Jumat, 26 Januari 2018

Dia Adalah Mbakyuku Tahun 2001

Mbakyu! Mbakyu! Selamatkan aku dari rinduku!
@noffret


Tahun 2001, saya mendaftar kuliah di sebuah kampus. Motivasi saya kuliah waktu itu sama sekali tidak ilmiah dan tidak akademis, yaitu untuk menemui perempuan yang membuat saya jatuh cinta di masa SMA. Karenanya, saya memilih kampus tersebut bukan karena faktor apa pun, selain karena dia kuliah di sana.

Sebelum saya ngoceh panjang lebar, ada baiknya saya menjelaskan sesuatu yang bisa jadi memang perlu dijelaskan.

Seperti yang tertulis di sini, saya jatuh cinta pada adik kelas di SMA, bernama Nadia. Tapi kami sama sekali tidak pernah berkomunikasi, bahkan bisa dibilang tidak saling kenal, selain hanya sama-sama tahu bahwa kami satu sekolah.

Saya jatuh cinta setengah mati kepadanya.

Ketika lulus SMA, praktis kami tidak pernah bertemu sama sekali. Dan saya juga tidak tahu bagaimana cara menemuinya, atau bagaimana agar kami bisa terhubung. Di masa itu belum ada media sosial semacam Facebook atau Twitter, bahkan ponsel pun masih sangat langka. Hal itu ditambah kondisi saya yang kurang memiliki kemampuan sosial, sehingga benar-benar tidak tahu bagaimana cara terhubung dengan Nadia.

So, ketika kemudian saya mengetahui Nadia kuliah di sebuah kampus, saya pun mendaftar di kampus tempat Nadia kuliah. Dalam pikiran saya, waktu itu, kebersamaan kami dalam kampus yang sama akan memungkinkan saya terhubung dengannya—entah bagaimana caranya. Setidaknya, saya akan memiliki kesempatan yang lebih baik untuk bertemu dengannya, karena kami kuliah di kampus yang sama.

Maka, saya pun mendaftar kuliah di kampus itu.

Seperti umumnya mahasiswa baru di mana pun, saya harus menjalani masa ospek di kampus. Dan seperti yang terjadi di kampus lain, panitia ospek adalah para senior di kampus, pria maupun wanita. Rata-rata mereka sudah dewasa, setidaknya jika dibandingkan saya dan para mahasiswa baru lain yang masih culun. Salah satu panitia ospek pada masa itu adalah seorang perempuan yang menarik perhatian saya.

Kami—khususnya saya and the gank—menyebutnya Mbak Tasya.

Tahun 2001, ketika saya mahasiswa baru, Mbak Tasya sudah semester lima. Dia perempuan dengan postur tinggi, berwajah manis, dengan senyum yang kelembutannya mampu meredakan badai dan mendinginkan lahar. Atau, setidaknya, itulah yang saya bayangkan. Karena saya selalu senang melihat Mbak Tasya. Karena dia begitu indah. Dan lembut. Dan saya terpesona.

Melihatnya saja, bisa membuat hati dan pikiran saya tenang.

Selama menjalani masa ospek, sebenarnya saya merasa tertekan, seperti umumnya mahasiswa lain. Bagaimana tidak? Setiap hari, kami harus berangkat pagi-pagi buta ke kampus, dengan membawa aneka barang aneh yang ditugaskan para senior. Dari telur asin yang memiliki dua stempel, sampai air kemasan yang ukurannya tidak tersedia di planet bumi.

Kami juga diwajibkan berpenampilan culun—rambut dicukur sangat pendek, dan berseragam hitam putih, plus dasi. Selama di kampus, kami harus melewati jam demi jam yang penuh tekanan, juga acara-acara membosankan. Sementara para senior bersikap seolah mereka pemilik dunia, petentang-petenteng, teriak-teriak, dan seenaknya memberi hukuman.

Jadi, saya sangat jengkel dan tertekan selama menjalani ospek. Kalau mau menuruti keinginan, saya tidak sudi mengikuti. Saya pikir, lebih baik diam di rumah, dan baru masuk kampus setelah perkuliahan dimulai. Tetapi, keberadaan Mbak Tasya dalam acara ospek menjadikan saya merasa “eman-eman” jika tidak mengikuti. Karenanya, saya pun terpaksa menjalani ospek, demi bisa melihat Mbak Tasya.

Di hari-hari yang berat itu, selama mengikuti acara demi acara, saya selalu menantikan saat-saat bisa melihat Mbak Tasya. Dan saya selalu senang saat melihatnya. Penampilannya setiap hari tak berubah—dengan jas almamater, dengan tatapan mata yang teduh, dengan suara yang indah, dengan senyum yang lembut.  Ospek yang menjengkelkan dan membosankan, tiba-tiba terasa menyenangkan saat dia datang.

Mungkin perempuan tahu saat ada seseorang—khususnya laki-laki—yang sering memandanginya. Begitu pula Mbak Tasya. Mungkin, selama ospek, dia diam-diam menyadari kalau saya sering memandanginya. Kadang-kadang, saat kami ada di lapangan, atau di dalam kelas, dan saya diam-diam memandang, Mbak Tasya akan menengok ke arah saya, dan tersenyum. Dan saya merasa tiba-tiba ingin mati, karena malu.

Kalian mungkin bertanya-tanya, apakah saya jatuh cinta pada Mbak Tasya?

Saya tidak tahu, dan terus terang sampai lama sekali saya tidak tahu. Yang saya rasakan waktu itu adalah semacam “pencerahan” yang membuka mata saya, menyadarkan saya, bahwa wanita dewasa begitu indah.

Sebelumnya, di masa SMA, saya hanya menyaksikan sosok-sosok remaja sebaya. Memang ada kakak kelas perempuan, tapi bagaimana pun mereka juga masih remaja. Karenanya, ketika menjadi mahasiswa baru, dan melihat seorang perempuan semester lima, saya seperti baru menyadari bahwa wanita dewasa begitu indah.

Kenyataannya, Mbak Tasya memang merepresentasikan sosok wanita dewasa yang matang, dalam arti jauh dari kesan kekanak-kanakan. Itu terbukti dari sikapnya saat menghadapi saya yang ketahuan sering memandanginya. Sebagai wanita dewasa, dia tahu cara bersikap—bukan melotot atau marah-marah layaknya cewek ABG, yang justru akan membuat saya makin gila. Yang dia lakukan hanya tersenyum lembut... dan saya pun meleleh.

Karenanya, seperti yang saya sebut tadi, dia memiliki kelembutan yang mampu meredakan badai, mendinginkan lahar, mendamaikan amuk halilintar. Saat berhadapan dengan Mbak Tasya, saya seperti bocah yang takjub menyaksikan wanita dewasa. Dan itulah pertama kalinya saya menemukan konsep mbakyu—sesuatu yang kelak akan sangat mempengaruhi pikiran saya dalam menatap wanita.

Melalui Mbak Tasya, alam semesta seperti menyatakan, “Dan ketahuilah, hei bocah, bahwa sesungguhnya di dunia ini ada makhluk bernama wanita dewasa, yang begitu indah.”

Tidak bisa tidak, saya sepakat dengan alam semesta.

Setelah ospek selesai, saya mulai menjalani ritual kuliah, sebagaimana umumnya mahasiswa. Hampir setiap hari saya bertemu Mbak Tasya di kampus, dan kami saling senyum. Dia sangat ramah, hingga saya berani menyapa, dan saya selalu senang tiap mendengarnya berbicara.

Perlahan-lahan, kami mulai akrab. Dan saat bercakap dengannya, saya seperti menyadari bahwa ada sesuatu di dalam batin saya yang selama ini tersembunyi, yang kini menampakkan wujudnya.

Bahwa saya seorang bocah.

Sebelumnya, saya merasa begitu kuat, begitu tegar, sendirian menghadapi banyak masalah dan rintangan, bahkan bertarung melawan takdir, dan terluka... jatuh... dan bangkit lagi. Saya merasa begitu besar, tak terkalahkan, tetap berdiri di antara beban dan cobaan, meski hati berdarah dan jiwa terluka.

Kalau kau tak bisa dikalahkan, bahkan oleh nasib buruk sekali pun, kau akan merasa sangat... sangat kuat. Dan itulah yang saya rasakan. Sampai kemudian bertemu Mbak Tasya... dan menyadari bahwa sebenarnya saya begitu rapuh. Bahwa saya seorang bocah kesepian, yang merasa tidak memiliki siapa pun, yang merindukan rengkuh damai dalam dekap menenteramkan.

Mbak Tasya mengeluarkan bocah kecil yang ketakutan dan kesepian di dalam jiwa saya, untuk saya kenali... dan membuat saya menyadari bahwa di balik sosok diri saya yang merasa kuat dan tegar, sebenarnya ada bocah yang menangis dan kesepian.

....
....

Seperti rencana semula, masuknya saya ke kampus untuk menemui Nadia. Jadi, misi itu pula yang saya jalankan, meski sempat terdistraksi oleh kehadiran Mbak Tasya.

Ketika akhirnya bertemu Nadia, semua berjalan seperti yang saya rencanakan. Kami terhubung, dan berkomunikasi dengan baik. Tapi kisah kami berakhir sad ending, seperti yang diceritakan di sini.

Karena itu pula, masuknya saya ke kampus bisa dibilang sia-sia, karena akhirnya saya tetap tidak bisa bersama Nadia.

Meski begitu, saya bersyukur karena bertemu dan mengenal Mbak Tasya. Dia mbakyu pertama saya di dunia.

Gemes yang Akademis

Aku bertanya pada diriku sendiri, “Apakah kau pernah gemes secara akademis?”

Aku mengingat-ingat, lalu menjawab pertanyaanku sendiri, “Sepertinya belum pernah.”

“Kalau begitu, hidupmu sungguh sia-sia.”

“Kenapa hidupku sungguh sia-sia?”

“Karena,” aku menjawab diriku sendiri, “hidup ini sungguh sia-sia jika kita tidak pernah gemes secara akademis.”

....
....

Sejak itu, aku sering gemes secara akademis.

Belakangan, aku bahkan merasa layak mendapat gelar Ph.D untuk urusan atau hal-hal terkait gemesssshh.
 

Kagum

Kadang-kadang aku kagum pada diriku sendiri, karena bisa kagum pada diriku sendiri.

Sabtu, 20 Januari 2018

Bocah yang Membungkam Dunia

Kerusakan dan kehancuran bumi, diakui atau tidak,
berbanding lurus dengan populasi yang terus dilahirkan.
Semakin banyak, bumi makin rusak.
@noffret


Pada 1992, KTT (Konferensi Tingkat Tinggi) Lingkungan Hidup PBB mengadakan pertemuan di Rio de Janeiro, Brasil. Acara itu mempertemukan orang-orang dari seluruh negara di dunia, dan ada ribuan orang berkumpul di sana, termasuk para petinggi negara, politisi, aktivis lingkungan, pengusaha, sampai pers dari berbagai belahan dunia.

Yang membuatnya tak terlupakan, pada KTT tahun itu terjadi sesuatu yang sangat memukau, yaitu seorang bocah berusia 12 tahun yang berbicara di hadapan orang-orang penting sedunia, dan bocah itu berhasil memaksa semua pendengarnya untuk diam. Bocah itu bernama Severn Suzuki.

Severn Cullis-Suzuki adalah bocah kelahiran Vancouver, Kanada, dan merupakan keturunan Jepang-Kanada. Ayahnya, David Suzuki, seorang aktivis lingkungan. Sementara ibunya, Tara Elizabeth Cullis, seorang ahli genetika. Terinspirasi oleh ayahnya yang aktivis lingkungan, Severn Suzuki ikut memiliki kepedulian terhadap lingkungan hidup, bahkan sejak masih kecil.

Pada usia 9 tahun, Severn Suzuki mendirikan ECO (Environmental Children’s Organization), sebuah organisasi anak yang mendedikasikan diri untuk belajar sekaligus mengajari anak-anak muda lain tentang lingkungan hidup. Bersama beberapa kawan yang juga punya kepedulian pada lingkungan, Severn Suzuki aktif dalam organisasi yang dibentuknya. Semua pengurus dan anggota organisasi itu adalah bocah.

Karena aktivitas dan kepeduliannya pula, Severn Suzuki beserta bocah-bocah lain yang aktif mengurus ECO diundang pada acara KTT Lingkungan Hidup yang diadakan di Rio de Janeiro. Untuk memenuhi undangan tersebut, Severn Suzuki bersama teman-temannya berusaha mengumpulkan dana, agar punya biaya untuk pergi ke Brasil. Di acara KTT itulah, Severn Suzuki menyampaikan pidatonya yang luar biasa, yang ia ucapkan dari perspektif anak-anak.

Berikut ini isi pidato Severn Suzuki, yang saya terjemahkan secara bebas. Ingat, ini pidato bocah berusia 12 tahun, yang disampaikan kepada ribuan orang dewasa yang mewakili masing-masing negaranya....

Nama saya Severn Suzuki, berbicara mewakili ECO, Enviromental Children Organization. Kami adalah sekelompok anak berusia 12 dan 13 tahun yang ingin membuat perbedaan—Vanessa Suttie, Morgan Geisler, Michelle Quigg, dan saya. Kami mengumpulkan dana sendiri untuk bisa tiba di sini, menempuh jarak 6.000 mil untuk memberitahu Anda sekalian, agar Anda mengubah cara Anda.

Hari ini, saat berbicara di sini, saya tidak memiliki maksud terselubung. Saya hanya mencoba berjuang untuk masa depan saya.

Kehilangan masa depan tidaklah sama seperti kekalahan saat pemilihan umum, atau kerugian dalam transaksi bisnis di pasar saham. Saya berada di sini untuk berbicara bagi semua generasi yang akan datang.

Saya berada di sini untuk mengajak semua generasi untuk peduli. Saya berbicara atas nama anak-anak yang kelaparan di seluruh dunia, yang tangisnya tak lagi terdengar. Saya berada di sini untuk berbicara bagi binatang-binatang yang sekarat, yang tak terhitung jumlahnya di seluruh planet ini, karena kehilangan habitat. Kami tidak bisa tidak didengar.

Saya takut berada di bawah terik matahari, karena adanya lubang besar pada lapisan ozon. Saya takut menghirup udara bebas, karena tak tahu bahan kimia apa yang terkandung di dalamnya.

Di Vancouver, saya suka memancing dengan ayah saya. Hingga beberapa tahun lalu, kami menangkap ikan yang dijangkiti kanker. Dan sekarang kita mendengar punahnya berbagai jenis binatang dan tumbuhan yang setiap hari mati, hilang untuk selamanya.

Dalam hidup, saya telah melihat sejumlah besar hewan liar, hutan rimba, dan hutan tropis yang dipenuhi burung dan kupu-kupu. Tetapi, sekarang, saya ragu apakah semua itu akan tetap ada saat generasi anak-anak saya lahir nanti.

Apakah Anda pernah mengkhawatirkan hal-hal itu, saat Anda masih seusia saya? Semua itu terjadi di depan mata kita, namun kita masih bersikap seolah belum waktunya untuk bertindak, dan seolah kita punya semua solusinya.

Saya hanya seorang bocah, dan saya mengakui tidak memiliki semua solusinya. Saya ingin Anda semua menyadari, tak terkecuali siapa pun, bahwa Anda juga tidak tahu seperti saya!

Anda tidak tahu bagaimana cara memperbaiki lubang di ozon. Anda tidak tahu bagaimana cara mengembalikan salmon kembali ke sungai asalnya. Anda tidak tahu bagaimana cara mengembalikan binatang-binatang yang telah punah. Dan Anda juga tidak bisa mengembalikan hutan-hutan yang kini telah berubah menjadi tanah-tanah gersang.

Jika Anda tidak tahu bagaimana cara memperbaikinya, TOLONG BERHENTI MERUSAK DAN MENGHANCURKANNYA!

Di sini, Anda semua mewakili negara masing-masing—anggota perhimpunan, pebisnis, organisasi, atau media, atau politisi. Tetapi, sebenarnya, Anda adalah ayah dan ibu, saudara laki-laki dan saudara perempuan, paman dan bibi, dan Anda semua adalah anak dari seseorang.

Saya hanya seorang bocah, namun saya tahu kita semua adalah bagian dari sebuah keluarga besar, beranggotakan lebih dari 5 miliar penduduk, lebih dari 30 juta suku dan rumpun. Kita semua berbagi udara, air, dan tanah, di planet yang sama—perbatasan dan pemerintahan tidak akan mengubah hal tersebut.

Saya hanya seorang bocah, namun saya tahu kita semua menghadapi masalah yang sama, dan kita seharusnya bersatu untuk tujuan yang sama. Meski marah, saya tidak buta. Meski dalam ketakutan, saya tidak ragu untuk mengatakan pada dunia tentang apa yang saya rasakan.

Di negara saya, kami menyia-nyiakan banyak hal. Kami membeli sesuatu, kemudian membuangnya. Beli lagi, dan buang lagi. Meski begitu, tetap saja negara-negara di bagian utara tidak akan sudi berbagi dengan yang membutuhkan. Bahkan bila kami mempunyai lebih dari cukup, kami tetap takut berbagi. Kami takut melepas apa pun yang telah kami miliki.

Di Kanada, kami hidup berkelimpahan. Kami punya banyak makanan, air, dan tempat tinggal. Kami punya jam tangan, sepeda, komputer, dan televisi. Tetapi, dua hari yang lalu, di Brasil sini, kami terkejut mendapati ada anak-anak seumuran kami yang hidup di jalanan. Kami bercakap-cakap dengan mereka, dan seorang anak itu berkata, “Saya berharap, saya kaya. Dan jika saya benar-benar kaya, saya akan memberikan makanan pada semua anak jalanan, pakaian, obat-obatan, tempat tinggal, dan kasih sayang.”

Jika seorang anak di jalanan yang tak memiliki apa pun memiliki kerinduan untuk berbagi, mengapa kita yang memiliki segalanya masih saja tetap serakah?

Saya tak bisa berhenti berpikir, bahwa anak-anak ini, yang seusia dengan saya, memiliki perbedaan nasib yang besar hanya karena tempat mereka dilahirkan. Bahwa saya juga bisa menjadi salah satu dari mereka yang tinggal di jalanan kotor Brasil. Saya bisa saja menjadi salah satu anak yang kelaparan di Somalia, atau korban perang di Timur Tengah, atau seorang pengemis di India.

Saya hanya seorang bocah, namun saya tahu bahwa jika semua dana yang dihabiskan untuk perang dialihkan untuk pemeliharaan lingkungan hidup, untuk mengurangi jumlah kemiskinan, dan untuk mencari serta menemukan jawaban bagi permasalahan alam, maka bumi akan menjadi tempat yang lebih baik.

Di sekolah, bahkan di TK, Anda mengajari kami untuk berbuat baik. Anda mengajari kami untuk tidak berkelahi satu sama lain, menghargai satu sama lain, bertanggung jawab pada apa yang telah diperbuat, tidak menyakiti makhluk lain, untuk berbagi dan bukannya serakah. Tapi mengapa Anda sendiri sekarang melakukan hal-hal yang Anda larang untuk kami lakukan?

Jangan lupakan mengapa Anda menghadiri konferensi ini, dan untuk siapa Anda melakukan ini semua. Kami hanya anak-anak, dan kami anak-anak Anda semua. Andalah yang menentukan dunia macam apa yang akan kami tinggali. Orang tua seharusnya bisa membuat anaknya merasa nyaman dengan mengatakan, “Semuanya akan baik-baik saja. Ini bukanlah akhir dunia. Dan kami melakukan yang terbaik yang kami bisa.”

Tetapi, saya rasa, Anda tidak akan bisa berbicara seperti itu lagi pada kami.

Oh, well, apakah kami ada dalam daftar prioritas Anda? Ayah saya selalu mengatakan, “Kamu dinilai dari apa yang kamu lakukan, bukan apa yang kamu katakan.” Sayangnya, yang kalian lakukan membuat saya menangis di malam hari. Anda, orang-orang dewasa, mengatakan Anda mencintai kami, namun saya menantang Anda; tolong lakukan yang Anda katakan.

Terima kasih.


Suasana sunyi senyap. Ribuan orang di sana terdiam. Beberapa detik kemudian, orang-orang di aula besar itu berdiri serempak, dan memberikan tepuk tangan paling panjang yang pernah terdengar di KTT Lingkungan Hidup. Pidato Severn Suzuki, hingga saat ini, masih dikenang sebagai salah satu pidato paling populer dan paling memukau di dunia.

Suara dan kepedulian Severn Suzuki pun tak sia-sia. Usaha dan kepeduliannya mendapat penghargaan Global 500 Roll of Honor (penghargaan untuk prestasi membanggakan yang diraih oleh pribadi maupun organisasi lingkungan hidup) yang diterimanya pada 1993, dari UNEP (United Nations Environment Program). Pada tahun yang sama, Severn Suzuki menerbitkan buku berjudul Tell The World, diterbitkan oleh Doubleday. Buku setebal 32 halaman itu berisi panduan bagi para keluarga agar menjalani kehidupan yang ramah lingkungan.

Severn Suzuki juga diserahi tugas menjadi pembawa acara Suzuki’s Nature Quest, seri televisi yang ditayangkan Channel Discovery, sejak tahun 2002. Ia juga membantu mendirikan organisasi lingkungan hidup berbasis internet, bernama The Sky Project.

Melalui organisasi tersebut, dia dan para anggota lainnya mengumumkan ikrar yang bertajuk “Recognition of Responsibility” dalam rapat World Summit on Sustainable Development di Johannesburg, pada Agustus 2002. Di Prancis, pada 2010, seorang DJ mengabadikan kalimat dalam pidato Severn Suzuki, “Ini bukanlah akhir dunia” sebagai lirik lagu.

Saat ini, Severn Suzuki telah tumbuh dewasa. Namun, seperti ketika dulu masih anak-anak, dia tetap konsisten pada perjuangan dan impiannya—melihat kehidupan yang lebih baik, bumi yang lebih baik, dunia yang lebih baik.

Sekarat Bumi

Bumi sudah sekarat. Tugas penting manusia di zaman ini sebenarnya bukan menambah populasi, tapi memperbaiki dan merawat kelestarian bumi.

Orang paling egois (dan paling merusak) di zaman kita adalah orang yang beranak pinak tanpa persiapan dan kemampuan menghidupi secara layak.

Yang paling bertanggung jawab atas kerusakan bumi bukan hanya mereka yang memperkosa alam, tapi juga mereka yang "jualan dusta perkawinan".

Kerusakan dan kehancuran bumi, diakui atau tidak, berbanding lurus dengan populasi yang terus dilahirkan. Semakin banyak, bumi makin rusak.

Populasi manusia yang tak terkendali, sebenarnya, bukan hanya merusak bumi yang menjadi tempat tinggal, tapi juga merusak manusia sendiri.


*) Ditranskrip dari timeline‏ @noffret, 9 Juni 2017.

Teori Masa Lalu

"Harga sepiring nasi cuma seratus perak." | Kalimat itu benar di zaman kuno. Tapi konyol jika dikatakan sekarang. Sebab zaman sudah berubah.

Doktrin perkawinan adalah teori yang dibangun di atas realitas masa lalu. Ironisnya, doktrin yang sudah kuno itu masih terus dikoar-koarkan.

Di masa lalu, saat populasi manusia masih sedikit, mewajibkan orang untuk cepat menikah memang relevan. Sekarang...? Menikah adalah pilihan!

Di masa lalu, ketika populasi masih sedikit, punya banyak anak adalah kewajiban yang membahagiakan. Sekarang...? Punya anak adalah pilihan.

Menikah dan punya anak memang relevan untuk diwajibkan pada masa lalu, sesuai zamannya. Tapi itu sudah tidak relevan untuk zaman sekarang.

Perkawinan membuatmu tenteram dan bahagia, dan anak-anak akan melancarkan rezeki? Benar, untuk orang-orang yang hidup satu abad yang lalu!

Doktrin perkawinan itu seperti sistem perbankan. Zaman sudah berubah, manusia berubah, tapi doktrin dan sistem kuno tetap dianggap relevan.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 28 Juli 2016.

Senin, 15 Januari 2018

Shitlicious, Young Lex, dan Ibu di Balik Layar

Gue tau, lbh baik skrg kuping panas diomelin ortu mulu,
dibanding kelak mau bilang rindu pun cuma bisa meluk batu nisan.
I love em' so much.
@shitlicious


Tweet yang ditulis Alitt Susanto (@shitlicious) di atas sampai di timeline saya pada 3 Agustus 2017, melalui retweet seseorang yang mem-follow akun Alitt di Twitter. Tweet itu mengingatkan saya pada catatan-catatan Alitt di blognya, khususnya yang terkait orang tua. Saya kadang membaca blog Alitt Susanto, dan menyukai kejujurannya dalam menceritakan diri dan kehidupannya.

Bertahun lalu, Alitt pernah menceritakan ibunya yang jualan jamu keliling. Cara dia mengisahkan ibunya tidak dengan perasaan malu—seperti yang mungkin akan dialami sebagian anak muda lain—tapi dengan kejujuran bahkan kebanggaan. Kemampuan seperti itu hanya dimiliki seorang anak yang benar-benar mengasihi dan menghormati ibunya. Kasih dan hormat pulalah yang menjadikan Alitt bisa menceritakan ibunya yang jualan jamu, dengan kebanggaan serupa jika ibunya seorang direktur bank atau Sekjen PBB!

Karenanya, saya percaya Alitt Susanto sangat mengasihi dan menghormati ibunya, tanpa syarat. Bahkan, saya juga percaya mereka memiliki kedekatan antara anak dan ibu—sebentuk hubungan yang bisa jadi tidak dimiliki setiap anak.

Alitt juga pernah menceritakan di blognya, bahwa dia telah meminta sang ibu agar berhenti jualan jamu, toh anaknya sekarang sudah sukses. Melihat cintanya yang begitu besar pada sang ibu, Alitt tentu akan senang hati menghidupi ibunya secara layak, tanpa sang ibu harus bekerja lagi. Tapi ibunya tetap kukuh, ingin melanjutkan pekerjaannya—tipe orang tua yang lebih menikmati hidup dari keringat sendiri, daripada mengandalkan anaknya.

Selain Alitt Susanto, bocah lain yang juga memiliki kedekatan serupa dengan ibunya adalah Young Lex. Iya, Young Lex yang itu.

Kita tahu siapa Young Lex—bocah mbeling yang tubuhnya penuh tato, urakan, suka ngomong seenaknya, dan tidak peduli apa kata orang. Bagi sebagian orang, mungkin, Young Lex adalah mimpi buruk peradaban. Tapi bocah mbeling dan urakan itu sangat mencintai dan mengasihi ibunya—sesuatu yang mungkin bertolak belakang dari yang dipikirkan banyak orang.

Tak jauh beda dengan Alitt Susanto, Young Lex juga sangat dekat dengan ibunya. Sebegitu dekat, hingga kadang dia makan disuapi sang ibu!

Urusan makan disuapi ibunya itu, teman-teman Young Lex kadang meledek, “Lu tatoan, tapi makan masih disuapi nyokap!”

Diledek seperti itu, Young Lex bukan berkecil hati, tapi malah menjawab, “Gue lebih suka disuapi nyokap sekarang, daripada kelak ingin disuapi tapi nyokap udah nggak ada.”

Kenyataan itu bisa menjadi ilustrasi betapa dekat Young Lex dengan ibunya. Faktanya, meski sudah sesukses sekarang, Young Lex memilih tetap tinggal bersama ibunya—bukan hidup sendiri di apartemen atau rumah mewah sebagaimana umumnya bocah kaya. Untuk hal itu, Young Lex mengatakan, “Orang mungkin macam-macam, ya. Tapi gue nggak ngerti sama orang yang milih tinggal sendiri atau menjauh dari ortunya. Gue lebih suka tinggal sama nyokap.”

Kedekatan Young Lex dengan ibunya sebenarnya telah dimulai bertahun lalu, saat Young Lex masih bukan siapa-siapa. Pada waktu Young Lex masih SMA, ibunya jualan bakso dan es kelapa muda di depan rumah. Sepulang sekolah, kalau ibunya sedang repot, Young Lex yang melayani pembeli—menyajikan bakso, atau menyiapkan es kelapa muda.

Bagaimana saya tahu hal itu? Oh, mereka sendiri yang bercerita. Young Lex dan ibunya pernah diundang ke acara Hitam Putih. Semula, Young Lex hanya mengobrol dengan Deddy Corbuzier, pemandu acara. Lalu sang ibu diundang ke sana, tanpa sepengetahuan Young Lex. Bahkan melihat ibunya saja, di sana, mata Young Lex berkaca-kaca. Saat itu, dia tampak jauh beda dengan Young Lex yang kita kenal di YouTube.

Di acara Hitam Putih itulah, kisah kedekatan mereka terbuka, bagaimana keduanya—anak dan ibu—saling mengasihi. Deddy Corbuzier bertanya pada sang ibu, bagaimana perasaannya dulu, ketika Young Lex bekerja menjadi cleaning service, setelah lulus sekolah. Ibu Young Lex menyatakan, baginya itu hal biasa. Karena, sebelum menjadi cleaning service, Young Lex sudah biasa bekerja, termasuk membantu sang ibu yang jualan bakso.

Kini, setelah sukses, terkenal, dan kaya-raya, Young Lex menyatakan, “Nggak peduli sesukses apa pun, kesuksesan lu nggak ada gunanya, kalau orang tua lu nggak ikut merasakan dan menikmati kesuksesan yang udah lu raih.”

Kalau ada bocah yang ngomong seperti itu—meski dia mungkin mbeling dan urakan—kita patut mendengarkan. Terlepas dari tingkah Young Lex yang kadang menyebalkan, kita patut mengagumi kasih dan penghormatannya pada orang tua, khususnya pada sang ibu, serta kedekatan yang mereka jalin. Karena, disadari atau tidak, sebagian kita tidak memiliki hal itu.

Saya sengaja menggunakan contoh Alitt Susanto dan Young Lex, agar kalian bisa membayangkan siapa yang saya ceritakan. Alitt Susanto, apalagi Young Lex, tidak bisa disebut “anak manis”, jika kita hanya melihat penampilan mereka. Yang satu kuliah tidak lulus-lulus, hingga menjadi mahasiswa abadi, sementara yang satu lagi bocah urakan yang suka ngomong kontol. Tidak ada manis-manisnya blas!

Tapi nyatanya mereka memiliki kasih yang begitu besar terhadap sang ibu—sesuatu yang mungkin kita pikir hanya dimiliki “anak-anak manis”. Dalam hal itu, sejujurnya, saya iri pada mereka, sekaligus malu pada diri sendiri.

Saya iri pada mereka, karena tidak memiliki yang mereka miliki. Saya merasa tidak memiliki kasih ibu sebesar yang mereka miliki, sebagaimana saya tidak memiliki kedekatan dengan ibu, seperti yang mereka miliki. Dan saya malu pada diri sendiri, karena yang saya lakukan justru bertolak belakang dengan yang mereka lakukan. Mereka mendekat pada orang tua, saya justru menjauh.

Ketika saya lulus SMA, dan mulai bekerja, impian terbesar saya cuma satu—secepat mungkin keluar dari rumah orang tua!

Dan itulah yang saya lakukan. Seperti yang pernah diceritakan di sini, saya bekerja 18 jam sehari, dari jam 8 pagi sampai jam 3 dini hari. Saya tidak punya ambisi macam-macam waktu itu, selain hanya mengumpulkan uang sebanyak mungkin, lalu mengontrak rumah sendiri, agar bisa menjauh dari orang tua. Ketika akhirnya saya benar-benar bisa keluar dari rumah orang tua, saya merasa tidak ingin kembali.

Berbeda dengan kebanyakan orang, yang mungkin kesepian karena tidak lagi tinggal bersama orang tua dan keluarga, saya justru merasa damai. Saat tinggal sendirian, tanpa keluarga, saya bisa berpikir tenang, dan menyiapkan masa depan yang saya inginkan. Bertahun-tahun kemudian, bahkan hingga hari ini, saya masih hidup sendirian. Sementara komunikasi saya dengan orang tua bisa dibilang hanya sekadarnya.

Bandingkan itu dengan Alitt Susanto atau Young Lex. Alitt memang tidak hidup dengan ibunya, karena mereka tinggal berjauhan. Tapi Alitt begitu peduli terhadap ibunya, dan saya yakin mereka berkomunikasi secara intens, sebagaimana anak dan orang tua. Sementara Young Lex, dia sudah mengatakan sendiri, bahwa dia lebih memilih tinggal bersama orang tua. Wong makan saja disuapi ibunya!

Saat berkaca pada mereka, kadang saya berpikir. Usia kami mungkin tidak jauh beda, dan latar belakang kami pun mungkin serupa. Alitt Susanto, Young Lex, maupun saya, sama-sama pernah mengalami masa susah, dengan keluarga yang bisa dibilang tak sempurna. Tetapi, mengapa latar belakang yang sama itu bisa menghasilkan anak-anak berbeda, khususnya terkait orang tua? Mengapa Alitt Susanto dan Young Lex bisa dekat dengan orang tua, sementara saya tidak?

Karena itulah, seperti yang dibilang tadi, saya iri pada mereka. Karena tidak memiliki kedekatan dengan orang tua, sebagaimana yang mereka miliki. Karena tidak memiliki kasih yang besar, seperti yang mereka miliki. Dan saya bertanya-tanya sendiri, apa perbedaan kami?

Mungkin kami tidak berbeda—sama-sama bocah yang kadang mbeler dan menyebalkan. Yang membedakan, mungkin, hal-hal yang kami terima, yang kemudian membentuk karakter dan kepribadian kami selanjutnya.

Meski sama-sama hidup susah, Alitt dan Young Lex mungkin mendapatkan sesuatu yang tidak saya dapatkan, yaitu kasih dan perlakuan baik orang tua. Saya tidak tahu seperti apa masa kecil mereka. Tetapi, melihat sikap mereka sekarang, saya bisa membayangkan, mereka menjalani masa-masa kecil hingga remaja yang menyenangkan. Mungkin mereka tidak hidup berkelimpahan, bahkan mungkin berkekurangan. Tetapi, mereka mendapatkan limpahan kasih orang tua, serta sikap baik dari mereka.

Anak-anak memang tidak bisa memilih lahir dari orang tua miskin atau kaya. Dan kenyataannya, kaya atau miskin sebenarnya tidak penting. Anak orang miskin bisa kaya-raya, sebagaimana anak orang kaya bisa menjalani hidup miskin. Karenanya, bagi seorang anak, kaya atau miskin sebenarnya tidak terlalu penting. Yang penting adalah sikap orang tua! Sikap orang tualah yang kelak akan membentuk si anak selanjutnya.

Ada anak-anak yang lahir di keluarga miskin, tapi orang tua memperlakukan anak-anak dengan baik, hingga si anak—sadar maupun tak sadar—ingin membalas kebaikan orang tua dengan kebaikan yang lebih besar. Ada banyak sekali anak semacam itu. Mereka anak-anak beruntung, sebagaimana si orang tua akan menjadi orang tua yang beruntung.

Di Instagram, misalnya, saya pernah mendapati seorang perempuan cantik berseragam pramugari, berdampingan dengan seorang lelaki lusuh berseragam Gojek. Si perempuan membubuhkan keterangan, bahwa lelaki itu ayahnya. Dia juga menyatakan, dia bangga dengan ayahnya, yang selama ini bekerja keras demi mendukung dan percaya impian putrinya. Kini, setelah impian sang anak telah terwujud, satu-satunya impian lain hanyalah membahagiakan sang ayah.

Kita tentu bisa membayangkan orang tua yang dibanggakan anaknya dengan penuh cinta seperti itu. Dan ilustrasi itu juga menunjukkan bahwa kaya dan miskin sebenarnya tidak terlalu penting, karena yang paling penting bagi setiap anak adalah sikap orang tua.

Seperti Alitt Susanto atau Young Lex, mereka mungkin tidak terlalu mempersoalkan kondisi hidup mereka yang dulu susah. Karena sesusah apa pun, mereka memiliki orang tua untuk bersandar, yang tanpa henti memberikan cinta dan kasih, yang memperlakukan dengan baik, hingga mereka tumbuh dengan cinta dan kasih yang sama besar untuk orang tua. Kini, ketika mereka dapat hidup lebih baik, mereka pun berupaya membalas kebaikan orang tua, semampu dan sekuat yang mereka bisa. Dan siapakah kini yang paling bangga dengan mereka? Tentu orang tuanya!

Kenyataan itu, sekali lagi, yang tampaknya membedakan kami.

Saya tidak hanya menghadapi kemiskinan dan masa remaja yang suram, tapi juga perlakuan yang sangat buruk dari orang tua. Sebegitu buruk, hingga sejak kecil saya sudah menatap hidup dengan putus asa. Karena, kalau kau masih anak-anak, dan kau tidak lagi percaya pada orang tuamu, siapakah lagi yang bisa kaupercaya? Itulah yang saya alami, yang bertahun-tahun kemudian membenamkan saya dalam jurang depresi.

Ada suatu masa, di waktu kecil dulu, ketika saya ketakutan bertemu orang lain, karena saya khawatir orang-orang itu akan memperlakukan saya sebagaimana orang tua memperlakukan saya. Melihat latar belakang ini, sekarang kalian paham mengapa saya kemudian tumbuh menjadi introver, dan sulit didekati siapa pun. Saya selalu takut dilukai, karena luka itulah hal terbesar yang diberikan orang tua kepada saya.

Mungkin terdengar mengerikan kalau saya mengatakan bahwa saya mengenal kebencian pertama kali dari orang tua saya sendiri—ketika saya mulai membenci mereka—sebagaimana saya mengenal kekerasan, egoisme, sikap negatif, dan perilaku yang buruk, juga dari mereka.

Dan menjalani kehidupan semacam itu bersama orang tua, apa yang kira-kira ada dalam pikiran saya? Benar, secepat mungkin menjauh dari mereka! Itulah yang saya lakukan, sampai sekarang. Sejak keluar dari rumah orang tua bertahun-tahun lalu, saya tidak pernah ingin kembali.

Young Lex mengatakan, “Gue nggak ngerti sama orang yang milih tinggal sendiri atau menjauh dari ortunya.”

Sekarang dia akan mengerti. Karena tidak setiap anak beruntung memiliki orang tua sebaik dan penuh kasih, sebagaimana yang ia miliki.

Cinta dan Perkawinan

Ada orang yang saling jatuh cinta, tapi tidak menikah, atau sebaliknya. Pun ada yang menikah dan bahagia, juga ada yang sebaliknya.

Cinta dan pernikahan, sebenarnya, dua hal yang berbeda. Mirip sains dengan ajaran agama. Keduanya punya jalan dan perspektif sendiri.

Kadang ada orang yang berusaha mempertemukan sains dengan agama. Hasilnya? Pseudoscience (sains palsu). Begitu pula cinta dan perkawinan.

Kadang, memang, sains bisa "ketemu" ajaran agama. Tapi itu kasuistis, tidak semua. Begitu pula cinta (dan kebahagiaan) dalam perkawinan.

Percaya atau tidak, aku lebih bisa percaya dua orang bahagia karena saling jatuh cinta, daripada dua orang bahagia karena menikah.

Cinta berawal dari emosi, dan itu temporer. Ketika yang temporer dipaksa bersama selamanya karena adanya pernikahan, hasilnya bisa ditebak.

Rahasia cinta orang-orang yang menikah, yang tidak pernah dikatakan kepadamu: Mereka kehilangan cinta pada pasangannya setelah 3 tahun.

Riset yang dilakukan pakar mana pun menemukan kenyataan ini: Sebesar apa pun cinta seseorang pada pasangan, cinta itu akan habis dan pudar.

Bahkan pasangan yang paling menggebu dan saling bernafsu sekali pun, tidak pernah mampu melewati masa tiga tahun. Setelah itu, mereka bosan.

Buktikan ini dengan pasanganmu: Kalau kau jatuh cinta setengah mati kepadanya, menikahlah. Tiga tahun kemudian, cintamu sudah hilang.

Masa tiga tahun adalah "rekor" untuk ukuran jatuh cinta dalam perkawinan. Ada banyak orang yang tidak mampu melewati masa 3 tahun.

Secara rata-rata, orang kehilangan cinta pada pasangan setelah menikah dua tahun. Ada yang cuma mampu 1 tahun, meski ada pula yang 3 tahun.

Banyaknya perceraian di dunia artis sebenarnya fakta yang sangat jelas membuktikan bahwa perasaan cinta (sebesar apa pun) pasti akan pudar.

Rahasia rumah tangga yang tidak pernah dikatakan kepadamu: Banyak suami/istri yang menjalani perkawinan dengan tertekan, tapi bertahan.

Cinta dan perkawinan adalah dua hal yang berbeda. Tapi hanya sedikit orang yang mau menyadari, karena delusi akibat doktrinasi.

Cinta itu temporer. Dan cara paling ilmiah untuk bisa jatuh cinta pada seseorang sampai bertahun-tahun adalah... tidak menikah dengannya!

"Meski sudah menikah bertahun-tahun, aku tetap jatuh cinta pada pasanganku." | Ada dua kemungkinan. Pasanganmu luar biasa, atau kau bohong.

Orang sering mengatakan, wajah orang yang lama menikah akan semakin mirip. Ya, seperti kakak-adik. Dan kakak-adik tidak saling bernafsu.

"Meski sudah lama menikah, aku tetap bernafsu pada pasanganku." | Oh, kalian pasti pasangan yang hebat... atau kau memang pintar membual.

Alasan kenapa aku menunda menikah, karena menyadari... cinta itu temporer. Karenanya, buru-buru menikah adalah sebentuk penyiksaan diri.

Meski tahu kepahitan dan penderitaan dalam perkawinan, aku tetap membuka diri untuk kemungkinan menikah. Yaitu menikah dengan kesadaran.

Pernikahan terbaik adalah pernikahan dua orang yang sama-sama menyadari bahwa pernikahan tidak hanya berisi omong kosong kebahagiaan.

Beruntunglah orang yang saling jatuh cinta, lalu menikah, dan menjalani kehidupan bahagia. Mereka benar-benar manusia langka dan istimewa.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 20 Mei 2016.

Beriman kepada Google

Orang-orang berkata, “Googling saja!”

Aku bertanya, “Kenapa orang-orang suka berkata begitu?”

“Karena Google tahu segalanya!” jawab mereka dengan pasti.

Lalu aku mencoba bertanya pada Google, siapakah diriku.

Ternyata Google sama sekali tidak tahu.

....
....

Lalu aku merasa murtad.

Rabu, 10 Januari 2018

Jaran Goyang, Semar Mesem, Taik Kucing

Pacaran, bagiku, adalah aktivitas mempersulit
hal-hal mudah, pemborosan waktu sia-sia, dan melakukan
sandiwara tolol yang membosankan!


Hal terbesar yang ada dalam otak kebanyakan cowok ketika puber adalah cewek. Saya tahu betul soal itu, karena saya juga cowok, dan mengalami hal tersebut. Di waktu SMA, misal, topik percakapan kami—cowok-cowok—biasanya berkisar seputar cewek, cewek, dan cewek.

Waktu itu, dengan segala kebodohan akibat pubertas, kami sama sekali tidak menyadari bahwa ada banyak hal lain yang sebenarnya lebih penting untuk dibahas dibanding membicarakan cewek. Misalnya membicarakan astronomi, atau geografi, atau ekonomi, atau kisah nabi-nabi. Kalau mengingat masa-masa itu, terus terang saya malu pada diri sendiri.

Saya masih ingat, suatu ketika di masa lalu, pernah mempelajari sebuah buku yang membahas “cara menaklukkan wanita”. Cara yang dibahas di dalamnya bukan berdasarkan perspektif ilmiah sehingga dapat dicerna akal sehat, tapi cara yang “gaib”. Namanya gaib, tentu tidak rasional. Tapi dasar tolol, saya percaya pada yang saya baca waktu itu, dan berpikir akan dapat menaklukkan cewek mana pun dengan mantra-mantra yang tertulis dalam buku.

Kisah itu terjadi pada masa SMA. Seperti yang disebut tadi, masa-masa itu adalah masa ketika cowok sedang “tergila-gila” pada lawan jenis, akibat hormon keparat yang mengubah otak kami jadi kurang waras. Waktu itu, hal besar yang kami impikan adalah punya pacar, tapi kenyataan tampaknya sangat suram. Tidak ada cewek yang cukup gila untuk mau jadi pacar kami—cowok-cowok pecundang tanpa masa depan.

Sampai kemudian, seorang teman mengenalkan saya pada buku yang isinya “mantra-mantra penakluk lawan jenis”. Saya sudah lupa judul buku itu. Yang jelas, dari buku itulah saya pertama kali mengenal Ajian Jaran Goyang, Semar Mesem, dan lain-lain, yang semuanya menuju satu hal—menaklukkan wanita mana pun yang kita incar. Oh, well, kedengarannya hebat.

Bagaimana tidak hebat, coba? Berdasarkan teori (TEORI???) dalam buku, disebutkan bahwa kita dapat menaklukkan cewek mana pun—sekali lagi, cewek mana pun—dengan ilmu-ilmu yang dibahas dalam buku tersebut. Kau hanya cukup menguasai Jaran Goyang, atau Semar Mesem, atau apa pun yang tertulis dalam buku, dan... sim salabim, cewek yang kauinginkan akan takluk. Cowok puber mana yang tidak mabuk kepayang dengan janji semacam itu?

Jadi, waktu itu saya percaya pada yang tertulis dalam buku tersebut. Bukan hanya percaya, saya bahkan tekun mempelajari! Bersama teman-teman yang waktu itu menjadi sohib akrab, kami sama-sama mempelajari dan menghafalkan mantra-mantra di dalamnya, hingga akhirnya benar-benar menguasai. Mantra-mantra itu menggunakan kalimat yang agak aneh, dan kami harus membacanya sepenuh hati. Di tengah mantra itu ada bagian kosong, yang harus kami isi dengan nama cewek yang kami tuju.

Agar mantra-mantra itu dapat berfungsi, kami harus menjalani persyaratan yang lumayan berat, di antaranya puasa beberapa hari. Selama berpuasa, kami harus membaca mantra setiap malam, sebelum tidur. Beberapa ilmu tertentu bahkan mengharuskan kami menepuk (atau menggampar) bantal dengan sangat keras, sambil dalam hati menyebut nama cewek yang kami incar. Dasar cowok-puber-tolol-ngebet-punya-pacar, kami mengikuti semua intruksi dengan sepenuh hati.

Lalu kami mencoba mempraktikkan. Masing-masing kami waktu itu punya cewek incaran yang diharapkan bisa dipacari. Jadi, kami pun mencoba mempraktikkan mantra-mantra gaib yang telah kami pelajari, berharap keajaiban muncul, dan cewek impian kami bersedia menjadi pacar.

Tapi tak terjadi, tak pernah terjadi.

Saya dan tiga teman waktu itu sama-sama mempelajari dan mempraktikkan hal yang sama, tapi tidak satu pun di antara kami yang berhasil dapat pacar. Cewek-cewek yang kami tuju sepertinya tidak mempan dimantrai, dan mereka tetap menunjukkan tanda tidak mau jadi pacar kami.

Semula, kami masih optimis, dan berpikir mungkin kurang khusyuk menjalani ritual. Kami pun mengulang puasa selama beberapa hari, membaca mantra sebelum tidur, menggampar bantal dengan keras, lalu berharap cewek idaman bersedia menjadi pacar. Tetapi, oh sialan, cewek-cewek itu sepertinya kebal mantra!

Akhirnya, setelah berkali-kali mencoba dan terus gagal, kami pun menyerah. Sepertinya memang tidak setiap orang mampu menguasai ilmu gaib, pikir kami waktu itu. Atau kebetulan cewek yang kami incar punya kesaktian tinggi, yang menjadikan mereka tidak mampu dipikat dengan cara gaib. Kami lupa, bahwa kami hanya bocah-bocah puber, dan bukan Wiro Sableng.

Bertahun-tahun kemudian, setelah dewasa, saya selalu tersenyum sendiri setiap kali teringat kisah itu. Entah teman-teman saya masih ingat atau tidak, tapi saya masih selalu ingat. Kisah itu tidak hanya menyadarkan bahwa saya pernah sangat tolol, tapi juga memberitahu sesuatu yang penting, khususnya dalam hal memikat lawan jenis.

Buku yang kami baca dan pelajari di masa lalu—yang mengajarkan mantra-mantra gaib—mungkin akan berhasil kalau saja kami cowok-cowok hebat dengan pesona menawan. Tapi mantra-mantra itu tidak berfungsi kalau kami cuma kumpulan bocah pecundang. Kenyataan itu tidak perlu diperdebatkan, karena kami sudah membuktikan. Nyatanya, meski telah mencoba berkali-kali, waktu itu kami gagal. Tidak ada satu pun dari kami yang dapat pacar.

Sekarang saya memahami, mendapatkan pacar adalah urusan daya tarik. Kita tertarik pada seseorang, dan dia juga tertarik pada kita. Karena saling tertarik, kita pun bersepakat untuk menjadi pasangan. Masalah terjadi, ketika kita tertarik pada seseorang, tapi dia tidak tertarik pada kita. Masalah lain, urusan tarik menarik di antara lawan jenis bisa dibilang sangat relatif, sehingga tidak bisa disimpulkan apalagi dipastikan.

Karena tidak bisa dipastikan, saya pikir cara paling logis dan paling ilmiah untuk bisa memiliki pacar adalah memperbaiki diri, sehingga kita memiliki daya tarik (kalau bisa setinggi mungkin), khususnya di mata lawan jenis. Introspeksi, barangkali kata paling penting dalam urusan ini.

Diakui atau tidak, disadari atau tidak, masing-masing kita memiliki kecenderungan untuk menilai diri sendiri secara lebih tinggi dari kenyataan. Yang ganteng biasa saja, misal, bisa jadi merasa sangat ganteng sekali. Yang pintarnya biasa saja, bisa jadi merasa sangat pintar sekali. Yang mungkin memiliki sedikit keistimewaan, bisa jadi merasa sangat istimewa dan tak terkalahkan. Itu kecenderungan umum yang bisa dialami siapa saja.

Masalahnya adalah... kita menilai diri kita berdasarkan ego kita, sementara orang lain menilai diri kita berdasarkan kenyataan. Sebegitu penting hal ini, hingga saya merasa perlu mengulang dengan cetakan tebal. Kita menilai diri kita berdasarkan ego kita, sementara orang lain menilai diri kita berdasarkan kenyataan.

Saya bisa saja menganggap dan menilai diri sangat ganteng—sebegitu ganteng hingga tidak pernah bosan menatap diri sendiri di cermin. Itu lumrah, manusiawi, dan banyak orang mengalami. Yang menjadi masalah, yang dilihat orang lain pada diri kita belum tentu sama dengan yang kita lihat. Karena kita menilai diri berdasarkan ego kita, sementara orang lain menilai diri kita berdasarkan kenyataan. Artinya, kalau kenyataannya saya tidak ganteng, orang lain akan menilai saya tidak ganteng, tak peduli saya merasa paling ganteng seprovinsi.

Kenyataan semacam itu belum saya pahami bertahun lalu, ketika masih puber. Karenanya, dulu saya berpikir—dan yakin—cewek mana pun dapat ditaklukkan dengan mantra Jaran Goyang atau Semar Mesem. Padahal, dalam urusan tarik menarik di antara lawan jenis, masalahnya tidak sesederhana itu. Saya tertarik pada Si A dan mengharapkannya menjadi pacar, tetapi... apa daya tarik saya di mata Si A? Persoalan itu jelas tidak bisa diselesaikan hanya dengan membaca mantra!

Karena itulah, seperti yang disebut tadi, cara paling logis untuk bisa membuat lawan jenis tertarik adalah dengan memperbaiki diri—sebaik mungkin, agar daya tarik kita meningkat. Kalau kita memang memiliki daya tarik, lawan jenis juga akan tertarik, meski kita tidak hafal mantra apa pun.

Kalau menggunakan analogi, agar lebih mudah dipahami, kita bisa membayangkan datang ke bank untuk meminjam sejumlah uang. Kita tahu, bank akan bersedia meminjamkan uang, namun dengan sejumlah syarat, di antaranya ada jaminan bahwa kita bisa mengembalikan pinjaman. Kalau kita bermaksud meminjam sejumlah uang ke bank, sementara kita tidak bisa memberi jaminan apa pun, mungkinkah bank akan memenuhi permintaan kita? Kemungkinan besar tidak, meski kita menggunakan mantra apa pun.

Sebaliknya, bank akan meluluskan permintaan kita—memberi sejumlah pinjaman—kalau kita memenuhi persyaratan yang ditetapkan, meski kita tidak hafal mantra Jaran Goyang. Jadi, apa yang menjadi inti dalam urusan ini? Jelas, bukan mantra Jaran Goyang, tapi kemampuan kita dalam memenuhi persyaratan!

Kenyataan tak jauh beda terjadi ketika berurusan dengan lawan jenis, yang kita harapkan mau memenuhi keinginan kita (menjadi pacar). Kita berharap dia mau menjadi pacar—itu keinginan kita. Tapi jangan lupa, dia juga memiliki sejumlah persyaratan. Mungkin dia ingin pacar yang ganteng. Atau pintar. Atau kaya. Atau ketiga-tiganya. Cara paling pasti agar dia mau menjadi pacar kita, tentu saja, memenuhi persyaratan itu. Kalau pun tidak bisa memenuhi ketiga-tiganya, minimal kita memiliki satu atau dua syarat yang diharapkan.

Karenanya, sekali lagi, cara paling ampuh untuk bisa mendapatkan pasangan adalah dengan menengok ke dalam—introspeksi—dan memperbaiki diri. Jauh lebih baik kita sibuk memperbaiki kekurangan-kekurangan yang mungkin kita miliki, daripada memikirkan pacar seperti apa yang ingin kita miliki. Karena, tak peduli sesibuk apa pun kita memikirkan pasangan yang kita impikan, selamanya hanya akan jadi impian, kalau kita tidak memenuhi “persyaratan”.

Membaca buku yang mengajarkan Jaran Goyang tentu tidak masalah, khususnya jika tidak ada buku lain yang lebih layak untuk dibaca. Tetapi memahami dan menyadari realitas tetap jauh lebih penting, daripada mengharapkan yang ada di luar sana sambil lupa diri.

Noffret’s Note: Pernah Tolol

Sampai saat ini masih gagal paham dengan sebagian cewek yang suka sengaja lama-lama saat akan balas chat/sms/mention cowok.

Sebagian cewek mungkin berpikir sengaja lama-lama membalas chat, biar tampak "mahal". Konyol. Sikap semacam itu malah bikin hilang selera.

Kalau aku chat/sms/mention cewek, dan sampai 5 menit tidak dibalas (padahal dia bisa), mood-ku sudah hilang, dan dia boleh pergi ke neraka.

Aku tidak punya waktu untuk dibuang-buang. Itulah kenapa aku tidak minat pacaran. Cuma buang-buang waktu percuma dan penuh kejengkelan.

Daripada membuang-buang waktu tanpa guna untuk pacaran, aku lebih suka menghabiskan waktu untuk bekerja, atau khusyuk belajar.

Pacaran akan mewajibkanku meluangkan waktu untuk chat dengan pacar, lalu dia akan berlama-lama membalasnya. Aku tidak sudi melakukannya.

Bahkan umpama aku tergila-gila setengah mati pada seseorang, dan dia mencoba mempersulitku, aku akan bilang persetan dengannya.

Dulu aku pernah tolol. Dan itulah kenapa dulu pernah pacaran. Sekarang aku sudah belajar. Dan tak sudi mengulang ketololan yang sama.

Tahu apa yang paling kubenci dari pacaran? Hal-hal mudah yang dibikin sulit. Itu sangat... sangat... sangat... menjengkelkan.

Cewek berharap cowok paham yang diinginkannya, tapi mereka tidak mau mengatakan. Lalu marah. Kenapa mereka tidak paham itu sungguh tolol?

Cewek menginginkan sesuatu, tapi pakai kode, dan berharap cowok paham. Aku tidak punya waktu mengurusi hal-hal tolol seperti itu.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 10 Desember 2016.

Teman Tapi Mesra

Barusan baca-baca soal Friends with Benefits. Kurang suka istilahnya, tapi aku suka bentuk hubungannya. Tanpa ikatan dan tuntutan apa pun.

Kalau diterjemahkan secara harfiah, FWB itu agak... agak anu, membingungkan. Bagusan istilah Indonesianya. Teman Tapi Mesra.

Orang-orang bertanya kenapa aku tidak tertarik pacaran. Bagaimana aku akan tertarik, wong itu hubungan penuh ikatan dan tuntutan. Malas!

Daripada membuang-buang waktu untuk pacaran, aku lebih suka menghabiskan waktu untuk bekerja dan belajar. Lebih baik dan lebih bermanfaat!

Jika seorang wanita berkata, "Ayo kita pacaran." Aku akan menolak, dan akan menjauh, bahkan umpama aku jatuh cinta setengah mati kepadanya.

Tawaran yang pasti kutolak adalah tawaran pacaran. Bagiku, istilah itu saja sudah "mengerikan", apalagi kalau harus menjalaninya.

Aku lebih suka "berteman", daripada "pacaran". Berteman memberi kebebasan, pacaran memberi ikatan dan tuntutan.


*) Ditranskrip dari timeline‏ @noffret, 21 Maret 2016.
 
Jumat, 05 Januari 2018

Sumber Penderitaan Manusia

Aku sudah pernah merasakan semua kepahitan hidup.
Dan yang paling pahit adalah berharap kepada manusia.
Ali bin Abi Thalib


Iwan Fals menyanyikan, “Keinginan adalah sumber penderitaan.” Sejujurnya, saya membutuhkan waktu sangat lama untuk memahami—benar-benar memahami—kalimat tersebut.

“Keinginan adalah sumber penderitaan.”

Kalimat itu sebenarnya bukan milik Iwan Fals, meski dia mempopulerkan kalimat tersebut dalam satu lagunya. Kalimat itu telah saya baca di beberapa buku filsafat ketika masih SMA. Sebenarnya, saya bahkan tidak tahu kalimat itu milik siapa, atau siapa yang pertama kali mencetuskan. Yang jelas, kalimat itu saya temui di beberapa buku filsafat, meski saya tidak langsung memahami maksud atau artinya.

Kini, setelah dewasa, saya mulai memahami arti kalimat itu. Bahwa keinginan, sesungguhnya, memang sumber penderitaan. Dari penderitaan kecil, remeh, sepele, sampai penderitaan-penderitaan besar yang dialami manusia. Sebagian besar—jika tidak semuanya—diawali keinginan. Manusia menciptakan keinginan bagi dirinya, dan keinginan mendatangkan penderitaan baginya.

Sebagai manusia, saya mulai mengenal “keinginan” sejak TK (Taman Kanak-kanak). Bahkan, TK pulalah yang pertama kali mengajari saya tentang “keinginan”. Semuanya diawali ketika saya lulus TK, dan dinyatakan sebagai juara kelas. Hadiahnya, waktu itu, tidak terlalu hebat. Cuma beberapa buku tulis dan alat sekolah. Tapi saya senang. Dan kesenangan itu melahirkan “keinginan” untuk mengulang hal yang sama di SD.

Di SD, sejak kelas satu, saya terus menjadi juara kelas. Pada masa itu, setiap akhir tahun ajaran, sekolah kami mengadakan acara kelulusan untuk kelas enam, yang dimeriahkan pentas seni. Pada acara itu, para orang tua/wali murid kelas enam diundang, dan pihak sekolah mengumumkan murid-murid yang menjadi juara kelas, dari kelas satu sampai kelas enam.

Setiap tahun, saya selalu naik panggung di acara itu, karena menjadi juara kelas, dan—seperti biasa—mendapatkan hadiah. Meski tetap saja hadiahnya tidak bisa dibilang hebat, cuma beberapa buku dan peralatan sekolah. Tapi saya senang. Namanya jadi juara, siapa yang tak senang?

Karena setiap tahun hal sama terus terulang, bisa dibilang saya tidak kaget ketika nama saya disebut sebagai salah satu juara. Diam-diam, waktu itu, saya telah terbiasa menjadi juara.

Lalu, suatu “anomali” terjadi. Ketika kelas enam SD, saya tidak lagi menjadi juara! Pada waktu acara pentas seni di sekolah, nama saya tidak lagi disebut seperti tahun-tahun sebelumnya. Kini ada murid lain yang menggantikan saya sebagai juara. Terus terang, saya terkejut setengah mati waktu itu.

Saya terkejut, karena dua hal. Pertama, karena ternyata saya bisa tidak juara. Kedua, karena saya terkejut mendapati diri saya ternyata bisa terkejut!

Semula, saya pikir saya tidak akan terkejut, kalau sewaktu-waktu berhenti menjadi juara, toh selama ini sudah biasa juara. Tapi ternyata saya masih terkejut ketika berhenti menjadi juara, dan—kenyataan itu—benar-benar membuat terkejut. Bahkan, diam-diam, saya menyadari bahwa saya tidak sekadar terkejut, melainkan juga patah hati.

Saya patah hati, karena tidak menjadi juara lagi.

Itulah pertama kali saya mengenali hakikat “keinginan” dalam diri saya, sebagai manusia. Meski dari luar mungkin saya tampak “biasa-biasa saja” dengan predikat juara kelas, tetapi, sebenarnya, di dalam diri saya terdapat “keinginan”. Dan ketika keinginan itu tak tercapai, saya patah hati, meski mungkin diam-diam, dan mungkin dari luar tampak biasa-biasa saja.

Jadi, meski tidak pernah mengatakan ingin menjadi juara setiap tahun, tetapi sesungguhnya saya punya keinginan itu. Keinginan yang tidak pernah saya ucapkan, keinginan yang lahir, dan tumbuh, dan hidup diam-diam. Ketika suatu waktu keinginan itu tak terjadi, saya pun sedih dan patah hati. Keinginan... adalah sumber penderitaan.

Seiring tumbuh besar, saya makin mengenali bahwa sebagian besar penderitaan dalam hidup memang diawali keinginan. Ketika SMP, saya jatuh cinta pada murid perempuan di sekolah, dan ingin menjadikannya pacar. Dia menolak, dan saya patah hati berbulan-bulan.

Di SMA, saya mencoba mengirim naskah cerpen ke majalah, dengan keinginan bisa dimuat. Majalah itu menolak, dan saya sedih berhari-hari. Lulus SMA, saya melamar kerja di sebuah perusahaan, dengan keinginan bisa bekerja di sana. Perusahaan itu menolak, dan saya patah arang. Semuanya diawali keinginan, dan keinginan mendatangkan kesedihan.

Yang “ajaib”, saya tidak pernah berhenti mencoba, tidak pernah berhenti punya keinginan. Meski beberapa kali telah dikhianati keinginan, saya tetap merasa perlu memiliki keinginan. Keinginan mencoba lagi, keinginan berusaha lagi, bahkan keinginan untuk tetap punya keinginan. Ajaib, kalau dipikir-pikir, karena selama itu saya membangun dan terus membangun keinginan, meski berakhir kekecewaan, kesedihan, dan patah hati.

....
....

Dalam refleksi yang sering saya lakukan terhadap kehidupan diri sendiri, saya menyadari bahwa sumber kesedihan terbesar dalam hidup memang dimulai dan diawali keinginan.

Karena itulah, sekarang, sebisa mungkin saya tidak akan lagi melakukan kesalahan sama. Sebisa mungkin, saya tidak akan lagi punya keinginan, dan membiarkan apa pun terjadi tanpa harus saya ingin-inginkan.

Di kehidupan sehari-hari, kadang saya punya rencana atau inisiatif tertentu, dan mengajak teman untuk melakukan bersama. Dulu, jika tawaran atau ajakan saya ditolak, saya bisa kecewa. Tetapi, sekarang, saya mulai belajar legowo. Jadi, saat mengajak seseorang untuk melakukan sesuatu, saya akan senang jika dia menerima. Kalau pun dia menolak, saya akan melakukannya sendiri.

Intinya, sekarang, saya berusaha menjauhkan diri dari keinginan pada sesama manusia. Bukan karena kesombongan atau keangkuhan, melainkan karena menyadari... keinginan adalah sumber penderitaan, khususnya keinginan yang disandarkan pada sesama manusia.

Sebagai penulis, misal, sewaktu-waktu saya mengirim naskah ke media atau penerbit. Di masa lalu, saya tentu sangat berharap, dan ingin, naskah itu diterima untuk diterbitkan. Ketika harapan dan keinginan tak tercapai, saya sedih. Sekarang, saat mengirim naskah ke penerbit, saya berpikir, “Diterima (untuk diterbitkan) ya syukur, tidak ya tidak apa-apa.”

Memang, mula-mula, melatih diri untuk bersikap semacam itu sulitnya luar biasa. Bagaimana pun, ketika akhirnya naskah yang saya kirim dinyatakan ditolak, saya tetap merasa kecewa, meski sejak awal sudah menyiapkan diri untuk itu. Tetapi, seperti latihan dalam bentuk apa pun, lama-lama saya mulai terbiasa, dan perlahan namun pasti benar-benar “tidak terpengaruh” oleh penerimaan atau pun penolakan.

Kini, ketika mengirim naskah ke penerbit/media, saya benar-benar bisa ikhlas membiarkan untuk diterima atau ditolak. Jadi, ketika suatu naskah diterima atau ditolak, sekarang tidak ada bedanya bagi saya. Diterima ya biasa-biasa saja, ditolak juga biasa-biasa saja. Di masa lalu, penolakan bisa membuat saya sedih berhari-hari. Sekarang, penolakan hanya membuat saya berkata, “Oh.” Sudah, begitu saja. Tidak ada perasaan lain.

Begitu pun ketika menulis di blog. Saya juga berpikir, “Kalau ada yang tertarik membaca, silakan. Kalau tidak ada yang membaca, juga tidak apa-apa.” Karenanya, saya tidak direpotkan aneka hal seperti mikir SEO dan segala macam. Dalam ngeblog, saya hanya ingin menulis. Kalau ada orang tertarik membaca ya silakan, kalau pun tidak ada yang membaca juga bukan masalah. Fakta bahwa blog ini kemudian dibaca banyak orang, bisa dibilang tidak ada pengaruhnya bagi saya.

Jadi, terkait hal-hal semacam itu, saya hanya berpikir bagaimana bekerja (berkarya) dengan baik, dan membiarkan takdir mengurus lanjutannya. Saya pikir, pekerjaan atau karya yang baik, yang dikerjakan dengan niat baik, akan menarik takdir yang sama baik.

Lama-lama, gaya hidup (atau gaya pikiran) semacam itu lebih menyenangkan, karena mendekatkan saya pada keikhlasan dan kedamaian, sekaligus menjauhkan saya dari kegelisahan dan kegersangan. Semakin kecil keinginan yang saya miliki, semakin sedikit pula kegelisahan yang saya rasakan.

Pada akhirnya, saya melatih diri untuk menjalani kehidupan dengan pola pikir yang sama, dengan keinginan yang nyaris nol. Saya akan melakukan apa pun yang saya anggap baik, dengan cara terbaik yang saya bisa, dan membiarkan takdir mengurus lanjutannya. Kalau orang lain melihat yang saya lakukan, dan menilainya baik, saya akan bersyukur. Kalau pun tidak, juga tidak apa-apa, karena tugas saya hanya melakukan yang harus dilakukan. Saya tidak lagi butuh pengakuan, penghargaan, atau hal-hal artifisial semacamnya.

Meski belum seratus persen mampu melakukan gaya hidup seperti itu, setidaknya saya mulai bisa belajar menjalani hidup dengan keikhlasan, dan perlahan menjauh dari segala macam keinginan yang bisa jadi tidak penting. Semakin kecil keinginan yang saya miliki, semakin sedikit pula kegelisahan yang saya rasakan. Karena keinginan, sebagaimana kata para filsuf, memang sumber penderitaan.

Bodo Amat!

Sarapanku pagi ini: Seiris roti, dua risoles, dan segelas teh hangat.

(No pic hoax)

Bodo amat!
Aku tidak berharap kau percaya.


*) Ditranskrip dari timeline‏ @noffret, 13 Februari 2017.

Noffret Note: Separuh Hidup

Lebih separuh hidup telah kuhabiskan dalam kesusahan dan kesulitan. Jangan tawari aku hal yang sama, karena aku tidak akan pernah tertarik.

Kapan pun aku kehilangan sesuatu, aku akan mencari yang lebih baik. Berdasarkan pengalaman, yang kudapatkan memang selalu lebih baik.

Merasa tidak memiliki terasa lebih baik bagiku, daripada merasa memiliki. Karena merasa tidak memiliki menghilangkan semua beban.

Sejujurnya, aku tidak pernah takut kehilangan apa pun, karena aku tidak pernah merasa memiliki apa pun. Seseorang, atau pun sesuatu.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 8 September 2017.
 
Senin, 01 Januari 2018

Kesadaran Akal dan Pilihan Hati

Keadilan dalam hidup ini sederhana.
Kau memilih hidupmu tanpa merugikan orang lain,
dan tidak memaksakan pilihan hidupmu kepada orang lain.
@noffret


Nyaris semua tetangga saya memiliki televisi di rumah. Mereka biasa menonton televisi di siang hari, anak-anak mereka menonton televisi sore hari, dan sekeluarga berkumpul bersama di depan televisi pada malam hari. Saya pikir, begitu pula yang terjadi di tempat-tempat lain, pada kebanyakan keluarga lain.

Meski nyaris semua tetangga memiliki televisi di rumah, saya tidak punya hal yang sama. Di rumah saya tidak ada televisi. Sudah lebih dari 15 tahun saya tidak pernah menonton televisi, dan—terus terang—saya tetap belum berminat menghabiskan waktu di depan televisi.

Dulu, waktu pertama kali keluar dari rumah orang tua, dan hidup di rumah sendiri, saya memang punya televisi. Seperti umumnya “orang normal”, saya merasa rumah belum lengkap jika tidak ada televisi. Jadi, waktu itu, saya memasukkan televisi ke rumah, lengkap dengan tetek bengeknya (CD/VCD player sampai speaker aktif).

Tetapi, lama-lama menyadari, saya tidak butuh televisi. Setiap kali duduk di depan televisi, saya tidak merasa senang, tapi justru merasa terpaksa. Mungkin terdengar aneh, tapi saya benar-benar gelisah ketika harus duduk di depan televisi, dan menghabiskan waktu untuk menyaksikan hal-hal di dalamnya. Itu bukan hal-hal yang ingin saya lihat, apalagi sampai menghabiskan banyak waktu.

Tapi karena sudah punya televisi, saya pun merasa wajib menontonnya. Meski gelisah dan merasa terpaksa. Lama-lama, televisi di rumah cuma saya pakai untuk menyetel film di VCD (waktu itu DVD belum populer). Biasanya, saya duduk di depan televisi, menyetel VCD film atau musik, dan saya menikmatinya sambil merokok sendirian. Akhirnya, karena menganggap kegiatan itu hanya buang-buang waktu, saya pun mengeluarkan televisi dari rumah.

Seorang teman bersedia membeli televisi di rumah saya, lengkap dengan player dan speaker aktif yang melengkapinya. Sejak itu, tidak ada lagi televisi di rumah saya. Sejak itu pula, sampai saat ini, saya tidak lagi berminat punya televisi, apalagi sampai menghabiskan waktu di depan televisi. Daripada membuang waktu di depan televisi, saya lebih suka bekerja. Atau membaca buku. Atau melakukan hal lain yang lebih bermanfaat, semisal menemui teman dan bercakap-cakap.

Jadi, saat ini, meski semua tetangga memiliki televisi, saya tidak terpengaruh untuk sama dengan mereka. Mungkin tetangga-tetangga saya memang butuh televisi, misal untuk hiburan anak-anak mereka. Tapi saya tidak punya keluarga, apalagi anak-anak. Karena itu, saya tidak butuh televisi. Selain cuma menghabiskan waktu, suara televisi hanya merusak keheningan rumah.

Sebegitu tidak butuh, saya bahkan pernah menganggurkan televisi, tanpa pernah tertarik menyentuh sama sekali. Ceritanya, saya mendapat hadiah televisi dari bank tempat saya menjadi nasabah. Namanya hadiah, tentu tidak bisa memilih. Jadi, saya pun menerima hadiah itu. Sesampai di rumah, saya sempat membuka kardus kemasan, dan melihat televisi di dalamnya. Setelah itu saya tutup kembali kardus, dan membiarkannya di pojokan rumah tanpa pernah saya buka lagi. Wong tidak butuh! Belakangan, televisi hadiah itu dibeli seorang teman.

Jadi, umpama sekarang ada orang menawari televisi kepada saya, dan memberi pilihan lain, saya akan memilih yang lain. Jika tidak ada pilihan atau tawaran lain, mungkin saya akan menerima pemberian televisi tersebut—namanya juga diberi. Tapi saya tidak akan pernah menggunakannya! Paling-paling akan saya letakkan di pojokan rumah, siapa tahu ada teman yang berminat membeli.

Kebutuhan dan keinginan, itu dua hal yang mirip atau nyaris sama, tapi sebenarnya jauh berbeda. Sebegitu mirip, hingga banyak orang kesulitan membedakan keduanya. Keinginan dianggap kebutuhan, atau kebutuhan dikenali sebagai keinginan. Ketika kekacauan seperti itu terjadi, langkah pertama menuju kekacauan hidup pun dimulai.

Seperti saya yang dulu bela-belain membeli televisi, ketika merasa punya rumah sendiri. Saya ingin seperti orang-orang normal lain, yang bisa menonton televisi di rumah. Jadi, saya pun membeli televisi, dan memasangnya di rumah, tanpa menyadari bahwa sebenarnya saya tidak membutuhkan! Saya tidak sempat bertanya pada diri sendiri, “Apakah aku memang butuh menonton televisi di rumah? Apakah aku sudah siap meluangkan waktu untuk duduk menonton televisi?”

Akibatnya, ketika di rumah benar-benar ada televisi, keberadaannya bukan memberi manfaat, melainkan justru sebaliknya. Saya merasa terpaksa setiap kali duduk menonton televisi, lalu diam-diam menyesal. Hasilnya, saya memilih mengeluarkan televisi dari rumah, agar bisa menjalani kehidupan dengan lebih baik.

Televisi hanya satu hal. Selain televisi, ada banyak hal lain dalam hidup kita yang selalu berada di antara keinginan dan kebutuhan. Seperti mobil. Atau yang lain. Mungkin, karena tetangga-tetangga di lingkungan kita memiliki mobil, kita pun terpikir untuk juga punya mobil. Biar sama seperti orang-orang “normal”. Tapi mungkin kita tidak sempat memikirkan, apakah kita benar-benar membutuhkan mobil, atau hanya sekadar ingin?

Karena jika kita sebenarnya tidak butuh mobil, tapi memaksa untuk punya, keberadaan mobil bukan memberi manfaat, tapi justru menjadi beban. Pertama, tentu saja, soal uang. Mungkin tidak masalah kalau kita punya uang, dan membeli mobil adalah hal gampang. Tapi urusan mobil tidak sebatas membeli lalu selesai. Begitu punya mobil, kita harus memikirkan banyak hal lain yang mungkin sebelumnya tak pernah terpikir.

Setelah punya mobil, kita perlu garasi. Tidak tega rasanya, melihat mobil diparkir di depan rumah tanpa atap, sehingga kepanasan dan kehujanan. Jadi, kita harus membuat garasi. Agar mobil tidak kepanasan, tidak kehujanan, sekaligus lebih aman.

Setelah urusan garasi selesai, kita juga harus rajin merawat mobil setiap saat, dari rutin memanaskan mesin sampai rajin membawa ke tempat servis. Semua itu butuh waktu. Kemudian, setahun sekali, kita harus bayar pajak. Omong-omong, pajak mobil lumayan mahal. Semakin mewah mobilmu, semakin mahal pajaknya. Beberapa jenis mobil bahkan memiliki pajak yang mahalnya ngujubilah setan. Dan keparat itu—maksud saya, pajak yang sangat mahal itu—harus dibayar setiap tahun.

Melihat kenyataan-kenyataan di atas—dari keharusan menyiapkan garasi, perawatan setiap saat, sampai urusan membayar pajak—kepemilikan mobil bukan hal sepele. Jika kita memang butuh mobil, misal untuk keperluan kerja, hal-hal ribet terkait mobil bukan hal penting. Tapi jika kita sekadar ingin punya mobil, misal biar dianggap keren, hal-hal terkait mobil akan sangat memberatkan. Itu beban, bukan kesenangan!

Tapi memang kita sering kesulitan memilah antara kebutuhan dan kesenangan. Saat melihat barang bagus, dan tertarik, kita sering lupa memikirkan, “Apakah aku memang butuh, atau hanya sekadar ingin?” Karena, jika keinginan dianggap kebutuhan, yang kita miliki bukan memberi kesenangan, tapi justru menjadi beban.

Sebegitu penting kenyataan ini, saya merasa perlu mengulang dengan cetakan tebal. Jika keinginan dianggap kebutuhan, yang kita miliki bukan memberi kesenangan, tapi justru menjadi beban.

Punya televisi jelas menyenangkan, jika—dan hanya jika—kita memang butuh. Jika tidak butuh, keberadaan televisi justru menjadi beban. Kita harus meluangkan waktu untuk sesuatu yang sebenarnya tidak kita nikmati. Begitu pun punya mobil. Memiliki mobil jelas menyenangkan, jika—dan hanya jika—kita memang butuh. Jika tidak butuh, keberadaan mobil justru menjadi beban. Setiap hari harus merawat, setiap tahun harus bayar pajak, padahal kita jarang menggunakan.

Dari televisi sampai mobil, juga pada hal-hal lain, masing-masing orang tidak bisa disamaratakan. Karena kehidupan orang per orang memang selalu memiliki kemungkinan perbedaan.

Ada yang memang benar-benar butuh, sehingga berupaya memiliki hal-hal tertentu, meski dengan kerepotan. Misal ada keluarga yang benar-benar butuh mobil, untuk keperluan mengantar anak-anak sekolah, sampai untuk urusan sehari-hari. Karena butuh, mereka pun berupaya memiliki mobil, meski kemampuan mungkin kurang. Jadi, mereka pun membeli mobil secara kredit, dan mengangsur sampai beberapa tahun. Tidak apa-apa, namanya juga butuh.

Sebaliknya, ada orang yang sama sekali tidak butuh mobil. Misal lajang yang hidup sendirian, dan jarang bepergian. Meski secara kemampuan mungkin bisa membeli mobil, bahkan secara kontan, dia tetap tidak membeli. Karena memang tidak butuh. Kita tidak bisa menyalahkan orang hanya karena tidak membeli mobil, padahal punya kemampuan untuk membeli. Karena masing-masing orang punya kehidupan berbeda, dan kita tidak bisa memaksakan cara kita.

Begitu pula punya pasangan, menikah, dan punya anak. Sebagian orang membutuhkan pasangan, dengan berbagai sebab dan alasan. Lalu montang-manting mencari pasangan, lalu montang-manting lagi menikah, dan montang-manting lagi punya anak. Tidak apa-apa, namanya juga butuh. Dia yang memilih, dia yang menjalani, dan dia paling tahu yang terbaik bagi hidupnya sendiri. Mau montang-manting seperti apa pun, biarkan saja. Toh mereka yang menghadapi dan mengalami.

Sebaliknya, ada orang-orang yang belum butuh punya pasangan apalagi menikah, meski mungkin punya kemampuan. Atau, ada orang-orang yang sudah menikah tapi memutuskan tidak punya anak. Juga tidak apa-apa, wong mereka yang memilih, yang menjalani, dan yang paling tahu apa yang terbaik bagi hidup mereka.

Mungkin Si A tampak hidup mapan, tapi belum menikah. Kita tidak bisa menyalahkan, atau menyuruh-nyuruh Si A cepat menikah. Karena yang menjadi kebutuhan bagi kita, belum tentu menjadi kebutuhan bagi orang lain. Begitu pula dengan pasangan yang sudah lama menikah, tapi tetap tenang dan damai meski tidak punya anak. Sekali lagi, kita tidak punya hak untuk meributkan, karena mereka yang menjalani, mereka yang menghadapi, mereka yang mengalami.

Kalau kita memiliki mobil karena memang butuh, kita tidak punya hak menyuruh-nyuruh orang lain untuk punya hal yang sama. Karena belum tentu mereka juga butuh seperti kita. Lebih lagi, kita tidak berhak mengejek orang lain hanya karena tidak punya mobil seperti kita.

Bahkan, kalau dipikirkan lebih dalam, memaksa orang lain untuk memiliki sesuatu yang sebenarnya tidak mereka butuhkan, bisa jadi semacam kejahatan. Karena ketika orang memiliki sesuatu karena keterpaksaan—semisal akibat sering diprovokasi atau disuruh-suruh—kepemilikan itu bukan memberi kedamaian dan kebahagiaan, tapi justru beban dan masalah.

Seperti televisi yang pernah saya miliki. Atau seperti mobil yang sebenarnya tak dibutuhkan. Alih-alih memberi kebahagiaan, memiliki sesuatu yang sekadar didasari keinginan—apalagi keterpaksaan—sering kali justru menjadi beban.

Bocah yang Bicara pada Semut

Seorang bocah merundukkan tubuhnya, dan mendekatkan wajah pada sesuatu di tanah. Setelah itu, dia terdengar mengatakan, “Yokan yokan tapi goblok. Asu!”

Penasaran, saya pun mendekat ke tempatnya, lalu berjongkok di dekatnya. “Apa yang kaulakukan?”

Bocah itu menengok ke arah saya, dan menjawab, “Aku sedang bicara pada semut.”

“Bicara pada semut?”

“Yeah, bicara pada semut,” ujarnya sambil menunjukkan lubang semut di depannya. Setelah itu, dia menjelaskan, “Di lubang ini pasti banyak semut. Jadi, aku bicara dari sini, dan berharap suaraku terdengar di kedalaman sana.”

Saya manggut-manggut. “Sepertinya menyenangkan.”

“Kau mau mencoba?”

Saya mengangguk.

Bocah itu bangkit dari tanah, lalu saya menggantikan tempatnya. Dia berjongkok di tempat saya tadi berjongkok. Saya merundukkan tubuh di tanah, mendekatkan muka ke lubang semut, lalu berkata, “Yokan yokan tapi goblok. Asu!”

Bocah di dekat saya tertawa cekikikan, seperti menemukan teman yang bisa diajak melakukan hal-hal tolol yang menyenangkan.

Resolusi untuk 2018

Tahun kemarin saya tidak punya resolusi. Jadi, saya pikir, tidak ada salahnya kalau tahun ini saya punya resolusi khusus, meski sederhana.

Well, resolusi saya untuk tahun 2018 hanya ada tiga, dan saya berharap bisa tercapai semuanya.

Satu, lebih banyak makan, biar berat badan bertambah.

Dua, menonton lanjutan film It.

Tiga, hehehe... » http://bit.ly/2C4VlVi

 
;