara rahasia di depanmu. Karena, kapan pun waktunya, kamulah yang akan ia buruk-burukkan di depan orang lain.

Bahkan iblis tidak melakukan perbuatan hina itu. Dia berbicara tentang Adam di depan orangnya!

Kalau kamu ingin memburuk-burukkan orang lain, lakukan secara terbuka, di depan orangnya. Agar dia bisa menjawab, sekaligus mengoreksi kesalahanmu, atau tuduhanmu yang keliru. 

Memburuk-burukkan orang lain di belakangnya adalah bukti tak terbantah kalau kamulah yang buruk.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 19 Maret 2022.

Hobi kok Adu Domba

Di podcast-nya, Deddy Corbuzier pernah ngobrol dengan Dokter Tirta, terkait kasus pria berinisal AD, yang sekarang telah ditangkap polisi. 

Sebelumnya, AD pernah terlibat kasus dengan beberapa orang, tapi baru sekarang dia kena batunya. Apa kasusnya? Adu domba!

Menurut cerita Dokter Tirta, AD punya kecenderungan mengadu domba antara satu orang dengan orang lain. Misalnya, AD ketemu Si X dan kebetulan ngobrol tentang Si Z. Obrolan biasa. Lalu AD menemui Si Z dan mengatakan kalau Si X mencaci-maki Si Z, hingga Z pun marah pada X.

Akibatnya, Si Z dan Si X bermusuhan, padahal sebenarnya mereka tidak punya masalah apa pun. 

Meski mungkin terdengar aneh, nyatanya ada orang-orang yang suka mengadu domba seperti itu. Bisa jadi, orang semacam itu bahkan ada di sekitar kita, dan kita perlu hati-hati.

Misalnya, kamu ngobrol dengan Si A, dan kebetulan kalian membicarakan Si C. Itu obrolan biasa, dan nyatanya kamu memang tidak punya masalah apa pun dengan Si C. 

Tetapi, kalau Si A orang yang suka mengadu domba, dia bisa memfitnahmu (menyelewengkan ucapanmu) di hadapan Si C.

Si A bisa saja ngadu ke Si C kalau kamu mencaci-maki Si C. Lalu Si C marah kepadamu. 

Masalah semacam ini terjadi di banyak tempat, di dunia maya maupun di dunia nyata. Suatu informasi atau ucapan diubah dan diselewengkan, lalu digunakan untuk memfitnah dan mengadu domba.

Orang mengadu domba orang lain biasanya karena mendapat keuntungan dari hal itu. Dalam contoh mudah, kamu bermusuhan dengan Si A, misalnya. Si A lalu butuh teman untuk memusuhimu, jadi dia mengadu domba kamu dengan orang-[orang] lain, agar juga memusuhimu. Licik dan menjijikkan.

Sekarang AD telah ditangkap polisi untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya. Dan semoga orang-orang lain, yang juga suka mengadu domba sesamanya, juga mendapat hukuman yang sama.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 15 Maret 2022.

Orang-orang Menjijikkan

Sambil nunggu udud habis, aku mau melanjutkan ocehan kemarin, untuk menunjukkan betapa orang yang suka mengadu domba dan tukang fitnah bisa ada di mana saja, dan korbannya bisa siapa saja.


Aku punya teman bernama Arif. Dia teman dari masa kuliah dulu. 

Yang unik, teman-teman kami biasa memanggil Arif dengan sebutan “Mbah Marijan”, karena dulu Arif menjadi relawan saat Gunung Merapi meletus pada 2010. Sampai sangat lama dia jadi relawan di sana.

Karena saking lamanya Arif jadi relawan ketika Gunung Merapi meletus itulah, dia kemudian dijuluki “Mbah Marijan”—merujuk nama Mbah Maridjan yang dikenal sebagai juru kunci Merapi. 

Sejak itu sampai sekarang, Arif masih biasa dipanggil “Mbah” (Mbah Marijan) oleh teman-teman.

Wawan (@SofwananismM), Kafa (@fayfauline), Fathur (@fathoer_fr), juga Fitri (@fitriyanihelmi), adalah segelintir dari banyak orang yang dulu sama-sama sekampus denganku, dan mereka semua kenal Arif. Sama seperti yang lain, mereka juga biasa memanggil Arif dengan sebutan “Mbah”.

Nah, belum lama, ada orang melihatku memanggil “Mbah” pada Arif. Bagi kami (Arif dan aku), itu hal biasa, karena nyatanya aku memang biasa memanggil dia dengan sebutan “Mbah”, sama seperti teman-teman kami yang lain. Tapi rupanya itu jadi awal fitnah yang jahat dan menjijikkan.

Orang yang sempat melihatku memanggil “Mbah” pada Arif, mengira kalau Arif adalah suhu (dukun) peliharaanku. Dan tanpa bertanya atau melakukan klarifikasi, dia menyebarkan tuduhan yang serupa fitnah itu ke orang-orang lain, hingga mereka mengira aku berhubungan dengan dukun.

Itu benar-benar fitnah yang konyol sekaligus menjijikkan, persis seperti si pelaku fitnah. Wong aku tidak percaya pada hal-hal mistik, apalagi berurusan dengan dukun? Dan usia Arif jauh di bawahku—dia bahkan menganggap aku sebagai kakaknya, karena kedekatan kami.

Meski kisah ini mungkin terdengar konyol, nyatanya ada orang-orang bermental sakit. Mereka akan memanfaatkan apa saja untuk mendiskreditkan orang lain, dan, seiring dengan itu, menaikkan citra dirinya. Mereka tipe orang yang “merasa baik jika bisa menjelekkan orang lain.”

Dan orang bermental sakit seperti itu bisa siapa saja, di mana saja; tipe orang-orang yang selalu berusaha mencari cacat cela orang lain, lalu menggunjingkannya dengan sok hebat. Dan jika mereka tidak bisa menemukan cacat cela orang lain, mereka akan mengarang seenak jidatnya.

PS:

Arif dalam kisah ini adalah teman yang pernah aku ceritakan dalam catatan ini. Dan dia bukan dukun, tapi pengusaha daging ayam! Belakangan kami sering ketemu (dia sering datang ke rumahku), karena kami sedang merintis bisnis bareng.

Resolusi untuk 2022 » https://bit.ly/3ze6L7y


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 15 Maret 2022.

Jare Sopo?

Your very existence is vital to the Universe. All that you see could not exist without you! Pretty special, aren’t you? —@thesecret

Ah, jare sopo? ☺️


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 16 Maret 2022.

 
;