Minggu, 24 Mei 2015

Hati Tanpa Pamrih

Titik nadir setiap manusia luar biasa adalah ketika
dia mulai “terlalu menyadari” keluarbiasaannya.
Saat itu terjadi, semuanya pun selesai.
@noffret


Kisah ini populer, khususnya bagi sebagian warga Surabaya. Saya tertarik menulisnya di sini karena merasa tersentuh oleh kisah tersebut. Ini kisah tentang lelaki yang bertekad melakukan sesuatu yang ingin dilakukannya, yang mengerjakan hal-hal baik karena semata menyadari itu kebaikan, tanpa ribut-ribut, tanpa upaya agar terkenal atau berharap masuk televisi—sebuah hati tanpa pamrih.

Namanya Abdul Syukur, warga Surabaya. Berusia 65 tahun, dan sehari-hari mencari nafkah sebagai tukang becak. Biasa mangkal di depan ITC Surabaya, dia berangkat kerja jam 9.00 pagi, dan selesai kerja jam 21.00 malam. Saat ramai, dia bisa mendapat penghasilan Rp. 40 ribu hingga Rp 50 ribu per hari. Namun, jika sepi, dia hanya mendapat Rp. 6 ribu sampai Rp. 7 ribu dalam sehari.

Sekilas, dia tidak beda dengan para tukang becak lain. Dia juga tidak beda dengan kebanyakan orang lain. Yang membedakan, Abdul Syukur melakukan sesuatu yang tidak dilakukan kebanyakan orang.

Sebagai tukang becak yang tiap hari hidup di jalanan, Abdul Syukur kerap mendapati jalan berlubang. Ada yang berlubang kecil, ada pula yang berlubang besar. Dia memahami, lubang-lubang itu berbahaya bagi para pengendara sepeda motor, khususnya yang kurang waspada. Ada banyak kecelakaan di jalan terjadi karena lubang-lubang menganga.

Melihat dan menyadari kenyataan itu, Abdul Syukur tahu dia harus berbuat sesuatu. Dia tidak menyuruh orang lain, atau meminta petugas Dinas PU (Pekerjaan Umum) untuk menambal lubang-lubang di jalan yang dilihatnya. Abdul Syukur juga tidak memprotes, mendemo, atau melakukan tindakan-tindakan heroik yang menarik perhatian media. Yang dia lakukan begitu sederhana. Dia pergi ke tempat buangan bekas galian aspal, meminta izin petugas di sana untuk meminta bekas aspal yang tak terpakai, kemudian menggunakannya untuk menambal lubang jalan.

Jadi begitulah. Di sela-sela pekerjaannya setiap hari sebagai tukang becak, Abdul Syukur rajin mencari bekas galian aspal yang tak terpakai, yang kemudian ia kumpulkan di depan rumah. Dalam sekali kayuh, Abdul Syukur bisa membawa bongkahan bekas galian aspal hingga seberat 2 kwintal. Bongkahan-bongkahan bekas galian aspal itu kemudian dihancurkannya menggunakan palu, hingga berukuran kecil-kecil, dan bisa digunakannya untuk menambal lubang-lubang di jalan.

Malam hari, setelah jam kerjanya selesai pukul 21.00, Abdul Syukur akan mengambil bekas galian aspal yang telah disiapkannya, kemudian melaju ke tempat lubang di jalan yang ia pikir perlu ditambalnya. Dia menambal lubang-lubang itu sendirian, dengan peralatan seadanya, dengan sisa-sisa tenaga tuanya. Sering kali, suatu lubang tidak selesai ditambal dalam satu kali pengerjaan, karena terlalu besar atau terlalu dalam, dan Abdul Syukur akan melanjutkan pekerjaannya hingga beberapa hari.

Setelah satu lubang selesai ia tutup dan dianggap telah beres, Abdul Syukur akan melanjutkan pekerjaannya di lubang lain yang ia temukan. Dia akan mencari batu-batu dan bekas galian aspal lagi, mengumpulkannya di depan rumah lagi, menghancurkannya lagi, lalu digunakannya untuk menambal lagi. Dia biasa melakukan pekerjaan mulia itu dari pukul 21.00 sampai pukul 02.00 dini hari. Setelah lelah dan mengantuk, dia pulang untuk beristirahat di rumahnya yang sangat sederhana.

Dia telah melakukannya—menambal lubang-lubang jalan di berbagai tempat yang ditemukannya—selama sepuluh tahun, dan selama itu pula dia tidak pernah ribut-ribut, tidak pernah unjuk diri, tidak pernah sibuk memamerkan perbuatannya. Dia hanya melakukan yang ingin dilakukannya, sesuatu yang baik, yang ia pikir bermanfaat bagi orang lain. Saat ditanya jalan mana saja yang telah dibereskannya, dia menyatakan, ”Jalan terakhir yang saya tambal adalah Jalan Tembaan, Gembong, Gembong Tebasan, dan Tambak Rejo.”

Selama sepuluh tahun menambal lubang-lubang jalan, Abdul Syukur telah biasa mendengar komentar orang. Tidak semua orang memuji tindakannya yang mulia. Sebagian dari mereka bahkan menganggap lelaki itu gila, karena mau-maunya melakukan sesuatu tanpa bayaran. Abdul Syukur menceritakan, kadang ada orang yang heran, dan berkata dengan nada mengejek, “Kon iku wong gendeng. Lapo ngono iku? Oleh duit, ta? (Kamu orang gila. Lagi apa itu? Dapat duit, ya?)”

Tetapi Abdul Syukur tidak mempedulikan komentar-komentar semacam itu. Dia tahu yang dilakukannya hal baik, dan dia akan melakukannya, terus melakukannya. Motifnya sangat sederhana. “Karena saya tidak bisa bersedekah dengan harta,” ujarnya, “saya ingin bersedekah dengan tenaga atau apa saja yang dapat dilakukan.” Dan menambal jalan, dia pikir, adalah sesuatu yang dapat dilakukan untuk orang lain. Terlepas orang-orang menganggapnya gila atau tak waras, itu bukan urusannya.

Melakukan sesuatu yang sama dan terus-menerus selama sepuluh tahun tanpa dibayar, tentu tidak hanya membutuhkan ketekunan, tetapi juga keikhlasan. Tidak setiap orang mampu melakukan hal semacam itu. Jangankan melakukan sesuatu tanpa dibayar terus-menerus, bahkan melakukan pekerjaan yang dibayar pun kadang masih mengeluh dan ogah-ogahan.

Ada yang lebih penting dari intelektualitas, ada yang lebih mulia dari sekadar kerja keras. Yakni kesadaran dan keikhlasan—sebentuk energi sunyi yang mampu menjadikan manusia bekerja tekun tanpa henti, tanpa dibayar, tanpa hari libur, tanpa harap tunjangan dan pensiun, juga tanpa ribut-ribut.

Memang, menambal lubang jalan dengan aspal bekas mungkin bukan pekerjaan yang terlampau berat. Kita bahkan bisa menyatakan itu pekerjaan sederhana, yang siapa pun bisa melakukannya. Tetapi siapa yang mampu melakukannya setiap hari, dengan tekun, dan tanpa ribut-ribut? Tidak setiap orang! Dan dari yang sedikit itu, Abdul Syukur telah melakukannya bertahun-tahun, di bawah cibiran sesama manusia, di bawah senyum alam semesta.

Hingga suatu hari, seorang lelaki bernama Himan Utomo melihat aktivitasnya. Himan orang biasa, yang menjalani hidup sebagaimana umumnya orang biasa. Pertama kali menyaksikan Abdul Syukur menambal jalan, dia juga menganggap itu hal biasa. Tetapi, di hari lain, dia kembali menyaksikan hal itu. Selama empat hari berturut-turut, Himan menceritakan, dia terus melihat Abdul Syukur si tukang becak menambal lubang-lubang di jalan.

Merasa penasaran, Himan pun mendekati Abdul Syukur, menanyakan aktivitasnya. Abdul Syukur menjelaskan dengan apa adanya. Bahwa dia merasa terpanggil untuk menolong sesama, dan yang bisa dilakukannya adalah menambal lubang-lubang di jalan. Himan tersentuh oleh cerita itu. Maka dia memotret aktivitas Abdul Syukur, dan mengunggahnya ke Facebook. Hasilnya kemudian adalah viral yang berlangsung sangat cepat.

Orang-orang yang menemukan posting Himan ikut tersentuh oleh ketulusan Abdul Syukur, dan berita mengenai lelaki tua tukang becak itu pun seketika mengalir ke mana-mana, termuat di berbagai media. Abdul Syukur, yang semula bukan siapa-siapa, mendadak tenar dan foto-fotonya menghiasi banyak liputan. Stasiun-stasiun televisi mengundangnya untuk wawancara, para wartawan memburunya. Puncaknya, Wali Kota Surabaya, Tri Rismaharini, mengundang Abdul Syukur secara khusus untuk berbincang-bincang.

Kepada lelaki tua itu, Tri Rismaharini menyatakan agar Abdul Syukur tidak usah meneruskan aktivitasnya. “Bapak istirahat saja,” ujar Risma dengan santun.

Tetapi Abdul Syukur mengatakan, dia akan tetap melakukan kebiasaannya. “Kalau ada lubang, sebisanya akan saya tambal. Itu sudah keinginan saya.”

Risma juga menawari Abdul Syukur untuk bekerja di Dinas PU, tetapi Abdul Syukur menolak.

Dari penelusuran para wartawan, diketahui bahwa ternyata aktivitas ketulusan Abdul Syukur tidak hanya sebatas menambal lubang di jalan. Di kampung tempat tinggalnya, Abdul Syukur telah lama membersihkan selokan seorang diri, juga membetulkan pos ronda yang rusak, meski tidak ada yang memintanya.

Kini, setelah aktivitasnya diketahui orang banyak, dan sosoknya diliput berbagai media, Abdul Syukur tidak berubah. Dia tetap melakukan yang biasa dilakukannya. Bahkan, tampaknya, popularitas membuatnya tertekan, karena berbagai media nyaris tanpa henti ingin menemui, meliput, dan mewawancarai. Aktivitas-aktivitas itu tampaknya lebih berat baginya daripada mengangkut 2 kwintal bongkahan bekas aspal di becaknya. Dia ingin kembali menjadi dirinya yang dulu, yang dapat melakukan aktivitasnya dalam sunyi.

Di tengah dunia yang terlalu sibuk dengan diri sendiri, Abdul Syukur mengingatkan kita untuk kembali menjadi manusia. Seperti yang dikatakannya sendiri saat ditemui wartawan, “Saya tidak mau disebut pahlawan. Demi Allah kulo ikhlas, wani sumpah. Opo onone kula omongaken. (Demi Tuhan saya ikhlas, berani sumpah. Apa adanya saya katakan.)”

Ada yang lebih penting dari intelektualitas, ada yang lebih mulia dari sekadar kerja keras. Yakni kesadaran dan keikhlasan—energi sunyi yang mampu membuat manusia benar-benar menjadi manusia.

Air dan Api

Sebagian orang meminta air, sebagian lain meminta api.

Oh, well, mereka akan mendapatkan yang diminta.

Bocah Paling Damai

Aku telah memperhatikannya cukup lama—bocah itu, yang menjalani hidupnya dengan tenang, damai, dan tampak tenteram selalu. Dia biasa sendirian, tapi tidak tampak kesepian. Dia biasa melakukan apa pun seorang diri, tapi terlihat senang melakukannya.

Dia dianggap bocah tidak penting—orang-orang tidak terlalu menghiraukannya—tapi dia tidak terganggu dengan hal itu. Dia menjalani hidup dengan tenang, nyaman, tampak tidak terganggu dengan apa pun. Di mataku, dia bocah paling damai di dunia. Karena tertarik, aku pun ingin menjadi temannya, agar ketularan kehidupannya yang damai.

“Aku telah lama memperhatikanmu,” ujarku kepadanya, “kau tampak selalu tenang, damai, dan menjalani hidup seperti tanpa masalah. Bagaimana resepmu menjalani hidup semacam itu?”

“Aku selalu mengatakan pada diri sendiri, aku bukan siapa-siapa,” dia menjawab. “Kapan pun, kalau ingat, aku selalu mengingatkan diriku sendiri seperti itu. Aku berkata pada diri sendiri bahwa aku bukan siapa-siapa. Bahwa aku bukan siapa-siapa. Bahwa aku bukan siapa-siapa.”

“Dengan cara itu, kau bisa hidup damai?”

“Ya.” Dia mengangguk. “Setiap kali terjadi apa pun di dunia ini, aku berkata pada diriku sendiri, aku bukan siapa-siapa. Jadi, kalau ada tetangga punya hajatan dan aku tidak diundang sementara orang lain diundang, aku tidak tersinggung, karena aku memang bukan siapa-siapa. Kalau saudara-saudaraku berkunjung ke tempat lain di saat lebaran tapi tidak mengunjungiku, aku pun tidak marah, karena aku memang bukan siapa-siapa. Kalau ada famili yang menikahkan anaknya, dan aku tidak diberitahu, aku juga tidak marah, karena aku memang bukan siapa-siapa. Begitu pun saat menghadapi hal lainnya, aku selalu mengingatkan diri sendiri bahwa aku bukan siapa-siapa, sehingga aku tidak perlu merisaukan atau meributkan apa pun.”

Aku menatapnya, dan berkata sungguh-sungguh, “Aku ingin menjadi temanmu.”

“Tentu saja aku senang,” dia tersenyum. “Tapi aku bukan siapa-siapa.”

“Karena itulah aku ingin menjadi temanmu.”
 

Penyelesaian

Beberapa urusan membutuhkan penyelesaian, meski harus menunggu waktu bertahun-tahun. Meski orang-orang telah lupa, meski kau sendiri telah lupa.

Dan, omong-omong, aku orang yang sulit lupa.

Selasa, 19 Mei 2015

Ketemu Mantan di Kawinan Teman

Kalau mantan pacarmu bilang, “Aku sudah melupakanmu,” itu bohong.
Kalau dia sudah melupakanmu, dia tidak akan ngomong begitu.
@noffret


Dalam hidup, kadang ada saat-saat canggung, semisal harus ketemu mantan pacar di suatu acara. Well, bagaimana cara terbaik saat harus bertemu mantan? Kalau kau seorang bocah, Bruce Wayne telah mengajari cara yang paling elegan. Ketika dia mengadakan pesta ramah tamah, dan dalam pesta itu ada Rachel Dawes—mantannya—Bruce Wayne datang ke pesta itu dengan tiga cewek, naik helikopter!

Saya sering membayangkan melakukan hal itu. Jika sewaktu-waktu harus bertemu mantan, saya akan mengajak tiga cewek, dan naik helikopter. Yang jadi masalah, tidak ada cewek yang cukup tolol untuk mau saya ajak. Masalah lainnya, saya tidak punya helikopter!

Jadi, ketika tempo hari ketemu mantan pacar di acara kawinan teman, saya pun datang ke sana bersama teman cowok, dan—tentu saja—tidak naik helikopter. Saya sudah tahu akan ketemu mantan di sana, karena teman yang menikah ini dulu sekampus dengan kami. Sejak putus bertahun lalu, saya belum pernah ketemu mantan. Jadi tidak tahu bagaimana perasaan saya nanti jika ketemu dengannya.

Di acara resepsi, saya bertemu banyak teman sekampus dulu. Sebagian masih lajang, sebagian sudah menikah dan datang bersama pasangan, bahkan sebagian lagi ada yang membawa anaknya yang masih imut. Selama hanyut dalam obrolan dengan mereka, saya sempat berdebar memikirkan apa yang harus saya lakukan nanti kalau ketemu mantan di sana.

Dan peristiwa itu akhirnya terjadi.

Saat melangkah menuju meja prasmanan yang kebetulan sepi, saya berpapasan dengan dia yang juga akan mengambil makanan. Kami sama-sama terkejut, dan sejujurnya saya tidak tahu kenapa saya harus terkejut—toh sebelumnya sudah tahu kalau dia pasti juga diundang acara resepsi ini. Tapi itulah kenyataannya, saya terkejut. Dari raut wajahnya, dia juga tampak terkejut. Lalu kami sama-sama tersenyum, dan saling sapa.

Berdiri bersama di depan meja prasmanan, kami mengambil makanan sambil berbasa-basi seperti umumnya teman lama. Dia datang ke acara resepsi bersama Elia, teman karibnya. Saat dia bertanya saya datang bersama siapa, saya mengatakan datang bersama teman cowok. Lalu percakapan pun mengalir... rasanya seperti déjà vu.

Sambil memegangi piring berisi makanan, kami duduk berhadapan. Selama makan, saya sesekali memandanginya. Bagaimana pun, dia pernah menjadi orang yang sangat dekat dengan saya... bertahun lalu. Bagaimana pun, dia pernah menjadi pacar yang saya gandeng tangannya, yang pernah saya rindukan senyumnya, yang pernah membuat saya mabuk kepayang selama bersamanya.

Dia masih cantik, seperti dulu. Tetapi, di lubuk hati paling dalam, saya sudah tidak lagi memiliki perasaan seperti yang dulu pernah saya rasakan. Bagaimana pun, waktu yang saya lalui tanpa dirinya telah mengikis perlahan-lahan perasaan saya kepadanya. Jadi, saat memandanginya, saya hanya merasakan bahwa saya pernah menjadi pacarnya. Tidak lebih dari itu. Tidak ada lagi debar, tidak ada lagi getar, tidak ada lagi cinta yang dulu.

Seusai makan, dia bertanya, “Kenapa kamu tidak mengajak pacarmu?”

Saya menjawab jujur, “Aku belum punya pacar.”

Dia menatap seperti tak percaya, “Apa masalahnya, coba?”

“Masalahnya,” saya menyahut perlahan, “aku belum menemukan yang sepertimu.”

Dia memahami yang saya maksud, dan tersenyum.

Masalahnya bukan karena saya belum menemukan perempuan secantik dirinya. Masalahnya adalah karena saya belum menemukan perempuan yang memiliki sikap seperti dirinya!

....
....

Mantan pacar saya bernama Ririn (bukan nama sebenarnya). Dia adik angkatan saya di kampus. Saya telah tahu dirinya sejak pertama kali dia masuk kampus, karena waktu itu nyaris semua cowok di kampus ramai menyebut-nyebut namanya. Tetapi saya tidak punya ketertarikan apa pun. Waktu itu saya masih patah hati karena perempuan yang saya cintai menikah, seperti yang pernah saya ceritakan di sini.

Saya dan Ririn baru berkenalan saat saya semester empat, dan dia semester dua. Bahkan setelah kenal pun, saya tetap tidak punya perasaan apa pun kepadanya. Lebih dari itu, sangat jarang kami bisa bersama cukup lama, karena selalu ada banyak cowok yang terus-menerus mengelilinginya. “Dia bukan tipeku,” pikir saya waktu itu. Jadi, kalau pas ketemu, kami hanya saling sapa sekadarnya.

Hingga suatu waktu, ada acara pencinta alam yang kemudian mengakrabkan kami. Anak-anak pencinta alam berencana berkemah di suatu tempat, dan Ririn maupun saya ikut dalam acara itu. Selama acara kemah itulah, saya mulai akrab dengan Ririn, banyak berbincang dengannya, dan mengalami kedekatan yang belum pernah kami alami sebelumnya. Selama tiga hari di sana, kami banyak bertemu, bercakap, bercanda, dan tertawa.

Pada waktu-waktu itulah, saya mulai merasakan debar yang sebelumnya tidak saya rasakan. Selama acara kemah, saya melihatnya apa adanya—sosok yang begitu alami, bersahaja, tanpa persiapan penampilan apa pun sebagaimana ketika saya melihatnya di kampus. Dan percakapan kami begitu nyambung, mengalir lancar tanpa sok jaim, hingga saya merasa nyaman bersamanya. Saya masih ingat, waktu-waktu itu, tiba-tiba saya senang melihatnya, dan rasanya ingin terus bersamanya.

Saat kembali masuk kampus, seusai acara kemah, hubungan saya dengan Ririn terus berlanjut. Tetapi, karena setiap hari Ririn terus-menerus dikelilingi banyak cowok, saya pun kesulitan mendekati. Saya tidak tahu bagaimana cara mendekati cewek yang sedang asyik dengan banyak cowok. Jadi, saya pun kemudian asyik sendiri dengan kegiatan saya, atau dengan teman-teman saya, sementara Ririn terus dikerubuti lalat-lalat pemujanya.

Kadang-kadang, saat melihat saya di kampus, Ririn memanggil, dan dengan ceria mengundang, “Gabung sini!”

Tapi saya hanya tersenyum, dan tak pernah bergabung.

Saya tidak tahu apa yang dirasakan Ririn waktu itu. Yang jelas, perlahan-lahan Ririn menunjukkan perubahan sikap. Mungkin karena menyadari saya tidak pernah tertarik mendekatinya saat dia sedang dikerubuti lalat cowok-cowok, dia yang kemudian meninggalkan lalat-lalat di sekelilingnya. Saat melihat saya sendirian di kampus, dia meninggalkan kerumunannya, dan mendekati saya. Lalu kami bercakap berdua secara pribadi, seperti di acara kemah dulu.

Perlahan-lahan, itu menjadi kegiatan rutin kami. Selama bersama saya, sering ada cowok-cowok yang mendekatinya, tapi dia tidak mempedulikan.

“Aku selalu senang ngobrol sama kamu,” ujarnya suatu ketika. “Tapi kenapa kamu tidak pernah mau gabung dengan yang lain?”

“Yeah...” ujar saya serba salah, “terus terang, aku tidak nyaman jika harus mengerubutimu seperti sekumpulan lalat.”

Dia tertawa. Entah kenapa, saya senang melihatnya tertawa. Dia tidak hanya cantik, tapi juga dewasa, dan memiliki sikap yang sangat manis. Lalu kedekatan kami pun semakin intens, hingga saya merasa sangat nyaman bersamanya. Sampai suatu hari, kami saling menyatakan cinta. Sejak itu, saya mabuk kepayang setiap kali di dekatnya.

“Kenapa kita tidak jadian dari dulu?” ujar saya sering kali.

Dan dia menjawab dengan jawaban yang sama setiap kali, “Kenapa kamu tidak bilang cinta dari dulu?”

“Yeah, kamu terlalu sibuk dengan lalat-lalatmu!”

Lalu dia akan mencubit, menggelitik, menggoda, dan saya akan tertawa sambil jatuh cinta, tertawa sambil jatuh cinta, dan tertawa sambil jatuh cinta.

Itu saat-saat termanis yang pernah saya alami dalam hidup. Dengan segala kedewasaannya, dia sangat memahami saya. Dia tahu saya sangat peka, dan selalu berusaha menjaga perasaan saya dengan sikapnya yang manis. Selama kami pacaran, dia tidak pernah melakukan sesuatu yang menyakiti perasaan saya. Dia benar-benar tahu menjaga hati saya agar tidak terluka.

Meski sekarang kami tidak lagi pacaran, saya harus jujur mengakui bahwa dia pacar yang baik. Dia seorang perempuan dengan sikap yang membuat saya jatuh cinta.

....
....

“Aku mau mengambil es buah di sana, kamu mau nitip?”

Suara Ririn membuyarkan lamunan. Dengan tergagap, saya mengangkat muka, dan mendapatinya sedang berdiri menatap saya. “Uh... eh, apa?”

“Aku mau mengambil es buah di sana,” ulangnya. “Kamu mau?”

Saya mengangguk, “Ya, aku mau.”

Saat kembali, dia menyodorkan segelas es buah, dan kami kembali duduk berhadapan. Setelah menghabiskan es di gelasnya, Ririn menatap saya dan berkata perlahan, “Kapan pun, kamu pasti akan menemukan yang lebih baik dari aku.”

Mungkin, itu kalimat terbaik yang bisa diucapkan seseorang kepada mantan pacar.

Memasuki Waktu Indonesia Bagian Mendengar Deddy Dores Menyanyikan Lagu Perjalanan Cinta

*Nyulut rokok*

*Khusyuk*

....
....

Deddy Dores memang maestro.

Noffret’s Note: Risoles

Aku selalu membayangkan, risoles adalah salah satu makanan surga.
Bersama bakwan panas, siomay, batagor, dan karamel hitam.
—Twitter, 5 April 2015

Jika kelak kau sampai di surga, pastikan di sana ada risoles.
Jika tidak ada, mungkin itu bukan surga.
—Twitter, 5 April 2015

Risoles adalah makanan yang penuh nilai filsafat. Mirip lumpia, tapi lebih elegan. Luarnya kasar namun indah, dalamnya empuk penuh nikmat.
—Twitter, 5 April 2015

Jika Van Gogh masih hidup, dia pasti setuju bahwa risoles adalah salah satu mahakarya manusia, yang dihasilkan tangan-tangan para maestro.
—Twitter, 5 April 2015

Salah satu alasanku mensyukuri kehidupan di Bumi adalah karena di sini ada risoles yang enak. Di Mars, kau tahu, tidak ada risoles.
—Twitter, 5 April 2015

Kalau pacarmu bisa membuat risoles yang enak (juga cantik, pintar, dan bijaksana), kau perlu mempertahankannya. Dia pasti wanita istimewa.
—Twitter, 5 April 2015

Risoles mengingatkanku bahwa di dunia ini ada kontradiksi yang baik. Paduan antara kasar di luar, dan lembut di dalam. Risoles adalah guru.
—Twitter, 5 April 2015

Jangan menilai sesuatu hanya dari luarnya. Itu pelajaran abadi yang tak pernah lekang waktu. Jika memerlukan bukti, perhatikanlah risoles.
—Twitter, 5 April 2015

Jika isi risoles sekasar kulitnya, atau kulit risoles selembut isinya, pasti orang tak akan tertarik, karena rasanya juga pasti tidak enak.
—Twitter, 5 April 2015

Penemu risoles seharusnya mendapat Nobel, dan para pembuat risoles seharusnya mendapat medali kehormatan. Mereka orang-orang luar biasa!
—Twitter, 5 April 2015

Risoles adalah keindahan kecil alam semesta, sentuhan lembut dalam makrokosmos kehidupan dunia. Sebagai bocah, aku percaya.
—Twitter, 5 April 2015


*) Ditranskrip dari timeline @noffret.

Jumat, 15 Mei 2015

Ketulusan Anjing

Kadang-kadang lebih mudah bicara dengan anjing daripada
dengan manusia. Anjing, setidaknya, punya sensitivitas.
@noffret


Anjing adalah satu-satunya makhluk yang dapat hidup hanya dengan cinta dan kesetiaan. Tidak ada makhluk lain yang dapat hidup seperti itu. Meski saya tidak memelihara anjing, tetapi saya percaya bahwa anjing adalah makhluk yang cinta dan kesetiaannya dapat diandalkan—bahkan sering kali lebih dapat dipercaya dibanding manusia.

Kalau kau berteman dengan manusia, percaya kepadanya, menjalani hari-hari bersama, tidak ada jaminan dia tidak akan mengkhianatimu. Temanmu hari ini bisa menjadi musuhmu minggu depan, atau bulan depan, atau tahun depan. Tetapi, kalau kau berteman dengan anjing, dan percaya kepadanya, dia akan menjaga kepercayaanmu, dan kau bisa yakin dia tidak akan mengkhianatimu.

Sampai hari ini, setidaknya, saya belum pernah mendengar ada anjing yang mengadu domba temannya. Belum pernah ada anjing yang menusuk temannya dari belakang. Belum pernah terdengar ada anjing yang menampakkan senyum ramah tapi diam-diam menyimpan kebusukan di hatinya. Belum pernah ada cerita anjing yang memfitnah, menipu, atau memanipulasi sesamanya. Belum pernah ada kisah anjing yang munafik, pendengki, dan diam-diam tertawa saat melihat temannya celaka. Senajis-najisnya anjing, sering kali mereka memiliki kejujuran dan kesetiaan yang melebihi manusia.

Di South Carolina, tepatnya di Charleston, ada sepasang suami istri bernama Benjamin dan Hope Jordan. Mereka memiliki bayi berusia 7 bulan, yang diberi nama Finn Jordan. Karena keduanya bekerja seharian, mereka pun berpikir untuk mempekerjakan baby sitter selama mereka tidak di rumah. Melalui sebuah penyalur, mereka mendapat seorang baby sitter bernama Alexis Khan.

Sejak itu, setiap pagi, Alexis si baby sitter datang ke rumah pasangan Jordan, mengurusi bayi mereka, lalu Benjamin dan Hope Jordan berangkat kerja. Sore hari, saat pasangan Jordan pulang kerja, tugas Alexis pun selesai, dan dia pulang ke rumahnya. Selama seharian, Finn si bayi hanya bersama si baby sitter, ditemani anjing piaraan pasangan Jordan.

Mula-mula tidak ada masalah. Tetapi, makin lama, anjing di rumah itu menunjukkan gejala perilaku yang tak wajar. Pagi hari, ketika si baby sitter datang ke rumah, anjing itu akan menyalak dengan galak. Sikapnya yang semula ramah berubah beringas. Sikap anjing itu makin agresif, ketika si baby sitter mulai mendekati bayi pasangan Jordan.

Benjamin dan Hope Jordan tentu saja bingung dengan perilaku anjing mereka. Sementara bulan demi bulan berlalu, perilaku anjing itu tidak berubah—tetap galak dan agresif setiap kali melihat si baby sitter. “Sekitar lima bulan dia menjadi baby sitter di sini, anjing kami jadi sangat protektif terhadap anak kami, setiap kali baby sitter tiba di pintu rumah,” tutur Benjamin saat diwawancarai News Limited Network.

Akhirnya, Benjamin mulai curiga. Melalui perundingan dengan istrinya, Benjamin diam-diam meletakkan iPhone di bawah sofa, untuk merekam segala yang terjadi selama mereka pergi bekerja. Sore hari, saat mereka kembali ke rumah, dan si baby sitter telah pulang, Benjamin dan istrinya memutar isi rekaman iPhone. Betapa terkejutnya suami istri itu saat mendengar rekaman yang mengindikasikan bayi mereka mendapat kekerasan dari baby sitter-nya.

“Mula-mula terdengar makian,” Benjamin menceritakan. Lalu terdengar suara tamparan diikuti tangisan Finn, bayi mereka. Tak perlu dikatakan bagaimana marah dan sedihnya pasangan suami istri itu mendengar rekaman suara yang terus-menerus berisi makian, tamparan, tangisan, makian, tamparan, tangisan. Selama berbulan-bulan, bayi mereka disiksa, dan selama itu pula anjing peliharaan mereka menjadi saksi yang tak berdaya.

Anjing itu tak bisa berbicara. Dia tidak bisa mengadukan perlakuan si baby sitter kepada tuannya. Tetapi, dengan segala daya yang mampu dilakukannya, anjing yang setia itu mencoba mengingatkan tuannya, bahwa bayi mereka dalam bahaya. Dia menunjukkannya melalui perilaku agresif setiap kali melihat si baby sitter datang, dan menyalak dengan galak saat si baby sitter mulai mendekati si bayi.

Karena pengaduan Benjamin dan istrinya, Alexis Khan pun ditangkap, dan dia mengakui semua tindak kekerasan yang dilakukannya pada si bayi. Dia terancam hukuman penjara, dan namanya di-black list sehingga tidak bisa lagi mendapat pekerjaan yang berhubungan dengan bayi. Karena kesetiaan seekor anjing, ada banyak bayi lain yang terselamatkan dari kemungkinan kekerasan.

Di antara hewan peliharaan lain, hanya anjing yang memiliki naluri kesetiaan semacam itu. Kalau kau memelihara ayam, atau kucing, atau jangkrik, atau celeng, mereka akan cuek beibeh dan tak peduli bayimu disiksa orang lain. Anjing memahami cinta dan kesetiaan, bahkan kepada makhluk lain. Dan sifat itu tidak hanya dimiliki anjing yang hidup di South Carolina, tetapi juga di belahan bumi yang lain.

Di Banyuwangi, Indonesia, seorang wanita bernama Wienda Oetami memelihara seekor anjing yang diberi nama Duma. Selama ini, kita mungkin sudah sering mendengar “permusuhan abadi” antara anjing dan kucing. Tetapi, di rumah Wienda Oetami, anjing justru merawat dan menyusui anak-anak kucing.

Keluarga Wienda Oetami menyayangi anjing peliharaan mereka dengan penuh kasih, dan rupanya energi positif itu menular pada si anjing. Suatu hari, putri Wienda yang siswa kelas II SMP, Andrea Avilla, pulang dari sekolah dengan membawa sebuah kardus berisi empat anak kucing. Anak-anak kucing itu dibuang pemiliknya, dan Andrea Avilla bermaksud merawat mereka. Sejak itulah, anjing di rumah Wienda Oetami berteman dengan anak-anak kucing tersebut.

Bukannya menyerang anak-anak kucing sebagaimana umumnya yang biasa kita dengar, Duma si anjing justru menunjukkan perilaku protektif dalam melindungi bayi-bayi kucing itu. Kepada wartawan KOMPAS, Wienda Oetami menceritakan, “Saya kaget saat tiba-tiba anak kucing berada di dalam mulutnya. Saya pikir mau dimakan, ternyata keempatnya dipindahkan agar bisa dekat dengan dia.”

Sejak itu, si anjing tidur bersama anak-anak kucing, dan membiarkan empat bayi kucing itu menyusu kepadanya. Mungkin anjing itu tahu, bahwa bayi-bayi kucing itu telah dibuang dan ditelantarkan, dan nalurinya mendorong untuk melindungi serta merawat mereka.

Tak jauh beda dengan yang terjadi di Banyuwangi, di Brasil juga ada kisah serupa yang menyentuh hati menyangkut kasih dan ketulusan seekor anjing.

Di San Carlos, Brasil, ada anjing liar yang dibuang pemiliknya di sebuah tempat rongsokan. Anjing itu masih kecil, dan selama beberapa waktu hidup dengan mengais-ngais makanan yang dapat ditemukan di sekitar tempat tinggalnya. Suatu hari, Neile Vaina Antonio, pengurus tempat rongsokan, menemukan anjing itu, kemudian memutuskan untuk merawatnya. Sejak itu pula, si anjing diberi nama Lilica.

Neile Vaina bukan orang kaya. Dia hidup pas-pasan, namun memiliki kasih kepada hewan. Di rumahnya, dia telah memelihara anjing, kucing, ayam, dan beberapa hewan lain. Sejak Lilica bergabung dengannya, anjing liar itu pun mulai akrab dengan hewan-hewan lain peliharaan Neile Vaina. Mereka menjalani hidup bersama sebagaimana layaknya keluarga, membangun solidaritas, berbagi kehangatan, dan menjalin persahabatan.

Karena kehidupan yang pas-pasan, Neile Vaina tidak bisa rutin memberi makan untuk hewan-hewan di rumahnya. Lilica, si anjing liar, rupanya menyadari kenyataan itu. Sejak itu pula, Lilica pun mulai rutin keluar rumah, mencari-cari makanan di sekitar tempat rongsok, yang kemudian ia bagikan kepada teman-temannya sesama hewan di rumah Neile Vaina.

Setiap hari, sementara Neile Vaina bekerja di tempat rongsok, Lilica berkeliling ke sana kemari, mengais-ngais apa pun yang bisa dijangkaunya, mengumpulkan makanan, kemudian dengan moncongnya dia membawa makanan itu ke rumah, untuk dibagikan kepada teman-temannya. Sampai suatu hari, ketika sedang kepayahan mengais-ngais sampah untuk mencari makanan, seorang wanita bernama Lucia melihatnya, dan merasa kasihan.

Lucia mendekati anjing itu. “Sepertinya kau sedang mencari makanan,” ujarnya dengan prihatin. Menyaksikan penampilan si anjing yang mengenaskan, Lucia pun mengajak anjing itu ke rumahnya, dengan maksud untuk memberinya makan. Lilica, si anjing, menurut.

Saat diwawancarai Odditycentral, portal berita Brasil, Lucia menceritakan, “Ia (Lilica) berjalan dan mengendus tempat sampah, dan mencuri perhatianku. Aku berpikir ia tak punya rumah, karena mencari makanan. Aku pun kemudian memberinya makanan.”

Di rumah Lucia, Lilica menerima makanan yang diberikan Lucia, tetapi tidak memakannya. Dia mengumpulkan makanan itu, bermaksud membawanya pulang.

Merasa heran, Lucia pun mengikuti anjing itu. Saat mereka tiba kembali di rumah Neile Vaina, Lucia menyaksikan anjing tadi membagikan makanan tersebut pada teman-temannya sesama hewan. Dengan terharu, Lucia pun berkata pada Lilica, bahwa anjing itu boleh datang ke rumahnya setiap hari untuk mengambil makanan.

Seolah memahami yang dimaksud Lucia, besoknya Lilica benar-benar datang ke rumah Lucia. Lucia telah menyiapkan makanan untuk anjing itu, dan sekali lagi ia menyaksikan anjing liar tersebut membawa makanan yang diberikannya untuk dibawa pulang. Sejak itu, setiap hari, Lilica rutin datang ke rumah Lucia untuk mengambil makanan, yang kemudian ia bagikan kepada teman-temannya.

Yang menakjubkan, jarak antara rumah Neile Vaina dan rumah Lucia mencapai 4 kilometer. Artinya, setiap hari, Lilica bolak-balik berjalan sejauh 8 kilometer untuk dapat memberi makan teman-temannya. Adakah manusia yang mampu melakukan perbuatan mulia seperti itu? Berjalan kaki bolak-balik sejauh 8 kilometer, di bawah terik panas yang menyengat, atau dalam cuaca dingin yang membeku, hanya untuk mengambil makanan yang akan dibagikan kepada teman-temannya.

Senajis-najisnya anjing, kadang manusia perlu belajar kepadanya.

Yang Kita Percaya

Dulu aku percaya serial Harry Potter memang karya J.K. Rowling.
Sekarang... aku makin meragukannya.
—Twitter, 30 April 2015

Dulu aku percaya Aldous Huxley seorang filsuf agung yang bijaksana.
Sekarang... bukti-bukti menunjukkan sebaliknya.
—Twitter, 30 April 2015

Dulu aku percaya Bertrand Russel adalah pemikir merdeka.
Sekarang... aku tahu dia hanyalah pion, budak, hamba sahaya.
—Twitter, 30 April 2015

Dulu aku percaya John Naisbitt seorang futuris genius dunia.
Sekarang... aku makin tidak percaya dengan fatwa-fatwanya.
—Twitter, 30 April 2015

Dulu aku percaya Samuel Huntington adalah orang hebat.
Sekarang... orang-orang mulai menunjukkan siapa dirinya.
—Twitter, 30 April 2015

Dulu aku percaya Winston Churchill adalah bocah mengagumkan.
Sekarang, aku tahu, dia bocah yang sangat mengerikan.
—Twitter, 30 April 2015

Dulu aku percaya Ayatullah Khomeini memang seperti
yang diceritakan sejarah. Sekarang... aku mulai tahu siapa dia.
—Twitter, 30 April 2015

Dulu aku percaya Warren Buffett memang investor genius.
Sekarang... kekagumanku hilang setelah tahu yang ada di baliknya.
—Twitter, 30 April 2015

Yang kita percaya, bahkan yang kita tahu,
ternyata belum tentu kenyataannya seperti itu.
—Twitter, 30 April 2015


*) Ditranskrip dari timeline @noffret.

Kutukan Pandora

Hei, Jok. Coba lihat dirimu.

Sudah punya anak istri, sudah punya tanggungan keluarga, masih banyak cicilan kredit yang belum lunas... tapi masih sempat-sempatnya mencari masalah.

Konyol, sekaligus ironis. Lebih konyol lagi kalau berpikir tak akan ketahuan.

Siapa pun yang membuka kotak Pandora akan menghadapi kutukannya. Siapa pun yang mencari masalah akan mendapati tulah. Sesederhana itu aturannya. Bukan begitu, Jok?

Jumat, 08 Mei 2015

Sepasang Sandal di Depan ATM

Sandal jepit tuh ada dua macam. Pertama yang
biasa-biasa saja, kedua yang membuat kita seneeeeeeeeeeng
waktu memakainya. #DuniaHarusTahu
@noffret 


Farah Quinn, koki seksi yang terkenal itu, akan masuk ke bilik ATM (Anjungan Tunai Mandiri), dan terkejut saat mendapati sepasang sandal di sana. Rupanya, ada seorang wanita yang masuk ke bilik ATM, dan melepas sandalnya sebelum masuk. Entah dengan tujuan apa, Farah Quinn kemudian memotret sepasang sandal itu, dan mengunggahnya ke Instagram.

Pada foto itu, Farah Quinn menulis, “Mba Yu niatnya mau ke ATM atau ke mushola? :(” Foto itu diunggah pada November 2014, dan seketika mengundang banyak komentar pedas dari para follower-nya di Instagram. Farah Quinn mungkin tidak menyangka tindakannya yang terkesan sepele itu akan mengundang amarah banyak orang.

Mungkin Farah Quinn hanya heran karena mendapati sesuatu yang tidak pernah dilihatnya—orang melepas sandal saat masuk bilik ATM. Karena keheranannya pula, dia sampai merasa perlu mengabadikan moment itu dengan sebuah foto yang diunggah ke Instagram. Sayangnya, tidak semua orang memiliki keheranan yang sama seperti yang dirasakan Farah Quinn. Alih-alih ikut merasa heran, orang-orang itu justru menghujatnya.

Sebenarnya, saya juga pernah mendapati hal serupa seperti yang dialami Farah Quinn. Suatu waktu, saya pernah datang ke kantor kelurahan untuk mengurus sesuatu. Lantai kantor kelurahan itu sangat bersih—keramik putihnya tampak mengilat. Tetapi saya sadar, itu kantor kelurahan dan bukan mushala. Jadi, saya tetap memakai sandal dan tidak melepasnya. Kenyataannya, para petugas dan orang-orang lain di sana juga tetap memakai sandal atau sepatunya.

Sambil menunggu urusan selesai, saya duduk di kursi panjang dekat pintu masuk. Tidak lama setelah itu, muncul tiga ibu-ibu yang datang ke sana untuk mengambil jatah raskin (beras dari pemerintah yang ditujukan untuk orang-orang miskin). Saat akan masuk kantor kelurahan, ibu-ibu itu melepas sandalnya di depan pintu. Sambil heran, saya bilang pada mereka, “Bu, sandalnya dipakai saja.”

Salah satu dari mereka menyahut, “Nggak apa-apa, Mas. Kami biasa melepas sandal, kok, kalau ke sini.”

Saya tidak punya hak untuk memaksa, jadi saya pun membiarkan. Tiga ibu-ibu itu meninggalkan sandalnya di depan pintu kantor kelurahan, dan masuk ke dalam tanpa alas kaki. Sesaat kemudian, mereka muncul lagi dengan gendongan beras, memakai kembali sandalnya, lalu berjalan pulang. Semuanya tampak wajar. Mereka tidak menganggap melepas sandal di kantor kelurahan sebagai masalah atau keanehan.

Jadi, jika saya heran melihat ibu-ibu itu melepas sandal di kantor kelurahan, mungkin ibu-ibu itu juga heran melihat saya enjoy mengenakan sandal di kantor kelurahan. Bisa jadi, di mata mereka, saya bocah yang tidak tahu adab.

Apa yang terjadi di sini? Hanya perbedaan pola pikir dan latar belakang kebiasaan. Ibu-ibu itu mungkin biasa menganggap lantai yang putih bersih layak dihormati, sehingga merasa perlu melepas sandal, demi tetap menjaga kebersihan.

Sebagai ibu rumah tangga, mereka tentu tahu beratnya membersihkan lantai dan repotnya menjaga kebersihan rumah. Karenanya, mereka mungkin akan merasa bersalah jika memakai sandal kotor seenaknya untuk menginjak-injak lantai yang sudah bersih mengilap, meski itu lantai kantor kelurahan. Apakah itu salah? Saya pikir bukan hak kita untuk menganggap itu salah atau tidak.

Di lain waktu, saya pernah datang ke sebuah tempat fotokopi. Seperti umumnya tempat fotokopi lain, tempat itu ada di pinggir jalan raya, dibatasi trotoar. Yang aneh, di tempat itu ada peringatan cukup besar yang berisi permintaan melepas sandal atau sepatu jika masuk area fotokopi. Pada papan peringatan itu juga terdapat kalimat, “Kebersihan adalah sebagian dari iman”. Jadi, jika kita bermaksud masuk ke tempat fotokopi, yang artinya menginjak lantainya, kita harus melepas sandal.

Ini tempat fotokopi, pikir saya dengan heran. Kenapa saya harus melepas sandal? Tetapi, yeah, kebersihan adalah sebagian dari iman. Saya bisa apa? Jadi, meski dengan heran, saya tetap patuh melepas sandal, demi bisa memfotokopi!

Tentu saja hak setiap orang, atau setiap pemilik tempat fotokopi, untuk membuat peraturan semacam itu. Wong itu tempatnya sendiri. Kalau saya keberatan dengan peraturan itu, saya bisa mencari tempat fotokopi lain yang membebaskan orang mengenakan sandal. No problem. Dan jika orang-orang merasa jengah karena harus melepas sandal atau sepatu hanya untuk bisa memfotokopi, hingga kapok datang ke sana, itu juga risiko si pemilik usaha fotokopi. Bukan masalah saya.

Selain tempat fotokopi, pengalaman serupa juga saya alami di tempat potong rambut. Sebelumnya, saya biasa potong rambut di salon, sekalian luluran. Sampai kemudian, seorang teman memberitahu ada tempat potong rambut yang kualitasnya tidak kalah dengan salon, tapi biayanya jauh lebih murah. Karena tertarik, saya pun minta diantar ke sana. Kebetulan waktu itu saya sudah perlu potong rambut.

Tempat potong rambut itu ada di pinggir jalan, berupa ruangan sederhana sekitar 5x5 meter. Ada bangku panjang di ruangan itu, tempat para lelaki menunggu giliran dipangkas rambutnya. Si tukang potong adalah lelaki berusia sekitar 35-an, dan tampak cekatan memangkas rambut. Sambil menunggu giliran, saya duduk di bangku panjang. Yang membuat saya heran, orang-orang di sana melepas sandalnya di depan pintu. Jadi, ketika masuk ke sana, saya ikut melepas sandal, sebagai bentuk penghormatan.

Selama duduk menunggu di tempat potong rambut itu, saya sempat memperhatikan. Ruangan itu memang menggunakan lantai keramik, dan tampak bersih. Tapi ini bukan mushala, dan seharusnya orang-orang tidak perlu melepas sandal di depan pintu. Di tempat itu juga tidak ada papan peringatan yang meminta agar orang melepas sandal atau sepatu. Dengan kata lain, mereka secara suka rela melepas sandal atau sepatunya.

Seperti yang dibilang teman saya, kualitas potong rambut di sana memang tidak kalah dengan salon. Terus terang saya puas memotong rambut di sana. Apalagi biayanya jauh lebih murah. Jadi, semenjak itu, saya pun berlangganan potong rambut ke sana. Jika rambut sudah perlu dipangkas, saya pun datang ke sana.

Berkali-kali datang ke tempat pangkas rambut itu, saya terus-menerus mendapati orang-orang melepas sandalnya di depan pintu. Jadi, selama waktu-waktu itu, saya pun ikut melepas sandal. Toh hanya melepas sandal ini, apa beratnya? Meski semula merasa heran, lama-lama saya mulai terbiasa dengan aktivitas melepas sandal di tempat pangkas rambut.

Apa yang terjadi di sini? Hanya soal pola pikir dan kebiasaan. Orang-orang yang datang ke tempat pangkas rambut itu mungkin biasa menghormati rumahnya yang bersih dengan cara melepas sandal atau sepatunya. Jadi, ketika datang ke sana, dan mendapati lantai yang bersih, mereka pun perlu melakukan hal yang sama. Karena orang-orang itu melepas sandalnya di sana, saya mengikuti sebagai bentuk penghormatan. Meski semula heran, lama-lama saya merasa biasa.

Jadi, jika Farah Quinn merasa heran saat melihat sepasang sandal di depan ATM, tentu saja wajar. Sebagai selebritas yang kaya dan terkenal, Farah Quinn pasti punya selusin pembantu di rumahnya, yang setiap saat siap membersihkan lantai rumah sebersih-bersihnya. Farah Quinn tentu biasa menginjak-injak lantai rumahnya yang putih mengilap dengan sandal atau sepatu, dan dia tidak merasa bersalah, karena selalu ada orang lain yang siap membersihkan. Lebih dari itu, toh itu rumahnya sendiri.

Yang patut disayangkan adalah kecerobohannya dalam memperlakukan rasa heran. Saat melihat sepasang sandal di depan ATM, dia tidak memberi waktu bagi dirinya sendiri untuk berpikir dan berempati, melainkan buru-buru mengambil kamera untuk memotretnya, kemudian menguggahnya ke Instagram. Motivasi Farah Quinn tentu cuma heran. Tapi tidak setiap orang punya keheranan seperti Farah Quinn.

Mungkin, sekali waktu, Farah Quinn perlu datang ke kantor kelurahan untuk melihat ibu-ibu yang datang ke sana saat mengambil jatah raskin. Atau mungkin pula Farah Quinn perlu sesekali potong rambut di tukang pangkas langganan saya, dan menyaksikan orang-orang dengan suka rela melepas sandal meski tidak diminta. Kadang-kadang, keheranan punya harga yang sangat mahal.

Sandal Jepitmu Mengalihkan Duniaku

Aku mau beli sandal jepit kayak gitu.
AKU MAU BELI SANDAL JEPIT KAYAK GITUUUUH!
@noffret


Tahu tidak, saat-saat aku paling terpesona melihatmu bukan saat kau tampil mewah dengan banyak aksesoris nan gemerlap. Tapi saat melihatmu dengan penampilan sederhana.

Seperti dalam foto waktu itu—kau duduk santai, dengan kaus putih dan sandal jepit cokelat, dan kau tertawa. Melihatmu, aku merasa kau tak beda dengan orang-orang lain, dan aku senang. Oh, sebenarnya, aku selalu senang melihatmu. Tetapi, aku paling senang saat melihatmu tampak bersahaja.

Kapan-kapan, kalau kita ketemu, aku ingin melihatmu seperti itu—dengan gaya sederhana, dengan tampilan bersahaja. Dan jangan lupa pakai sandal jepitmu. Kau tahu, salah satu impian indahku adalah memakai sandal jepitmu. Jika itu benar-benar terjadi, aku akan merasa sempurna sebagai bocah.

Noffret’s Note: Percakapan

Selalu menyenangkan melihat orang bercakap-cakap menyenangkan. Hanya orang-orang biasa yang dapat melakukannya. Para seleb tidak bisa.
—Twitter, 24 April 2015

Menemukan teman bercakap yang menyenangkan adalah anugerah. Biasanya, orang semacam itu adalah orang biasa. Para seleb hanya tahu basa-basi.
—Twitter, 24 April 2015

Percakapan menyenangkan adalah percakapan personal, dengan sebutan atau cara menyapa yang personal. Para seleb menyamakan semua orang.
—Twitter, 24 April 2015

Kalau kau bercakap dengan orang biasa, dia menganggapmu sebagai manusia. Kalau kau bercakap dengan seleb, dia akan menganggapmu groupisnya.
—Twitter, 24 April 2015

Aku lebih senang bercakap-cakap dengan orang biasa. Mereka lebih tahu cara mengobrol yang menyenangkan, dan bercanda, dan tertawa.
—Twitter, 24 April 2015

Aku tidak tertarik bercakap dengan seleb atau orang terkenal. Karena aku tidak suka diduakan, meski dalam percakapan, sejak dalam pikiran.
—Twitter, 24 April 2015

Bercakap dengan seleb itu membosankan. Mereka tak jauh beda dengan customer service membosankan. Semua orang dipanggil sama, dianggap sama.
—Twitter, 24 April 2015

Customer service tolol melayani pelanggan dengan bertele-tele. Seleb tolol menghadapi orang dengan aneka basa-basi. Sama-sama membosankan.
—Twitter, 24 April 2015

Di mata customer service, semua orang adalah pelanggan. Di mata para seleb, semua orang adalah penggemar. Menggelikan sekaligus menyedihkan.
—Twitter, 24 April 2015

Terberkatilah orang-orang biasa yang masih menyadari dirinya orang biasa, sehingga dapat memperlakukan orang lain sebagaimana manusia.
—Twitter, 24 April 2015

Aku lebih senang bercakap-cakap dengan gelandangan yang menyenangkan, daripada dengan pejabat atau artis yang membosankan.
—Twitter, 24 April 2015

Hakikat percakapan bukan dengan siapa kita bercakap, melainkan bagaimana cara kita bercakap. Percakapan menyenangkan membutuhkan ketulusan.
—Twitter, 24 April 2015

Percakapan paling menyenangkan adalah percakapan yang jujur, nyambung dan khusyuk. Berbicara, bercanda, dan tertawa, tanpa diganggu apa pun.
—Twitter, 24 April 2015

Jauh lebih menyenangkan bagiku bercakap dengan satu orang tapi dalam dan khusyuk, daripada berbasa-basi dengan sejuta orang secara dangkal.
—Twitter, 24 April 2015

Hanya dibutuhkan dua hal untuk menjadi teman bicara yang menyenangkan. Pertama adalah jujur, dan kedua adalah tidak sok jaim.
—Twitter, 24 April 2015

Aku bisa menjanjikan percakapan menyenangkan semalam suntuk tanpa membuatmu bosan, dengan satu syarat mutlak; kau hanya fokus kepadaku.
—Twitter, 24 April 2015


*) Ditranskrip dari timeline @noffret.

Seperti Bukan Aku

Ooh, seperti bukan aku.

Senin, 04 Mei 2015

Misteri Hilangnya Mie Instan

Hanya dengan menambahkan bawang goreng kering
banyak-banyak, masakan mie instan jadi jauh lebih enak.
Terpujilah bawang goreng kering!
@noffret


Sebenarnya, saya tidak terlalu suka mie instan. Tetapi lapar bisa muncul sewaktu-waktu, dan keberadaan mie instan sangat membantu mengganjal perut. Karena sering bekerja semalam suntuk, perut saya kadang lapar tiba-tiba, di jam-jam yang “kurang strategis”, misalnya pukul 03:00. Mencari warung makan dini hari semacam itu cukup merepotkan. Karena itu saya bersyukur dengan adanya mie instan.

Jika disuruh memilih nasi uduk atau mie instan, tentu saja saya akan memilih nasi uduk. Tapi nasi uduk tidak bisa didapat sewaktu-waktu, sementara mie instan nyaris selalu tersedia di rumah. Meski kurang suka, keberadaan mie instan yang makin beragam dengan aneka rasa cukup membantu selera dalam menyantapnya. Dibanding sepuluh tahun lalu, misalnya, mie instan zaman sekarang makin beragam dan kita bisa memilih rasa yang diinginkan.

Jadi, setiap belanja ke swalayan, saya selalu membeli beberapa bungkus mie instan aneka rasa, kemudian menyimpannya di dapur, sebagai semacam persediaan ketika lapar mendadak dan saya kesulitan mencari makan. Meski begitu, saya hanya akan memasak mie instan jika benar-benar butuh dan mendesak. Selama punya alternatif lain, saya tidak akan memakannya. Karena, sederhana saja, nasi uduk jauh lebih enak daripada mie instan!

Nah, beberapa waktu lalu, saya sedang suntuk menulis naskah di komputer. Itu naskah yang cukup berat, dan telah menghabiskan waktu cukup lama, tapi belum juga selesai. Sementara penerbit yang memintanya sudah bolak-balik menghubungi, menanyakan kapan naskah akan dikirim. Mereka meminta agar naskah itu selesai bulan ini, dan rasanya saya ingin menjawab, “Itu mustahil!”

Sebenarnya, saya juga ingin menyelesaikan naskah itu secepatnya, agar beban pekerjaan berkurang. Tapi kenyataannya naskah itu benar-benar sulit digarap, dan membutuhkan ratusan halaman. Dalam estimasi kasar, saya memperkirakan naskah itu butuh 600-an halaman, sementara yang selesai baru 300-an halaman. Well, masih butuh 300-an halaman lagi, dan itu benar-benar kerja yang berat. Bahkan tanpa diburu-buru deadline pun sebenarnya saya sudah cukup pusing.

Setiap hari, saya terus mengerjakan naskah itu, dari bangun tidur sampai mau tidur lagi. Bahkan ketika tidur pun saya kadang bermimpi sedang menggarap naskah, lalu terbangun dan mengkhayal naskah yang tertulis di komputer benar-benar telah bertambah. Tapi tentu saja tidak terjadi. Dan saya harus benar-benar menggarapnya kembali, meneruskan menulisnya lagi, hingga halamannya benar-benar bertambah. Ketika sedang khusyuk bekerja seperti itu, sering kali saya lupa makan.

Suatu malam, menjelang pukul 02:00, ketika sedang membaca ulang beberapa halaman di monitor, tiba-tiba perut saya kelaparan. Pikiran saya pun segera membayangkan mie instan di lemari dapur. Kalau tidak salah ingat, saya masih punya dua bungkus mie instan yang memang saya simpan untuk kebutuhan darurat.

Maka saya pun segera menutup lembar kerja di komputer, melangkah ke dapur, membuka lemari untuk mengambil mie instan, dan... saya tercengang. Mie instan itu memang ada di sana, tepat dua bungkus seperti yang ada dalam ingatan. Tapi hanya ada bungkusnya. Mie di dalamnya tidak ada secuil pun! Jika sebelumnya dua bungkus itu cembung karena ada mie di dalamnya, sekarang dua bungkus itu tipis dan rapi, karena isinya sudah tak ada sama sekali.

Dengan takjub campur heran, saya mengambil bungkus plastik mie yang telah kosong, memeganginya dengan terpana, dan memikirkan bagaimana bisa mie di dalamnya lenyap tanpa bekas. Dua bungkus yang kosong itu sama sekali tidak rusak—masih rapi dan mulus seperti biasa. Tidak ada robekan apa pun, tidak ada lubang apa pun. Jadi ke mana perginya mie di dalamnya? Yang lebih penting lagi, bagaimana mie di dalam bungkus itu bisa keluar dan lenyap?

Tiba-tiba perut saya tidak lapar lagi, berganti penasaran yang meluap. Buru-buru saya membuat teh hangat, lalu merokok, dan mulai memikirkan misteri itu. “Pertanyaannya sepele,” kata saya pada diri sendiri, “bagaimana kira-kira caramu mengeluarkan mie instan dari dalam bungkus plastik, tanpa harus merusak bungkusnya?”

Sampai subuh, saya tetap belum bisa menemukan jawaban untuk pertanyaan “sepele” itu. Saya pikir, Deddy Corbuzier atau bahkan Harry Houdini pun belum tentu mampu melakukan hal semacam itu—melenyapkan dua bungkus mie instan hingga hilang tak berbekas, tanpa merusak bungkusnya sedikit pun.

Sherlock Holmes, detektif pertama di dunia, berkali-kali menyatakan bahwa deduksi bisa membawa kita menemukan jawaban yang kita cari. Tapi deduksi macam apa yang harus saya ambil dalam menghadapi kasus hilangnya mie instan dari bungkusnya? Sementara Hercule Poirot yang genius selalu menasihati, “Gunakan sel-sel kelabu di kepalamu, mon ami, dan kau akan menemukan pelakunya.”

Pelaku apa, Monsiour? Misteri yang saya hadapi sekarang bukan kasus pembunuhan pelik yang pelakunya sulit dideteksi. Ini kasus sepele—menghilangnya mie instan dari bungkusnya, tanpa jejak, tanpa bekas, tanpa ada kerusakan apa pun yang bisa dipelajari atau dilacak. Mie instan dari dua bungkus itu lenyap—hilang tanpa bekas—tanpa sisa secuil pun, tapi bungkusnya tetap utuh! Dan kasus yang sangat misterius itu terjadi di dapur rumah saya!

Sambil menyulut rokok lagi, saya memperhatikan bungkus mie instan kosong itu, memperhatikannya benar-benar, seinci demi seinci, mencari-cari bekas kerusakan secuil apa pun yang mungkin terjadi. Tapi nyatanya bungkus plastik itu benar-benar masih utuh, sama persis seperti bungkus mie instan baru. Tidak ada yang berubah. Tidak ada yang rusak. Tapi bagaimana mie di dalamnya bisa lenyap? Dan bagaimana caranya...?

Seekor semut merayap di atas tutup panci. Tiba-tiba saya teringat pada Sherlock Holmes. “Deduksi,” katanya berkali-kali. Dan Hercule Poirot seolah menimpali, “Gunakan sel-sel kelabumu.”

Semut. Mie instan yang hilang. Sesuatu yang lenyap tanpa bekas. Nyaris seketika, saya melihat jejak yang semula tidak ada. Jika makanan yang terbungkus rapi bisa hilang tanpa bekas, maka semut akan menjadi kandidat tersangka paling kuat. Makhluk kecil itu jauh lebih kuat dari yang disangka kebanyakan manusia. Jangankan bersama kawanannya, bahkan ketika sendirian pun semut bisa melakukan hal-hal hebat.

Menyadari kemungkinan itu, saya kembali memeriksa bungkus mie instan yang kosong, dan mulai mempelajarinya lebih teliti. Beberapa menit kemudian, saya menemukan sebuah lubang di balik lipatan tengah bungkus itu. Sebuah lubang yang kecil, kira-kira seukuran ujung korek api, tertutup lipatan plastik hingga hampir tak terlihat. Tapi lubang itu sudah cukup membantu otak saya memikirkan kemungkinan yang terjadi.

Lalu saya pun mulai merekonstruksi kasus misterius itu, dan membangun deduksi. Mula-mula, semut menemukan mie instan di lemari dapur. Entah lubang pada bungkus mie telah ada sebelumnya atau dia yang membuatnya, yang jelas semut menyadari bungkus plastik itu berisi makanan. Maka dia pun lalu memanggil kawanannya, berbondong-bondong, mendatangi mie instan, menyusup ke dalam bungkusnya melalui lubang yang ada, lalu bersama-sama menghancurkannya seremah demi seremah, dan membawanya keluar untuk dikumpulkan di sarang mereka.

Semut adalah pekerja yang hebat. Jika mempelajari kehidupan mereka, kita akan melihat betapa makhluk-makhluk kecil itu jauh lebih menakjubkan dari yang mungkin kita pikirkan. Kawanan semut liar di hutan bahkan bisa “menyantap” seekor kerbau atau kuda yang mati, hingga habis tanpa bekas! Dengan ukurannya yang kecil, semut bisa menyantap apa pun tanpa sisa. Dan jika kuda atau kerbau saja bisa dihancurkan, maka menghancurkan mie instan pasti bukan hal sulit bagi mereka!

Jadi, pelaku “kejahatan” yang terjadi di dapur saya adalah semut. Merekalah yang telah datang ke lemari dapur, dan menemukan mie instan yang teronggok di sana.

Semut-semut itu tidak bisa membawa mie bersama bungkusnya keluar dari lemari yang tertutup. Jadi mereka pun membuat lubang pada bungkusnya, lalu menyusup masuk dan menghancurkan mie di dalamnya, kemudian keluar masuk lemari melalui celah-celah yang ada. Setelah itu, selama berminggu-minggu, kawanan mereka pasti sangat sibuk sekali membawa remah-remah mie instan dari lemari ke sarang, dikumpulkan sebagai persediaan makanan. Dan selama waktu-waktu itu, saya bahkan tidak sempat memperhatikan!

Oh, well, tentu saja ini baru deduksi. Untuk benar-benar meyakini deduksi itu, dan benar-benar bisa memastikan bahwa semut memang pelakunya, kita harus menggunakan uji coba. Maka, siang harinya, saya membeli dua bungkus mie instan, memasukkannya ke lemari dapur seperti semula, dan menunggu apa yang akan terjadi.

Setiap hari, saya terus memantau lemari, melihat dan mempelajari perubahan yang terjadi, sekecil apa pun. Beberapa hari sejak saya masukkan mie instan ke sana, beberapa semut mulai tampak datang. Saya terus memantau, dan membiarkannya, seolah-olah saya tidak tahu yang mereka lakukan. Seminggu sejak mie instan ada di sana, saya mendapati lubang di balik lipatan bungkusnya—tepat seperti yang terjadi pada dua bungkus mie sebelumnya. Semut-semut itu telah mulai bekerja.

Satu minggu lagi, saya periksa kembali, dan kini saya mendapati isi mie instan telah berkurang. Bungkusnya masih utuh, masih rapi, tidak ada kerusakan apa pun. Tapi isinya telah berkurang, tidak lagi sepenuh ketika masih utuh. Seiring dengan itu, saya menyaksikan kawanan semut yang tampak hilir mudik di sekitar mie yang ada di sana. Kawanan itu jumlahnya tidak terlalu banyak, terlihat normal, tapi saya tahu mereka membawa remah-remah mie instan di moncong mereka.

Betapa ajaibnya semut, pikir saya dengan takjub. Makhluk-makhluk kecil itu telah melakukan sesuatu yang bahkan tidak bisa dilakukan makhluk-makhluk lain yang jauh lebih besar dari mereka. Membuat lubang pada bungkus mie instan, kemudian menghancurkan makanan di dalamnya, lalu keluar masuk lubang untuk memunguti remah-remah mie yang telah mereka hancurkan... semua itu membutuhkan ketekunan tanpa putus asa, kerja keras tanpa kenal lelah, dan semangat menyala-nyala.

“Dan jika kau benar-benar menginginkan sesuatu dengan seluruh jiwa ragamu,” ujar Paulo Coelho, “maka alam semesta akan berkonspirasi untuk membantumu.”

Dengan segala kelemahan dan kesederhanaannya, semut telah membuktikan kebenaran itu. Mereka telah melakukan sesuatu yang semula tampak mustahil, dan mengubahnya menjadi mungkin. Jika makhluk sekecil itu pun bisa melakukan keajaiban dengan ketekunan, kesabaran, serta semangat dan kerja keras... saya tentu juga bisa melakukannya.

Lalu saya teringat pada naskah sulit yang sedang saya kerjakan. Dan, tiba-tiba, saya tidak lagi melihatnya sebagai hal sulit untuk dikerjakan. Menyelesaikan naskah tebal itu kini tampak jauh lebih mudah daripada melakukan sesuatu yang telah dilakukan semut-semut kecil di dapur saya.

Noffret’s Note: Syahrini

Dalam keadaan normal, ternyata Syahrini tuh cantik banget,
seksi banget. #njrit #barusadar #lalungefans
—Twitter, 21 April 2015

Semalam suntuk nonton Syahrini di Youtube.
Lalu aku merasa tercerahkan.
—Twitter, 21 April 2015

“Semakin manusia merendahkanmu, Tuhan akan semakin meninggikanmu.”
Itu yang ngomong Syahrini. Mungkin dia seorang filsuf.
—Twitter, 21 April 2015

Kehidupan ini pasti kurang sahih jika tidak ada Syahrini.
Semesta tahu, Syahrini adalah sesuatu.
—Twitter, 21 April 2015

Hari ini aku menyadari, tawa lepas Syahrini
adalah salah satu suara paling menyenangkan di muka bumi.
—Twitter, 25 April 2015

Syahrini mungkin perpaduan mimpi, fantasi, dan delusi.
Apapun, dia telah menjadi dirinya sendiri; Princess Syahrini.
Takdir yang cukup adil.
—Twitter, 21 April 2015

Apakah Syahrini seorang mbakyu? Itulah pertanyaan terbesar
dalam hidupku. Dan, demi segala demi, aku benar-benar ingin tahu.
—Twitter, 21 April 2015

Seperti itu. Lalu... ingin terjerumus.
—Twitter, 21 April 2015


*) Ditranskrip dari timeline @noffret.

Nasihat Terbaik di Dunia

Jangan pernah percaya pada nasihat yang tidak kauminta.

Jumat, 01 Mei 2015

Nge-Tweet Sambil Stres

Selalu ada hal-hal tak masuk akal di Twitter.
Atau di kepalaku. Entahlah.
@noffret


Jarang sekali saya masuk Twitter dalam keadaan waras. Sering kali, saya login ke Twitter ketika stres, atau semacamnya. Karenanya, kebanyakan tweet saya umumnya bernada marah atau pusing. Karena kenyataannya tweet-tweet itu memang lampiasan perasaan yang sedang bad mood. Hanya sesekali saya masuk Twitter dalam keadaan “sehat wal afiat”, sehingga dapat menulis tweet-tweet cakep.

Entah, sampai sekarang saya masih belum cocok dengan Twitter. Rasanya tidak leluasa menulis di sana—jauh beda ketika menulis di blog. Bagaimana pun, kapasitas yang disediakan Twitter sangat terbatas—hanya 140 karakter—dan sempitnya ruang untuk menulis itu kadang bikin saya tambah stres. Apa yang bisa kita ocehkan dalam ruang sebatas 140 karakter?

Di Twitter, saya harus sangat berhati-hati memilih kata dan menyusun kalimat, agar sesuatu yang ingin saya muntahkan dapat terwakili dengan karakter terbatas. Kadang itu menimbulkan masalah, semisal orang salah memahami yang saya maksud, atau semacamnya. Kenyataan itu tentu jauh beda dengan blog. Di blog, saya bisa ngoceh sebebas-bebasnya, sepanjang-panjangnya, menjelaskan apa pun secara detail, hingga kemungkinan salah paham bisa diminimalisasi.

Karena kenyataan itu pula, saya tidak terlalu tertarik pada Twitter, setidaknya sampai hari ini. Karenanya pula, saya hanya masuk ke Twitter kalau kebetulan sedang bad mood, atau ingin memuntahkan kejengkelan atas sesuatu. Dalam keadaan waras, dan pikiran sedang fresh, saya lebih memilih untuk melakukan hal-hal yang lebih bermanfaat, daripada membuang waktu di Twitter.

Jadi, buat siapa pun yang kebetulan mem-follow akun saya di Twitter, mohon dimaklumi ya, kalau tweet-tweet saya kadang absurd, tak masuk akal, bernada marah, atau semacamnya, karena memang tweet-tweet itu kebanyakan ditulis ketika sedang stres. Semua tweet itu saya tulis spontan, tidak melalui pengendapan apa pun sebagaimana ketika saya menulis di blog. Jadi, ya... gitu.

Berikut ini salah satu contoh rangkaian tweet yang saya tulis spontan ketika sedang stres, gara-gara makan malam yang rusak. Karena ditulis sambil stres, tentu saja isinya kacau, tidak ilmiah, tidak akademis, dan tidak environmental. (Tidak environmental itu apa???) Mbuh.

....
....

Lagi-lagi makan malamku rusak gara-gara nasi lembek! Lebih baik mati daripada makan nasi semacam itu.
—Twitter, 23 Maret 2015

Ada dua kesalahan yang tak pernah bisa dimaafkan di dunia ini: 1) Pengkhianatan. 2) Nasi lembek.
—Twitter, 23 Maret 2015

Ada dua perbuatan yang tak bisa diampuni di muka bumi: 1) Menyembah berhala. 2) Menjual nasi lembek.
—Twitter, 23 Maret 2015

Bocah-bocah di DPR itu seharusnya membuat regulasi khusus untuk para penjual nasi, dan seharusnya ada sanksi untuk para penjual nasi lembek.
—Twitter, 23 Maret 2015

Orang tentu berhak berjualan apa pun, selama tidak melanggar aturan negara. Tapi menjual nasi lembek adalah penistaan terhadap umat manusia.
—Twitter, 23 Maret 2015

Bersedia membeli dan makan nasi lembek sama artinya menoleransi kebodohan. Jika terulang, itu kesalahan. Jika masih terulang, itu kejahatan.
—Twitter, 23 Maret 2015

Jika di dunia tidak ada lagi nasi keras dan hanya tersedia nasi lembek, aku tetap tidak akan sudi memakannya.
—Twitter, 23 Maret 2015

Jika diminta makan nasi lembek atau mati, aku akan memilih mati. Aku tidak akan merendahkan diriku sendiri dengan makan nasi yang kubenci.
—Twitter, 23 Maret 2015

Nabilah bukan mbakyu, tapi kenapa kamu menyukai dia?” | “Karena Nabilah suka nasi keras!”
—Twitter, 23 Maret 2015

Pertanyaan penting yang akan kuajukan sebelum menikah, “Apakah kamu suka nasi keras?” Jika jawabannya “Tidak”, aku akan mencari wanita lain.
—Twitter, 23 Maret 2015

Tidak semua manusia mampu menciptakan mahakarya. Tetapi siapa pun yang bisa membuat nasi keras, sama artinya telah menciptakan mahakarya!
—Twitter, 23 Maret 2015

Goenawan Mohamad, Nabilah JKT48, Ariel Noah, dan Nurul Izzah di Malaysia, memiliki satu kesamaan. Mereka sama-sama menyukai nasi keras!
—Twitter, 23 Maret 2015

Secara ajaib, orang-orang yang kukagumi semuanya menyukai nasi keras. Dan belum pernah kutemukan orang hebat yang menyukai nasi lembek.
—Twitter, 23 Maret 2015

“Aku berpikir, maka aku ada,” kata Descartes. | “Aku makan nasi keras, maka aku ada,” kataku.
—Twitter, 23 Maret 2015

Aku tidak sudi memakan nasi lembek yang tidak enak bukan karena sok kaya, tapi karena terlalu trauma dan terlalu luka akibat kemiskinan.
—Twitter, 23 Maret 2015

Kemiskinan dan ketidakberdayaan pernah memaksaku untuk memakan nasi lembek yang tidak enak. Sekarang, kebejatan itu tak kan pernah terulang.
—Twitter, 23 Maret 2015

Rusaknya peradaban manusia dimulai dari rusaknya moral. Rusaknya moral dimulai ketika orang mulai menerima nasi lembek demi tidak lapar.
—Twitter, 23 Maret 2015

Jauh lebih mulia dan lebih terhormat bagimu menahan lapar berhari-hari, daripada kenyang karena terpaksa memakan sesuatu yang kau benci.
—Twitter, 23 Maret 2015

Jika istrimu memaksamu makan nasi lembek, maka ingatlah Adam di surga. Seharusnya dia masih di surga kalau saja tidak terbujuk istrinya.
—Twitter, 23 Maret 2015

Definisi istri salihah bagiku adalah: 1) Mendamaikan, menenteramkan hati. 2) Yang membiarkanmu terlelap di pangkuannya. 3) Suka nasi keras!
—Twitter, 23 Maret 2015

Rusaknya hal-hal besar dimulai hal-hal kecil. Nasi lembek adalah hal kecil. Ia tidak terlalu tampak, terlihat wajar dan biasa, tapi merusak.
—Twitter, 23 Maret 2015

Nasi keras bukan sekadar selera pada sesuatu yang kita makan. Ia adalah visi, idealisme, dan pilihan hidup. » http://bit.ly/1ChNOyM
—Twitter, 23 Maret 2015

Sulitnya mencari nasi keras adalah salah satu indikasi rusaknya sendi kebangsaan dan hancurnya akal kemanusiaan. » http://bit.ly/1DN2mmL
—Twitter, 23 Maret 2015

Nasi lembek bisa menghancurkan hidupmu, menghilangkan nafkah dan usahamu, bahkan menggerogoti harmoni perkawinanmu. » http://bit.ly/1IkP9p7
—Twitter, 23 Maret 2015

Nasi keras mengajarimu untuk bekerja keras, membangun hidup penuh berkat, kemudian mensyukuri dengan penuh nikmat. » http://bit.ly/1LODULo
—Twitter, 23 Maret 2015

Tiga hal terbaik di muka bumi: 1) Buku bagus untuk belajar. 2) Mbakyu untuk ndusel penuh kedamaian. 3) Nasi keras yang membuatmu bersyukur.
—Twitter, 23 Maret 2015

Empat perbuatan mulia di dunia: 1) Membantu yang lemah. 2) Menghormati orang berilmu. 3) Mencintai dengan tulus. 4) Membuat nasi keras.
—Twitter, 23 Maret 2015

Sungguh merugi orang-orang yang kepadanya dititipkan berkat untuk hidup lebih baik, tapi membiarkan diri untuk makan nasi lembek. (HM: 23:1)
—Twitter, 23 Maret 2015

Dan ketahuilah bahwa sesungguhnya orang-orang yang memilih nasi keras adalah mereka yang tahu bahwa hidup adalah soal pilihan. (HM: 23:2)
—Twitter, 23 Maret 2015

Dan kenikmatan nasi keras manakah yang kaudustakan? (HM: 23:3)
—Twitter, 23 Maret 2015

Maka katakanlah kepada mereka, “Kau tak akan pernah tahu arti hidup, selama masih membiarkan diri untuk memakan nasi lembek.” (HM: 24:4)
—Twitter, 23 Maret 2015

Berikan pakaian pada mereka yang telanjang. Tapi pakaian yang layak. Berikan makan pada mereka yang kelaparan. Tapi nasi keras yang enak.
—Twitter, 23 Maret 2015

Memakan sesuatu yang kau benci bukanlah makan. Itu sejenis penistaan... terhadap tubuhmu, terhadap pikiranmu, terhadap kemanusiaanmu.
—Twitter, 23 Maret 2015

Empat misteri di dunia ini: Jodoh, maut, rezeki, dan warung penjual nasi. Kita tak pernah bisa yakin nasi yang dijualnya keras atau lembek.
—Twitter, 23 Maret 2015

Manusia dilahirkan tanpa bisa memilih. Tetapi, setelah dilahirkan, dia hidup untuk memilih. Dan aku memilih untuk hanya memakan nasi keras.
—Twitter, 23 Maret 2015


*) Rangkaian tweet ditranskrip dari timeline @noffret.

Jokowi, Pajak, dan Demokrasi

Yang aku tahu sejak Jokowi jadi presiden: Pemerintah makin kreatif menciptakan aneka pajak, hingga ragam dan jenisnya makin macam-macam.
—Twitter, 5 Maret 2015

Belanja di atas 250 ribu, struk harus dibubuhi materai 3000. Belanja di atas 1 juta, materainya 6000. Kabar buruk buat penggila shopping.
—Twitter, 5 Maret 2015

Ironi demokrasi adalah, kau memilih sekelompok orang untuk mengisapmu. Kau membiayai mereka untuk membuat hidupmu makin sulit dan merana.
—Twitter, 5 Maret 2015

Socrates dihukum mati karena menentang demokrasi, dan dunia tetap memilih demokrasi. Entah Socrates sedang melucu, atau dunia yang keliru.
—Twitter, 5 Maret 2015

Dalam demokrasi, pemimpin dipilih berdasar suara terbanyak. Yang jadi masalah, pilihan suara terbanyak bukan jaminan pilihan yang terbaik.
—Twitter, 5 Maret 2015

Saat kapal karam di tengah lautan, kita akan menunjuk orang terbaik untuk memimpin kapal, bukan orang yang dipilih suara terbanyak.
—Twitter, 5 Maret 2015

Saat akan naik pesawat, mana yang akan kita pilih: Pilot terbaik, atau pilot yang didukung orang banyak? Jangan bertanya pada demokrasi!
—Twitter, 4 Maret 2015

Suara rakyat adalah suara Tuhan, katanya. Memang benar, jika suara rakyat memang benar. Sayangnya, tidak pernah ada jaminan pasti benar.
—Twitter, 5 Maret 2015

Kelemahan utama sistem demokrasi adalah... ia rentan dimanipulasi. Dan ketika dulu Socrates menyatakan kemungkinan itu, dia dihukum mati.
—Twitter, 5 Maret 2015

Majalah Forbes merilis daftar 22 miliarder Indonesia. Pemerintah kita tidak kagum, tapi langsung sibuk menghitung perkiraan pajak mereka.
—Twitter, 5 Maret 2015

Para pelaku UKM akan segera kena pajak. Bahkan para tukang jahit juga akan dikenai pajak. Ini serius... dan tragis.
—Twitter, 5 Maret 2015

Pajak reksadana akan dinaikkan, simpanan kita di bank tidak akan lagi memberikan bunga karena pajak, dan hasil deposito akan jadi nostalgia.
—Twitter, 5 Maret 2015

Buruh-buruh pabrik akan segera kena pajak. Setelah itu terjadi, tinggal menunggu waktu saja hal yang sama terjadi pada para tukang becak.
—Twitter, 5 Maret 2015

Demokrasi mungkin sistem yang baik, tapi biayanya sangat mahal. Dan yang membayar adalah para pemilihnya, melalui aneka pajak dan pungutan.
—Twitter, 5 Maret 2015

Aku tidak menentang demokrasi, atau pajak. Aku hanya sedang menyayangkan betapa kesadaran dan penyesalan sering kali jalan beriringan.
—Twitter, 5 Maret 2015

Di suatu hari kelak, orang-orang miskin akan makin terpuruk, dan orang-orang kaya akan terus sakit kepala. Karena pajak.
—Twitter, 5 Maret 2015

Setiap kali menerima lampiran pajak, entah kenapa aku merasa sedang menerima surat cinta... dari seseorang yang tak pernah kucinta.
—Twitter, 5 Maret 2015

Semakin maju peradaban, semakin banyak peraturan, semakin beragam pajak dan pungutan. Ironisnya, dunia tidak pernah menjadi lebih baik.
—Twitter, 5 Maret 2015

Pemerintahan Jokowi tampaknya sedang kemaruk memungut pajak. Hingga orang-orang yang sudah mati pun ikut dipajaki.
—Twitter, 16 April 2015

Sementara ibu-ibu di Rembang sedang memperjuangkan kelestarian bumi, pemerintah sedang sibuk menyiapkan pungutan pajak orang mati. #Ironi
—Twitter, 16 April 2015


*) Ditranskrip dari timeline @noffret.

Punya Pacar itu Mainstream

Bocah-bocah bertanya, “Kenapa kamu menyebut ‘pacar’ dengan istilah ‘mbakyu’?”

“Karena punya pacar udah terlalu mainstream,” saya menjawab, “sekarang jamannya punya mbakyu.”

 
;