Rabu, 25 April 2018

Nostalgia Lagu-lagu Malaysia

Di YouTube, orang Indonesia dan orang Malaysia disatukan 
oleh cinta yang sama. Lagu yang sama-sama disuka.


Ada suatu masa ketika Indonesia dan Malaysia saling cinta dan saling mendengarkan, yaitu pada era 1990-an. Di masa itu, terjadi pertukaran budaya antara Indonesia dan Malaysia sebagai bangsa serumpun. Malaysia mengenalkan lagu-lagu mereka ke Indonesia, dan negeri kita juga mengenalkan lagu-lagu Indonesia ke Malaysia. Hasilnya adalah proses akulturasi yang mengagumkan.

Anak-anak ‘90-an pasti mengenal “lagu sejuta umat” berjudul “Mencari Alasan” yang dinyanyikan Exist, grup musik Malaysia. Lagu itu sangat... sangat terkenal, hingga mungkin semua orang yang hidup pada masa itu hafal atau setidaknya mengenal lagu tersebut. Bahkan sampai sekarang pun, reffrain lagu itu masih terkenal.

Manis di bibir, memutar kata 
Malah kau tuduh akulah segala penyebabnya
Siapa terlena pastinya terpana
Bujuknya, rayunya, suaranya
Yang meminta simpati dan harapan

Saya menyebut “akulturasi” pada paragraf di atas, karena memang itulah yang sebenarnya terjadi. Ketika lagu-lagu Malaysia dibawa masuk ke Indonesia, lagu-lagu itu tidak disuguhkan mentah-mentah pada rakyat Indonesia, melainkan “dipoles” terlebih dulu, agar lebih sesuai dengan “bahasa” Indonesia.

Meski satu rumpun (Melayu), Malaysia “lebih Melayu” dibanding Indonesia. Mereka lebih akrab dan lebih banyak menggunakan kata atau istilah Melayu, dibandingkan kita. Karenanya, agar lagu-lagu Malaysia bisa diterima masyarakat Indonesia, ada banyak kata atau kalimat dalam lagu-lagu itu yang diubah terlebih dulu, agar lebih “Indonesiawi”. Hasilnya, seperti yang kemudian kita terima, lagu-lagu itu benar-benar sesuai telinga (atau bahasa) kita.

Sebagai contoh, lagu Exist di atas. Judul asli lagu itu sebenarnya “Alasanmu”, dan di dalam lagu itu terdapat serangkaian kata yang sangat Melayu. Saat dibawa masuk ke Indonesia, judul lagu itu diubah, dan rangkaian kata yang sangat Melayu juga diubah dengan rangkaian kata yang lebih akrab dengan telinga Indonesia. (Jika ingin membuktikan uraian ini, cobalah cari lagu “Alasanmu” dan “Mencari Alasan” di YouTube, lalu dengarkan satu per satu dengan cermat. Meski sama-sama dinyanyikan Exist, dengan video klip sama, ada bagian lirik lagu yang memiliki perbedaan sangat mencolok.)

Dan hal semacam itu tidak hanya terjadi pada lagu “Mencari Alasan”. Hampir semua lagu Malaysia yang masuk ke Indonesia akan dipoles terlebih dulu oleh komposer dan pengarang lagu Indonesia, agar hasilnya benar-benar sesuai telinga orang Indonesia. Bukan hanya kata atau kalimat, bahkan nada lagu pun kadang diubah, agar hasilnya pas dengan penikmat musik Indonesia. Misal, nada lagu aslinya rendah. Bisa jadi, saat dibawa masuk ke Indonesia, akan diubah menjadi nada tinggi.

Praktik yang terjadi, biasanya, komposer dan pengarang lagu Indonesia akan mempelajari lagu Malaysia yang akan diedarkan di Indonesia. Mereka akan mencermati keseluruhan lagu tersebut, khususnya pada lirik dan nada lagu. Jika ada bagian yang perlu “direvisi”, mereka akan melakukan revisi—entah pada bagian lirik atau bagian nada. Setelah revisi dianggap fixed, mereka akan membicarakannya dengan musisi Malaysia bersangkutan, lalu si penyanyi akan membuat rekaman baru di Indonesia dengan konsep yang disodorkan komposer Indonesia.

Lagunya masih sama, musiknya masih sama, tapi ada revisi pada bagian tertentu lagu tersebut, yang dimaksudkan agar lebih bisa dinikmati telinga orang Indonesia.

Contoh lagu yang mengalami perubahan nada adalah “Pahit Kutelan Jua” milik grup Uk’s. Dalam versi Malaysia, reffrain lagu itu menggunakan nada rendah. Tetapi, dalam versi Indonesia, nada pada bagian reffrain diubah menjadi tinggi. (Sekali lagi, jika ingin membuktikan uraian ini, cari dua lagu tersebut—versi Indonesia dan Malaysia—lalu cermati satu per satu, khususnya pada bagian reffrain.)

Hampir semua lagu Malaysia yang masuk Indonesia menjalani proses semacam itu. Artinya, lagu-lagu itu tidak dibawa masuk ke Indonesia dan disuguhkan pada penikmat musik secara mentah-mentah. Tanpa ada revisi, kemungkinan telinga kita (mayoritas penikmat musik Indonesia) akan sulit untuk bisa menerima lagu-lagu Malaysia. Persoalannya itu tadi; Malaysia “lebih Melayu” dibanding kita.

Itulah yang saya sebut akulturasi. Malaysia mengenalkan budaya mereka, dan kita memolesnya dengan “soul” Indonesia, agar lebih mudah diterima.

Jika kita mempelajari lebih jauh, proses akulturasi itu—yang sangat tampak dalam bentuk populernya lagu-lagu Malaysia di Indonesia—bahkan tidak semudah yang saya uraikan di sini. Butuh waktu bertahun-tahun bagi Indonesia dan Malaysia untuk saling bertukar budaya—dalam hal ini bertukar lagu—dan prosesnya dimulai sejak era 1980-an.

Pada era 1980-an, stasiun televisi pemerintah Indonesia dan Malaysia bersama-sama membuat acara yang dimaksudkan untuk saling mengenalkan diri. Acara itu disebut “Titian Muhibah”. Itu zaman ketika Indonesia cuma punya TVRI, belum ada televisi swasta seperti sekarang.

Titian Muhibah adalah acara semacam teleconference antara stasiun televisi di Indonesia dengan stasiun televisi di Malaysia. Ada dua penyiar (laki-laki dan perempuan) di stasiun televisi masing-masing negara, dan mereka saling bercakap ramah menggunakan bahasa dan logat masing-masing. Karena menggunakan bahasa serumpun, mereka (dan para penonton) bisa saling memahami.

Di antara percakapan-percakapan tersebut, masing-masing negara menyuguhkan budaya mereka—tarian, lagu, dan semacamnya. Karenanya, dengan menonton Titian Muhibah, orang Indonesia mulai mengenal budaya Malaysia, sebagaimana orang Malaysia mulai mengenal budaya Indonesia. Dan acara itu berlangsung secara rutin, hingga akhirnya menjadi kegemaran masyarakat Indonesia. (Untuk ukuran zaman itu, Titian Muhibah adalah acara yang spektakuler.)

Setelah proses saling kenal berlangsung baik, dan masyarakat di masing-masing negara mulai bisa menerima budaya—khususnya musik—negara tetangga, lalu dimulailah “ekspor-impor” budaya dalam bentuk album musik. Album musisi Malaysia pertama yang diperkenalkan ke penikmat musik Indonesia adalah Search, yang lagunya kemudian sangat populer. Ya, anak ’90-an pasti kenal lagu itu. Judulnya Isabella.

Search dipilih sebagai “pembuka jalan” bagi Malaysia untuk memasuki Indonesia, karena pada masa itu Search merupakan grup papan atas—mirip God Bless di Indonesia. Dan hasilnya benar-benar memuaskan. Lagu Isabella segera populer di Indonesia. Anak SD, sampai penjual sayur, sampai sopir metromini, sampai guru sekolah, sampai pegawai bank, sampai tukang cukur, hafal lagu itu. Isabella bahkan menjelma lagu abadi yang dinyanyikan dari masa ke masa.

Dan, sejak itu, akulturasi dalam skala besar-besaran dimulai.

Sejak itu pula, kita di Indonesia mengenal Exist, Slam, Uk’s, Iklim, Wings, sampai Lestari, Sting, Umbrella, Kriket, dan lain-lain. Ada juga penyanyi-penyanyi solo Malaysia yang sama populer di Indonesia masa itu, misalnya Iwan, Aishah, Shima, Rudiath, dan Rahmat. Sementara Indonesia “mengekspor” Nike Ardilla, Inka Christie, Nicky Astrea, Base Jam, Stinky, Five Minutes, sampai Sheila On7 dan DEWA.

Era ’90-an adalah masa-masa penuh cinta antara Indonesia dan Malaysia, dan hubungan yang manis itu berlangsung hingga satu dekade. Titian Muhibah, acara yang mengawali semua itu, sudah tidak ada, bahkan telah dilupakan. Tapi acara itu telah menciptakan gelombang pasang yang lama surut. Selama masa-masa itu pula, para musisi Indonesia dan Malaysia tanpa henti mencetak grup dan penyanyi baru, menciptakan lagu-lagu baru, hingga dekade itu para penikmat musik di dua negara benar-benar dimanjakan.

Pada masa itu pula, di Malaysia muncul musisi dan pencipta lagu fenomenal (sekaligus misterius) bernama Saari Amri—bocah mantan pelayan toko yang berubah menjadi sosok berpengaruh di balik layar industri musik Malaysia. Dia hanya lulusan SD, tapi telah menciptakan 600-an lagu, mengaransemen ratusan musik, bahkan belakangan ditunjuk menjadi guru menyanyi Andy Lau! Di Malaysia, nama Saari Amri lebih populer dibanding penyanyi populer mana pun di sana, meski sosoknya tak pernah terlihat.

Ketika musik Malaysia mengalami booming di Asia, khususnya di Indonesia, Saari Amri menjadi sosok penting. Karena melalui dirinyalah, lahir grup-grup yang kemudian sangat terkenal, album-album musik yang laris terjual, dan tak terhitung banyaknya lagu yang dihafal jutaan umat manusia. Saari Amri menciptakan lagu-lagu hit, dan penyanyi mana pun yang menyanyikan lagunya bisa dipastikan akan terkenal. Jika kita teliti satu per satu, sekitar 60 persen lagu Malaysia yang kita kenal adalah ciptaan Saari Amri!

Memasuki era 2000-an, gelombang besar itu mulai surut. Penetrasi lagu-lagu Malaysia ke Indonesia mulai melemah. Ada beberapa hal yang mempengaruhi hal itu, namun salah satu penyebab paling penting adalah bubarnya grup-grup musik Malaysia yang populer pada masa itu.

Sebagai contoh, mari kita mulai dari Exist. Orang-orang Indonesia sangat kenal Exist, bahkan lagunya—sebagaimana disebut di atas—dihafal jutaan orang. Tapi siapakah nama vokalis Exist? Kemungkinan besar kita lupa, atau bahkan tidak tahu sama sekali.

Vokalis Exist bernama Ezad. Nama lengkapnya Mohd Rohaizad Mohd Lazim. Ezad inilah yang menyanyikan lagu “Mencari Alasan”. Usai merilis beberapa album, Ezad mengundurkan diri dari Exist, karena menikah. Setelah ditinggal Ezad, Exist mendapat vokalis baru, bernama Mamat. Nama aslinya Mohd Ali Kamarudin.

Mamat memiliki karakter vokal mirip Ezad, dan faktor itu pula yang memungkinkan Exist tetap mampu menjadi grup musik terkenal. Bersama Mamat, Exist menghasilkan beberapa album, satu yang paling terkenal bertitel “Mengintip dari Tirai Kamar” (di Indonesia, titel itu diubah menjadi “Buih Jadi Permadani”). Mendengarkan suara Mamat bisa dibilang tak berbeda dengan mendengarkan suara Ezad—sama-sama mudah dikenali sebagai vokalis Exist, karena karakter vokal mereka sangat mirip.

Sampai kemudian, Mamat tersandung kasus, dan harus mendekam di penjara beberapa tahun (kasusnya mirip Ariel). Di titik itu, Exist goyah. Dalam kegoyahan tersebut, mereka berupaya mendapatkan vokalis baru, dan ketemulah Joey. Nama aslinya Zulkifli Bin Daud. Sayang, karakter vokal Joey berbeda dengan karakter vokal dua pendahulunya... dan Exist kolaps.

Hal serupa terjadi pada Uk’s, yang belakangan menjadi Ukays. Selama bertahun-tahun, Uk’s identik dengan suara Amir yang sangat indah, yang selalu mampu menyanyikan nada-nada tinggi dengan sempurna. Ketika Amir keluar dari Uk’s, tanda-tanda kiamat terjadi. Grup musik itu memang mendapatkan vokalis baru, tetapi—bagaimana pun—mengganti vokalis semacam Amir adalah pekerjaan yang nyaris mustahil.

Kemudian Iklim. Kita tahu, Iklim identik dengan vokal Saleem yang serak-serak basah. Sebegitu identik Saleem dengan grup musiknya, sampai dia dikenal dengan nama Saleem Iklim. Bisakah kita membayangkan lagu-lagu Iklim dinyanyikan selain Saleem? Bahkan bidadari di surga pun akan ragu! Faktanya, ketika Saleem keluar, Iklim bubar.

Terakhir, Slam. Sebenarnya, grup musik itu tidak punya masalah, selain bahwa vokalisnya, Zamani, mengalami patah hati akut, hingga memilih mengasingkan diri, dan tak mau lagi muncul ke publik. Kisah selengkapnya bisa dibaca di sini. Yang jelas, karena Zamani sudah tak punya gairah bermusik, grup musik itu pun menghilang.

Yang agak konyol mungkin Search. Di Malaysia, Search dikenal sebagai grup musik rock. Para personil grup itu rata-rata berambut gondrong, termasuk Amy sang vokalis. Belakangan, pemerintah Malaysia mengeluarkan peraturan yang mungkin konyol, yaitu melarang pria berambut gondrong tampil ke hadapan publik!

Gara-gara aturan itu, Search kesulitan tampil seperti sebelumnya, karena mereka akan berhadapan dengan “yang berwajib”. Sampai lama, mereka tidak muncul, meski belakangan akhirnya rela memangkas rambut hingga pendek, demi bisa tampil kembali. Yang jelas, absen lama itu menjadikan publik—khususnya di Indonesia—mulai melupakan.

Ketika satu per satu grup musik Malaysia berguguran, industri musik Malaysia kelabakan. Yang menjadi masalah, waktu itu, grup-grup musik yang gugur justru grup-grup penting, yang memiliki akar kuat di industri musik. Karenanya, mencari atau bahkan menciptakan pengganti mereka akan membutuhkan waktu lama. Padahal, mereka butuh mengisi pasar yang masih subur, khususnya di Indonesia.

Langkah yang kemudian ditempuh industri musik Malaysia adalah khas industri. Mereka “mengarbit” grup-grup baru, dengan tujuan agar bisa terus mengisi pasar musik Asia. Maka lahirlah grup-grup musik karbitan dengan kualitas yang tidak mampu menyamai para pendahulu mereka. Beberapa grup karbitan itu memang ada yang berhasil terkenal, meski tidak lama, sementara banyak yang lain sama sekali tidak dikenal.

Sejak itu, meski perlahan, lagu-lagu Malaysia mulai menghilang dari Indonesia. Sampai sekarang.

Well, saya termasuk generasi ’90-an yang pernah akrab dengan lagu-lagu Malaysia. Bahkan, sampai sekarang, saya masih suka mendengarkan lagu-lagu Malaysia di era itu, meski tentu tidak semuanya. Yang masih saya dengarkan hingga saat ini (lagu-lagu lama mereka) hanyalah Search, Uk’s, Slam, dan Iklim. Ada pula beberapa grup lain yang kadang saya dengarkan, tapi jarang.

Mendengarkan lagu-lagu Malaysia era ’90-an, bagi saya, adalah hiburan menuju ke masa lalu, ketika saya remaja, ketika saya masih menatap kehidupan dengan begitu sederhana. Mungkin sesederhana lirik lagu-lagu Malaysia.

Manis di bibir, memutar kata 
Malah kau tuduh akulah segala penyebabnya
Siapa terlena pastinya terpana
Bujuknya, rayunya, suaranya
Yang meminta simpati dan harapan

Mimpi Semalam

Semalam aku memimpikanmu, dan terkejut saat terbangun. Tak tahu mengapa kau bisa tiba-tiba datang dalam mimpiku, dan kita bercakap-cakap.

Aku tak ingat latar kisah yang terjadi, tapi aku menyerahkan buku kecil kepadamu, dan kau mencatat sesuatu di dalamnya—seolah kita biasa melakukannya. Yang tidak kukatakan kepadamu, aku menulis sesuatu di buku kecil itu, yang kuharap tidak kaubaca.

Kita membicarakan hal-hal pelik, dan aku sempat berpikir kenapa dulu kita tidak pernah punya kesempatan untuk melakukannya. Berbicara sederhana, bersikap sederhana, seperti mimpi semalam. Bersamamu.

Lalu suatu waktu aku kembali datang kepadamu, menyerahkan buku kecil milikku, untuk kautulis sesuatu. Namun karena terburu-buru, aku harus segera pergi, dan lupa meminta buku tadi.

Aku sempat khawatir kau akan membaca catatan rahasiaku di buku itu, dan bermaksud mendatangimu kembali, untuk memintanya, untuk menyimpannya.

Tapi kemudian aku terbangun, dan tersenyum. Itu, untuk pertama kali, kau datang dalam mimpiku setelah bertahun-tahun.

Satu Kata yang Itu

Ooooh, itu.

Jumat, 20 April 2018

Hikayat Si Doyan Ngibul

Ada yang bertanya-tanya, "Kenapa sih, sekarang banyak 
orang yang meributkan pernikahan?"

Lhoh, yang mulai duluan, siapa? Dari dulu, orang-orang yang 
sudah menikah merasa bebas mem-bully dan menipu orang-orang lain 
yang belum menikah. Sekarang kenyataan berbalik kepada mereka.


Motivasi besar saya ketika menulis di blog, adalah untuk menuangkan kegelisahan, meringankan beban pikiran, dan bersenang-senang. Saya suka menulis diary. Dulu, sebelum ada blog, saya rutin menulis diary, menuangkan apa saja yang ingin saya ocehkan. Ketika blog muncul—dan waktu itu dikenal sebagai “diary online”—saya pun mengubah cara saya menulis diary; dari buku ke blog.

Menyadari tulisan di blog bisa dibaca siapa pun yang kebetulan menemukan, saya pun berusaha “menulis dengan baik”. Ketika menulis di buku diary, saya bisa menulis apa pun yang ingin saya tulis, segila apa pun, dan tidak ada masalah apa pun, wong buku diary hanya akan saya baca sendiri. Tetapi, ketika menulis di blog, saya tidak bisa lagi cuek seperti itu. Karena bisa jadi ada orang lain yang menemukan blog saya, dan membacanya.

Karena kesadaran itulah—selama beberapa tahun di awal ngeblog—saya berusaha menulis di blog ini dengan “moderat”, agar siapa pun bisa ikut menikmati. Saya telah menulis di blog ini sejak 2009, yang artinya sudah 9 tahun. Jika kalian buka-buka catatan lama di blog ini—antara 2009 sampai tahun-tahun setelah itu—kalian akan mendapati tulisan-tulisan yang bisa dibilang “biasa”, dalam arti tidak sefrontal sekarang.

Orang-orang yang rutin membaca blog ini sejak bertahun-tahun lalu mungkin menyadari perubahan yang terjadi. Di masa lalu, saya sangat jarang—bahkan tidak pernah—membahas perkawinan dengan cara frontal seperti sekarang. Selama masa-masa itu, saya bahkan menunjukkan sikap sebagaimana umumnya orang lain, yang sesekali membahas perkawinan dengan cara wajar dan biasa.

Jika kalian teliti, tulisan-tulisan tentang perkawinan di blog ini—khususnya yang frontal—baru terjadi 2 tahun kemarin. (Perhatikan detail waktu ini: Saya telah ngeblog selama 9 tahun. Dalam 7 tahun pertama, saya menulis biasa-biasa saja, dan baru 2 tahun terakhir saya mulai menulis tema perkawinan secara frontal.)

So, apa yang terjadi?

Sejujurnya, saya enggan menulis catatan ini, namun terpaksa, sebagai semacam klarifikasi mengenai apa yang sebenarnya terjadi, dan siapa sebenarnya “biang kerok” dalam masalah ini.

Di dunia maya, ada seorang lelaki yang—beberapa tahun kemarin—sangat aktif di internet. Dia punya beberapa blog, juga punya beberapa media sosial, dan hobi memprovokasi orang lain agar cepat kawin, sekaligus bersikap merendahkan orang-orang yang tidak/belum menikah. Karena kelakuannya yang sangat memuakkan—dan doyan ngibul—mari kita sebut dia Si Doyan Ngibul.

Di blog, dia banyak menulis tentang pernikahan yang semua intinya adalah mengajak siapa pun agar cepat kawin. Kenyataannya, dia memang sudah kawin, dan punya satu anak yang masih kecil. Dia sangat hobi memprovokasi orang lain agar cepat kawin, dan dia menggunakan segala dalih, alasan, sampai menyitir ayat-ayat suci yang ia tafsirkan dengan kendangkalan otaknya sendiri. Seiring dengan itu, dia juga suka mengejek atau merendahkan orang lain yang tidak/belum kawin.

Sebenarnya, di internet juga ada—bahkan relatif banyak—orang yang sering membahas perkawinan, tapi mereka melakukannya dengan moderat. Dalam arti, mereka mengajarkan apa itu perkawinan, memberi bekal pengetahuan pada orang-orang yang belum/akan menikah, dan semacamnya. Untuk orang-orang semacam itu, bisa dibilang tidak masalah. Pengetahuan yang mereka sampaikan bahkan bisa bermanfaat bagi orang lain yang belum/akan menikah.

Tapi berbeda dengan orang ini, Si Doyan Ngibul. Dia sangat suka menyinyiri orang lain yang tidak/belum menikah, bahkan cenderung mengejek atau merendahkan. Kenyataan itu sangat tampak dalam tulisan-tulisannya di blog atau akun Facebook-nya. Dia tipe orang sok pintar yang biasa kita temukan—orang yang suka ngurusin selangkangan orang lain, sembari menganggap rendah orang yang belum menikah.

Setiap kali menemukan orang yang hobi nyinyir menyuruh orang lain cepat kawin, apalagi dengan nada merendahkan, saya selalu yakin bahwa orang itu tidak bahagia. Itu rumus psikologi yang bisa dibuktikan dengan tingkat ketepatan serupa matematika. Rumus dasarnya sederhana, “Orang yang bahagia—benar-benar bahagia—tidak punya keinginan mengusik orang lain sambil meninggikan diri.”

Kalau kau benar-benar bahagia, kau akan bahagia—titik. Dan kau tidak akan peduli orang lain menganggapmu bahagia atau tidak. Karenanya, kalau kau berusaha membuktikan bahwa kau bahagia (dengan cara apa pun), dan berharap orang lain percaya bahwa kau bahagia, maka artinya kau tidak bahagia. Sekali lagi, itu rumus psikologi yang bisa dibuktikan dengan tingkat ketepatan eksakta.

Jadi, ketika melihat siapa pun menyinyiri orang-orang lain agar cepat kawin, agar “bisa bahagia seperti dirinya”, saya pun langsung tahu bahwa dia tidak bahagia. Banyak pasangan di sekitar kita yang benar-benar bahagia dalam rumah tangganya, dan mereka santai saja melihat orang lain mau kawin atau tidak. Karena mereka memang orang-orang bahagia. Dan orang bahagia tidak punya keinginan mengusik orang lain.

Kembali pada Si Doyan Ngibul. Seperti yang disebut tadi, dia sangat aktif memprovokasi orang-orang lain agar cepat kawin seperti dirinya, dengan dalih kebahagiaan dan tetek bengek seperti yang biasa kita dengar. Di Facebook, dia juga suka memosting fotonya bersama pasangan, sambil menambahkan kalimat “yang jomblo jangan baper, ya” dan semacamnya.

Jadi, orang ini benar-benar tidak bahagia. Sebegitu tidak bahagia, sampai dia mati-matian menunjukkan kalau dia bahagia bersama pasangannya. Sebegitu tidak bahagia, sampai dia berusaha mati-matian membuktikan kalau dia bahagia.

In fact, apakah dia benar-benar bahagia di dunia nyata?

Jawabannya tidak!

Kenyataan itu sangat mudah dibuktikan. Tulisan—dan apa pun yang dibagikan atau diminati seseorang di dunia maya—adalah refleksi kehidupannya di dunia nyata.

Di Facebook, misalnya, dia pernah meng-copas tulisan saya yang ini. Dalam tulisan itu, saya mengilustrasikan dilema laki-laki yang telah punya istri, bahwa seorang suami kerap tertekan akibat tuntutan istrinya. Saya tersenyum sendiri waktu itu. Di antara banyak tulisan saya di blog, justru tulisan itu yang dia share di Facebook (tentu dengan harapan istrinya membaca tulisan tersebut). Itu seperti pengakuan terang-terangan, kalau dia sebenarnya tertekan dalam pernikahannya.

Di blognya, dia mengatakan bahwa menikah akan membuat bahagia dan lancar rezeki, dan tetek bengek lainnya. Tetapi, dia juga tidak malu menulis catatan yang isinya secara jelas mengatakan bahwa “jika istri ingin dihormati suaminya, istri juga harus bekerja mencari nafkah”.

Konyol, eh? Sangat!

Dia menyuruh dan memprovokasi orang-orang agar segera menikah, bahkan menyuruh agar cepat menikah tanpa menunggu mapan, karena katanya menikah adalah ajaran agama. Tetapi, dia juga mengatakan, “jika istri ingin dihormati suami, istri juga harus bekerja mencari nafkah”.

Itu benar-benar egois dan seenaknya sendiri!

Kalau menyuruh orang lain cepat menikah dengan dalih agama, terima juga ajaran agama bahwa mencari nafkah adalah tanggung jawab suami. Bukan tanggung jawab istri!

Kalau benar-benar menggunakan ajaran agama, seorang suami wajib—sekali lagi, wajib—menafkahi istri secara layak. Karena bersifat wajib, maka seorang suami berdosa kalau tidak memberi hak istri (nafkah yang layak). Kalau tidak memberi nafkah layak saja sudah berdosa, apalagi menyuruh istri mencari nafkah sendiri dengan dalih “agar dihormati suami”?

Jadi, orang ini menyuruh dan memprovokasi orang lain agar cepat kawin tanpa menunggu mapan, dengan alasan agama. Tetapi, seiring dengan itu, dia menyuruh pihak istri untuk bekerja dan mencari nafkah sendiri. Itu benar-benar standar ganda yang bangsat sekaligus menyesatkan!

Agama memang mengimbau orang menikah. Tetapi, di saat sama, agama juga mewajibkan suami memberi nafkah yang layak untuk istri! Artinya, secara tak langsung, agama mengimbau agar menikah setelah mapan, meski definisi “mapan” bisa relatif. Dengan kata lain, kalau kau hanya punya selangkangan—dan menjalani hidup juga masih kerepotan—mending bekerja dan membangun hidupmu lebih dulu, dan bukan buru-buru kawin!

Jangan diambil enaknya sendiri! Giliran nyuruh orang lain kawin, pakai dalih agama. Giliran mencari nafkah, pakai dalih selangkangannya sendiri.

Kalau memang mau mengikuti ajaran agama, perhatikan ini: Agama hanya mengimbau orang menikah. Tetapi, agama mewajibkan suami memberi nafkah layak untuk istri. Hukum dasar pernikahan, dalam agama, hanya sunah. Tapi hukum menafkahi istri, itu wajib!

Menikah hanya sunah. Kau lakukan, itu bagus. Tidak kaulakukan, juga tidak apa-apa. Tetapi, begitu kau menikah, kau wajib menafkahi keluarga, istri dan anak. Kalau kau tidak melakukannya, kau berdosa! Sudah paham, sekarang?

Karenanya, saya benar-benar prihatin melihat orang-orang yang hobi memprovokasi orang lain cepat kawin, bahkan mengatakan “tidak perlu menunggu mapan” seolah modal kawin cuma selangkangan. Itu, dalam perspektif saya, salah satu bentuk manipulasi ajaran agama.

Menikah memang ajaran agama. Tetapi, ajaran pernikahan tidak berdiri sendiri, karena agama melengkapinya dengan kewajiban, yang salah satunya adalah kewajiban menghidupi keluarga, istri, dan anak-anak.

Karenanya, kalau memang ingin memberi imbauan pada yang masih lajang agar menikah, nyatakan imbauan itu secara jujur, misal: “Menikah memang tampak menyenangkan, karena kau memiliki pasangan yang menemanimu dalam hidup. Tetapi, ingatlah, kau juga punya kewajiban di dalam pernikahan, yang bisa jadi tidak selalu enak. Karena agama memang mengimbau agar kau menikah, tapi agama juga mewajibkanmu memberi nafkah yang layak. Karenanya pula, sebelum menikah, pastikan kau memahami kenyataan itu, agar kau bisa menunaikan kewajibanmu dengan baik.”

Bukankah nasihat semacam itu lebih baik, bahkan lebih mulia, daripada ngibul dan mengiming-imingi selangkangan?

Kembali ke Si Doyan Ngibul. Selain hobi berceramah tentang perkawinan dengan dalil-dalil yang ia tafsirkan seenaknya, dia juga punya kecenderungan merendahkan orang yang tidak/belum menikah. Dalam artikel di blognya, misal, dia mengilustrasikan orang yang ingin mapan lebih dulu sebelum menikah, lalu mengakhiri tulisannya dengan kalimat, “Kalau pun kau sudah mapan, memangnya siapa yang akan mau menikah denganmu, kalau umurmu sudah tergolong tua?”

Dangkal, eh? Sangat!

Dalam artikel lain, dia bahkan menyebut orang yang tidak/belum menikah sebagai “masalah sosial”. Karena itu, menurutnya, masyarakat pun kerap menyuruh orang-orang cepat menikah, karena orang yang belum menikah adalah—menurutnya—“tanggung jawab masyarakat”.

Ocehan tolol apa itu?

Jadi, orang ini tampaknya sangat tertekan dan tidak bahagia dalam pernikahannya sendiri. Sebegitu tertekan dan tidak bahagia, sampai dia berusaha keras menunjukkan dirinya bahagia, yang salah satunya dengan cara merendahkan orang lain. Tetapi, karena tolol, dia berkali-kali “keceplosan” dengan menunjukkan kalau sebenarnya hidupnya keblangsak, jauh dari “kebahagiaan dan ketenteraman” sebagaimana yang ia ceramahkan.

Sebagai contoh, dia sangat hobi ngoceh tentang berbagi—berbuat baik kepada orang lain—bahkan dia memanfaatkan hak milik orang lain yang ia jual dengan dalih “berbagi”. Seiring dengan itu, dia membual tentang bisnis online yang dijalankannya, dan siapa pun yang tertarik bisa ikut kursus dengannya. Gratis? Tidak! Berdasarkan tulisannya sendiri di blog, dia mematok tarif Rp500 ribu atau setengah juta rupiah per orang. Oh, well, berbagi!

Masih terkait ocehan berbagi dan berbuat baik, dia juga mengaku mengumpulkan anak-anak miskin yang—menurutnya—akan dididik menjadi wirausahawan. Belakangan, di blognya sendiri, terungkap bahwa “wirausaha” yang ia ajarkan pada anak-anak itu adalah menjual es atau entah apa di jalan-jalan, yang bahkan tampak seperti bentuk eksploitasi.

Masih terkait anak-anak itu, semula dia mengatakan bahwa biaya pembinaan yang digunakan untuk mendidik anak-anak tersebut berasal dari kantong sendiri (dia dan beberapa teman). Belakangan, di blognya sendiri, dia “ngemis” dengan meminta agar orang-orang (para pembaca blognya) membantu dia dengan cara “menyisihkan 50 ribu rupiah per bulan” untuk dia gunakan membiayai anak-anak didiknya.

Uraian ini, jika saya teruskan, masih panjang, dan akan mengungkap sekian banyak ketidakberesan orang ini. Karena itu pula, pantas kalau dia hobi berceramah tentang pernikahan dengan dalil-dalil agama, meski ia tafsirkan seenaknya, berdasarkan kedangkalan dan ketololannya sendiri. Karena faktanya yang ia miliki hanyalah perkawinan, jadi dia mengeksploitasinya sedemikian rupa, agar orang-orang terperdaya.

Orang inilah yang membuat saya sangat marah, hingga akhirnya memutuskan untuk secara frontal melawan bualan-bualan sesatnya, khususnya terkait perkawinan.

Sejak itu pula—sejak saya menulis rangkaian catatan terkait perkawinan yang secara frontal menyerang bualan-bualannya—dia menghilang, dan tidak lagi menunjukkan diri. Di blog maupun di media sosial, dia sudah menghilang.

Di dunia maya, ada banyak orang baik yang polos dan jujur. Sayangnya, di dunia maya juga ada bangsat-bangsat yang tega memanipulasi orang-orang lain yang baik dan polos, demi keuntungan dan kepuasannya sendiri.

Sebenarnya, secara pribadi, saya tidak peduli orang lain mau menikah atau tidak. Persetan, itu urusan dan pilihan mereka sendiri, dan mereka pula yang akan menjalani.

Tetapi, kalau kau mengejek, menghina, atau merendahkan orang lain hanya karena mereka tidak/belum menikah, kau sedang mencari masalah. Sebagaimana kau tidak ingin dihina atau direndahkan dengan alasan apa pun, orang lain juga sama. Sebagaimana kau tidak ingin orang lain memaksakan pilihannya kepadamu, orang lain juga tidak ingin kau memaksakan pilihanmu kepada mereka.

Sudah punya hidup (dan selangkangan) sendiri-sendiri, tapi malah ngerusuhi hidup (dan selangkangan) orang lain!

Menikah Setelah Mapan

Jadi gini. Kalau ada lelaki yang mengatakan kepadamu agar segera menikah tanpa menunggu mapan... maka inilah saranku: Jangan menikah dengannya!

....

"Mapan" untuk menikah itu relatif. Tidak harus kaya-raya. Intinya adalah bisa menghidupi keluarga secara layak dan tidak berkekurangan, serta tidak merepotkan orang lain (orangtua, saudara, mertua, dan seterusnya).

....

Cara mudah untuk mengetahui kita sudah mapan atau belum adalah dengan melihat diri sendiri. Jika kita belum bisa menghidupi diri sendiri secara layak, artinya belum mapan. Sesederhana itu. Kalau menghidupi diri sendiri saja masih kepayahan, ngapain sok mau menghidupi anak orang?

....

"Tapi menikah itu kan diwajibkan agama."

Tolong tidak usah ngotot. Kalau mau ngemeng agama (Islam), hukum menikah ada lima. Wajib, sunah, makruh, mubah, dan haram. Hukum menikah tergantung pada pelakunya, bukan pada pernikahannya. Ngaji yang bener!

....

Yang selama ini tidak pernah dikatakan adalah hukum yang haram. Jika perkawinanmu berpotensi mendatangkan lebih banyak mudarat daripada manfaat, maka kau tergolong orang yang haram menikah. Jadi tidak usah sok hanya karena menikah!


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 21 Februari 2018.

Ingin Ngeseks aja Pakai Dalil

Faktanya, setiap kali ada dua idiot kebelet kawin, selalu anak mereka yang menjadi korban.

....

Banyak idiot kebelet kawin, dan berdalih sok suci, "Aku menikah karena ingin menyempurnakan agama."

Pertama, hadist yang kaugunakan itu dhaif, jadi berhentilah sok alim dengan menggunakan hadist itu. Kedua, aku tahu kau kebelet kawin karena ingin ngeseks! Semua orang juga tahu!

....

Segala dalih dan alasan dan aneka pembenaran terkait motivasi orang kebelet kawin yang terdengar suci dan ndakik-ndakik, sebenarnya dapat disimpulkan dalam dua kata sederhana, "Ingin ngeseks!"

Contoh:
"Menikah tidak perlu nunggu mapan."

Arti:
Ingin ngeseks tapi tak punya modal.

....

Paling ingin ngeseks aja pakai dalil segala.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 28 Maret 2018.

Minggu, 15 April 2018

Serpihan Retak Steve Jobs

Stay Hungry. Stay Foolish.
Steve Jobs


Steve Lohr dan Steve Jobs berteman akrab. Steve Lohr adalah wartawan New York Times. Sementara Steve Jobs, kita tahu, tokoh di bidang teknologi yang mendirikan perusahaan Apple. Pertemanan mereka dimulai karena seringnya bertemu. Steve Lohr kerap ditugaskan koran tempatnya bekerja untuk mewawancarai Steve Jobs, dan pertemuan demi pertemuan itu akhirnya mendekatkan mereka.

“Kapan-kapan kau harus naik mobilku,” ujar Steve Jobs suatu kali.

Steve Jobs punya mobil kesayangan, sebuah Porsche berwarna abu-abu. Pada akhir November 1996, Steve Lohr akhirnya benar-benar menaiki mobil itu, ketika Jobs mengajaknya jalan-jalan di San Francisco. Mereka bercakap-cakap sepanjang perjalanan, dan Steve Jobs banyak bercerita. Steve Lohr tahu, si genius itu sedang berbunga-bunga.

Waktu itu, Steve Jobs baru kembali ke Apple, setelah beberapa waktu sebelumnya dipecat dari perusahaan tersebut. Kisah pemecatan itu sebenarnya ironis. Jobs adalah pendiri Apple, tapi belakangan dia dipecat dari Apple. Kehidupan para genius tampaknya memang ironis, begitu pula Steve Jobs. Belakangan, setelah beberapa tahun dipecat dari Apple, Steve Jobs kembali ditarik ke Apple, dan kembali bekerja di perusahaan yang ia dirikan.

Jadi, ketika menikmati perjalanan bersama Steve Lohr waktu itu, Jobs sedang berbunga-bunga, karena akhirnya bisa kembali bekerja di Apple, tempat yang sangat dicintainya. Pada waktu itu pula, Jobs banyak membicarakan visinya untuk Apple, dan keinginannya untuk membesarkan Apple. Selama acara jalan-jalan itu, bisa dibilang Jobs terus berbicara, sementara Lohr terus mendengarkan. Jobs bahkan tidak hanya membicarakan Apple, tapi juga diri dan keluarganya.

“Segala hal ia ceritakan,” ujar Lohr, mengisahkan peristiwa itu.

Meski begitu, Steve Jobs tidak sedikit pun mau menceritakan keluarga aslinya. Padahal, semua orang tahu, Steve Jobs sebenarnya “cuma” anak angkat pasangan suami istri Paul dan Clara Jobs. Mereka bukan orang tua kandungnya, karena Steve Jobs adalah anak adopsi. Jadi, mengapa Steve Jobs menutup mulut rapat-rapat terkait hal itu?

Jawabannya adalah ironi—sesuatu yang kerap mengiringi kehidupan para genius—yang dimulai sebelum kelahiran Steve Jobs.

....
....

Beberapa tahun sebelum kelahiran Steve Jobs, sebuah cinta bersemi di University of Wisconsin, Amerika Serikat. Kisah cinta itu melibatkan Abdulfattah Jandali, seorang pria muslim asal Suriah, dan Joanne Schieble, warga asli Amerika. Dua orang itu bertemu di University of Wisconsin, karena menjadi mahasiswa di sana. Waktu itu, Abdulfattah Jandali dan Joanne Schieble sama-sama berusia 23, dan sedang kuliah untuk mendapatkan gelar master.

Mereka saling jatuh cinta. Dari hubungan romantis itu, Joanne Schieble hamil, dan kisah yang rumit dimulai.

Dalam keterangan yang ditulis Saudi Gazette, Abdulfattah Jandali mengaku berencana menikahi Joanne Schieble. Tetapi, ayah Schieble sangat konservatif, dan enggan memiliki menantu seorang imigran. Karena tentangan sang ayah pula, Joanne Schieble tidak bisa menikah dengan Abdulfattah Jandali.

Lalu bagaimana dengan anak yang dikandungnya?

Setelah sang anak lahir, Jandali dan Schieble bersepakat untuk menyerahkan anak yang belum diberi nama itu kepada keluarga yang ingin mengadopsi. Pada waktu itu, ada dua keluarga yang hendak mengadopsi anak mereka. Pertama adalah pasangan pengacara. Namun, pasangan itu akhirnya mengurungkan niat mengadopsi, setelah tahu itu anak laki laki. Mereka berencana mengadopsi anak perempuan.

Pasangan kedua—yang juga berencana mengadopsi anak—adalah suami istri sederhana. Jandali maupun Schieble kurang cocok dengan pasangan ini, karena mereka tidak mengenyam pendidikan. Namun, Schieble akhirnya mau menyerahkan anak tersebut kepada mereka, dengan syarat mereka mampu menyekolahkan anak yang mereka adopsi hingga kuliah.

Pasangan itu setuju, dan anak Jandali-Schieble akhirnya diadopsi oleh mereka. Nama pasangan itu adalah Paul dan Clara Jobs.

Bersama merekalah, kehidupan anak tanpa nama itu dimulai. Paul dan Clara memutuskan memberi nama Steven Paul untuk anak tersebut. Karena berada di keluarga Jobs, nama lengkapnya menjadi Steven Paul Jobs.

Bocah laki-laki yang kemudian akrab dipanggil Steve Jobs itu lalu tumbuh bersama orang tua angkatnya, Paul dan Clara. Sementara Abdulfattah Jandali dan Joanne Schieble memutuskan untuk berpisah, karena tidak ada restu dari orang tua Schieble.

Beberapa waktu setelah mereka berpisah, ayah Schieble meninggal. Jandali dan Schieble kembali menjalin hubungan, karena kini tidak ada lagi yang menghalangi hubungan mereka. Maka mereka pun menikah, dan melahirkan anak perempuan bernama Mona. Ketika Mona berusia 4 tahun, hubungan Jandali dan Schieble kembali retak. Waktu itu, Jandali memutuskan kembali ke Suriah untuk mengejar karier di pemerintahan.

Schieble, yang tidak ingin ditinggal dan juga tidak ingin pindah ke Suriah, akhirnya memutuskan bercerai. Setelah itu, ia menikah lagi dengan George Simpson, dan mengubah namanya menjadi Joanne Simpson. Begitu pula Mona, anaknya, menjadi Mona Simpson. Sejak itu, Abdulfattah Jandali lenyap dari kehidupan mereka, dan tinggal di Suriah.

Waktu-waktu berlalu.

Steve Jobs terus tumbuh bersama orang tua angkatnya. Sedari kecil, Steve Jobs tahu dia hanya anak angkat pasangan Paul dan Clara, dan kenyataan itu menyakiti perasaannya. Dia merasa menjadi anak yang tak diinginkan orang tua kandungnya. Lebih dari itu, teman-temannya kerap mengejek dan menghinanya sebagai anak yang dibuang. Di masa-masa menyedihkan itu, Paul—ayah angkatnya—kerap membesarkan hatinya, sementara Clara melimpahkan kasih sedemikian besar.

Sebagaimana yang dulu dijanjikan, pasangan Paul dan Clara juga berupaya menyekolahkan Steve Jobs sampai perguruan tinggi.

Sebenarnya, itu bukan hal mudah. Paul dan Clara menjalani kehidupan sederhana, dengan kondisi pas-pasan. Namun mereka benar-benar bekerja keras demi memenuhi janji pada orang tua kandung Steve Jobs, dan memastikan bocah laki-laki itu bisa kuliah. (Belakangan, kenyataan itu pula yang tampaknya menjadikan Steve Jobs sangat mencintai orang tua angkatnya, dan enggan menyebut orang tua kandungnya.)

Yang jelas, upaya dan kerja keras pasangan Paul-Clara untuk menyekolahkan Steve Jobs sampai tinggi, tidak sia-sia. Karena akhirnya dunia menyaksikan, bocah lelaki itu menjadi salah satu genius yang melakukan revolusi di bidang teknologi, dan mendirikan salah satu perusahaan paling berpengaruh di dunia.

Di puncak kejayaannya, Steve Jobs berusaha melacak keberadaan orang tua kandungnya. Diam-diam, dia menyewa detektif swasta untuk mencari keberadaan ayah dan ibunya. Upaya itu berhasil. Steve Jobs diberitahu bahwa ayah kandungnya, Abdulfattah Jandali, kini bekerja di sebuah restoran di California.

Steve Jobs datang ke sana, dan bertemu langsung dengan ayah kandungnya, bersalaman dengannya, bahkan sempat bercakap-cakap, tapi tidak pernah mengatakan bahwa dia anaknya.

Abdulfattah Jandali tahu siapa Steve Jobs, tokoh terkenal di bidang teknologi yang mendirikan perusahaan Apple. Tapi dia tidak tahu bahwa bocah itu anak kandungnya. (Kelak, bahkan sampai meninggal dunia, Steve Jobs tetap tidak mau bertemu ayah kandungnya.)

Lalu bagaimana dengan Mona, adik kandung Steve Jobs?

Mona tumbuh besar bersama ibu kandung dan ayah tirinya. Sebagaimana kakaknya, Mona tumbuh menjadi wanita cerdas, dan menjadi salah satu penulis terkenal Amerika. Buku pertamanya, Anywhere but Here, menjadi bestseller di AS. Berkat buku itu pula, hubungan Steve Jobs dan keluarga aslinya terkuak. Dari situ, Steve Jobs menyadari, Mona Simpson sebenarnya adik kandungnya.

Sampai di sini, semuanya mungkin tampak manis dan baik-baik saja. Sayangnya tidak. Steve Jobs bukan tipe genius-kutubuku-pendiam yang tidak banyak tingkah. Sebaliknya, dia pribadi “berandalan” yang mudah meledak.

Ketika tumbuh dewasa, kebiasaannya meledak-ledak bahkan tidak hilang—dia sering mengamuk di kantor, memaki siapa pun di saat rapat, atau di mana pun, dan kenyataan itu sudah jadi rahasia umum di Apple. (Salah satu alasan kenapa dia sampai dipecat dari Apple, kemungkinan karena kepribadiannya yang dianggap “mengerikan”).

Pada waktu SMA, Steve Jobs juga membuat masalah—khas bocah berandal. Selain doyan mengonsumsi LSD, dia juga menghamili pacarnya, Chrisann Brennan, tapi tidak mau tanggung jawab. Dia bahkan menyatakan bahwa anak yang dikandung Chrisann bukan anaknya. Peristiwa itu terjadi pada pertengahan 1977, dan Chrisann kemudian melahirkan anaknya pada 1978—seorang anak perempuan yang ia beri nama Lisa Brennan-Jobs, meski Steve Jobs tetap tidak mengakui itu anaknya.

Karena Jobs tidak mau mengakui itu anaknya, Chrisann pun membesarkan Lisa sendirian. Belakangan, pengadilan akhirnya memerintahkan tes darah, yang hasilnya membuktikan bahwa Lisa adalah (memang) anak Steve Jobs. Apakah Jobs kemudian legawa, dan menerima kenyataan itu? Tidak.

Steve Jobs baru mau menerima kehadiran Lisa, dan mengakui sebagai anaknya, setelah Lisa tumbuh remaja. Kepada majalah Vogue, Lisa menceritakan, dia tinggal bersama ayahnya selama beberapa tahun. Setelah itu, Lisa Brennan-Jobs menjalani hidupnya sendiri, setelah lulus dari Harvard University, dengan menjadi wartawan dan penulis.

Dalam wawancara di Vogue pada 2008, Lisa menyatakan, “Di California, ibu membesarkan saya hampir sendirian. Kami tidak memiliki banyak hal, tetapi dia hangat, dan kami bahagia. Kami sering berpindah. Mengontrak. Ayah saya (Steve Jobs) kaya dan terkenal... dan ketika saya kenal dia, (kami) pergi berlibur bersama, dan tinggal bersamanya selama beberapa tahun. Saat itu, saya melihat dunia lain, yang lebih glamor.”

Steve Jobs mengakui Lisa sebagai putrinya, namun tidak menerima kehadiran Chrisann, wanita yang melahirkan putrinya.

Pada 1989, Steve Jobs diundang berbicara di Stanford University. Pada waktu itulah dia bertemu Laurene Powell, yang kemudian menjadi istrinya. Bersama Laurene, Steve Jobs memiliki tiga anak; Eve, Erin, dan Reed. Kisah selanjutnya adalah hal-hal yang telah diketahui dunia.

....
....

Satu bulan setelah jalan-jalan naik Porsche abu-abu bersama Steve Jobs, Steve Lohr menulis di New York Times, “... dia selalu tertutup membicarakan keluarga kandungnya. Namun, tidak bisa diragukan lagi upaya Steve Jobs menemukan mereka kembali. Dia tidak pernah menyerah, mencari siapa orang tua sesungguhnya, atau pun saudaranya.”

Tadi, Ketemu Mbakyuku

Dear diary,

Tadi siang aku ketemu mbakyuku.

Aku senang, kau tahu.

....
....

Oh, maaf, diary,

Aku telah membohongimu.

Sebenarnya, aku tidak punya mbakyu.

Baterai

Coba tebak.

Sepuluh.

Selasa, 10 April 2018

Burung di Laboratorium

Kita berubah, tanpa disadari. 
Seperti usia yang merangkak pergi, seperti kebiasaan yang 
terbentuk perlahan, seperti senyum yang hilang.


Untuk suatu keperluan, saya mendatangi sebuah laboratorium. Setelah mendapatkan tanda pengenal yang harus dipasang di dada, saya diantar seorang pria—mungkin usianya 25—ke ruang laboratorium yang menjadi tujuan utama. Di dalam laboratorium itu terdapat sebuah kantor, tempat seseorang yang perlu saya temui.

Ruangan itu cukup luas, dan sepi. Seluruh ruangan tampak bersih dan steril, tapi ada sesuatu yang mengganggu atau tidak lazim—seekor burung tekukur bertubuh layu di dalam sangkar.

Di salah satu sisi dinding, terdapat rak permanen yang menyatu dengan dinding—khas rak permanen di laboratorium mana pun—dan di atas rak itulah burung tadi berada, terkurung dalam sangkar. Dan hanya ada burung itu, tidak ada benda lain di dekatnya.

Ada yang salah, pikir saya. Ini seperti ‘sesuatu yang seharusnya tidak ada di suatu tempat, tapi kau melihatnya ada di sana, dan kau tahu itu salah, meski kau juga tidak tahu mengapa kesalahan itu bisa terjadi’.

“Mengapa ada burung di laboratorium?” tanya saya pada pria yang mengantar.

Dia mengangkat bahu, dan menjawab, “Entahlah.”

“Maaf?”

Dia menghentikan langkah, dan menatap ke arah burung di dalam sangkar. “Uhm, saya tidak tahu bagaimana burung itu bisa ada di sini. Maksud saya, burung itu sudah ada waktu saya mulai bekerja sini. Jadi, saya benar-benar tidak tahu bagaimana burung itu bisa ada di laboratorium, atau bagaimana asal usulnya.”

Kebetulan, waktu itu, pembersih ruangan melangkah lewat sambil membawa lap. Pria di samping saya memanggil, “Fred.”

Fred menengok, dan melangkah ke arah kami.

“Fred, kau tahu mengapa ada burung di sana?”

“Tidak,” jawab Fred. “Sepertinya burung itu sudah ada, sebelum saya bekerja di sini.”

Kami melanjutkan langkah, dan menuju ruangan seseorang yang perlu saya temui. Pikiran saya seperti mengawang, dan terus memikirkan burung yang tadi saya lihat.

Sampai di sebuah ruang kantor, pria pengantar saya berhenti, membukakan pintu, dan berkata, “Silakan.” Setelah itu, dia pergi.

Saya masuk ke ruangan, dan mendapati orang yang perlu saya temui—seorang wanita yang dulu saya kira adik Rosamund Pike. Dia sedang berdiri dengan anggun, dan berkata, “Ada banyak sekali yang perlu kita bicarakan. Tapi, pertama-tama, terima kasih kau mau datang.”

Kami berjabat tangan. Lalu dia mengajak duduk di sofa, yang merupakan tempatnya biasa menerima tamu.

Saya berkata, “Sebelum kita membicarakan apa pun yang perlu dibicarakan, kau tidak keberatan menjawab yang ingin kutanyakan?”

“Sure.”

“Kenapa ada burung di laboratorium?”

Di luar dugaan, dia tertawa terbahak. Setelah puas tertawa, dia berkata sambil tersenyum. “Sorry, aku tidak menyangka itu yang kautanyakan. Tapi jawabannya cukup panjang.”

“Aku mendengarkan.”

“Sebenarnya,” dia memulai, “aku juga tidak tahu bagaimana ada burung di laboratorium kami. Waktu aku datang ke sini pertama kali, burung itu sudah ada—di tempat yang tadi kaulihat. Aku bertanya pada orang-orang yang lebih lama di sini, dan mereka rata-rata menjawab senada. Sama-sama tidak tahu bagaimana burung itu bisa ada di sana. Kau sudah bertemu Fred?”

“Pria pembersih ruangan?”

Dia mengangguk. “Kau tahu berapa umur Fred?”

Seingat saya tadi, Fred sudah cukup tua. “Sekitar 60 tahun?”

Sekali lagi dia mengangguk. “Fred telah bekerja di sini sejak masih muda. Tapi Fred juga tidak tahu bagaimana burung itu bisa ada di sana. Ketika dia mulai bekerja di sini, burung itu sudah ada di sana, dan Fred tidak tahu bagaimana asal usulnya, atau siapa yang menempatkannya di sana.”

Sejenak, keheningan menggantung.

Saya berkata dengan tidak nyaman, “Ada yang salah dengan burung itu.”

Untuk kesekian kali, dia mengangguk. Lalu menyahut, “Semua hal terkait burung itu, sebenarnya salah. Asal usulnya tidak jelas, dan tidak seorang pun bisa menjelaskan bagaimana dia—maksudku burung itu—bisa ada di sana. Semua orang yang bekerja di sini tidak ada yang tahu bagaimana ada burung di laboratorium. Dan, terakhir, burung itu terlalu tua untuk tetap hidup.”

“Sorry?”

“Rata-rata burung tekukur tidak bisa hidup selama itu.”

Saya memahami maksud ucapannya. Di alam liar, burung-burung bisa hidup lama, tergantung spesies dan habitatnya. Meski begitu, kurungan yang bersih dan terawat serta makanan yang disediakan secara teratur—dan mengandung gizi cukup—bisa memperlama usia burung. Karenanya, ketika burung hidup di dalam sangkar, dan segala kebutuhannya tercukupi, dia bisa hidup lebih lama. Selain dapat makan tanpa bekerja, dia juga terhindar dari serangan predator. Meski begitu, usia burung tetap terbatas.

Dengan perawatan yang tepat, misalnya, burung kacer dapat hidup sekitar 10-15 tahun. Kutilang bisa hidup 8-11 tahun. Murai batu, 7-10 tahun. Trucukan, 8-11 tahun. Pekin robin, 10-11 tahun. Beo, 12-25 tahun. Kenari, 7-10 tahun. Lovebird, 10-12 tahun. Derkuku, 10-20 tahun. Finch, 5-10 tahun. Merpati, 10-20 tahun. Parkit, 5-10 tahun. Pleci, 8-10 tahun. Cendet, 12 tahun. Sementara burung gereja bisa bertahan hidup 11-13 tahun.

Di dalam sangkar, dengan perawatan dan makanan tepat, burung yang mampu bertahan hidup paling lama adalah macaw, amazon, dan african grey, yang rata-rata mampu hidup 40-50 tahun. Sementara tekukur—burung yang tadi saya lihat di laboratorium—hanya mampu bertahan 10 hingga belasan tahun.

Saya pun mengatakan hal itu. “Rata-rata burung tekukur tidak bisa hidup lebih dari dua puluh tahun.”

Dia mengangguk, dan berkata terus terang, “Dan kami sebenarnya ingin melihat dia mati.”

Saya menatapnya. “Tapi dia tidak juga mati.”

“Itulah. Fred, si tukang bersih-bersih, telah ada di laboratorium ini lebih dari tiga puluh tahun. Waktu pertama kali masuk ke sini, dia sudah melihat burung itu di sana. Artinya, burung itu telah berusia di atas 30 tahun—jika menggunakan patokan lama kerja Fred di sini. Bisa jadi, burung itu sebenarnya jauh lebih tua dari itu. Sebegitu tua, sampai semua orang yang sekarang bekerja di sini tidak tahu bagaimana asal usulnya, dan bagaimana dia bisa ada di sana.”

“Omong-omong, makanan apa yang kalian berikan pada burung itu?”

“Makanan biasa, seperti umumnya burung.” Setelah terdiam sejenak, dia berkata ragu-ragu. “Kupikir, faktor yang menjadikan burung itu hidup sampai lama bukan apa yang dia makan... tapi sesuatu yang memakannya.”

Saya menatapnya. “Sorry?”

“Aku agak kesulitan menjelaskan. Bagaimana kalau kita datangi saja burung itu, agar kau tahu yang kumaksudkan?”

Kami pun bangkit dari tempat duduk, lalu melangkah menuju laboratorium, tempat burung tekukur tadi berada.

Burung itu masih ada di sana—terkurung dalam sangkar, dan tampak kuyu. Kadang bergerak, kadang diam. Sekarang saya tahu, wujud fisiknya yang kuyu karena faktor usia.

Kami berdiri di depan sangkar, dan menatap burung di dalamnya.

“Kaulihat?” dia berbisik.

“Ya, aku melihat burung yang sama.” Lalu melanjutkan dengan tidak nyaman, “Kenapa kau berbisik?”

“Maksudku, lihat lebih jelas.”

Saya mendekatkan wajah ke sangkar, berharap bisa melihat sesuatu yang mungkin belum saya lihat. Burung tekukur di dalam sangkar tampak diam, hingga saya bisa fokus menatapnya. Saya memperhatikan, seinci demi seinci, tapi saya melihat rupa burung yang sama seperti burung-burung umumnya. Kecuali tubuhnya yang tampak kurus, bulu-bulu yang kini tidak rapi, dan tampak layu. Sampai kemudian saya melihat matanya.

Berbeda dengan mata manusia yang sepenuhnya ada di depan, mata burung—khususnya burung tekukur—terletak di kanan dan kiri wajah. Ketika saya menatap matanya, burung itu menatap saya dengan salah satu matanya. Dan saya mendapati mata yang sama seperti umumnya mata burung tekukur. Bedanya, mata bulat yang saya lihat waktu itu begitu gelap, nyaris tanpa lingkaran terang seperti yang biasa ada pada burung tekukur umumnya.

Semakin lama saya menatap mata itu, pelan-pelan saya menyadari arti kalimat “bukan apa yang dia makan, tapi sesuatu yang memakannya”. Di mata burung tekukur itu, entah bagaimana, saya melihat kepahitan dan kejahatan dan hal-hal buruk yang bisa dipahami manusia. Itu bukan mata burung... itu mata makhluk lain, tapi tersamar di dalam tubuh burung.

“Kau sudah melihatnya?” dia kembali berbisik.

Tanpa sadar, saya menjawab dengan bisik yang sama. “Ya, aku sudah melihatnya.”

Lalu dia menarik saya dari sana, dan kami kembali ke ruang kantornya.

Beberapa saat kemudian, setelah menyesap minuman, dia berkata dengan salah tingkah, “Aku pernah menyuruh Fred mem... mematikan burung itu.”

Saya menatapnya. “Dan...?”

“Fred tidak bisa mematikannya.” Setelah itu, dia melanjutkan, “Maksudku, Fred tidak tega mematikan burung itu. Yeah, bagaimana pun itu burung, dan kau tidak mungkin mematikan burung tanpa alasan.”

“Fred tidak melihat yang kaulihat?”

“Tidak. Entah bagaimana, Fred hanya melihat burung itu sebagai burung. Karenanya, dia pula yang selama ini rutin merawat dan memberi makan burung itu. Yeah, dia benar-benar percaya itu burung.”

Saya berkata dengan linglung. “Kenyataannya... itu memang burung.”

Dia mengangguk. “Jika kita melupakan berapa usianya, dan terlepas dari yang tadi kaulihat, makhluk itu memang burung.”

....
....

Waktu-waktu berlalu. Saat saya menulis catatan ini, Fred—si tukang bersih-bersih laboratorium—sudah meninggal. Ia sakit-sakitan seperti umumnya lansia, lalu meninggal suatu hari dengan tenang di rumah sakit.

Pria berusia 25 tahun—yang mengantarkan saya masuk ke laboratorium pertama kali—masih bekerja di sana, namun sekarang telah mendapat jabatan lebih tinggi.

Orang yang saya temui di laboratorium itu—yang menjadi teman saya bercakap-cakap hingga lama—sudah pindah kerja di tempat lain, yang menurutnya memberi gaji, kantor, dan fasilitas lebih baik.

Dan burung itu...?

Well, burung tekukur itu masih ada di sana, di laboratorium, seperti yang saya lihat pertama kali. Dan, berdasarkan penjelasan orang-orang yang kini bekerja di sana, burung tekukur itu belum juga menunjukkan tanda-tanda akan mati.

Noffret’s Note: Generalisasi

Adikku, yang suka pisang, barusan berkata, "Tidak mungkin ada orang yang tak suka pisang."

Dia lupa, kakaknya sendiri tidak doyan pisang, tidak pernah makan pisang sejak bayi, dan tidak pernah tertarik pada pisang. Kita memang suka menggeneralisasi berdasar pilihan diri sendiri.

....
....

Hanya karena kita menyukai sesuatu, bukan berarti orang-orang lain pasti akan suka hal yang sama. Hanya karena kita menganggap sendirian itu kesepian, bukan berarti orang lain merasakan hal sama. Ada yang justru menikmati kesenangan dalam kesendirian, dan mereka baik-baik saja.

....
....

Ada yang pernah berkata kepadaku, "Kamu sih, terlalu menutup diri, jadinya sampai sekarang tidak punya pacar."

Lhah, yang bilang aku ingin punya pacar, siapa? Aku justru menutup diri karena menjauhkanku dari kemungkinan pacaran atau terjebak dalam hubungan yang tak kuinginkan.

....
....

Bagiku, pacaran atau tidak adalah soal pilihan. Aku tidak ingin menjadi sok suci yang mengharamkan orang pacaran, tapi bukan berarti aku juga ingin melakukannya. Melarang serta mem-bully orang pacaran itu sama buruk dan sama tolol dengan menganggap semua orang ingin punya pacar.

....
....


Kesalahan yang sering kita lakukan adalah melakukan generalisasi berdasarkan selera kita yang subjektif. Itu persis seperti orang yang menyukai pisang (atau hal lain), lalu mengambil kesimpulan semua orang pasti akan suka pisang, dan menganggap aneh jika ada yang sebaliknya.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 28 Desember 2017.

Kepada Korek Api

Kepada sebatang korek api, aku berkata, “Kau harus bersyukur. Karena kita semua adalah humus.”

Kamis, 05 April 2018

Kegilaan di Jalan

Ibu-ibu, remaja tanggung, dan motor matic, 
adalah kombinasi paling berbahaya di jalan raya.


Sebagian orang tampaknya mudah marah saat berada di jalan raya. Saya pun sering mengalami kondisi semacam itu. Meski saat keluar rumah dalam kondisi segar,  kesegaran itu menguap begitu terjebak di jalanan macet, apalagi pas siang hari yang terik. Karenanya, saat mendapati orang berkendara seenaknya, kita—setidaknya saya—mudah jengkel lalu memaki-maki sendiri.

Ada banyak kegilaan yang bisa kita temukan di jalan raya. Dari cowok-cowok yang naik motor ugal-ugalan, ibu-ibu yang menyalakan lampu sein kiri tapi belok kanan, orang-orang yang berkendara seenak jidat, sampai angkot yang menganggap jalan raya milik neneknya.

Kalau kebetulan sedang iseng jalan-jalan naik motor, saya sering tergoda untuk mengerjai orang-orang yang seenaknya itu. Pernah, saya sedang berkendara ke pom bensin, dan melaju pelan-pelan di pinggir jalan. Dari belakang, di kejauhan, terdengar klakson sepeda motor yang terus menerus berbunyi. Padahal itu jalan lurus yang tidak terlalu ramai. Tapi klakson itu terus berbunyi dan berbunyi.

Saat sepeda motor itu sampai di samping saya, tampak seorang cowok tanggung yang mengendarainya. Dia masih terus membunyikan klakson pada kendaraan lain yang ada di depan, seolah-olah jalan raya hanya miliknya, dan semua orang harus menyingkir untuk memberi jalan baginya. Karena suara klakson keparat itu, kendaraan-kendaraan lain pun menyingkir, memberi jalan, dan cowok itu terus melaju.

Didorong jengkel campur iseng, saya menaikkan kecepatan. Cowok tanggung itu kira-kira melaju dengan kecepatan 70 kilometer per jam. Sangat mudah mendapatkannya, meski dia sudah cukup jauh di depan. Maka saya pun mengejar, lalu melaju tepat di belakang sepeda motor yang seenaknya itu. Dia masih terus membunyikan klakson motornya, meminta semua orang di depannya menyingkir, seolah itu jalan raya miliknya.

Dengan amarah membara, saya juga membunyikan klakson, persis seperti dirinya, dan terus menerus. Jadi, dia membunyikan klakson sambil terus ngebut, dan saya membuntuti motornya dengan jarak dekat, sambil membunyikan klakson yang sama. Lama-lama, cowok itu sadar. Dia menegok ke belakang, dan saya terus membunyikan klakson. Dia menurunkan kecepatan, saya menurunkan kecepatan. Tapi saya terus membunyikan klakson, agar telinganya tersiksa.

Akhirnya, cowok itu berhenti membunyikan klakson. Dia masih terus melaju, tapi kali ini tidak lagi dolanan klakson seenaknya. Setelah cukup jauh membuntuti, dan dia tidak lagi membunyikan klakson keparat, diam-diam saya tersenyum puas. Rasanya seperti mendapat hiburan yang agak gila.

....
....

Beberapa idiot mengira jalan raya milik mereka, lalu seenaknya membunyikan klakson, mengusir semua orang di depan, agar dapat melaju seenaknya. Idiot-idiot itu perlu diberitahu bahwa klakson tidak ditujukan untuk hal-hal semacam itu. Klakson bahkan “benda sakral” yang hanya boleh digunakan jika keadaan benar-benar terpaksa. Dengan kata lain, klakson tidak ditujukan untuk mainan!

Banyak idiot yang menggunakan klakson seenaknya, tanpa tahu fungsi klakson, hingga saya pernah (bahkan beberapa kali) mendapati pengendara sepeda motor menglakson truk dan bus! Kenapa mereka tidak menglakson kereta api sekalian saja?

Tidak jauh beda dari kisah cowok di atas, ada kisah serupa tapi lebih parah. Suatu siang, saya baru keluar dari warung mi ayam. Saya melaju pelan-pelan untuk pulang. Dari belakang, terdengar suara klakson sepeda motor terus menerus. Saya menurunkan kecepatan, lalu si monster klakson itu pun muncul di samping saya.

Rupanya seorang wanita. Dia melaju dengan kecepatan rendah, sekitar 50 kilometer per jam, tapi terus menerus membunyikan klakson, seolah dia ambulans yang sedang membawa pasien sekarat.

Lagi-lagi didorong iseng dan jengkel, saya membuntuti wanita itu, persis di belakangnya. Saya ikut membunyikan klakson, seperti dirinya. Wanita itu semula tidak paham. Dia mungkin mengira saya akan melaju di jalan yang dilaluinya. Jadi dia membawa motornya ke pinggir. Melihat itu, saya ikut membawa motor ke pinggir, dan terus membunyikan klakson. Dia kembali membawa motornya ke tengah, dan saya ikut ke tengah. Dengan klakson terus berbunyi.

Lama-lama, wanita itu paham. Dia menengok ke belakang. Saya tak peduli. Saya terus menjaga kecepatan, dan terus membunyikan klakson, berharap telinganya pecah. Setelah itu, dia berhenti dolanan klakson.

Kalian yang membaca catatan ini mungkin bisa saja mencemooh, “Ah, wanita memang begitu. Biar sajalah. Namanya juga wanita.”

Jika kalian menganggap perilaku semacam itu bisa diterima karena “baik-baik saja”, kalian keliru. Perilaku semacam itu sangat berbahaya, dan dapat membahayakan diri sendiri serta orang lain. Memainkan klakson seenaknya, dan berpikir semua orang harus menyingkir karena dia akan melaju, itu pola pikir berbahaya. Sama berbahaya dengan dolanan ponsel sambil berkendara!

Salah satu bukti betapa bahaya perilaku semacam itu, pernah saya saksikan suatu malam, dan menjadi peristiwa yang tak pernah saya lupakan.

Suatu malam, saya bermaksud ke warung langganan untuk makan. Saya mengendarai motor perlahan-lahan di pinggir. Di tengah jalan raya, agak di depan saya, tampak sepasang suami istri dengan seorang anak kecil, naik sepeda motor. Si anak diapit di tengah. Saya melihat motor yang mereka kendarai menyalakan lampu sein kanan, yang artinya akan berbelok ke kanan.

Tetapi, dari arah belakang, muncul sepeda motor melaju kencang, dengan suara klakson terus menerus. Jika si pengendara adalah pengendara yang baik, dia tentu akan melihat lampu sein motor di depannya menyala, dan dia akan menurunkan kecepatan. Kalau pun akan menyalip, dia akan mengambil arah kiri, karena motor di depannya akan belok ke kanan.

Tapi rupanya pengendara yang dolanan klakson itu pengendara idiot. Meski di depannya ada motor yang jelas menyalakan lampu sein kanan, pengendara dari belakang tidak menurunkan kecepatan. Dia terus melaju kencang, dengan suara klakson terus berbunyi, seolah meminta pengendara di depannya jangan berbelok dulu karena dia akan melaju.

Akibatnya tepat seperti yang saya bayangkan.

Pasangan suami istri, yang mengendarai motor di depan, mungkin bingung—antara berbelok atau bertahan di tengah jalan. Tetapi, karena sudah menyalakan lampu sein, pengendara motor itu pun mungkin berpikir bahwa pengendara di belakangnya tentu memahami. Jadi, dia pun berbelok ke kanan. Bertepatan dengan itu, pengendara idiot dari belakang melaju kencang, tepat saat motor di depan membelok.

Kedua sepeda motor itu pun terpental, akibat hantaman keras dari motor si idiot yang melaju kencang. Anak kecil, yang semula diapit orang tuanya di tengah motor, terlempar ke pinggir jalan. Tangisnya seketika pecah. Si ibu juga terlempar dari motor, dan dia terkapar di tengah jalan. Sementra si ayah—pengendara motor—tertindih sepeda motornya.

Lalu bagaimana dengan si idiot yang menabrak mereka? Dia juga jatuh di tengah jalan. Rupanya seorang wanita, usianya sekitar 25-an. Dia naik motor sendirian, dan—berdasarkan perkiraan saya—melaju dengan kecepatan 70 kilometer per jam.

Dalam waktu singkat, jalan raya macet. Orang-orang berhenti. Sebagian menolong korban, sebagian menonton. Saya ikut berhenti. Dan melihat si anak kecil—yang tadi terlempar—tampak mengalami sakit luar biasa, hingga jerit tangisnya memecah malam. Seorang wanita di sana mencoba menggendongnya, menghiburnya, tapi anak kecil itu terus menangis dan menjerit.

Si ibu yang terkapar di jalan raya mengalami luka-luka. Dia harus digotong beberapa orang untuk dibawa ke pinggir, ke depan sebuah rumah. Saya tidak tahu tepatnya luka yang dialami, tapi yang jelas ada ceceran darah. Sementara si ayah, yang tertindih sepeda motor, tampak memegangi bahunya. Mungkin dia terkilir atau mengalami luka trauma akibat benturan.

Lalu bagaimana dengan si idiot? Wanita yang menabrak mereka, yang juga terjatuh, bisa dibilang tidak mengalami apa-apa, selain hanya jatuh. Bagaimana pun, dialah yang menabrak dari belakang, hingga setidaknya bisa meminimalkan kemungkinan bahaya yang akan dialami. Dia tidak mengalami luka apa pun, selain hanya tasnya sedikit sobek.

Apakah wanita yang menabrak itu merasa bersalah? Di sinilah bagian terpenting dari cerita ini. Dia tidak merasa bersalah!

Saat orang-orang di sana membawa wanita itu ke pinggir jalan, dia menuduh orang yang ditabraknya telah “berkendara seenaknya sendiri”. Saya ada di sana waktu itu, sehingga bisa langsung mendengar ocehannya.

Dan inilah ocehannya, “Saya sudah membunyikan klakson dengan keras, tapi dia (orang yang ditabraknya) masih saja berbelok! Dia yang salah!”

Sekilas, kalimat itu terdengar benar. “Saya sudah membunyikan klakson dengan keras, tapi dia masih saja berbelok! Dia yang salah!”

Terdengar innocent, huh?

Tetapi, jika melihat peristiwanya langsung, wanita itulah yang salah. Wanita itu telah membunyikan klakson terus menerus dari belakang, saat jaraknya masih jauh. Dia melaju dengan kencang dan terus membunyikan klakson tanpa henti, meminta orang-orang di depannya menyingkir. Saya mendengar itu dengan jelas, karena saya ada di sana.

Kemudian, ada pasangan suami istri dengan seorang anak yang akan berbelok ke kanan. Mereka ada di tengah jalan, dan melaju perlahan, dengan lampu sein menyala ke arah kanan.

Semua pengendara yang punya SIM mestinya paham, bahwa lampu sein kanan yang menyala di depan kita merupakan isyarat untuk belok ke kanan. Jika kita akan menyalipnya, lakukan di sebelah kiri, agar motor itu bisa berbelok ke kanan dengan aman. Sebaliknya, jika kita tidak mungkin menyalip, karena jalan raya sedang ramai, maka turunkan kecepatan. Ingatlah itu, ketika melihat kendaraan di tengah jalan raya, dengan lampu sein menyala!

Tetapi wanita idiot tadi tidak memahami peraturan suci tersebut. Bukannya menyalip ke kiri atau menurunkan kecepatan, dia malah terus melaju kencang sambil sibuk membunyikan klakson. Apa dia pikir jalan raya milik mertuanya? Lalu setelah kecelakaan terjadi, dia malah menyalahkan orang yang ditabraknya.

Sudah melihat “bahaya” yang saya maksud?

Berkendara seenaknya tanpa hati-hati, atau membunyikan klakson seenaknya sendiri, mungkin terkesan biasa. Tetapi, dalam kondisi tertentu, hal itu bisa menimbulkan bahaya. Bagi diri sendiri, juga bagi orang lain.

Sepele

Di samping rumah saya ada hamparan batu—rata-rata seukuran genggaman tangan—dan selama bertahun-tahun saya tidak pernah mengajak omong mereka. Padahal, bisa dibilang, kami tinggal serumah.

Ketika menyadari hal itu, saya merasa perlu sesekali berbicara pada mereka—batu-batu tersebut. Jadi, suatu kali, saya berjongkok, dan menyentuh salah satu batu yang terhampar di sana, dan berkata, “Kalau dipikir-pikir, sebenarnya sepele.”

Batu-batu diam saja, karena mereka batu. Tapi saya lega. Karena akhirnya saya bisa berbicara, bahwa—kalau dipikir-pikir—sebenarnya sepele.

Noffret’s Note: Hujan

Sejak tadi malam sampai sekarang, duinginnya luarrr biasssaahh.
—Twitter, 6 Februari 2018

Tadi siang kehujanan. Sekarang pilek dan kepala berat.
Kayaknya bakal meriang, nih.
—Twitter, 2 Maret 2017

Hujan di luar. Sepiring gorengan panas. Cabai rawit. Sepoci teh hangat. Sebungkus rokok. Sebuah buku bagus. Oh, well, senja yang sempurna.
—Twitter, 1 Maret 2017

Tak ada yang lebih tabah dibanding orang-orang yang kebanjiran dan terus diguyur hujan di bulan Februari.
—Twitter, 10 Februari 2018

Sudah tidak hujan, tapi duinginnnnnya luarrr biasaaaahhh.
—Twitter, 23 Februari 2018

Kalau boleh memilih antara hujan atau panas, mungkin milih panas. Setidaknya, panas bisa diatasi dengan AC atau kipas angin. Tapi hidup kadang tak menawarkan pilihan, dan kita tetap harus memilih. Memilih untuk memaki, atau menikmati.
—Twitter, 11 Februari 2018

Suara hujan menjatuhi tanah dan genteng rumah. Suara toa menyuarakan orang yang sedang teriak-teriak, entah ngomong apa. Kupikir, suara hujan saja sudah cukup.
—Twitter, 16 Februari 2018

Panas mulai datang, hari ini. Semoga hujan telah usai.
—Twitter, 17 Februari 2018

Kemarau panjang mengharapkan hujan. Hujan mengguyur merindukan terang.
—Twitter, 13 November 2015


*) Ditranskrip dari timeline @noffret.

Minggu, 01 April 2018

Catatan Seorang Korban

Saran "berhentilah merasa menjadi korban" memang terdengar baik. 
Yang masih jadi masalah, bagaimana kalau senyatanya kita memang korban? 
Itu sama saja memberi nasihat "berhentilah merasa dirampok" 
kepada korban perampokan.


Seorang laki-laki menabrakkan diri pada kereta api yang sedang melaju, dan dalam beberapa detik kemudian dia tewas. Itu jelas tindakan bunuh diri, dan nyatanya dia memang meninggalkan catatan perpisahan, yang menjelaskan bahwa keputusannya bunuh diri dilatari malu akibat perundungan yang menimpanya.

Beberapa orang, yang mungkin kurang bisa berempati, mengatakan, “Halah, gitu aja bunuh diri. Cemen!”

Ungkapan semacam itu memang terdengar masuk akal. Karena, “masak hanya karena di-bully saja sampai bunuh diri?” Terdengar masuk akal... tapi terdengar masuk akal bagi siapa? Bagi kita, yang bukan korban! Kita tidak mengalami perundungan sebagaimana yang dia alami, sehingga bisa ngomong dengan mudah.

Seorang wanita mengalami depresi dan mengurung diri di kamarnya sampai berbulan-bulan, tidak mau bertemu orang lain, dan ketakutan pada orang asing. Kondisi itu dilatari perkosaan yang menimpanya. Setiap kali teringat peristiwa itu, dia menangis tanpa henti, dari hari ke hari, sampai berbulan-bulan.

Beberapa orang, yang mungkin berniat baik, mengatakan, “Yang sudah terjadi, biarlah berlalu. Sekarang lupakan, dan lanjutkanlah hidupmu.”

Ungkapan semacam itu terdengar masuk akal. Karena, “bagaimana pun itu sudah terjadi, jadi lupakan sajalah.” Terdengar masuk akal... tapi terdengar masuk akal bagi siapa? Bagi kita, yang bukan korban! Kita tidak mengalami perkosaan sebagaimana yang dia alami, sehingga bisa ngomong dengan mudah.

Faktanya, bagi setiap korban kejahatan, “melupakan” tidak semudah yang diucapkan orang. Apalagi untuk kejahatan keji semacam perkosaan. Itu jelas meninggalkan luka, trauma, dan luka itu sulit hilang, bahkan mungkin sampai akhir hayat. Bagi yang bukan korban, “melupakan” terdengar ringan—persetan, apa sulitnya melupakan? Tapi bagi si korban, yang benar-benar mengalami, “melupakan” adalah hal yang nyaris mustahil.

Itulah perbedaan antara korban dan bukan korban. Antara yang mengalami dan yang tidak mengalami.

Dalam hal itu, bagaimana pun, orang tetap memberikan simpati kepada si korban. Pada kasus kejahatan apa pun, pihak korban tetap mendapat simpati. Seperti korban perkosaan, korban perampokan, korban tabrak lari, dan semacamnya. Kita—dengan segala kedaifan—bisa menyadari bahwa mereka korban yang memang layak mendapat simpati, bahwa peristiwa yang menimpa mereka adalah kejahatan.

Tetapi... ada jenis kejahatan “abu-abu”, yang mungkin akan membuat kita kebingungan, atau bahkan bisa jadi justru membuat kita menyalahkan si korban. Yaitu korban dalam keluarga, atau anak-anak yang menjadi korban orang tua. 

Masih ingat kasus anak yang mencaci-maki orang tuanya, dan caci-maki itu viral di media sosial? Seketika, pandangan orang-orang terarah kepada si anak, dan menuduhnya durhaka, dan hampir tidak ada yang mempertanyakan “kenapa dia sampai berbuat seperti itu?” Padahal, bisa jadi, caci-maki itu sampai ditulisnya, karena dia sudah tak sanggup menahan luka yang dialami, akibat perbuatan orang tuanya. Tapi kita langsung menyalahkannya, tanpa melihat seperti apa orang tuanya.

Bagaimana jika ternyata orang tua si anak memang jahat, yang suka menyiksa dan menganiaya? Bagaimana jika si anak adalah korban kekerasan dan kejahatan orang tua, dan tidak punya siapa pun untuk mengadu, sehingga sampai mencurahkan caci-makinya dalam buku tulisnya sendiri? Bagaimana jika si anak memang korban dalam keluarganya?

Kita tidak sempat memikirkan hal-hal itu—kenapa? Karena kita telah didoktrin untuk percaya bahwa orang tua pasti baik, bahwa orang tua pasti mulia, bahwa orang tua pasti ingin anaknya bahagia, bahwa orang tua telah bekerja keras demi anaknya, bahwa tidak ada orang tua yang ingin anaknya sengsara, dan bla-bla-bla.

Mungkin memang banyak orang tua yang seperti itu, termasuk orang tuamu. Tetapi, marilah kita pahami kenyataan bahwa tidak setiap orang tua sebaik orang tuamu.

Pada waktu kelas tiga SD, saya bersama seorang kawan pergi ke pantai, dan mengumpulkan kerang yang banyak terhampar di pasir. Waktu itu, kami mengumpukan kerang cukup banyak, dan membawanya pulang. (Cerita selengkapnya di sini: Kerinduan di Pantai).

Di rumah, saya mencuci kerang-kerang itu hingga bersih, dan memasukkannya ke dalam kantung plastik tebal. Karena saya tidak punya mainan sebagaimana umumnya anak kecil, saya pun menjadikan kerang-kerang itu sebagai mainan.

Suatu hari, adik saya meminta kerang-kerang itu. (Adik saya yang terbesar, perempuan, usianya cuma setahun lebih muda.) Seperti umumnya anak kecil yang mencintai mainannya, saya tidak memberikan kerang-kerang itu, dan dia berusaha menarik kantung kerang dari saya, sementara saya berusaha mempertahankan. Sambil kami saling menarik, dia menangis dan memanggil-manggil ayah kami. 

Ayah kami datang. Dia marah, karena adik saya menangis. Tapi dia marah kepada saya. Dan tanpa mencari tahu apa masalahnya, dia merenggut kantung kerang itu dari kami, lalu menghantamkan kantung berisi kerang itu ke kepala saya. Setelah itu, dia menggendong adik saya, menenangkannya.

Dan saya? Saya menangis sendirian, dengan kepala berdarah.

Peristiwa itu terjadi bertahun-tahun lalu, dan adik saya telah lupa. Tapi saya selalu ingat... selalu mengingatnya. Kenapa? Karena saya korban dalam peristiwa itu.

Dan kejadian semacam itu tidak hanya terjadi satu dua kali. Tapi berkali-kali, bahkan terus menerus, seiring kami beranjak besar. Kapan pun saya dan adik ribut karena masalah apa pun, selalu saya yang menjadi korban. Selalu saya yang berdarah. Selalu saya yang menangis. Gara-gara itu pula, hubungan saya dengan adik yang paling besar tidak bisa dibilang dekat, bahkan sampai sekarang.

Itu baru satu kisah.

Jika saya harus mengisahkan semua kekerasan dan kejahatan yang saya alami ketika saya tumbuh besar, mungkin hasilnya bisa menjadi sebuah buku tebal. Karena itulah, seperti yang saya tuliskan di sini, “Saya mengenal kebencian pertama kali dari orang tua saya sendiri—ketika saya mulai membenci mereka—sebagaimana saya mengenal kekerasan, egoisme, sikap negatif, dan perilaku yang buruk, juga dari mereka.”

Selama masa-masa itu, hampir setiap hari saya menangis, hampir setiap saat saya berdarah, hampir setiap waktu saya mendapat caci-maki yang akan membuat hati siapa pun terluka. Ayah saya selalu tahu cara membuat saya begitu hina, dan ibu saya selalu tahu cara membuat saya terluka... dan terluka.

Jika kalian bertanya, kenapa orang tua saya bisa begitu kejam, jawabannya di sini.

Bertahun-tahun kemudian, ketika saya telah dewasa, dan kembali teringat pada kisah-kisah yang terjadi di masa lalu, saya kadang merasakan kebencian yang teramat sangat pada orang tua saya sendiri. Karena merekalah yang telah merusak saya hingga sedemikian rusak... seperti yang sekarang saya alami. Kerusakan yang mereka timbulkan memang tidak tampak, karena bekas-bekas luka fisik bisa hilang. Tapi luka-luka yang tersimpan di dalam batin... tak pernah hilang.

Kini, dengan segala kedewasaan, saya menyadari bahwa diri saya tidak utuh. Ada bagian di dalam diri saya yang terluka sedemikian parah, hingga saya tidak yakin akan sembuh. Dan luka menganga itu menjadikan saya begitu sensitif, hingga luka sekecil apa pun bisa membuat batin saya menjerit.

Kadang, dengan maksud meringankan beban, saya mencoba curhat ke teman, atau orang yang saya percaya. Tetapi, bagaimana pun, mereka bukan korban—mereka tidak mengalami yang saya alami. Karenanya, mereka bisa enteng mengatakan, “Yang sudah berlalu biarlah berlalu, lupakan saja dan lanjutkanlah hidupmu.”

Omongan semacam itu memang terdengar benar dan masuk akal—oh, well, sangat masuk akal! Tapi yang saya alami tidak seremeh yang mungkin mereka bayangkan. Andai saya bisa melupakan, sudah dari dulu saya akan melupakan! Fakta bahwa sampai detik ini saya tidak bisa melupakan, karena memang tidak bisa melupakan! Tidakkah mereka menyadari kenyataan itu?

Karenanya, ada waktu-waktu ketika saya merasa begitu rapuh, dan menangis sendirian, karena menyadari tidak ada yang bisa memahami. Saya terluka sendirian, kesulitan menjelaskan kepada siapa pun, karena orang-orang lain tidak memahami... tidak mampu memahami. 

Di media sosial, kadang kita menemukan “nasihat” yang terkesan benar, tapi dampaknya justru membuat batin saya merana. Misalnya, “Resep sukses terbaik adalah mencintai orang tua dan keluarga, dan bla-bla-bla...”

Nasihat itu mungkin benar—bahkan terdengar mulia—bagi mereka yang memiliki orang tua baik, yang tumbuh dalam keluarga harmonis, yang menjalani hidup dengan cinta kasih sejak kecil. Tapi nasihat itu terasa tidak relevan bagi saya. Bagaimana bisa saya mencintai orang yang telah merusak saya hingga tidak utuh sebagai manusia? Bagaimana bisa saya mencintai orang yang membuat saya mengutuk dan menyesal karena telah dilahirkan?  

Tidak semua orang tua pasti sebaik orang tuamu, tidak semua keluarga pasti seharmonis keluargamu. Nasihat yang didasarkan pada kebahagiaanmu sendiri adalah nasihat yang egois, karena tidak setiap orang sebahagia hidupmu.

Memang, sebagai anak, kadang saya mencoba belajar mencintai orang tua saya, dan berusaha membahagiakan mereka. Salah satu kisah tentang hal itu bahkan pernah saya tuliskan di sini. Tetapi, bagaimana pun, saya sudah terlalu terluka. Sekuat apa pun saya berusaha mencintai orang tua, tetap luka yang saya dapat. 

Kadang ada orang-orang yang bangga menulis di media sosial, “Setiap kali bertemu orang tua, aku merasa hidupku lebih tenang, dan bla-bla-bla...”

Mereka pasti orang-orang beruntung, pikir saya. Karena yang saya alami justru sebaliknya. Setiap kali bertemu orang tua, saya bukan menjadi tenang, tapi justru kehilangan ketenangan. Saya bahkan lebih tenang jika lama tidak bertemu orang tua, karena menjauhkan saya dari masalah. Bahkan sudah berusaha menjauh pun, orang tua bisa datang kapan saja, dan menimpakan masalah kepada saya.

Orang Jawa punya pepatah, “Anak polah bapa kepradah.” Artinya, kira-kira, “Jika anak membuat masalah, orang tua yang akan menanggung akibatnya.” Dalam kasus saya, pepatah itu terbalik. Justru orang tua saya yang terus membuat masalah, dan saya terus menjadi korban yang menanggung akibatnya. Sebagai pribadi, saya tidak punya masalah apa pun. Masalah saya terus datang dari orang tua, bahkan meski saya telah menjauh dari mereka.

Jadi, bagaimana bisa saya mencintai mereka? 

Tidak semua orang tua pasti sebaik orang tuamu, tidak semua keluarga pasti seharmonis keluargamu. Dan tidak setiap anak seberuntung dirimu.

Kenyataan dan latar belakang inilah yang kemudian menjadikan saya gigih menentang doktrinasi perkawinan yang tidak benar, seperti “menikah akan membuatmu bahagia dan lancar rezeki”, “anak memiliki rezeki sendiri”, atau “banyak anak banyak rezeki”, dan omong kosong semacamnya. Karena saya tidak ingin ada anak-anak lain yang menjadi korban, yang mengalami penderitaan dan luka seperti yang saya alami. 

Dalam perkawinan, ada rumus yang bisa dibuktikan di mana pun. Jika sepasang suami-istri menikmati kehidupan tenteram dan bahagia, anak-anak mereka juga bahagia. Sebaliknya, jika sepasang suami-istri hidup tertekan dan menderita, maka begitu pula anak-anak mereka. Fakta bahwa ada jutaan anak yang menderita, dengan jelas membuktikan bahwa tidak setiap perkawinan pasti bahagia!

Saya berbicara dan menentang doktrinasi perkawinan yang tidak benar, dari perspektif seorang korban. Sebagaimana korban perkosaan yang gigih menentang kejahatan serupa, saya menentang kejahatan yang dilatari doktrin tidak benar. 

Saya tidak bisa mengubah masa lalu saya. Tetapi, sebagai korban, saya bisa memberitahu dunia, agar berhenti mengajarkan doktrin penuh dusta... agar berhenti melahirkan dan melukai anak-anak tak berdosa.

Ingin Ngentot

“Menikah itu... blah-blah-blah... mulia... blah-blah-blah... menyempurnakan blah-blah-blah... perlu segera dilakukan blah-blah-blah... bahagia blah-blah-blah... rezeki lancar blah-blah-blah....”

....
....

Ya, ya, aku tahu.

Kamu ingin ngentot. Ya, kan?

Paling ingin ngentot saja banyak bacot.

Seorang Bocah, Suatu Malam, dan Hujan

Sore yang hujan, dan biasa-biasa saja.
—Twitter, 16 Februari 2018

Dinginnya luar biasa, ditambah hujan.
Kelaparan dan ingin keluar, tapi terjebak dilema.
—Twitter, 6 Februari 2018

Hujan ini benar-benar masalah. Aku perlu keluar, nyari makan, dan nyari Marlboro Black! Tapi membayangkan terjebak macet sambil diguyur hujan membuatku malas keluar... sementara perut makin kelaparan, sementara otakku terus menerus membayangkan Marlboro Black sialan.
—Twitter, 20 Desember 2017

Lalu ada keparat yang ngemeng, "Makanya kawin, biar ada yang masak." Kedengarannya hebat. Yang masih jadi pertanyaan, apakah ada jaminan pasanganmu bisa memasak? Kalau pun bisa, adakah jaminan masakannya enak? Dan, omong-omong, bagaimana dengan Marlboro Black? Aku harus keluar!
—Twitter, 20 Desember 2017

Duh... hujannya.
—Twitter, 6 Februari 2018

Duduk menyandar di rumah makan, menatap ke sekeliling dan mendapati orang-orang lain yang sama duduk di kursi masing-masing. Terdiam. Mungkin merasa kenyang, tapi bingung mau keluar, karena hujan luar biasa lebat. Entah kenapa, aku merasa seperti Bruce Wayne di Lubang Neraka.
—Twitter, 6 Februari 2018


*) Ditranskrip dari timeline @noffret.

 
;